Jump to ratings and reviews
Rate this book

Indonesia Bagian dari Desa Saya

Rate this book

230 pages, Paperback

First published January 1, 1983

58 people are currently reading
579 people want to read

About the author

Emha Ainun Nadjib

92 books484 followers
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
130 (46%)
4 stars
89 (32%)
3 stars
44 (15%)
2 stars
10 (3%)
1 star
5 (1%)
Displaying 1 - 20 of 20 reviews
Profile Image for Tri Ahmad Irfan.
96 reviews
February 8, 2014
Benar sekali kalau pemikiran Cak Nun sudah jauh di depan pemikiran bangsa Indonesia. Dengan tulisan-tulisannya di Tahun 70-80an, Cak Nun sudah bisa meramalkan fenomena sosial, budaya, dan kebangsaan 30 tahun selanjutnya.

Pemikiran Cak Nun memang luar biasa inspiratif. Seperti ketika mendapati fenomena masyarakat pamer motor dan televisi, itu sangat relevan dengan fenomena masyarakat saat ini yang pamer smartphone dan mobil. Dia juga mengkritik pola pikir dangkal masyarakat, yang terlalu mengutamakan tampak luar, tanpa meninjau kembali esensi dan nilai yang sebenarnya.

Ketika belakangan isu Nasionalisme mulai digali kembali, Cak Nun sudah sangat nasionalis puluhan tahun silam. Ketika kini Demokrasi sibuk kita pelajari, Cak Nun sudah mendebatnya puluhan tahun silam. Walaupun bahasanya sukar untuk saya cerna, bacaan ini cocok untuk siapapun saja yang tertarik untuk belajar tentang fenomena sosial, budaya, agama, hingga kebangsaan di Indonesia.
Profile Image for Achmad Soefandi.
70 reviews4 followers
July 22, 2016

Kritik Terhadap Masyarakat Desa

Benarkah narasi besar bahwa masyarakat desa sangat memegang teguh nilai-nilai komunal, saat ini masih relevan ? Dalam buku ini, Cak Nun (panggilan penulisnya) menjawab pertanyaan itu berdasarkan pengalaman pribadinya, sewaktu beliau masih berdomisili di salah satu desa, di daerah Jombang. Beberapa Bab-bab dalam buku ini diberi judul yang menarik, yang tidak lepas dari benang merah bahwa masyarakat desa sudah lupa dengan ‘desanya’. Salah satu Bab yang cukup menarik bagi saya yaitu bab yang berjudul “Nonton Pisyi”. Dalam bab ini Cak Nun menggambarkan bahwa masyarakat desa sudah mengalami proses modernisasi. Proses tersebut ditandai dengan masuknya tabung kaca, yang menampilkan beragam gambar disertai suara yang disebut televisi (TV). Benda yang diidentikan dengan modernitas ini memiliki dampak yang cukup hebat pada masyarakat desa. Nilai-nilai komunal yang terwujud dalam kebersamaan dan saling gotong-royong mulai bertransformasi menjadi sikap individual. Aktifitas rutin semacam bermain bal-balan, kosidah, pencak silat dan pengajian di langgar sudah ditinggalakan masyarakat desa demi menonton sinetron yang terpampang di tabung kaca. (hal.7) Cak Nun menganggap bahwa masuknya tekhnologi macam TV bukan sebagai hal yang buruk bagi masyarakat desa, tapi jika tekhnologi tersebut masuk secara mendadak tanpa dibarengi kesadaran akan penggunanya, tekhnologi tersebut bukan menjadi alat manusia tapi justru sebaliknya bisa memperalat manusia contohnya masyarakat desa yang digambarkan Cak Nun yang mengalami gegar budaya ketika TV tiba-tiba masuk ke desanya.

TV dalam Bab berjudul “Nonton Pisyi” juga menjadi salah satu pemicu berbondongnya masyarakat desa menuju kotam, menurut Cak Nun. “..Pemuda-pemuda sudah mulai berlarian ke kota. Tentu bukan karena televise Kang Kanip sebab satu-satunya” (hal. 6). Dengan menampilkan beragam iming-iming yang tidak mungkin di dapatkan masyarakat desa di tempat tinggalnya, TV mulai melakukan penetrasi budaya yang dianggak ‘kota’ atau modern. Konsumsi makanan dan minuman cepat saji, gaya hidup high class ala selebriti sampai budaya kongkow ala anak perkotaan, menjadi tontonan yang lebih menggoda daripada menyaksikan pentas pewayangan.

Selain mengkritik wujud masyarakat desa yang sudah menjadi epigon masyarakat kota. Cak Nun juga mengkritik proses pendidikan yang meniru sistem ala feodalisme. Dalam bab berjudul “Berapa Jumlah Hasan di Desa?” Cak Nun menggambarkan bahwa anak mulai kehilangan ‘kedirianya’ ketika dia dipaksa untuk mengenyam pendidikan sesuai dengan keinginan orang tuanya. “seorang anak lahir belum tentu untuk dirinya sendiri sebab orang tuanya dari hari ke hari ingin ‘menjadikanya’…” (hal.28) Dalam sistem pendidikan ala feodal anak hanya menjadi objek dan barang tontonan, untuk memuaskan hasrat orang tua. Menurut saya kritik Cak Nun tentang pendidikan ini masih bisa kita temukan di sekitar kita.

Tidak sedikit anak yang sebenarnya tidak tertarik masuk kuliah jurusan kedokteran, tapi karena gengsi, orang tua memkasanya untuk masuk jurusan kedokteran. Satu kata yang perlu digaris bawahi kenapa orang tua memaksakan kehendaknya pada anak, yaitu GENGSI. Dan berbicara soal gengsi selalu ada hubungan dengan masyarakat kita, karena gengsi menuntut adanya pengakuan dari orang lain. Oleh sebab itu Cak Nun dalam buku ini, tidak menyalahkan peran orang tua sepenunhnya.

Dan orangtua pun barangkali tidak hidup untuk dirinya sendiri, sebab mereka “dijadikan” sesuatu juga oleh nilai dan pola umum lingkunganya”. (hal. 28-29)

Pendidikan dalam masyarakat kita sudah terdistorsi maknyanya. Pendidikan yang awalnya bertujuan untuk melatih akal-budi dan fisik peserta didik seperti yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara, sekarang hanya menjadi berorientasi pada mencari kerja dan gengsi semata.

Buku ini memberi pencerahan. bagi saya, bahwa yang bentuk desa yang komunal dan kota yang individual, sudah mulai cair. Antara desa dan kota saat ini sudah mulai susah untuk dibedakan. “Adik-adik yang manis, dalam kehidupan desa kemudian memang ada yang terurai, ada yang meluntur, mencair semacam tak kental lagi” (hal.7)

Kelemahan yang saya catat dari buku ini adalah banyak kata-kata bahasa Jawa yang tidak diberi penjelasan (semacam catatan kaki atau catatan samping), misalnya kata bal-balan, sregep, dan lainya. Pemberian keterangan atau terjemahan menurut saya penting, karena saya yakin pembaca karya-karya Cak Nun yang luas.


Profile Image for Anggi Hafiz Al Hakam.
329 reviews5 followers
January 18, 2014
Bukan tanpa alasan sebuah buku diterbitkan kembali. Apalagi, bila tulisan-tulisan di dalamnya masih mengandung keterkaitan dan relevansi yang erat dengan keadaan zaman sekarang. Tabir yang dulu hanya dianggap khayalan ekstasis belaka kini mulai terbukti bukan hanya hidup dalam alam khayal belaka. Dasar-dasar penyebab masalah yang terus membebani masyarakat pada saat itu kini masih dijumpai.

Kumpulan tulisan Emha Ainun Nadjib yang orisinal dan apa adanya ini mencoba mengungkap bahwa zaman edan yang berpuluh-puluh tahun lalu sudah membuat kepala pusing kini harus kita jalani dengan kepala kita yang hampir pecah. Kita seakan dipaksa untuk kehilangan hati dan tak sanggup memekik lagi karena kehilangan suara.

Penerbitan kembali "Indonesia Bagian Dari Desa Saya" untuk ketiga kalinya ini mengawali diskursus mengenai hal-hal lama yang masih berulang terus menerus dalam pusaran sejarah Republik. Tulisan-tulisan dalam buku ini sudah lebih dulu terbit pada tahun 1983. Kebanyakan ditulis pada dekade 70-an. Pada dekade tersebut, Emha Ainun Nadjib sudah melakukan sebuah lompatan pemikiran yang jauh ke depan. Sumber pemikiran tersebut berasal dari dikotomi dan analogi desa-kota.

Buku ini terbagi dalam 3 bagian utama. Desa Saya, Hipokrisi, dan Sang Sufi. Esai soal perubahan desa yang 'sengaja dikotakan' adalah proses utama yang menjiwai seluruh isi buku ini. Perubahan pola masyarakat desa dengan segala kesederhanaannya menjadi kian kompleks kala nilai-nilai modernitas dari kota mulai masuk satu per satu dalam sendi kehidupan masyarakatnya.

