Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kāla Kālī

Rate this book
Gegas dan waktu tak pernah bisa berbagi ruang, apalagi, berbagi cerita. maka, saling mencarilah mereka, berusaha menggenapi satu sama lain. hingga satu titik, kāla menjadi mula dan kālī mengakhiri cerita.

***

Aku merasa kembali menjadi balita, mengentak-entakkan kaki ke lantai sambil bertepuk-tepuk tangan gembira. Tidak ingin membuang-buang waktu, aku segera meniup lilin sambil berharap dalam hati akan ada lilin serupa untuk tahun depan, di atas sepotong kue yang dibawakan Ibu. AMIN!

Berbagai potongan kenangan dengan Ibu berkelebatan hebat di benakku. Aku mungkin berbeda dengan remaja lainnya yang kala mengingat masa kecil selalu dengan tawa dan kebersamaan yang hangat; seperti yang kulihat di lembaran iklan-iklan susu balita atau es krim literan itu.

Dan, setiap kenangan itu hadir, ingin rasanya membalikkan langkah.
(Ramalan dari Desa Emas, Valiant Budi)

—-

Setiap kali berulang tahun, aku semakin mendekati tempat asalku: ketiadaan. Ibuku bilang, dunia ini sendiri pun lahir dari ketiadaan. Karena lahir dari ketiadaan, mengapa pula harus mencemaskan kehilangan?

Ketiadaan itu meluaskan, kata Ibu, dan mempertemukan manusia dengan banyak hal, di antaranya cinta. ‘Aku berharap bisa melindungimu dari patah hati. Tapi, itu tak mungkin.’
(Bukan Cerita Cinta, Windy Ariestanty)

***

Kāla Kālī: Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat adalah Gagas Duet, novella dari dua penulis kenamaan GagasMedia, Windy Ariestanty dan Valiant Budi. Keduanya mempersembahkan sebuah cerita yang bermain-main sekaligus memberi ruang pada waktu.

340 pages, Paperback

First published August 1, 2012

8 people are currently reading
143 people want to read

About the author

Valiant Budi

15 books192 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
52 (12%)
4 stars
122 (28%)
3 stars
177 (41%)
2 stars
58 (13%)
1 star
13 (3%)
Displaying 1 - 30 of 86 reviews
Profile Image for Primadonna.
Author 50 books374 followers
September 29, 2012
Sebenarnya, judulnya agak mengelabui. Dengan judul begini aku terbayang sesuatu yang bombastis, apalagi dengan "Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat" aku sudah mengangankan cerita futuristik fantasi dengan elemen waktu yang menguasai.

Tidak begitu. Tapi akan kubahas nanti.

Kover, sekilas kelihatan megah dan mewah. Tapi aku sebal dengan elemen pemanis yang menutup bagian depan kover, itu sangat menyulitkanku untuk membaca. Berkali-kali harus kusingkirkan agar tidak menghalangi pandanganku ke arah buku.

Kemudian, ke bagian isi.

Cerita Valiant Budi, 3 dari 5 bintang. Penuturannya jenaka, terlalu jenaka, dan ini bisa menjadi masalah. Entah kenapa "suaranya" bagiku terdengar sebagai laki2 dan bukannya perempuan. Sebagai pembaca, aku bingung harus merasakan emosi seperti apa. Ada adegan yang harusnya menegangkan, saat Keni dikejar-kejar. Tapi kemudian ada adegan banyolan pula, terlalu banyak, yang mengacaukan emosiku. Harusnya tertawa kok tidak pantas, karena terlalu banyak kejutan di setiap halaman. Barangkali di masa yang akan datang lebih baik kalau kejutannya dikurangi, rasanya lebih mendebarkan kalau ada suspense yang dibangun, baru... boom! Kejutan.

Cerita Windy Ariestanty, 1 dari 5 bintang. Bukan seleraku mungkin ya. Sebagai pembaca aku memutar mata saja karena seolah penutur dalam cerita ini ingin pamer kemampuannya. Nih, aku bahas Elizabeth Barrett Browning. Sudah terkesan belum? Kalau belum, nih Anna Karenina. Tolstoy. Daido Moriyama. Lalu penggunaan kata Indonesia yang baku. Mungkin karena karakter utamanya editor, tapi menurutku dalam buku ini terlalu banyak informasi melantur yang membuatku kepayahan berpikir, ini cerita mau dibawa ke mana ya? Seolah semuanya datar, datar, hei, ada informasi menarik secara acak mengenai entah dunia sastra, fotografi, penyuntingan, bulan madu petani di Ubud, datar, datar.

Yang paling mengesalkan bagiku adalah, kenapa pula mesti menggunakan bahasa Inggris kalau penulisannya salah? Padahal kalau dalam bahasa Indonesia pun tidak masalah. Pun, yang salah itu adalah lirik penyanyi berinisial AS. Okelah mungkin dari sananya lirik itu sudah salah tata bahasa Inggrisnya. Tapi masa sih, Bumi sebagai salah satu protagonis yang editor tidak tergerak untuk memperbaiki kesalahan ini?


If I could bottled the smell of the wet land after the rain
I'd make it perfume and send it to your house
If one in a million stars suddenly will hit satellite
I'll pick some pieces, they'll be in your way


Lalu, an ebullience photographer? Ebullient photographer lebih tepat. Bisa juga, a photographer with ebullience karena ebullience adalah kata benda. Sekali lagi, aneh bahwa karakter Bumi yang editor bisa membuat kesalahan seperti ini.

Secara keseluruhan, barangkali aku berharap terlalu banyak, ya. Dan mengenai judul? Hmm, yang dimaksud dengan "waktu" barangkali adalah ada adegan berulang tahun dalam kedua cerita.

Jadi, yah, dua bintang, dariku.
Profile Image for Farah.
174 reviews36 followers
October 1, 2012
Terima kasih peri kecil karena sudah repot-repot bawain buku ini pas siaran bareng ngebahas Biografi dan Otobiografi di RPK bulan lalu :)

Sempet penasaran banget sama buku ini karena pada suatu saat, timeline gue dibanjiri oleh kutipan-kutipan yang diambil langsung dari sini. Ya wajar sih, emang itu resiko kalo follow penulisnya. Ngga kapok-kapok ya Fawwah, kemakan ama promo si penulis di timelinenya dia hakhakhak..
Kalo gue follow akunnya YKD juga jangan-jangan nanti gue ngebeli bukunya dia, terus ga lama misuh juga ujung-ujungnya di review.

Gue masih ngga ngerti sama "Hanya waktu yang tak pernah terlambat.." disini.

"Hanya Fawwah yang otaknya lambat memproses semua yang dia baca.." iya sih itu benar. Agak lama loh nyelesain buku ini. Baru selesai 2 hari lalu masaaaa... dimulai dari tanggal 15 September. Demi apa coba?

Yang gue pahami, adalah konsep waktu yang berbeda di dua cerita. Cepat, dan lambat. Waktu itu manipulatif. Eh tunggu, otak kita yang memanipulasi konsep waktu kah? Sama-sama melalui 24 jam perhari, tapi kenapa satu hari bisa terasa jauh lebih lambat dari hari-hari lainnya?

Lalu apa yang bikin waktu tidak pernah terlambat di kedua cerita di buku ini?
Bahwa si tokoh di cerita pertama salah mengenali waktu? Dia kecepetan ngitung umur. Terlalu excited untuk dewasa sepertinya. Karena mau ulang taun ke-17 aja sok-sokan galau mau ngerayain sendirian. Idih anak jaman sekarang. Susunya apa si waktu kecil?

Lalu kenapa waktu tidak juga terlambat di cerita kedua? Karena cinta ternyata belum menemukan tambatannya? Karena janur kuning belum melengkung? Karena ijab belum disahkan? Karena gedung belom di dp? Apa sih sebenernya?

Ah. Bahas gaya penulisan aja.
Nah kalo dari gaya bahasa sendiri, yang satu terlalu berlebihan, yang satu terlalu rumit.
Tapi kalau disuruh milih sih, mendingan gaya tulisannya Windy ya. Minimal gue menantang diri sendiri untuk berusaha memahami yang rumit-rumit, biar otak ngga karatan-karatan amat sih.

Gaya bahasanya Vabyo terlalu mentah menurut gue. Berasa baca tulisan-tulisan gue di blog tahun 2005. Waktu lagi excited banget punya blog sampe-sampe semua kegiatan sehari-hari juga diceritain. Urusan penting atau engga ya itu sih belakangan. Yang penting postingan nambah. Dan harus lucu. Supaya ada yang mau baca. Mau lebay ya ga masalah. Yang penting ada yang komen.

Mungkin terlalu menghayati peran anak-anak yang excited antara mau ulang tahun sweet 17 kemudian abis itu mati. Eh? Atau gimana sebenernya ya?

Tapi yang gue suka di buku ini adalah bentuk sampulnya yang berlidah. Ngga perlu repot-repot pake pembatas buku, yes? Tinggal sempilin aja itu lidah sampul ke halaman yang lagi di baca. Beres deh.

Yaudah, 1 bintang buat lidah sampul bukunya. 1 bintang lagi buat covernya yang warna item itu. Bagus :)
Profile Image for Mitha Anggraeni.
1 review
October 6, 2012
Saya kecewa baca salah satu novel di duet gagas ini. Lalu kalo kecewa kenapa saya kasih bintang 4?
Saya mengenal Valiant Budi dari suami saya yang tiba2 mendadak senang baca buku, Kedai 1001 Mimpi judulnya. Saya tentu penasaran jenis tulisan seperti apa yang bisa membuat suami saya tergila-gila sebuah buku. Ternyata memang sangat mengesankan. Saya lalu jadi mencari buku Valiant yang lain.
Baca Joker dan Bintang Bunting, membuat saya terbelalak. Ternyata Valiant bukan tipe penulis yang gemar menekuni 1 genre. Mungkin ini pulalah yang membuat gagasmedia memasangkan Valiant dengan Windy yang mana saya tau karyanya juga lintas genre, tidak hanya bergaya monoton, juara di buku nonfiksi maupun buku novel.
Ketika gagas mengumumkan duet Valiant dan Windy dalam kala kali, saya sungguh berkecamuk membayangkan isi, apakah akan semenggelegar Kedai 1001 Mimpi? Sedalam Life Traveler? Semengejutkan Joker? Serumit Bintang Bunting?
Iya betul, saya terkejut membaca bagian novel Valiant; Ramalan Dari Desa Emas, pemilihan setting Desa Sawarna, adegan teror buntut dari ramalan, sampai melibatkan tokoh penyanyi legendaris Indonesia yang ternyata memberikan kejutan besar.
Tapi saya kecewa dengan gaya Valiant yang mendadak ABG ganggu dan pemikiran-pemikiran aneh yang menurut saya jomplang sekali dengan Joker atau Bintang Bunting yang nakal dan dewasa. Saya sengaja tidak membandingkan Kala Kali dengan Kedai 1001 Mimpi karena berbeda genre.
Saya masih dongkol sampai saya bertemu dengan Farah, kemenakan saya yang masih SMA. Farah dengan antusias nanya saya"tante udah baca Kala Kali? Keni itu aku banget ya cara mikirnya? akhirnya ada buku vabyo windy (akun twitter valiant) yang aku bisa nikmatin!"
Saya terdiam. Valiant sekali lagi berhasil memberikan kejutan. Ia berhasil menjadi Keni, karakter fiktif yang ia ciptakan di Ramalan Dari Desa Emas. Iya, saya tidak menyukai Keni yang ABG sok asik sok dewasa itu karena Keni bukan Valiant.
Saya yakin akan ada pembaca lain yang akan kecewa dengan perangai dan sifat "Keni" karena ternyata kita terlalu menginginkan tokoh Valiant sebagai narator. (di novel ini Valiant memakai pov 1 bukan narator seperti Joker dan Bintang Bunting).
Untuk Bukan Cerita Cinta, saya menikmati gaya Windy yang pelan-pelan asal kelakon, seperti mengikuti alur sungai tenang setelah saya dibombardir oelh cerita Valiant. Hanya saya ada beberapa bagian yang saya rasa tempelan, seperti ingin pamer ilmu.

Kesimpulan, buku ini khususnya Ramalan Dari Desa Emas sepertinya bukan buku untuk saya, tapi untuk Farah-Farah lainnya yang merasa terwakili oleh karakter Keni dan Akshara.
Karena itu saya memberikan 4 bintang untuk kejutan dan kepiawaian Valiant dan Windy!

Profile Image for Dewi.
177 reviews67 followers
October 5, 2012
Selama ini, saya gak pernah tertarik beli Gagas Duet. Karena (menurut info), Gagas Duet tuh bukannya 2 penulis berkolaborasi bikin 1 cerita yang sama. Tapi masing-masing penulis membuat 1 cerita dan kedua cerita itu tidak berhubungan.
Lha? Buat apa bikin duet kalo gitu? Kebayang deh, pasti ceritanya bakal pendek, mirip cerpen tapi panjangan dikiiit (ini ambigu banget sih bahasanya XD). Intinya: gak minat beli.

Tapi niat teguh itu pun goyah saat tahu Vabyo terlibat dalam proyek duet. Mau gak beli, kok ya penasaran pengen baca. Lagian udah tanggung koleksi buku yang bersangkutan. Akhirnya nekat deh ikut beli. (PS : Ini kenapa preludenya panjang ya?)

Sewaktu pertama liat bukunya, ada dialog gini sama diri sendiri : "Yiha...beneran keren nih cover. Sekeren di gambar." #MenurutNgana
Tapi kegirangan itu langsung menguap begitu sadar covernya dipakein lidah ato elemen tambahan ato apalah itu yang bikin jadi susah disampul. Asli repot buanget nyampulin itu buku.

Okeh...mari masuk ke isi buku.
"Hidup mah dinikmatin ajah. Banyak-banyak berbuat baik, jadi pas mati juga insya Allah dalam keadaan baik. Lagian, kalo hidup malah fokus mikirin mati terus, bisa jadi yang mati duluan malah orang-orang di sekitar kita, kan? Jadi mending perhatiin mereka yang sayang kamu." -Ramalan Dari Desa Emas-

Kisah pertama berjudul Ramalan Dari Desa Emas buah karya Vabyo, berkisah tentang Keni Arladi yang akan berusia 18 tahun. Keni ini tipe anti mainstream rupanya. Jadi bukannya ngerayain ultah bareng temannya ato keluarganya, ato bikin video trus unggah di youtube, ato apalah pokoknya, Keni memilih 'tuk menyepi di Desa Sawarna.

Awalnya rencana itu tampak mulus, sampai Keni bertemu bocah jago ramal yang (pastinya) meramalkan dia akan meninggal sebelum usianya 18 tahun. Keni sih berusaha untuk cuek, tapi setelah melihat betapa kesialan (dibarengi maut) selalu mengintai pasca diramal, dia pun terpengaruh. Dan dimulailah usaha pelarian diri Keni yang rada mirip Final Destination. Tentu semua itu diceritakan dari sudut pandang Keni yang cuek, rada sinis dan tengil.

Ceritanya enak dibaca sebenernya, mengalir dan pace-nya cepat. Endingnya juga seru dan gak ketebak.
Biar pun karakter Keni cuek gitu, tapi gak nyebelin untuk dibaca karena Vabyo membalutnya dengan humor kenes-namun-kadang-garing ala Vabyo.

Bagian mengganggu dari cerita ini adalah gaya bahasanya yang setipe banget dengan gaya bahasa Kedai 1001 Mimpi (yang juga berarti gaya bahasa Vabyo di twitter dan blog). Rasanya seperti Vabyo sendiri yang bercerita dan bukannya Keni.
Ada pikiran gini selama membaca :
"Oh si Vabyo sekarang jiper sendiri gegara dia kesasar di hutan. Eh? Apa? Siapa yang kesasar? Oh Keni toh, bukan Vabyo. Ah tapi masa sih? Vabyo itu mah. Liat dong gaya bahasanya yang berima, itu kan gaya Vabyo."
"Hah? Apa katanya? Keni cewek? Ah now I'm sure you're lying."

Iya...saya gagal membayangkan Keni sebagai cewek. Gaya bahasa, berpikir, dan sebagainya si Keni tidak membuat saya nangkep aura ceweknya.
Apa karena si Keni tomboy? Atau lebih tepatnya : apa begini gaya pikir remaja cewek tomboy 18 tahun jaman sekarang? Mungkin. Toh saya memang gak tahu apa-apa tentang itu.

Ato memang Vabyo yang gak mampu menciptakan karakter cewek dan mendalaminya?
Bukan ah. Di Bintang Bunting dia berhasil. Di Joker sekalipun, karakter Aulia masih berasa girly-nya (walopun rada nyaru).
Apa karena gaya penulisan Vabyo sudah berubah? Ada jeda 4 tahun antara Bintang Bunting dan novel ini, dan sangat wajar kalo gaya penulisan seseorang berubah.
Yah mungkin saja.

Tapi ini bikin saya jadi penasaran buat baca karya Vabyo selanjutnya. Jadiii...ayo kita tunggu MENUJUH \(^o^)/.
PS : Saya udah PO tuh buku lho (iyaaa...emang ini pamer kok ;p)

Sementara itu, 3 bintang untuk Ramalan Desa Emas-nya Vabyo.
"Hidup tak tertebak. Seperti permainan gundu dan dadu. Terkadang, aku takut itu... Bahkan ketika kita merasa segala sesuatu telah ada di genggaman, kondisi bisa berbalik." -Bukan Cerita Cinta-

Di bagian ke-2 ada "Bukan Cerita Cinta" dari Windy Ariestanty.
Bertutur tentang seorang Bumi yang editor, yang memandang hidup secara filosofis juga persahabatannya dengan Akshara, seorang penulis impulsif dan sedang jatuh cinta dengan Bima.

Bumi yakin kalo Akshara tidak sungguhan mencintai Bima. Sementara Akshara berkeras sebaliknya. Hingga dibuatlah taruhan yang berpuncak pada ulang tahun Akshara. Pada hari H akan dilihat, apakah Akshara masih bersama dengan Bima. Sebaliknya, Akshara ingin Bumi datang ke ulang tahunnya bersama pacar baru.
Kehadiran teman Akshara yang bernama Koma seperti datang tepat pada waktunya. Perempuan tanda baca itu berhasil memikat Bumi dengan tawanya.

Lalu kisah pun mengalir dari penuturan Bumi tentang Akshara, tentang Koma. Pendapat Bumi tentang mereka berdua, tentang filosofi cinta dan diskusi-diskusi kaya makna antara ketiga tokoh tersebut.

Kebalikan dengan cerita Vabyo yang pace-nya cepat, cerita milik Windy ini justru terasa lamban. Sangaaaaatttt lamban.

Inti cerita sebenarnya sependek yang saya jabarkan di atas, tapi Windy memperpanjang cerita dengan berbagai penuturan yang gak penting.
Kadang-kadang pengarang sering mengajak pembacanya muter-muter nggak keruan hanya karena si penulis kepingin aja memasukkan jalinan peristiwa atau dialog yang kalau ditanya kenapa dia melakukannya, jawabannya adalah, "Because I like it."
source

Saya menangkap kesan yang sama dari cerita ini, semacam : "Nih biar loe nangkep cinta itu kayak apa, gw ceritain tentang Elizabeth Barrett Browning. Nih Anna Karenina. Masih kurang? Ini nih sekalian kisah si Cupid & Psyche. Oh iya, gw bahas Daido juga deh."
Apa Windhy kehabisan ide mo dibawa kemana ini cerita hingga dimasukkan lah bagian ini? Nggak mungkin rasanya ah.

Selama membaca semua filler itu, saya nanya sendiri : "Ini buku konfliknya apa sih? Klimaksnya dimana?"
Dan sampe akhir, saya gagal nemu klimaksnya. Semua datar, flat.
Okeh, saya nangkap kok adegan mana yang dimaksudkan jadi klimaks, tapi buat saya itu pun sama datarnya dengan adegan sebelum dan setelah itu.

Dan saya juga merasa gak sreg dengan tokoh-tokohnya. Karakterisasi mereka kurang kuat untuk saya. Cuma Komang yang menarik dengan bubbly personality-nya.
Akshara? Datar.
Bumi? Sama datarnya.
Bima? Datar juga (ya walo si Bima emang jarang muncul sih).

Terus, klo di cerita Vabyo saya gagal membayangkan Keni sebagai wanita, di "Bukan Cerita Cinta" saya susah membayangkan Bumi sebagai pria. Susah namun bukan berarti gak bisa.
Ada saat tertentu sisi pria Bumi kelihatan. Tapi most of the time, saya dapat kesan yang sama dengan Farah : si Bumi ini cewek androgyny yang naksir sama si Akshara. X))

Untunglah, cerita Windy ketolong dengan untaian kalimat yang puitis dan penuh makna. Membaca cerita Windy memang gak bisa skimming supaya dapat meresapi makna kalimatnya. Dan sungguh, gaya bahasa inilah yang bikin saya bertahan menyelesaikan Kala Kali. Walo pun dengan rasa jenuh dan sakit kepala yang kerap datang setelah baca 4-5 lembar. (hehehe).
Yap, saya menikmati dibikin sakit kepala sama Windy. Rada masokis emang XP (ps : mudah-mudahan gak ada anggota 50United yang baca ini)

Saya belum pernah baca satu pun karya Windy (kecuali The Journeys) walo udah menimbun ketiga bukunya di rak saya . Saya tahu, dari review rekan-rekan, Life's Traveller punya gaya bahasa yang puitis dan filosofis juga. Dan kemungkinan, bisa bikin saya dapat sakit kepala yang nikmat lagi. (halah!)

Tapi saya kok malah jadi penasaran sama Shit Happens ya. Pengen tahu aja apa memang Windy selalu menulis dengan gaya seperti ini, meskipun dalam novel remaja.
Hmmm...*menatap Shit Happens yang masih terbungkus rapi selama sekian tahun*
Yeah! Let's take a look later. \(^o^)/ (ps : much later I mean)

Dan saya juga gagal paham dengan tagline : Hanya waktu yang tak pernah terlambat.
Bisa gak sih Gagas berhenti bikin tagline dan-atau blurb yang emang puitis, keren tapi menyesatkan dan maknanya gak masuk ke cerita?

Kesimpulannya: 2 bintang untuk Bukan Cerita Cinta dan 3 bintang untuk Ramalan Dari Desa Emas.
Totalnya 2,5 bintang.


PS : Yang ini sih unek-unek saya untuk Mbak Windy. Gak penting-penting amat untuk dibaca oleh yang lain, but I hope someday Windy would read this. Buat yang lain, better read it only if you can stand my lebayness (apa pun arti kata itu) X)



PS: review ditulis dalam keadaan kepala sakit gegara lagi cacar. Maap kalo ada bahasa yang ngaco, typo, melantur ato apapun lah. Bakal dibenerin besok-besok (klo mood).
Profile Image for Rose Gold Unicorn.
Author 1 book143 followers
September 7, 2012
Buku ini adalah salah satu hasil proyek Gagas Duet. Well, apakah Gagas Duet itu? Saya pikir sih tadinya semacam buku yang ditulis secara estafet. Tapi ternyata bukan. Ini adalah buku dengan 2 penulis berbeda dan 2 cerita berbeda. Aduh, pengen ngomong ke penerbit gini deh rasanya, “Ya kalo gitu ini bukan duet dong??? Medley gituh!” Errr…

Tentang penulisnya, saya hanya sekedar tahu bahwa Valiant dan Windy adalah penulis. Penulis yang seperti apa? Jujur, saya belum tahu. Kala Kali ini adalah buku pertama mereka yang saya baca. Dan yah, jujur (lagi) ekspektasi saya soal kedua penulis ini lumayan tinggi. Tapi, apa yang saya dapat? Saya hanya memberi rate 2/5 . Emmm… apa yah, menurut saya cerita yang ditulis tuh kering banget. Datar. Sorry, but this is what I feel when I’m reading this book.

Mengenai Kala Kali itu sendiri, seperti yang saya baca di blog pribadinya Mbak Windy, adalah sbb :

Quote:
“Kālī yang merupakan salah satu dewi dalam kepercayaan Hindu ini berasal dari Kāla—nama panggilan Shiva, Dewa Kematian. Kāla sendiri juga bisa berarti waktu yang abadi atau gelap. Karena Shiva yang dipanggil Kāla adalah sisi maskulin, maka Kāli—yang merupakan sisi feminin—juga merupakan entitas dari ‘waktu’, ‘sesuatu yang melampaui waktu’, dan ‘kematian.’ Selain itu Kāli juga dianggap sebagai dewi dari perubahan.”

Menjurus dari penjelasan di atas, memang bisa disimpulkan bahwa kedua cerita dalam buku ini beda banget satu sama lain. Cerita pertama, Ramalan Dari desa Emas, menceritakan petualangan seorang gadis kocak ke Desa Sawarna. Niatnya sih mau merayakan ulang tahunnya yang ke-18 sendirian. Siapa sangka di sana ia justru mengalami suatu musibah sampai akhirnya bertemu dengan anak kecil yang jago meramal. Ia diramal akan mati sebelum umurnya mencapai 18 tahun. Weks! Itu artinya kan beberapa hari lagi. Nah, karena ramalan itu, ia akhirnya pergi meninggalkan Desa Sawarna karena ketakutan dan bukannya selamat dari kutukan, malah ramalan it uterus menghantuinya dan akhirnya membawa dia ke suatu petualangan. Hehehe. Agak mirip film Final Destination gitu deh.

Oke, membaca cerita pertama, karya Valiant, saya lumayan terhibur dengan gaya penulisan yang lucu dan berbeda. Saya akui, Valiant pandai berhumor. Sesuatu yang menyedihkan masih bisa digambarkan dengan kegembiraan. Benar-benar orisinil sih. Lho kok ada kata ‘sih’? Lha iya. Soalnya menurut saya konfliknya datar banget. Twistnya oke laaah… dapet kok… dapet! Tapiii… untuk saya, kurang. Mungkin usia setua saya jangan baca buku genre remaja gini kali yah? Hahaha…

Eitsss, yakiiin genre remaja??? Soalnya Windy menulis cerita yang 180 derajat beda sama Valiant loh. Cerita Windy benar-benar kelas tinggi. Banyak permainan kata-kata yang keren, menurut saya. Sayangnya, (lagi-lagi) selera saya gak sebagus itu untuk bisa memahami apa sih yang sebenernya Windy mau bahas. Oke, tentang persahabatan, perselingkuhan, dan tentu saja cinta. But, hey, saya bahkan skimming hampir di setiap halaman saking datarnya. Capek sendiri menunggu klimaks yang gak kunjung muncul. Isinya pelajaraaannn terus... Infoooooo terus… yah, bagus sih kita jadi nambah pengetahuan baru tapi buat saya, hal ini melelahkan…

Secara fisik, gak ada masalah. Font sesuai. Ukuran sesuai. Desain sampulnya juga keren, dan dapet banget kesan misterinya (sesuai sama isi ceritanya ada yang berbau-bau misteri) serta 3 dimensi (menurut saya loh, hehe). Sayangnya, karena 3 dimensi ini, kaver buku malah akan jadi cepet rusak. Buktinya, kaver saya udah sobek tuh. (Ah itu sih elunya aja, Sel, yang careless --__--)

Entah ya mungkin saya yang terlalu bodoh sampai gak bisa menangkap esensi dari buku ini. Yeah, who knows? Yang jelas, saya gak menikmati saja. So, cukup kali yah bintang 2/5? Saya sangat appreciate this book. But, sorry, I cant help myself to enjoy this book.
Profile Image for Nina Ardianti.
Author 10 books400 followers
September 2, 2012
Awww. Saya paling suka cerita bagian Buhpy. Seperti biasa, menghanyutkan dan bikin nagih. Kayak masa-masa saya nungguin tweet berserinya dia waktu masih di Arab Saudi.

Reviewnya menyusul ya.
Profile Image for Niratisaya.
Author 3 books45 followers
Read
October 2, 2012
2.5 Stars

Membeli buku ini, karena saya mengandalkan dua nama besar penulis di belakangnya dan juga karena alasan familiaritas. Saya pernah membaca buku keduanya dan merasa oke-oke saja dengan gaya penulisan mereka. Maksud saya, saya tidak dibuat pusing atau terlalu 'kenyang' karena sugar-coating yang ada dalam penulisan mereka. Saya suka roman, tapi kalau terlalu ber-romance yg icky-sticky-cheesy, saya juga tidak mau :D

And thus, I was okay with the two stories.

Kenapa hanya oke?
Melihat sampul buku, jujur, saya langsung dibuat takjub! Gagas memang hebat soal ini. Tapi setelah membaca, saya merasakan dua hal yang berbeda.
Cerita pertama saya dibuat seperti naik jet-coaster, larut dalam sebuah petualangan yang kencang dan mendebarkan. Tapi saking kencangnya, saya tidak tahu bagaimana saya bisa sampai di akhir cerita. Saya hanya ingat hal-hal yang membuat saya berdebar. Dibandingkan Bintang Bunting atau Joker, cerita dalam KalaKali bagian Vabyo, kurang menggigit.
Sementara bagian Windhy...saya menyukai gaya mello dalam penulisannya, namun terkadang saya merasa tersesat saat membaca. Berpadu menjadi satu dalam buku dengan cerita Vabyo, dan diletakkan sebagai cerita kedua, walhasil membuat saya sedikit pusing. Lebih karena perbedaan pace - membaca cerita Windhy terasa seperti naik andong :)) - sehingga saya tidak bisa langsung menyelesaikan bagian cerita Windhy dalam satu hari.

