Islam sering hanya dipandang sebagai potret statis dari himpunan perilaku yang dianggap ideal. Bahkan sering pula ia digunakan hanya sebagai instrumen pembenaran proses-proses sosial, kebudayaan, dan kekuasaan yang dominan. Di sini, Islam berhenti sebagai diskursus pemerdekaan manusia. Islam "direkayasa" untuk berposisi sebagai perangkap yang menghentikan atau memperlambat perkembangan masyarakat.
Emha Ainun Nadjib ingin menolak semua itu. Dalam kumpulan kolom, yang pernah terbit di berbagai media, Emha mencoba menempatkan agama, dalam hal ini Islam, sebagai jalan pemerdekaan. Lewat ini pula manusia dapat menari-nari dengan imajinya sendiri.
Bagi Emha, titik tolak jalan pemerdekaan itu tidak bersandar pertama-tama pada akidah atau syariat. Ia menumpukannya pada kesadaran tentang kemanusiaan dan keadilan. Bentuk kesadaran inilah yang sering Emha temukan tersembunyi dalam nasihat para kiai ndeso yang "mistis" dan nyentrik. Atau terpendam dalam ungkapan-ungkapan rakyat yang populer.
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.
Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.
Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.
Ini adalah buku terbaik Emha menurut saya. Gugatannya yg cerdas, liar dan berani, menjadikan Emha sebagai seorang tokoh Islam yang mbeling. Setahu saya, cmiiw, ini adalah buku Emha yang paling laris.
Buat yg belom tahu, sedikit saya kasih clue ya. Emha berkisah tentang seorang kyai yang gagal masuk sorga, karena pernah mengambil serpihan bambu yang dijadikan slilit, tusuk gigi, karena ada sisa makanan yang nyangkut di gigi.
Bayangkan, hanya gara-gara slilit dari serpihan bambu pagar yang diambil sembarangan...Tuhan menahan sang kyai ini dari masuk surga. Bagaimana dengan kita.. yang kadang slilitnya berjuta-juta kali lipat daripada sekedar serpihan bambu...
Apa karena slilit, si Kiai ini jadi batal masuk surga?
Saya agak keheranan waktu pertama kali menjumpai buku Emha dengan judul seperti ini. Tadinya, saya pikir slilit milik Sang Kiai ini punya kesaktian atau makrifat. Entah digunakan untuk apa. Barulah saya pahami kemudian ketika benar-benar membaca tulisan yang diangkat jadi judul seluruh buku ini. Ternyata, gara-gara slilit seorang Kiai batal masuk surga.
Begini ceritanya. Seorang Kiai telah makan daging di sebuah kenduri, waktu itu ia sibuk meladeni orang yang ingin bersalaman dengan dirinya, ia tak sempat untuk menyingkirkan slilit daging di giginya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Pak Kiai mengambil seujung potongan bambu dari pagar tetangganya untuk membuang slilit daging di gigi Pak Kiai, layaknya tusuk gigi.
Kemudian, Pak Kiai meninggal dunia. Lalu ada seorang santri yang mimpi bertemu dengan Pak Kiai yang tertahan di pintu surga. Dalam mimpinya Pak Kiai berkata, "Dosa-dosaku telah Allah ampuni kecuali satu. Aku tidak sempat meminta izin pemilik rumah untuk mengambil sedikit dari bambunya untuk kujadikan tusuk gigi. itu membuatku sangat repot di alam kubur."
Tulisan ini punya muatan pesan yang amat dalam. Betapa slilit yang remeh itu telah merepotkan seorang Kiai yang selalu dipersepsikan mudah menggapai surga. Betapa hal kecil yang amat remeh pun ternyata dapat menghalangi kita dari jalan kebaikan bila diperolah dengan cara yang tidak benar dan tidak disukai Allah SWT. Bayangkan saja bagaimana runyamnya para koruptor dan para maling duit rakyat ketika menghadapi hari penghisaban.