Emha merindukan desa sebagai sosok yang mengandung nilai keindonesiaan yang utuh. Sehingga tak berlebihan rasanya bila Indonesia sebagai sebuah entitas besar hanya menjadi bagian dari sebuah desa yang notabene kecil. Demografi masyarakat Indonesia yang sebagian besar tersebar di pedesaan kiranya menjadi faktor utama mengapa Emha menaruh perhatian pada segenap perubahan yang terjadi akibat relasional desa dengan kota.

Melalui hal itu pula, Emha dapat melakukan tafsiran lebih jauh tentang bagaimana kecenderungan di masa mendatang. Pemikiran reflektif Emha Ainun Nadjib tentang bagaimana desa membentuk dirinya sendiri dengan pengaruh sedemikian rupa dari kota adalah satu dialog tersendiri dengan realitas sekarang, yang sedang kita jalani. Bahkan, dengan segala kemungkinan masa mendatang.
Profile Image for Fajribudi Nugroho.
13 reviews3 followers
September 16, 2010
yg kuingat, tulisan pertama tentang "pisyi" atau televisi masuk desa... menggelitik...
Profile Image for Muhammad Amin.
27 reviews
March 5, 2020
Pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang negeri ini pada era 1970an telah menampakkan bagaimana membaca Indonesia sebagai bagian integral dari seorang warga. Ada kritik sekaligus solusi yang dipaparkan. Bahasanya tinggi. Peelu membaca beberapa kali agar lebih paham apa yang dimau. Ala kulli hal, buku ini perlu dibaca bagi masyarakat Indonesia yang masih mau memikirkan dan hendak memberi sumbangsih dalam bentuk opini maupun tindakan nyata.
Profile Image for Bagus.
21 reviews
September 11, 2017
Merupakan sebuah buku yang mengingatkan kita arti dari kebudayaan desa di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Kita juga dibawa oleh Cak Nun menjelajahi makna pemikirannya yang dalam tentang muasal berlakunya beberapa kebudayaan yang sepertinya terlihat aneh, 'edan'. Layak untuk dibaca apalagi untuk mahasiswa.
Profile Image for Djuwari Ulul Absor.
5 reviews
October 15, 2019
Salah satu bukunya Simbah yang sampai hari ini mudah-mudahan menjadi lelaku dalam kehidupan saya sehari-hari. Bahkan ketika kembali diwaca pasti menemukan sesuatu yang beda dan itu bakal direfleksikan di sehari-hari pun juga berbeda.
2 reviews
May 2, 2020
Mengisahkan kehidupan politik dari sudut pandang manusia awam
Profile Image for Franditya.
32 reviews5 followers
Read
January 3, 2015
Tulisan brilian. Cak Nun nampaknya berupaya keras mencerna konsepsi Indonesia sbg bagian dari entitasnya, santri. Tak hanya nalar jernih nan kritis yang dibutuhkan menyelami nilai-nilai nusantara, Indonesia, namun kebijaksanaan yang mesti menuntun sehingga tercipta sila ke-5 yg mungkin seharusnya menjadi nomor satu: keadilan sosial.
Profile Image for Pandu Aji Wirawan.
20 reviews55 followers
February 22, 2015
Enggak salah kalau buku ini terbit lagi. Isinya masih relevan dengan jaman ini. Asal muasal perubahan budaya. Penerapan contoh riil di kehidupan masyarakat sehari-hari bukan hanya pengandai andaian


Enggak rugi beli dan baca lebih dari sekali

Salam
http://www.panduaji.net
Profile Image for Emiria Letfiani.
18 reviews1 follower
January 16, 2016
i give 5 stars for this amazing book.
suka banget dengan pemikiran cak nun
saya tidak ingin menganggapny liberal akan tetapi pemikiran dan tindakan beliau memang selayakny seorang manusia yg memanusiakan manusia lainnya dan memang begitu seharusny.
Profile Image for Aldila.
48 reviews
April 3, 2015
kita belum siap dimasuki banyak hal oleh globalisasi.. dan itu dibahas dalam buku ini (yang ditulis tahun 70an). ketidaksiapan itu berlangsung sampai hari ini. semoga hari ini adalah puncaknya.
Profile Image for Fazrin Khairulsaleh.
83 reviews64 followers
April 17, 2016
Salah satu konsepsi terpenting Emha tentang Indonesia. Dari buku-buku Emha yang saya baca, ini yang paling serius pembawaanya
Profile Image for Mochammad Taufik.
60 reviews2 followers
January 5, 2016
Cak Nun mengajak kita merenung tentang Ke-Indonesiaan kita, tentang ke-desaan kita dan juga yang tak kalah penting adalah ke-manusiaan kita.
Profile Image for Andri.
137 reviews
October 11, 2008
Buku ini mengesankan. Emha di pertengahan tahun 80'an.
Displaying 1 - 20 of 20 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.