Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi.
Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta.Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya.
Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam.
Subagio tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair, Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.
Dibuat terpukau oleh sajak-sajak Subagio sejak membaca Simfoni Dua. Sudah lama ingin baca Keroncong Motinggo, tapi baru dapat bukunya kemarin, di sebuah toko buku bekas di daerah Pondok Cabe.
Buku ini sukses menyembuhkan rasa rindu saya terhadap sajak-sajak Subagio. Perenungan Subagio yang mendalam tentang kesepian dan perjalanan hidup sehari-hari, yang dituliskan dengan bangunan imaji tak-biasa dan tak-tertebak, saya rasa selalu relevan dengan pengalaman-pengalaman subtil setiap manusia, dari zaman dan tempat manapun ia berasal.
Menemukan buku ini secara tidak sengaja di rak buku ayah saya. Bukunya cetakan pertama tahun 1975, harganya masih 500 perak. Selalu menyenangkan menemukan harta karun yang dari koleksi buku ayah sendiri. Buku ini adalah salah satu buku puisi karangan Soebagio Sastrowardoyo yang menarik. Bagaimana saya harus menceritakannnya? Dalam sebuah esai panjang tentang buku puisi ini, beliau sudah menyebutkan betapa pekerjaan menulis puisi adalah sebuah perjalanan-perjalanan batin bagi setiap orang. Dan sejatinya setiap orang bisa menangkap moment berharga dalam hidupnya dalam banyak bentuk karya. Seperti dilakukan penulis dalam buku ini di mana beliau mencoba bermusik, melukis hingga akhirnya memilih puisi sebagai sarana untuk melampiaskan hasrat perjalanan batin dirinya sendiri ini. Sebuah esai panjang tentang bagaimana kemudian beliau menulis puisi ini saya rasa sudah cukup untuk menjelaskan bahwa puisi memang milik semua, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Adalah hasrat akan kelanggengan yang mendorong Subagio menulis sajak. Keinginan untuk menorehkan sesuatu yang kekal dari buah pemikirannya tentang kesepian, cinta, dan nasib yang tak menentu. Dan buku ini adalah bukti bahwa Subagio telah berhasil mengkristalkan berbagai tema tersebut dalam kata-kata.
Buku langka dan penuh dengan memori nostalgia. Puisi-puisi di dalamnya akan selalu mengingatkan saya bahwa pengalaman estetik juga akan selalu terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari.