What do you think?
Rate this book


300 pages, Paperback
First published July 31, 2012
❝Tidurlah yang nyenyak... mimpikan aku sedang menonton drama di sebuah mall bersama seseorang yang sangat istimewa, yang menyukai salju dan dongeng yang indah.❞
Lame.
Melihat besarnya apresiasi pembaca, terutama di GR terhadap novel ini, wajar kalau ekspektasi saya demikian tinggi terhadap novel ini, terlebih lagi saya sangat menyukai Evergeen karya pengarang yang sama. Tapi ternyata, harapan tinggalah harapan, lagi-lagi sepertinya saya nggak satu selera dengan mayoritas pembaca di GR.
To be honest, cara penceritaan, materi cerita yaitu berbagai pengetahuan tentang seni, musik klasik dan kota Paris yang diusung oleh novel ini sebenarnya sangat menarik. Tapi, ceritanya sendiri sangat dangkal, mudah ditebak, dan klise, kecuali untuk bagian epilog-nya yang tidak bisa dibilang epilog karena puanjang buanget dan menurut saya agak boring karena too much detail and information. Informasi dan pengetahuan dalam suatu novel memang penting, tapi ceritanya juga nggak kalah penting, percuma juga kalo informasi yang ditampiilkan demikian wah dan wow tapi ceritanya cetek. Terus terang, buanyak banget halaman yang saya skip baca, karena ya itu tadi, terlalu banyak informasi dengan penceritaan yang berputar-putar. Sampai halaman mau habis saya masih saja bertanya-tanya dalam hati, ini sebenarnya konfliknya apaan sih?
Terus satu lagi, tentang karakternya. Si Florence ini dangkal dan geer an banget ya orangnya. Masa baru beberapa jam kenal sama cowok, udah ngerasa aja nggak ada orang lain yang bakalan bisa bikin itu cowok ketawa kecuali dirinya, dan cowok itu nggak bakalan bisa bahagia kalo nggak sama dia (hal 90). HAISSSSHH, situ okee, Jeng?? Selain itu, dia kan sudah dewasa ya, dia ini guru lagi. Masa iya nggak bisa ngomong apa yang dia inginkan terus terang ke orang tuanya kalau dia menolak dijodohkan. Padahal orang tuanya diceritakan bukan ortu yang diktator lho, baik banget malah. Eh, si mbak malah milih melarikan diri dari kencan buta yang diatur oleh ortunya. Baru kencan buta, lhoo, belum pertunangan atau apa. KENCAN BUTA DOANG (diulang dan di capslock biar drama dikit). Mungkin dia takut begitu dia datang ke kencan buta itu, si cowok udah siap dengan penghulu dan kuade (hmmm, di Paris ada kuade gag ya?), kalau benar itu yang terjadi, bolehlah dia pake acara kabur segala, instead of, dunno ya, ngomong baik-baik ke si cowok kalau dia sama sekali nggak tertarik, mungkin? Selain itu, dia lebay banget menggambarkan akibat yang akan terjadi seandainya dia berhasil 'ditangkap' oleh Celine temannya, bahwa dia akan diseret pulang kerumah oleh temannya itu. Well, HALOOOO??? Dia ini (sekali lagi) sudah dewasa, kan ya? Bukan bayi atau batita yang nggak bisa mengutarakan keinginannya, yang nggak bisa melawan atau menolak seandainya dia benar-benar diseret pulang oleh siapapun?? Apa bener pemikiran demikian ini dimiliki oleh seorang guru? Saya pasti langsung memindahkan anak saya ke tempat lain kalau tahu gurunya seperti ini. Serius.
Sementara untuk tokoh Vinter dan yang lainnya, saya malas berkomentar. Buat saya mereka cuma terlihat dua dimensional, sama sekali nggak terdengar nyata. Vinter terlalu sok misterius, Zima terlalu maksa anehnya, yang lain cuma tempelan (lhoo, katanya tadi nggak mau komentar?). Pokoknya, novel ini buat saya seperti gula-gula kapas, manis sekali, tapi sebenarnya nggak ada isinya.
Dua bintang saja untuk covernya yang keren dan informasi dan pengetahuan yang lumayan komplit.
“Kau takkan pernah bisa bahagia sebelum memaafkan, memberi kesempatan, dan menyayangi dirimu sendiri,” – halaman 277