Dari kisah tersebut, kemudian Emha menjelaskan perkara-perkara lainnya semacam itu yang tidak saja melulu habluminallah tetapi juga habluminannas. Tulisan Emha muncul dengan cermat dan cerdas dalam menganalisa etika sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Slilit Sang Kiai" hadir kembali dalam wujud cetak ulang setelah lahir pertama kali pada tahun 1991. Buku ini tetap memiliki nilai relevansi yang tinggi dengan kondisi saat ini. Bagaimanapun adanya, kehidupan ini tidak bersifat parsial-statis tetapi kontekstual dinamis. Walaupun sudah tidak lagi aktual, namun nilai kontekstualnya tetap terjaga.
Saya tidak menyangka, melalui buku ini, Cak Nun membawa pembacanya keliling "pelosok" dunia. Kesadaran sosial Cak Nun akan zamannya luar biasa, mengingat kebanyakan esai ditulis dalam kurun waktu 1980-an. Dari Carter, Reagan, Ninoy, Tembok Berlin, Perang Soviet-Afganistan, dan tentu saja kritik terhadap Orba, semua dibabat habis dengan gaya khas yang dilandasi nilai-nilai Islam.
Tidak hanya cakupannya yang luas, di dalam tiap esai, Cak Nun memberi banyak sekali referensi. Dari kearifan lokal hingga konflik mancanegara. Jujur, rasanya terlalu "ke mana-mana" ketika membaca buku ini. Namun, dengan kerendahan hati, mungkin saya sendiri saja yang kurang tahu banyak, sehingga tidak bisa memahami betul beberapa esainya, terutama esai-esai satir Orba. Meskipun begitu, gaya narasi yang dipakai Cak Nun konsisten. Sehingga saya masih bisa santai waktu membacanya, membiarkan kata-kata mengalir, mengikuti arus pikiran Cak Nun ke manapun perginya. Memang sebuah pengalaman membaca yang baru.
Secara pribadi, ada beberapa esai yang menohok bagi saya, salah satunya "Matahari Mematai-matai Hari". Esai ini mengontraskan dua keadaan, keadaan rakyat kecil yang hidupnya "gitu-gitu aja" dan keadaan akademisi yang hidupnya enak. Ironisnya yang diteliti oleh mereka adalah rakyat kecil, demi pembangunan katanya. Hanya bisa omong dan berteori saja. Tema tentang kesenjangan sosial menjadi premis dari sebagian besar esai dalam buku ini. "Jer basuki mawa bea", hanya saja yang dapat "basuki" kelas atas saja, sementara yang menanggung "bea"-nya ya kaum-kaum tertindas. Serta untuk topik perempuan, Cak Nun sangat "woke", tampak dari esai "Wanita-Wanita yang Tak Kita Bayangkan".
Hingga selesai membaca buku ini, rasanya kok malah tambah haus. Masih ingin terus membaca buku yang formatnya macam ini. Terima kasih Cak Nun, saya tidak sabar untuk membaca buku-buku panjenengan yang lain.
Saya paling suka tulisan yang berjudul makan-minum dak tentu.
masalah kehidupan memang tidak bersifat parsial-statis tapi kontekstual-dinamis. Segala perkara itu tidak tentu. jangankan permasalahan yang rumit, perkara makan dan minum saja tergantung konteksnya. Makan dan minum secara hukum fiqih umum bernilai mubah, tapi kalau kita sangat kelaparan dan di ujung kematian, maka makan menjadi wajib. tentu berbeda jika kasusnya adalah memakan makanan hasil curian, makan menjadi bernilai haram.
Kemudian saya suka tulisan berjudul slilit pak kyai. itu teguran halus yang menancap di hati. Seorang kyai telah makan daging di sebuah acara syukuran, karena ia sibuk meladeni orang yang ingin bersalaman dengan dirinya, ia tak sempat untuk menyingkirkan slilit daging di giginya. Di perjalanan pulang ke rumah, pak kyai mengambil seujung potongan bambu dari pagar tetangganya untuk membuang slilit daging di gigi kyai.