Dan berakhirlah petualangan saya naik jet-coaster dan andong :)
Profile Image for Dian Maya.
194 reviews12 followers
March 14, 2013
Gagas Duet kedua yang saya baca setelah Fly to the Sky.
Berbeda dengan Fly to the Sky, Kala Kali tidak relevan antara cerita yang satu dengan cerita yang lainnya.

Honestly, butuh perjuangan berat di awal-awal untuk menuntaskan novel ini karena ceritanya yang err.. gimana ya? Bukan jenis cerita yang saya suka memang, tapi bukan berarti gak bagus juga. Dunno how to say.

Cerita pertama berbeda dengan cerita kedua.
Kalo gitu, kenapa dijadikan duet?
kenapa tidak dijadikan novel yang berdiri sendiri?
tau ah, tanya saja sama Gagas Media!

Well, saya suka bagian Windy Ariestanty – Bukan Cerita Cinta.
Banyak pengetahuan didalamnya.
Serius.
Karakternya kuat, dialognya cerdas & alurnya lancar.
Selain ngasih gambaran bagaimana dunia editor, dia juga banyak ngasih pelajaran kata baku & kata tidak baku menurut KBBI. Oh iya, ini tulian Windy Ariestanty pertama yang saya baca & cukup bikin saya tahu, betapa cerdas & mandirinya dia. Pantas memang beliau jadi editor andalan :)
Profile Image for Dewi Larasati.
1 review
October 6, 2012
belum pernah baca buku om vabyo dan tante windy, dan gak nyangka ceritanya vabyo tiba2 mendadak horor dan ada forum pembela taylor swift! ngikik gw baca bagian ini soalnya gw juga benci taylor swift.
gw gak nyangka aja om vabyo yang udah berumur (eh gw gak bilang tua loh ya, peaceee!!) bisa nyamar jadi keni yang bacanya serasa temen deket gw yang lagi dikejar2 maut!
salut om vabyo! ngomong2 gw bikin novel yg kayak gini terus dong, abis katanya joker dan bintang bunting ngejelimet gitu? hehehe sorry belum sempet baca, tapi janji abis ini mau baca.
oh ya kalo bagian tante windy aku suka sama permainan kata-katanya yang nohok hati, tiba2 hanyut sama percakapan mereka lalu pingsan deh kaya keni.. hehehe.
5 bintang cukup yaaaaaaaaa!! bikin duet lagi dooong
Profile Image for Aldi Yo.
58 reviews
September 7, 2012
valiant budi, windy ariestanty!
penulis2 mestinya mikir biar bisa bikin tulisan cerdas kyk gini!
Profile Image for Ara.
11 reviews
August 26, 2023
Mungkin cukup terlambat untuk baca buku ini setelah 1 dekade berlalu. Maklum, akhir-akhir ini aku mengandalkan buku preloved agar tetap merawat kebiasaan membaca dengan membeli buku yang terjangkau.

Waktu lihat Kak Yuni Zai posting buku ini, dari judulnya Kala Kali dengan tagline Hanya Waktu yang Tak Pernah Terlambat, aku langsung tertarik. Ditambah ornamen cover buku yang unik. Wah, makin penasaran, dong. Aku memang sudah mengenal dua nama penulisnya, tapi ini jadi pengalaman pertamaku membaca karya mereka.

Ternyata setelah baca, rasanya jauh dari bayanganku. Aku kira buku duet ini memiliki cerita yang berkesinambungan. Namun, tidak. Hanya saja dua kisah dihubungkan dengan tema yang bercerita tentang waktu.

Membaca bagian pertama, Ramalan dari Desa Emas, yang ditulis oleh Valiant Budi. Kisahnya berfokus pada gadis bernama Keni Arladi yang ingin merayakan ulang tahun ke-18 sendirian di Desa Sawarna. Namun, petualangannya itu berubah jadi menegangkan setelah dia mendapatkan ramalan aneh dari seorang anak yang menemukan ia saat pingsan di goa; bahwa dia akan mati sebelum 18 tahun.

Aku suka ceritanya yang ringan, tapi terlampau jenaka. Selipan bayolannya terkadang kurang cocok di momen yang sebenarnya digambarkan dengan serius. Lalu, kenapa ya, bagiku narasinya terdengar seperti 'suara lelaki'? Namun, cukup menyenangkan mengikuti alur cerita dengan kemunculan kejutan-kejutan dalam petualangan Keni. Gaya bercerita penulis bikin aku menikmati kisah Keni sampai akhir, terbukti bagian pertama ini page turner banget.

Membaca bagian kedua, Bukan Cerita Cinta, ditulis oleh Windy Ariestanty. Ceritanya berfokus pada Bumi dan Akshara, editor-penulis, yang saling bersahabat dengan akrab. Dimulai dari pernyataan Bumi bahwa Akshara yang tidak benar-benar mencintai pacarnya, Lelaki Beraroma Hutan Pinus, Bima. Diceritakan tentang versi 'cinta yang realistis' menurut Akshara. Jalinan asmara Bumi dengan Perempuan Tanda Baca; teman Akshara. Hingga berlanjutlah dengan sejarah kisah cinta masing-masing yang terungkap.

Dibandingkan dengan bagian pertama, cerita ini terlewat serius. Sedari awal sebenarnya memang tidak pas kalau saling dibandingkan, ya. Dan aku pengen bilang kalau perpaduan cerita ini sangat menarik.

Aku memang kurang menikmati perbincangan cinta akhir-akhir ini. Jadi, entah mengapa, aku lagi malas merenungkan tentang dialog dari masing-masing karakternya secara serius. Namun, aku suka dengan penulisan Windy yang 'kaya'. Bagian kedua ini kuakui tidak page turner karena banyak detail yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Tentu saja isinya quoteable.

Suka sekali dengan sematan untuk karakternya, seperti Perempuan Tanda Baca, Perempuan Kenangan, Lelaki Beraroma Laut, Lelaki Beraroma Hutan Pinus. Namun, di beberapa part ketika terjadi pengulangan julukan Koma dari Komang yang bukan orang Bali berkali-kali ini bagiku sangat mengganggu. Entah kenapa pula ketika terbaca Komang, tetiba lagu Komang tersiar begitu saja di kepala. Mana bagian-bagian belakang terasa mellow lagi, ya ampun~

Secara keseluruhan, aku enggak jadi hanya kasih bintang ⭐⭐⭐. Bolehlah ya ditambah satu karena aku suka dengan keunikan duet buku ini beserta lebih dan kurangnya dari masing-masing cerita. Gimana, apakah kamu tertarik untuk membacanya?
Profile Image for yunda..
66 reviews3 followers
June 18, 2022
Satu alasan besar mengapa aku cuma memberi nilai 2 dari 5 bintang: judulnya njomplang kalau dibandingkan dengan isinya. Terlalu tinggi untuk karya yang--mohon maaf--biasa saja.

Kalau boleh kubilang, cerita ini seperti cerita orang yang baru belajar menulis (memang, sih, ini termasuk terbitan lama). Aku mengerti setiap penulis memiliki keinginan untuk membuat bukunya menarik, tapi perlu dipertimbangkan apakah judulnya sesuai atau tidak untuk isinya. Jujur, sayang banget, judulnya sudah bagus banget, unik, bikin penasaran, tetapi isinya jauh dari ekspektasi.

Meski begitu, aku tetap memiliki kesukaan pada buku ini, yakni bagian cerita Windy yang sedikit banyak memberikan insight baru soal bahasa, manusia, cinta, dan hubungan di antaranya. Karya Valiant juga bagus sebenarnya. Idenya unik, membahas soal takdir sebagai sebuah kejutan yang disandingkan dengan 'kebetulan-kebetulan' yang bikin tokoh 'aku' seolah menjadi penyebab dari takdir tersebut. dikemas seperti tulisan dalam buku harian tak bertanggal dan berhari.

Hanya saja, kedua ceritanya menggantung, baik endingnya maupun perkara maksud ceritanya. Semacam cerita yang mengalir tanpa ada arah yang pasti, alias sekadar ngoceh belaka.
Profile Image for Annisa Erou.
66 reviews1 follower
July 26, 2021
Overall is a strange book with strange stories. I'm not saying that it's bad. It's just strange.

This book consists of 2 novellas and the female character (Akshara) in the last novella is a highly independent woman. She has to change who she actually is because her ex-boyfriends believe that such fact has always jeopardised her romantic relationships from time to time. She lets go of her freedom by allowing her current partner to always track her whereabouts, with whom, for how long and what for. Yet he ends up cheating anyway.

Just like Jiyoung in Kim Jiyoung, Born 1982, Akshara's story is not only hers. Many women have to go through what she's going through because the sexist society believes that women should always 'behave' and behaving means being fucking obedient to men - because we are less than them and should always be.

Fuck patriarchy.
Profile Image for Osya.
6 reviews1 follower
July 3, 2013
REVIEW] Novel: Kala Kali

Kala Kali; Hanya waktu yang tak pernah datang terlambat

Sebuah karya duet Valiant Budi Yogi dan Windy Ariestanty. Awalnya saya mengira ini adalah satu cerita utuh yang ditulis berdua. Tapi rupanya novel ini berisi dua novelette berbeda, hanya saja bertema sama: Ulang Tahun.

Cerita pertama – Ramalan dari Desa Emas

Dalam novelette ini, Bang Valiant menggambarkan sosok “aku’ sebagai seorang remaja putri 17 tahun bernama Keni Arladi. Sosok Keni agaknya menggambarkan kebanyakan remaja zaman sekarang, seorang anak produk rumah tangga broken home yang harus memilih tinggal bersama neneknya. Dia begitu sinis memandang hidup, tapi mencintai tantangan (atau lebih tepatnya disebut kenekatan).
Menjelang usia 18, Keni merencanakan untuk merayakan ulang tahunnya seorang diri. Tak sampai di situ, dia merayakannya di sebuah desa terpencil bernama Sawarna yang terletak di Provinsi Banten, Kabupaten Lebak, Kecamatan Bayah. Nama Sawarna sendiri berasal dari kata “Suarna” yang dalam bahasa Sunda berarti “emas”.
Di desa Sawarna inilah Keni mengalami berbagai kejadian ganjil dan membahayakan. Mulai dari jatuh pingsan di goa Lalay, lalu kemudian diselamatkan oleh seorang bocah lelaki bernama Asep yang tiba-tiba saja meramalkan bahwa dia akan meninggal sebelum menginjak usia 18 tahun. Sejak saat itulah Keni merasa kematian tengah mengintainya. Kejadian demi kejadian tergambar begitu menegangkan. Tak ubahnya menonton film Final Destination.
Dengan tempo yang terbilang cepat, Bang Valiant begitu apik menggiring pembaca untuk ikut merasakan ketegangannya, letih ngos-ngosan mengikuti langkah demi langkah Keni. Mulai dari menyusuri goa, berlari ke hutan malam-malam di tengah deras hujan, merinding saat dililit ular, hingga berjuang menyelamatkan diri dari kebakaran.
Yang menjadi karakter kuat Bang Valiant dalam bercerita adalah dia selalu lihai memuntir plot dengan ending greget. Seperti karya-karya fiksinya yang lain (Joker dan Bintang Bunting), dia mampu membuat saya tercengang bergumam “HAH?!” di akhir cerita.
Oh iya, seperti yang saya katakana sebelumnya bahwa Bang Valiant memang ahlinya memuntir fakta, cerita ini ada hubungannya dengan mendiang Nike Ardila. Apa hubungannya? Sekali lagi, pembaca akan dibuat ternganga.
Oh Desa Sawarna, wait for me!

Cerita kedua – Bukan Cerita Cinta

Kebalikan dari novelette Bang Valiant, dalam novelette ini Kak Windy menggambarkan sosok “aku” sebagai seorang pria dewasa bernama Bumi yang berprofesi sebagai editor. Dia menjalin persahabatan cukup dekat dengan penulisnya yang bernama Akhsara. Persahabatan mereka sendiri sudah terjalin selama tujuh tahun, lebih dari sekedar hubungan professional Editor - Penulis. Tentunya mereka berdua sudah saling mengenal luar dalam.
Akhsara, di mata Bumi, adalah seorang perempuan mandiri, cerdas, cenderung defensive, argumentative, nampak tegar di luar tapi sejatinya rapuh di dalam. Bagi orang lain, Akhsara memang nampak misterius, tak terbaca, tak tertebak, seperti buku-buku yang ditulisnya. Namun, bagi Bumi –editornya, Akhsara terlalu “telanjang”, mudah dibaca seperti buku yang terbuka.
Terlalu banyak rahasia kecil yang mereka bagi, hingga Bumi sangat mengenal betul detail personal tentang kehidupan Akhsara.
Tentang Akhsara yang takut film horror, tapi tak gentar pada kematian. Tentang Akhsara yang selalu mengharapkan seorang lelaki datang dengan sestoples bau tanah basah seusai hujan dan bukan setangkai mawar merah. Tentang Akhsara yang tak tahan menghadapi lelaki penggerutu yang suka mendikte ini-itu. Tentang Akhsara yang suka tidur dengan tubuh meringkuk. Tentang Akhsara yang senantiasa menuntut jawaban dari tiap pertanyaannya, yang selalu menginginkan jawaban detail dan masuk logika. Bahkan, Bumi hafal takaran madu di teh chamomile yang disesap Akhsara!
Di luar hubungan persahabatan mereka, Akhsara telah memiliki pacar bernama Bima, lelaki parlente yang berprofesi sebagai pengacara. Ya, Akhsara dikelilingi oleh dua sosok pria berinisial B; Bumi dan Bima.
Sebagai sahabat dekat Bumi, Akhsara selalu menceritakan perihal lelakinya. Dan dari curahan hatinya, Bumi curiga bahwa Akhsara sebenarnya tidak benar-benar jatuh cinta pada lelakinya itu.
Bumi sendiri memiliki kedekatan khusus dengan sahabat Akhsara yang bernama Koma. Sosok Koma, dalam kisah ini, adalah kunci dari hubungan mereka berdua. Ya, seperti halnya tanda baca koma dalam sebuah kalimat, Koma hadir sebagai jembatan penengah antara Bumi dan Akhsara. Koma diibaratkan sebagai proses sebelum mencapai hasil titik.
Berbeda dengan cerita Bang Vabyo, cerita Kak Windy berjalan dengan tempo lambat, penuh filosofi hidup di tiap lembarnya, kata-kata bermakna di tiap barisnya, dan dilengkapi symbolism dari masing-masing nama karakternya. Novelette ini hanya diramaikan oleh empat karakter: Bumi (editor), Akhsara (penulis), Koma (fotografer), dan Bima (pengacara), tapi bukan Windy Ariestanty jika tak mampu mengemas cerita biasa menjadi tidak biasa, tidak klise.
Melalui karakter Bumi –Sang Editor–, Windy seakan sedang berceloteh dengan hatinya, bertutur laiknya filosof, mengajak pembaca untuk turut berfikir seperti dirinya.
Lalu, akankah hubungan Editor – Penulis; antara Bumi dan Akhsara, bersatu? Bagaimana dengan Koma? Juga bagaimana pula nasib Bima? Ini Bukan Cerita Cinta yang itu-itu saja.
Valiant dan Windy adalah dua penulis favorit saya. Dan mendapati mereka “bergumul” dalam satu rahim yang sama, saya seolah sedang menimang “buah hati” mereka.

gegas dan waktu tak pernah bisa berbagi ruang, apalagi, berbagi cerita. maka, saling mencarilah mereka, berusaha menggenapi satu sama lain. hingga satu titik, kala menjadi mula dan kali mengakhiri cerita.
Profile Image for Anugrahni S.
10 reviews
March 14, 2019
Dalam 1 novel ada dua cerita dari dua penulis yang berbeda. Vabyo dengan Ramalan Dari Desa Emas dan Windy dengan Bukan Cerita Cinta.

Untuk cerita Ramalan Dari Desa Emas, sebenarnya agak bingung membacanya. Jalan cerita terlalu cepat dan banyak kejutan di tiap cerita.

Berbanding terbalik dgn Bukan Cerita Cinta yg alurnya terasa lebih lambat. Nungguin klimaks ceritanya jg berasa lama. Tapi sy suka dgn banyak informasi2 penting yg diselipkan oleh Mbak W dalam ceritanya. Khas tulisan2 Mbak W sekali.

Terakhir, setelah tuntas membaca, sy tetap belum paham dengan maksud "Kala Kali" yang dijadikan judul novel ini 😅 maapkeun 😅
Profile Image for Yovano N..
239 reviews14 followers
September 5, 2014
Review ini bisa juga dibaca di sini: http://kandangbaca.blogspot.com/2012/...

Gagas Duet terbaru persembahan Gagas Media kali ini, diberi judul Kāla Kālī*. Salah satu penulisnya, Windy Ariestanty, adalah penulis yang karyanya selalu saya nanti-nanti. Terakhir kali Windy menulis fiksi, adalah ketika ia berduet dengan Christian Simamora dalam novel dewasa berjudul Shit Happens. Kini, beliau kembali menulis fiksi setelah sebelumnya sukses menyentuh hati para pembacanya lewat buku nonfiksi berjudul Life Traveler.

Seperti buku-buku Gagas Duet yang sudah terbit sebelumnya, buku ini terdiri dari dua novela dengan kisah dan gaya bercerita berbeda, sesuai dengan ciri khas masing-masing penulisnya. Kisah pertama ditulis oleh Valiant Budi (yang biasa disapa Vabyo) berjudul: Ramalan dari Desa Emas. Berkisah tentang Keni, remaja perempuan yang ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-18 dalam kesendirian, menjadikan Desa Sawarna** sebagai tempat untuk merayakannya. Keni yang awalnya sangat menikmati kedamaian desa Sawarna, mengalami kejadian yang membuatnya pingsan sewaktu menyusuri goa yang menjadi salah satu objek wisata di desa itu. Saat siuman, gadis itu mendapati dirinya dirawat di salah satu rumah nenek 'tukang obat' yang mempunyai cucu berkemampuan meramal, dan konon ramalannya selalu tepat. Betapa syoknya Keni ketika si bocah terus-terusan berkata bahwa Keni akan meninggal sebelum usianya mencapai angka delapan belas. Kemudian, kejadian-kejadian menyerempet maut pun mulai menghampiri Keni. Dapatkah Keni lepas dari ramalan (atau lebih tepatnya, kutukan) dari Desa Emas?

Saya sama sekali tak menduga bahwa kisah yang awalnya ceria, dengan diselingi humor-humor sarkastis ala Vabyo ini, akan berujung pada kisah petualangan misterius dan penuh kejutan-kejutan yang membuat jantung berdebar. Saya suka gaya menulis Vabyo, di mana ia bisa menemukan hal-hal untuk ditertawakan dalam setiap peristiwa sedih. Sudah menjadi ciri khas Vabyo, kisah ini penuh dengan twist yang cukup mengejutkan, walau jujur saja, saya kurang begitu suka sama endingnya. Hehe.

Kisah kedua, Bukan Cerita Cinta, ditulis oleh Windy Ariestanty. Berkisah tentang Bumi, seorang editor yang berteman dekat dengan penulis bernama Akshara. Akshara sering bercerita tentang kisah cintanya kepada Bumi. Namun, Bumi dengan terang-terangan menyebut bahwa perempuan itu tak benar-benar jatuh cinta pada pacar terbarunya. Demi membuktikan bahwa pernyataan Bumi keliru, Akshara mengajukan tantangan: dalam waktu empat bulan ke depan, yaitu bertepatan dengan ulang tahunnya, Akshara akan masih tetap bersama dengan kekasihnya, dan Bumi harus datang ke acara ulang tahunnya bersama dengan kekasihnya sendiri (saai itu Bumi sedang tidak memiliki pacar). Merasa tantangan dari Akshara telah menyentuh egonya, Bumi pun menyetuju tantangan tersebut. Apa alasan Bumi sehingga ia dengan penuh percaya diri berkata bahwa Akshara tidak benar-benar mencintai kekasihnya? Lalu siapakah perempuan yang akan dipacari Bumi demi memenuhi tantangan itu?

