What do you think?
Rate this book


340 pages, Paperback
First published August 1, 2012
"Hidup mah dinikmatin ajah. Banyak-banyak berbuat baik, jadi pas mati juga insya Allah dalam keadaan baik. Lagian, kalo hidup malah fokus mikirin mati terus, bisa jadi yang mati duluan malah orang-orang di sekitar kita, kan? Jadi mending perhatiin mereka yang sayang kamu." -Ramalan Dari Desa Emas-
"Hidup tak tertebak. Seperti permainan gundu dan dadu. Terkadang, aku takut itu... Bahkan ketika kita merasa segala sesuatu telah ada di genggaman, kondisi bisa berbalik." -Bukan Cerita Cinta-
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter nggak keruan hanya karena si penulis kepingin aja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."
source
Akhirnyaaaaa selesai juga baca ini novel. *elap keringet*
Lamanya saya menyelesaikan membaca novel ini bukan dikarenakan novelnya terlalu berat atau kurang menarik, tapi lebih karena belakangan ini saya sibuuuuk sekali membabu ria dan menjadi ibu rumah tangga sejati (sebelumnya tidak terlalu sejati, karena kerjaan rumah ada yang ngerjain), sehingga harus relalah ini novel gagasduet kesekian yang saya punya untuk ditunda-tunda penyelesainnya.
Sebagaimana novel gagasduet yang lainnya, novel ini punya satu tema untuk dua cerita yang ada di dalamnya yang ditulis pula oleh dua orang yang berbeda. Kebetulan sekali saya belum pernah membaca karya kedua novelis itu yang sebelumnya, Valiant Budi dan Windy Ariestanty, sehingga saya tidak punya ekspektasi apa-apa saat mulai membaca novel ini, kecuali penasaran melihat beberapa reviewnya di GR yang cukup menarik.
Jadi, tema dari novel ini adalah waktu, dengan tagline yang cukup quotable, yaitu "Hanya waktu yang tak pernah terlambat". Cerita pertama dari Valiant Budi atau yang terkenalnya dengan nama Vabyo, adalah cerita berjudul 'Ramalan dari Desa Emas', mengisahkan tentang keinginan sederhana seorang Keni merayakan ulangtahunnya yang ke delapan belas dengan menyepi di sebuah desa terpencil namun indah, Sawarna. Tak disangka, keinginan tak muluk-muluknya itu berubah menjadi bencana saat ia kemudian bertemu dengan seorang bocah yang meramalkan bahwa dia akan meninggal sebelum usianya mencapai 18 tahun, dan dimulailah petualangannya bermain petak umpet dengan maut yang seoalah-olah selalu siap sedia mengintainya kemanapun dia pergi yang ditandai dengan berbagai kecelakaan maut yang menimpa orang-orang terdekatnya.
Cerita yang pertama ini saya suka gaya penceritaannya yang kocak dan lucu dengan cara yang agak sinis dan cuek, bahkan saat sampai pada bagian tentang kecelakaan-kecelakaan maut ala Final Destination pun penulisnya masih sempat menyelipkan humor-humor sinisnya, sehingga saya tidak merasa merinding membacanya, hal yang pasti terjadi seandainya gaya penceritaannya tidak seperti itu. Endingnya juga sama sekali tidak tertebak, unik dan mengejutkan. Hanya saja bagi yang tidak biasa dengan cerita dengan banyak twist seperti dalam novel ini, kemungkinan akan menganggapnya aneh dan geje, alias gag jelas.
Cerita kedua adalah 'Bukan Cerita Cinta' karya Windy Ariestanty. Lagi, saya juga tidak berekspektasi apa-apa karena belum pernah membaca novelnya. Dan ternyata, yah... karyanya adalah yang semacam itu. Tahulah, jenis tulisan dengan kata-kata baku sesuai kamus cenderung bersifat formal, belum lagi kata-kata puitis yang demikian indah dibaca dan didengar. Bukannya saya tidak suka dengan gaya penulisan semacam ini, kadang saya juga berkeinginan bisa menghasilkan tulisan 'kelas atas' seperti itu, yang saya yakin sekali perlu perbendaharaan kata yang amat sangat luas serta pengalaman yang tidak sedikit. Hanya saja membaca tulisan semacam ini memerlukan timing dan mood yang tepat, sehingga saat membacanya tidak merasa jenuh dan merasa tulisan ini bertele-tele serta tidak jelas juntrungnya. Untungnya saya sedang dalam mood yang cukup baik saat membacanya, sehingga yah, saya cukup menikmatinya, walaupun bukan jenis tulisan yang akan saya pilih pada pilihan pertama.
Jadi cerita kedua ini pada intinya menceritakan tentang hubungan segitiga antara seorang penulis perempuan bernama Akshara, editornya yang bernama Bumi, serta teman Akshara yang bernama Koma (untuk info saja, Koma ini perempuan. Ide ceritanya sebenarnya sederhana, tetapi dengan gaya bahasa yang mendayu-dayu dan puitis serta indah dibaca, membuat cerita ini sangat good reading. Memang tidak easy reading, tapi cukup layak untuk dinikmati.
Sebenarnya, saya memberi rating 3.5 untuk novel ini, tapi karena di GR tidak ada nilai setengah, maka saya bulatkan ke atas menjadi 4 bintang. Recommended, but not highly.