singkat cerita kyai meninggal dunia. Kemudian ada seorang santri yang mimpi bertemu dengan kyai. pak kyai berkata
"Dosa-dosaku telah Allah ampuni kecuali satu. Aku tidak sempat meminta izin pemilik rumah untuk mengambil sedikit dari bambunya untuk kujadikan tusuk gigi. itu membuatku sangat repot di alam kubur"
coba bayangkan bila seremeh bambu bisa membuat seorang kyai kerepotan di alam kubur. apalagi orang yang mencuri uang rakyat. mengerikan
Waktu SMA, seingat saya membaca buku ini di perpustakaan sekolah, lantaran judulnya yang waktu itu kubaca salah. Seharusnya 'slilit' tetapi kubaca sekilas menjadi 'silit. Dalam hati bertanya:"ini buku macam apa, ngomongin silit kiai.". Setelah kuboyong di meja admistrasi perpustakaan dan kuubawa ke rumah, barulah aku dong, Ternyata aku salah baca.
Dan sekarang kesampaian baca ulang, dan merasakan Cak Nun emang "budayawan" sekaligus santri nakal. semua diterjemahkan seenak udelnya, tapi justru itulah yang membuat buku ini menarik dan tdak lekang oleh zaman.
hhmm.. kritik sosial yg dipaparkan didalam buku ini mengharapkan agar pembacanya cerdas dan cermat dalam kritik akan etika sosial yang tengah terjadi di masyarakat. sangat eksentrik karena yang terpapar adalah balada sehari-hari yang ditemui di kehidupan kita, tetapi keunikan itu menjadi sentilan tersendiri bagi kita. sadarkah kita akan diri sendiri, sosial masyarakat dan dimensi luar lainnya? paradigma yang terbentuk adalah pemikiran sederhana, tetapi dalam bahasa yang tidak sesederhana itu untuk dicerna.
Emha termasuk kategori cendekiawan muslim Indonesia, toleran, dan sangat sosialis-agamis. Hal ini tercermin di hampir setiap ukiran karya seninya seperti buku, teatrikal, musikalitas, skenario, dll. Metode pembawaannya kedalam karya seninya itu sangat sederhana, tetapi memiliki makna dan pengharapan mendalam. Rupa-rupa cerpen yang digambarkan adalah balada kehidupan sehari-hari yang bikin gemas, kesal, kadang amarah.
Buku ini sangat bagus, tetapi butuh waktu dengan beberapa kali membaca untuk mencerna segala maksud dan tujuan dari penulis untuk mengetahuinya. Karena didalamnya terkandung filosofis sangat dalam.
Edisi baru kumpulan kolom ini diterbitkan oleh Penerbit Mizan sejak beberapa bulan yang lalu.
Saya merindukan esais dengan gaya penulisan sebebas Emha. Emha memperlakukan kata tak sekadar kumpulan abjad yang mati dan mesti diajari baris-berbaris agar supaya rapi. Di zaman yang semakin melek literasi ini (?), saham penulis dalam tulisan nyaris tak bersisa lagi. Tulisan telah menjadi sekumpulan kata yang seragam, baik jeleknya maupun bagusnya.
Tujuan saya membaca kumpulan kolom yang bukan-buku ini tentu saja demi meraba semacam apa kebebasan tulis ala Orde Baru itu. Ya, kita mesti akui itu, Emha Ainun Nadjib beserta segala artefak karyanya yang memukau itu tak akan lahir tanpa ada lingkungan yang mendukung penuh: rezim Orba.
Read this a very long time ago, in high school. As i remember, it was a creative, culturally-approached essay on mainly islamic tradition. The author has a distinctive style which may impress some people (me, for example, used to) or just confuse or create resentment in others. I still admire his creativity with words though, and also his way of mixing mundane things with (or to explain) the abstract ones. It is agreeable to call the author as a "culturalist" (budayawan - ind) with regard to what he was trying to say.
Buku kumpulan esai pertama yang saya baca, dan syukurlah, meskipun buku ini benar-benar memperlambat kecepatan membaca saya, saya menuntaskannya. Esai dalam buku yang ternyata sudah lama terbit ini ditulis Cak Nun dalam kurun waktu 1980 sampai awal 1990-an. Berbagai macam kritik sosial disampaikan khas jurnalis, yah, karena Cak Nun sendiri adalah seorang wartawan sekaligus, budayawan. Lugas, transparan, dan humornya menohok liar di mana-mana.