Kisah ini berkebalikan dengan kisah yang ditulis Vabyo dalam Ramalan dari Desa Emas yang tegang dan bertempo cepat. ‘Menyantap’ Bukan Cerita Cinta memang tak disarankan untuk terburu-buru. Sebagai penulis yang mengaku “menulis fiksi itu susah sekali”, kita justru akan menemukan kalimat-kalimat yang dirangkai dengan begitu memikat oleh Windy, sampai-sampai saya butuh banyak sekali post it untuk menandai halaman-halaman buku ini. Tak hanya itu, percakapan antar tokoh terkait dengan penggunaan kata baku dan tak baku yang biasanya membosankan untuk dibahas, menjadi sangat menarik disimak. Lewat kisah ini, kita akan menemukan beberapa kesamaan Bima dengan Windy (menurut saya): Mereka sama-sama editor, dan sama-sama suka membaca kamus (mengapa kamus? Baca saja bukunya yah, hehe). Tokoh lain yang mencuri perhatian saya adalah Koma, yang menggemari fotografi, membuat saya makin mengerti tentang keasyikan mengabadikan kehidupan lewat jepretan kamera. Well, walau ceritanya terkesan datar dengan konflik yang tak terlalu rumit, saya sangat menyukai kisah ini. Ciri khas Windy adalah tulisan-tulisannya yang selalu menghangatkan hati. :')

Bagi pembaca yang menyukai kisah misteri dan petualangan, Ramalam dari Desa Emas mungkin akan lebih disukai. Sedangkan bagi yang menyukai kisah romantis dan heartwarming (saya salah satunya) bisa jadi lebih menyukai Bukan Cerita Cinta. Terlepas dari kisah mana pun yang lebih disukai pembaca, duet Valiant Budi dan Windy Ariestanty ini perlu mendapat acungan jempol. Salut buat kedua penulis ini. Dan, tentu saja, saya sangat menanti karya-karya mereka selanjutnya.

4/5 bintang untuk Kāla Kālī.

---o---

*) Tentang Kāla Kālī: “Kālī yang merupakan salah satu dewi dalam kepercayaan Hindu ini berasal dari Kāla—nama panggilan Shiva, Dewa Kematian. Kāla sendiri juga bisa berarti waktu yang abadi atau gelap. Karena Shiva yang dipanggil Kāla adalah sisi maskulin, maka Kāli—yang merupakan sisi feminin—juga merupakan entitas dari ‘waktu’, ‘sesuatu yang melampaui waktu’, dan ‘kematian.’ Selain itu Kāli juga dianggap sebagai dewi dari perubahan.” (sumber: http://windy-ariestanty.tumblr.com/po...)

**) Kata Sawarna (berasal dari kata ‘Suarna’ yang berarti ‘emas’) sepintas mirip dengan Shawarma (semacam kebab), mengingatkan saya pada adegan dalam film The Avengers. Go watch The Avengers after-credits scene where Tony gets his wish. ;)
Profile Image for Just Avis.
131 reviews2 followers
December 13, 2021
Beli bukunya karena tahu Windy Ariestanty juga editor, so penasaran seperti apa kalau nulis buku.
Sampai akhir cerita aku masih gagal menyimpulkan kenapa judulnya Kala Kali, diambil dari mana hehe
Ini isinya dua cerita dari dua penulis yang g terkait menurutku
Profile Image for Finesta Biyantika.
353 reviews
February 20, 2024
Kata Vabyo, "Jangan egois buat takut kematian. Percaya Tuhan aja. Mati mah kayak kejutan, gak usah ditungguin."

Kata Windy, "Kuku jarimu selalu tumbuh meski kaupotong. Sebesar itulah cinta, tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup."
Profile Image for Alyssa Isnan.
2 reviews1 follower
May 10, 2022
Tulisan2 di cover bikin kesan serius banget, padahal isinya banyak guyonnya :'
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Grisselda.
124 reviews247 followers
August 5, 2014
Tanpa ragu saya membeli Gagas Duet ini. Cover buku dengan warna hitam yang mendominasi mengesankan citra yang kuat, misterius, dan elegan. Pokoknya cover yang ini berbeda dengan Gagas Duet yang lain, yang lebih memilih bermain warna yang ceria dan lembut.

Kedua penulisnya pun merupakan favorit saya, Valiant Budi dan Windy Ariestanty. Saya suka sekali dengan Kedai 1001 Mimpi dan Life Traveler. Saya nggak mikir dua kali pokoknya sewaktu membeli buku ini.

Dan kemarin, kesempatan saya untuk mulai melahap cerita yang ada di buku ini.

Cerita pertama, Ramalan dari Desa Emas karya Valiant Budi.
Jujur, saya harus memaksa diri saya untuk menyelesaikan membacanya sampai halaman terakhir.
Ini seperti dibonceng Jorge Lorenzo sang pembalap motoGP. Cepat sekali. Tiba-tiba berbelok ke kiri, tak lama harus belok ke kanan, belum sempat berkedip sudah belok kiri lagi. Kira-kira begitu bagi saya. Entah menurut Anda... :)

Cerita dari Valiant Budi membawa tokoh utama, Keni, gadis muda yang mau merayakan ulang tahun ke-18 miliknya sendiri di desa Sawarna. Dia pergi bersama rombongan, namun dia berniat untuk memisahkan diri dari rombongan itu setelah sampai di Sawarna. Sendiri versi Keni adalah beramai-ramai dengan orang yang tidak dia kenal. Orang-orang yang ada di rombongan, maupun penduduk desa Sawarna.
Singkat kata, Keni diramal anak kecil bahwa dia akan meninggal sebelum umur 18 tahun, dan dari situ kisah berlanjut...

Saya cukup kelabakan ya mengikuti fast pace cerita ini. Sampai saya harus berhenti dan membuka halaman-halaman sebelumnya yang sudah saya baca untuk memastikan saya tidak melewati beberapa halaman, "Ini kok si Keni jadi ada di sini, sih? Lah, terus sekarang ketemu Mila? Loh, dia sama ibunya langsung akur?"

Setting tempatnya dari yang menurut saya cukup stabil saat di Sawarna, mendadak jadi cepat sekali berganti. Saya sudah membayangkan di Sawarna nanti mungkin Keni mau lebih membuka diri, bergabung dengan orang lain dsb, dan ternyata saya dibawa "melihat" Keni yang ada di Goa, dibawa ke rumah Ibunya Asep, lalu ikut Bapa supir truk nebeng pulang, lalu ke rumah Mila, lalu dijemput Nenek, lalu ke rumah Ibunya. Oh my...

Dan lagi, celetukan Keni, pola pikir Keni itu menurut saya mirip sekali sama celoteh Valiant Budi di twitternya @Vabyo. Saya jadi mikir, ini kok seperti Vabyo disulap dan dijejelin di dalam sosok Keni. Hehehe.

Mungkin saya yang terlanjur memasang harapan terlalu tinggi. Mungkin juga saya yang nggak bisa mengikuti gaya penulisan Valiant kali ini. Entahlah... Tapi yang pasti saya tahu saya tidak begitu menikmati karyanya yang ini. Saya tunggu karya Valiant Budi di Menujuh! :D

Kisah kedua dari Windy Ariestanty yang diberi judul Bukan Cerita Cinta.
Bukan Cerit Cinta yang banyak membicarakan tentang cinta. Menarik.
Bumi sebagai editor, berteman dengan Akshara, sang penulis. Cerita dimulai dengan Bumi yang mengatakan bahwa Akshara tidak mencintai kekasihnya, lebih tepatnya, Bumi berkata Akshara sedang berusaha tampak jatuh cinta kepada kekasihnya.

Gaya penulisan Windy sarat dengan makna. Sampai ada tokoh yang bernama Koma yang makin melengkapi cerita. Dari Koma, saya juga melihat sisi fotografi dan belajar banyak dari situ. Ini Mba Windy emang seneng banget jeprat-jepret, deh. Yang follow tumblr & instagramnya pasti tau. :D

Oke, back to Koma. Jadilah saya tertarik dengan sosok Koma ini. Apalagi jadi membahas tentang titik dan koma, siapa sangka setelah dibahas seperti itu, koma punya makna yang begitu dalam! Kuku jari apa lagi... *yang udah baca pasti senyum-senyum ngerti :D

Kalau sama Valiant Budi saya seperti dibonceng oleh Jorge Lorenzo, Windy Ariestanty seperti mengajak saya naik perahu. Diajak menikmati keadaan sekitar, diajak melihat permukaan air dan kalau bisa...lihat di dalamnya ada apa.

Oh iya, bisa numpang belajar juga di sini. Sekedar dan sekadar mana yang baku?
Hembus atau embus?
Ante atau antri?
Lembab atau lembap?
:))

Entah Gagas sengaja membuat konsep cerita pertama dan kedua yang sangat bertolak-belakang seperti ini atau memang hanya kebetulan. Valiant Budi membawa tokoh utama perempuan, dan Windy Ariestanty membawa tokoh utama laki-laki. Masing-masing juga membawa ciri khas-nya masing-masing. Keni dengan kekonyolan dan jiwa petualang Vabyo-nya. Bumi sebagai editor, lalu Akshara sebagai penulis, dan Koma yang menjadi photographer. Ketiganya ada di diri Windy.

Namun, jika saya harus menjawab cerita mana yang membuat saya nikmat dalam perjalanan membaca kali ini, Bukan Cerita Cinta jawabannya. :)
Profile Image for Afifah.
151 reviews9 followers
October 6, 2012

Akhirnyaaaaa selesai juga baca ini novel. *elap keringet*

Lamanya saya menyelesaikan membaca novel ini bukan dikarenakan novelnya terlalu berat atau kurang menarik, tapi lebih karena belakangan ini saya sibuuuuk sekali membabu ria dan menjadi ibu rumah tangga sejati (sebelumnya tidak terlalu sejati, karena kerjaan rumah ada yang ngerjain), sehingga harus relalah ini novel gagasduet kesekian yang saya punya untuk ditunda-tunda penyelesainnya.

Sebagaimana novel gagasduet yang lainnya, novel ini punya satu tema untuk dua cerita yang ada di dalamnya yang ditulis pula oleh dua orang yang berbeda. Kebetulan sekali saya belum pernah membaca karya kedua novelis itu yang sebelumnya, Valiant Budi dan Windy Ariestanty, sehingga saya tidak punya ekspektasi apa-apa saat mulai membaca novel ini, kecuali penasaran melihat beberapa reviewnya di GR yang cukup menarik.

Jadi, tema dari novel ini adalah waktu, dengan tagline yang cukup quotable, yaitu "Hanya waktu yang tak pernah terlambat". Cerita pertama dari Valiant Budi atau yang terkenalnya dengan nama Vabyo, adalah cerita berjudul 'Ramalan dari Desa Emas', mengisahkan tentang keinginan sederhana seorang Keni merayakan ulangtahunnya yang ke delapan belas dengan menyepi di sebuah desa terpencil namun indah, Sawarna. Tak disangka, keinginan tak muluk-muluknya itu berubah menjadi bencana saat ia kemudian bertemu dengan seorang bocah yang meramalkan bahwa dia akan meninggal sebelum usianya mencapai 18 tahun, dan dimulailah petualangannya bermain petak umpet dengan maut yang seoalah-olah selalu siap sedia mengintainya kemanapun dia pergi yang ditandai dengan berbagai kecelakaan maut yang menimpa orang-orang terdekatnya.
Cerita yang pertama ini saya suka gaya penceritaannya yang kocak dan lucu dengan cara yang agak sinis dan cuek, bahkan saat sampai pada bagian tentang kecelakaan-kecelakaan maut ala Final Destination pun penulisnya masih sempat menyelipkan humor-humor sinisnya, sehingga saya tidak merasa merinding membacanya, hal yang pasti terjadi seandainya gaya penceritaannya tidak seperti itu. Endingnya juga sama sekali tidak tertebak, unik dan mengejutkan. Hanya saja bagi yang tidak biasa dengan cerita dengan banyak twist seperti dalam novel ini, kemungkinan akan menganggapnya aneh dan geje, alias gag jelas.

Cerita kedua adalah 'Bukan Cerita Cinta' karya Windy Ariestanty. Lagi, saya juga tidak berekspektasi apa-apa karena belum pernah membaca novelnya. Dan ternyata, yah... karyanya adalah yang semacam itu. Tahulah, jenis tulisan dengan kata-kata baku sesuai kamus cenderung bersifat formal, belum lagi kata-kata puitis yang demikian indah dibaca dan didengar. Bukannya saya tidak suka dengan gaya penulisan semacam ini, kadang saya juga berkeinginan bisa menghasilkan tulisan 'kelas atas' seperti itu, yang saya yakin sekali perlu perbendaharaan kata yang amat sangat luas serta pengalaman yang tidak sedikit. Hanya saja membaca tulisan semacam ini memerlukan timing dan mood yang tepat, sehingga saat membacanya tidak merasa jenuh dan merasa tulisan ini bertele-tele serta tidak jelas juntrungnya. Untungnya saya sedang dalam mood yang cukup baik saat membacanya, sehingga yah, saya cukup menikmatinya, walaupun bukan jenis tulisan yang akan saya pilih pada pilihan pertama.

Jadi cerita kedua ini pada intinya menceritakan tentang hubungan segitiga antara seorang penulis perempuan bernama Akshara, editornya yang bernama Bumi, serta teman Akshara yang bernama Koma (untuk info saja, Koma ini perempuan. Ide ceritanya sebenarnya sederhana, tetapi dengan gaya bahasa yang mendayu-dayu dan puitis serta indah dibaca, membuat cerita ini sangat good reading. Memang tidak easy reading, tapi cukup layak untuk dinikmati.

Sebenarnya, saya memberi rating 3.5 untuk novel ini, tapi karena di GR tidak ada nilai setengah, maka saya bulatkan ke atas menjadi 4 bintang. Recommended, but not highly.

Profile Image for Tammy Rahmasari.
Author 1 book32 followers
August 19, 2013
Buku ini terdiri dari dua bagian cerita. Bagian pertama ditulis oleh Valiant budi dan bagian kedua ditulis oleh Windy Ariestanty.

1. Ramalan dari Desa Emas

Petualangan dimulai saat Keni Arladi sebagai tokoh utama cerita ini datang ke Sawarna untuk merayakan sendirian ulang tahun ke-18 yang tinggal seminggu lagi. Berbekal nebeng dengan rombongan yang satu arah tujuan, Keni akhirnya sampai di Sawarna. Tapi ternyata niat awal langsung berbelok arah dari tujuan semula saat Keni mendengar ramalah nyeleneh dari bocah botak plontos yang mengatakan bahwa ia akan mati sebelum umurnya 18 tahun.

Segala cara dilakukan oleh Keni untuk kabur dari tempat itu. Kabur malam-malam dari Bapak-bapak yang diyakininya mempunyai niat buruk, dililit ular, jadi saksi mata sebuah kecelakaan yang menewaskan teman seperjalannya, bertemu teman lama, mengalami musibah kebakaran yang menyebabkan teman serta keluarganya meninggal, sampai akhirnya bertemu kembali dengan ibu kandungnya yang bertahun-tahun telah terpisah.

Setelah peristiwa ramalan itu mau tidak mau Keni menjadi paranoid. Semua hal yang dialaminya ia pikir akan berujung pada kematian. Ini yang membuat saya berdebar-debar dalam membaca lembar demi lembar halaman. Takutnya si ini nanti mati, si itu mati, atau benar bahwa Keni sendiri yang akan mati.

Alurnya cepat, jadi pada saat membaca tidak akan terasa sudah ada di halaman berapa lalu kemudian tiba-tiba cerita telah habis. Gaya bahasa Vabyo terasa khas, padahal saya belum pernah membaca novelnya sebelum ini.

"Beberapa kenangan berkelebatan dalam benak. Ada secercah rindu, tapi enggan bertemu."

Di beberapa halaman terakhir, saya pikir benar apa yang Keni pikirkan bahwa pesan moral dari semua peristiwa yang Keni lalui itu adalah demi berkumpul kembali dengan ibunya. Saya cukup senang dengan open ending yang disuguhkan, rasanya tidak mau lagi terus lanjut membaca sambil berdebar-debar :p

Untuk bagian ini saya beri 4 bintang dari 5.

2. Bukan Cerita Cinta

Menceritakan tentang Bima, si lelaki kentut yang juga merupakan seorang editor yang hidupnya tanpa disadarinya selalu terpusat pada Akhsara, si perempuan penulis. Tentu saja sama seperti (bukan) cerita cinta lainnya, bahwa Bima tidak sadar akan perasaannya, sampai satu waktu ia dipertemukan dengan Koma melalui Akhsara. Tapi Koma tetaplah bukan titik, ia selalu di tengah. Pada akhirnya... ya seperti yang bisa ditebak.

"Koma itu ibarat proses. Dan, titik adalah akhirnya."

Bagian kedua buku ini beralur lambat, kadang saya membayangkan beberapa adegannya adalah berupa slow motion. Tapi itu sama sekali tidak mempengaruhi kecepatan membaca saya. Cukup tiga jam saja, dan dengan diselingi mengerjakan kegiatan sehari-hari lainnya, saya selesai juga membacanya.

Sebelum membaca ini, saya mengenal Windy dari salah satu akun yang me-retweet kicauannya. Dari situ saya mengetahui bahwa ia berprofesi sebagai editor di samping menjadi penulis. Mirip dengan cerita dalam buku ini, isi di dalamnya adalah dunia Windy. Tentang dunia penyuntingan dan fotografi. Baru kali ini saya disuguhkan dengan kalimat-kalimat panjang dan sama sekali tidak membuat saya bosan.

Tentang tokoh yang paling saya sukai. Hmm... saya akan memilih Koma. Ia jujur, bebas, spontan, dan apa adanya. Aneh ya, kenapa bukan Bima atau Akhsara? Haha. Ending-nya oke lah, tidak masalah. Karena saya sudah cukup terkesan setelah membaca cerita ini. Dan akhirnya... saya rekomendasikan buku ini untuk yang ingin membaca (bukan) cerita cinta yang realistis :p

4 bintang untuk Windy! :D

"Sebesar itulah cinta. Tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. Cinta itu cukup."

"Tak pernah ada cara yang tepat untuk mencintai. Yang disebut tepat adalah ketika aku dan kamu mencintai dengan cukup."
Profile Image for owleeya.
307 reviews100 followers
October 26, 2012
Review ini juga bisa dilihat di: http://theblackinthebooks.blogspot.co...

Awal lihat penampakan novel ini di BukaBuku, melihat cover dan sinopsisnya yang bagus pastinya membuat saya ingin membaca. Dan saya juga belum pernah membaca novel karangan Valiant Budi (dipanggilnya Vabyo ya?) dan Windy Ariestanty, makin penasaranlah saya.

Singkat kata, ketika novel ini sudah keluar, ternyata banyak yang kecewa. Jadi galau, beli jangan? Untungnya, adik kelas saya yang mengoleksi GagasDuet (makasih, Mon! Nanti minjem Beautiful Mistake ya!) mau berbaik hati meminjamkan saya novel ini.

Cerita pertama yaitu Ramalan dari Desa Emas oleh Mas Vabyo, yang bercerita tentang Keni, hampir berumur 18 tahun, mau merayakan ulang tahunnya dengan menyepi. Maksudnya merayakan ulang tahunnya dengan berlibur sendirian di sebuah desa. Tak disangka, dia bertemu dengan seorang anak kecil yang meramalkan kalau Keni akan mati sebelum dia berumur 18 tahun.