Esai favorit saya? "Makan-Minum Dak Tentu", "Maha Satpam", dan "Mahasiswa Baru".
Aku membacanya sekitar tahun 98an saat aku menemukannya di rak library SMPku, seketika itu juga aku menyukainya. It's simple, seorang kyai yang dekat sama Tuhan saja masih dianggap berdosa gara2 ngambil sedikit bambu dari pagar tetangganya untuk ngilangin "slilit"nya. Konsep sederhana namun maknanya luar biasa untuk umat Islam khususnya. Kalau dibandingkan dengan jaman sekarang, bagaimana dengan koruptor yang ngambil jutaan bahkan milyaran ataupun triliyunan uang rakyat? Wallahua'lam. #ngeri
Buku ini saya baca jaman kuliah atau baru2 lulus kuliah ya? pokoknya sudah lama sekali. yang paling saya ingat ya tulisan yang jadi judul buku ini, "Slilit Sang Kyai". hanya karena slilit, pak kyai terhambat untuk masuk surga.
yang jels buku ini bagus sekali, banyak sekali pencerahan yang saya dapat setelah membaca buku ini.
Permasalahan sederhana, yang sering dianggap sepele dan terkadang sering terjadi di kehidupan kita sehari hari, dibahas secara menarik. Dapat melihat sudut pandang yang lain terhadap permasalahan-permasalahan yang sering terjadi
This book has managed to make me realized that there is no point of you swinging your body five times a day, torture yourself in hunger when you still make other people suffer.
mungkin untuk saya terlalu berat memahami semua yang ada dalam buku ini. tapi ketika benar-benar memahami maksud artikel nya, ada hal yang akan membawa kita kepada ucapan "benar juga".
My first Emha Ainun Nadjib. Di kata pengantar ditulis kalo ini bukan buku tetapi kumpulan kolom (next: esai) katanya. Karena Judul bukunya tidak menggambarkan keseluruhan isinya (menurutku) yang super luas bangettt.
Oke jadi ada 3 bagian didalamnya, bagian pertama yaitu Islam itu Islam, kemudian bagian kedua yaitu Matahariku Gerhana, dan yang terakhir berjudul Bumi Tuhan. Judul bukunya sendiri di ambil dari esai bagian pertama, dan esai pembuka.
Di bagian pertama, sama seperti judulnya hampir semua esai bertemakan agama. Aku paling suka esai yg berjudul Perjanjian di Telaga. Merasa benar perjanjian kepada orang-orang yg bersembahyang itu. Dipilhnya tempat di telaga, bukan sungai atau samudra - hal 83
Di bagian kedua, tema dan cangkupannya luass bangettt. Tidak hanya agama, sosial, politik, feminisme juga ada, lengkap pokoknya. My favourite is Kalengan Cinta yang Bocor. Ketika seorang "wanita karier" menunda urusan cinta-men-cinta, seolah-olah ia memiliki konsep bahwa sebuah bilik yang untuk sementara digembok saja dulu. Nanti kalau karier sudah mapan bisa dibuka kembali dan lelaki idaman silahkan masuk - hal 191
Dann, di bagian terakhir banyak membahas sejarah dan literature lokal maupun international. Knowledge aku ga nyampe kesana, jadi agak sedikit ngangong baca nya. Paling suka esai yg berjudul Sastra Dewa, Sastra Macan, Sastra Tank. Banyak ga pahamnya sih, tapi suka aja.
So overall it is great book. Terlepas dari, beberapa esai yang bikin gagal paham karena pengetahuan aku yg segitu-gitu doang. Dan lagi aku dibuat kagum oleh apa yg penulis konsumsi sehingga dapat menulis semua kumpulan esai di buku ini
Bahasa yang lugas namun tegas dalam membahas isu-isu ringan di sekitar kita. Hal -hal yang biasa menjadi yang sangat menarik karena dikemas dengan susunan kata-kata yang sarat akan intrik. Cara menata kata yang blak-blakan seakan sang penulis "know well" dengan pembaca. buku ini bisa dibaca segala usia, bukan fiksi tetapi tetap renyah penuh tawa. Saya sangat suka gaya bahasa yang tak biasa ini. Recomended bingits.....
Mungkin cuma saya, baca buku ini bener2 memeras otak. Alasannya: karena saya gak mengalami apa yg dimaksud dengan isi tulisannya (kolom2 yg terdapat dalam bukunya terbit jauh sebelum saya lahir). Jadi saya gak begitu terhubung dengan tulisannya. Walaupun, ada bab yg mudah saya pahami, seperti Slilit Sang Kiai, Gerhana Matahari (saya lupa judul aslinya), Makan-Minum Nda Tentu. Bintang berbicara pokoknya
Sebenarnya buku slilit sang kyai ialah kumpulan esai-esai dari cak nun, akan tetapi emang ada salah satu esai yang di dalam buku ini berjudul slilit sang kyai, era penullisan buku sepertinya tahun 1980 an sehingga apabila membaca buku ini disarankan untuk melihat gejolak indonesia tahun 80 an
Bagus.. mungkin untuk yang awam sedikit banyak harus pelan mencerna isi tulisan Cak Nun :) namun kalo uda paham.. isinya sangat mantappp, padat, bikin pembacanya open mind dengan kejadian keseharian dan hikmah yang diambil.. best
Cerita cerita kehidupan yg sering luput perhatian dari kita. Ambil setiap hikmah, apapun yg terjadi dlm kehidupan kita. Terutama di kisah slilit sang kiai ini, slilit saja bisa menjadi permasalahan hidup dan mati.
Kisah terbaik di buku ini adalah Slilit Sang Kiai yang ditempatkan di nomor urutan pertama. Kisahnya tentang Kiai yang banyak amal budinya, namun tertahan masuk surga karena pernah nggak sengaja ngepotelin sedikit kayu pagar tetangganya saat mau membuang slilit (sisa makanan yang nyelip di gigi).
"Kini, alangkah sedihnya: aku tak sempat meminta maaf pada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku." Hal.4.
Menarik, tulisan sederhana namun cukup menampar untuk kita (baca: saya) yang mungkin gak sengaja mengambil hak orang lain tanpa izin. Sesederhana barang punya sodara sendiri (yang mungkin ada kue di kulkas, gak tahu punya siapa main makan aja tanpa Kulonuwun dulu).
Ada puluhan cerita yang ditulis pendek-pendek. Semua hasil pemikirannya yang benar-benar ditulis apa adanya, tanpa banyak batasan, termasuk ketika ngomongin hal-hal tabu. Tapi jujur saja, kumpulan tulisan yang rata-rata ditulis tahun 80-an ini terasa serba tanggung. Kadang setelah baca satu judul aku mikir, "ini mau ngomongin apa sih sebenarnya?" belom lagi beberapa hal yang sudah nggak relevan karena udah basi.
Bukan buku yang jelek, tapi.... aku nggak enjoy bacanya. Apalagi setelah baca tulisan pertama, espektasiki jadi naik. Membayangkan Emha Ainun Najib akan banyak kasih perenungan. Tapi ternyata nggak (eh atau sayanya aja yang gagal paham, entahlah).
Ini buku pertama beliau yang saya baca. Kapok kalau mau beli sendiri hehe, cuma kalau ada pinjeman boleh juga, mau bandingin siapa tahu buku-buku terbitan terbaru lebih enak nulisnya dan pembahasannya.
Kalo mau ucap salam, atau ucap sesuatu yang mengidentitaskan sebagai muslim, aku selalu diingatkan pada buku ini. Apakah aku sedang pamer? Sebab dosa sekecil apapun, mampu menghapus semua ibadah yang aku jalani. Well, cukup kiri, hehehehe.....
Ini adalah salah satu buku terbaik dari Emha yang pernah saya baca. Lugas dan jernih. Tak ada yang ditutup-tutupi. Enak dibaca dan direnungkan. Slilit Sang Kiai adalah kumpulan dongeng yang akan membawa kita hanyut pada permenungan yang dalam.