Yak, saya betul-betul kecewa dengan cerita yang satu ini. Mohon maaf untuk pembaca-pembaca Mas Vabyo di luar sana yang kebetulan membaca review saya yang tidak pernah membaca satupun karyanya kecuali ini.

Saya tidak begitu sreg dengan cara Keni (tokoh utama) bercerita. Memang lucu dan blak-blakan. Sayangnya, cara Keni bercerita mungkin akan lebih bagus bila Keni itu laki-laki. Bukan perempuan. Betul sekali, untuk yang sedang membaca novel ini, Keni adalah seorang perempuan. Saya sendiri terkecoh melihat penuturan Keni yang seperti laki-laki. Atau mungkin karena dia tomboy? Ah, untuk yang ingin tahu lebih jelas maksud saya, silakan lihat review dari Mbak Primadonna Angela.

Untuk plot, lumayan sih. Kayak Final Destination. Tapi tetap saja plot seperti itu dikacaukan dengan (sekali lagi) cara Mas Vabyo bercerita tentang Keni. Ending-nya juga, hmm, twisted. Tapi saya masih tidak mengerti... ada yang mau menjelaskan?



Cerita kedua: Bukan Cerita Cinta, oleh Mbak Windy Ariestanty.



Ceritanya berbeda sekali dari cerita pertama. Ini novel GagasDuet ketiga yang saya baca setelah With You dan Truth or Dare, dan dari dua novel itu, masing-masing memiliki tokoh yang saling berkaitan. Seperti di With You, Cindy di Cinderella Rockefella dan Lyla di Sunrise adalah saudara sepupu. Sementara Truth or Dare tentang dua orang sahabat yang menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Saya kira, Kala Kali juga akan seperti itu.

Bumi, sang tokoh utama, bekerja sebagai seorang editor. Adegan pertama dimulai dengan Bumi sedang berbincang dengan salah satu penulisnya, Aksara. Mereka berbicara tentang cinta.

Saya tidak tahu ke mana cerita ini akan membawa saya. Setelah bengong sendiri melihat gaya penulisan Mas Vabyo yang lucu dan blak-blakan, saya kembali bengong melihat gaya penulisan Mbak Windy yang serius dengan bahasa baku. Benar-benar berbeda 180 derajat.

Banyak yang bilang lebih suka Ramalan dari Desa Emas dibanding Bukan Cerita Cinta, tapi saya lebih suka karya Mbak Windy. Bukannya bermaksud membandingkan, tapi saya lebih suka penuturan Bumi dibanding Keni yang menurut saya tidak jelas atau bahasa gaulnya geje.

Mungkin saya memang berharap terlalu banyak dari buku ini. Tapi nanti mau baca buku-bukunya Mbak Windy dan Mas Vabyo ah. #kodeberharapdipinjemin
Profile Image for Mia Prasetya.
403 reviews268 followers
October 2, 2012
Pembukaan sedikit, postingan kali ini dibuat karena kantuk belum juga menyerang dan melihat kemalasan saya yang semakin meningkat ada baiknya menghabiskan malam dengan membuat review di goodreads :p
Jadi jangan berharap bakal menemukan review serius ya teman-teman :) *kaya pernah serius aja sih mi!*

Kala Kali. Vabyo. Windy Ariestanty. Judul yang sedikit misterius dan jaminan 2 pengarang yang masing-masing bukunya baru pernah saya baca sekali (Kedai 1001 Mimpi dan Life Traveler) membuat saya melakukan PO berbarengan dengan buku @aMrazing. Buku yang saya sangka adalah buku duet fantasi-mistis ternyata memiliki 'aura' yang sangat berbeda, hampir tidak ada benang merah di antara kedua kisah kecuali keduanya mengisahkan tokoh yang berulang tahun.

Ramalan dari Desa Emas - Vabyo.

Twisted ending. Ah, jadi ini yang dimaksud beberapa tweet tentang kepiawaian Vabyo meramu ending cerita. Saya belum baca Joker dan Bintang Bunting tapi bisa terbayang Vabyo yang berhasil mengecoh pembacanya. Tidak jelek kok, hanya saja terkesan sedikit dipaksakan. Celetukan Keni si tokoh utama mirip dengan ceplas-ceplos Vabyo di Twitter. Joke yang ditampilkan kurang mulus dan 'menggigit'. Bisa jadi karena saya berharap membaca karya Vabyo bisa kembali membuat saya ketawa ngakak seperti di Kedai 1001 Mimpi.

Tsk, susah memang untuk tidak membandingkan Kala Kali dengan Kedai dan saya sadar penulis mana pun tidak suka dibanding-bandingkan dengan karyanya yang dulu. Itu sih yang saya lihat dari beberapa tweetnya yang secara tidak langsung menegaskan ini beda loh dengan Kedai. Ya memang beda, satunya fiksi, satunya pengalaman pribadi Vabyo.

Yang membuat saya salut, penulis sempat membalas tweet saya soal Kala Kali (tanpa memention beliau lho ini). Terima kasih atas waktunya dan maaf mengecewakan, kurang lebih seperti itu balasannya. Errh, kaget juga :D Momennya hampir bersamaan dengan 'keramaian' penulis dan reviewer di Goodreads sehingga mau tak mau saya tersenyum sendiri saat membaca balasan Vabyo.

Saya tetap menantikan karya Vabyo selanjutnya, terlebih lagi lanjutan Kedai 1001 Mimpi dan sukses selalu Valiant Budi!

Bukan Cerita Cinta - Windy Ariestanty.

Setelah berbanyol-banyol dengan Keni, butuh waktu bagi saya untuk mendalami atmosfer puitis yang diciptakan oleh Windy.

Bumi, Koma, Akshara. Saya seakan terlempar ke Jakarta yang mendung, berbau hujan dan senja yang menggelayut. Ish ikutan romantis ala Windy nih ceritanya :D

Saya menemukan sosok Windy dalam seluruh cerita. Windy yang gemar memotret. Windy yang juga seorang editor. Windy sang pengejar awan. Bleh, sok kenal aja sih saya :p Tapi itu yang saya rasakan saat membaca kisah Bumi dengan Akshara. Banyak filosofis yang dijejalkan dalam novella Bukan Cerita Biasa sehingga banyak yang harus dicerna padahal halaman yang disediakan tak cukup tebal. Pembahasan tentang Tolstoy saya rasa tidak terlalu penting untuk dimasukkan tapi itu menurut saya lhooo yaaa. Mungkin seandainya cerita Bumi dijabarkan lebih mendalam di satu buku terpisah bakal lebih 'greng'.

3 bintang untuk Kala Kali.

Covernya keren! Misterius gimanaa gitu. Tapiiiiii. He eh, tapinya panjang karena buku ini jadi susah banget dibaca tanpa ketekuk!!
Profile Image for elisa.
Author 4 books5 followers
June 15, 2016
-Ramalan dari Desa Emas by Valiant Budi-

I like this story!^^ Belakangan, saya memang suka sekali cerita yang tidak melulu soal cinta! I mean, cinta dalam arti sempit yang semata-mata cinta dua insan beda kelamin.

Ramalan dari Desa Emas bercerita tentang kisah Keni Arladi yang dimulai saat ia bermaksud merayakan ulang tahunnya sendirian ke Sawarna. Sayangnya, rencananya itu berubah menjadi bencana dengan sebuah ramalan dari bocah kecil untuk Keni. Konon, katanya Keni akan meninggal sebelum usia 18 tahun.

Keni pun berubah parno, dan ia melawati banyak hal yang sebenarnya tragis, namun di tangan Mas Valiant Budi alias Vabyo berubah jadi kocak. Yap, karakter tulisan Mas Vabyo macam gini saya suka.

Saya memang tertarik membaca novel ini karena pernah baca bagian awal Kedai 1001 Mimpi-nya Mas Vabyo--yang mana sekarang masih dalam proses pembelian dengan couple-nya Kedai 1002 Mimpi (Semoga lekas sampai). :D

Penggambaran karakter Keni Arladi beserta masalah keluarganya yang sangat miris pun, terasa ringan diikuti kisahnya. Mas Vabyo memiliki diksi 'nyeleneh' yang seru.

"Sementara botol-botol masih beterbangan di atas kepala kami, menabrak rumah, bahkan memecahkan jendela rumah. Sungguh meriah. Saat ini, tetangga kami pasti sedang memanaskan popcorn untuk menikmati drama teaterikal kami." Hal 106

Dan bagian paling kocak adalah endingnya yang enggg--aku bahkan tidak tahu ini ending tragis atau komedi.


-Bukan Cerita Cinta by Windy Ariestanty-

Ini juga kali pertama saya membaca karya Mbak Windy. Kisahnya tentang seorang Editor bernama Bumi. Meski leadfemale yang mendampingi kisah Bumi adalah seorang penulis bernama Akshara, namun saya malah jatuh cinta pada Koma, si gadis tanda baca.

Koma dari Komang tapi bukan orang Bali ini benar-benar memiliki karakter unik. Sangat menarik untuk mengikuti caranya berpikir dan menghadapi masalah, tertutama masalah asmaranya dengan Bumi.

Karena mengulas dunia editing buku dan kepenulisan sebagai background cerita-yang mana merupakan dunia yang dekat dengan kegiatan Mbak Windy sehari-hari, novel ini memiliki detail yang luar biasa. Selain buku dan kepenulisan, cerita ini juga banyak memuat musik dan fotografi.
Profile Image for Ainun M..
68 reviews6 followers
December 10, 2012
Saya membeli buku Kala-Kali bersamaan dengan buku kak Alex, The Not So Amazing Life Of @Amrazing. Banyak yang merekomendasikan Kala-Kali dengan pujian-pujian yang membuat saya berharap banyak. Keduanya sampai di alamat saya (saya membeli buku di bukabuku.com) tiga bulan yang lalu. Buku kak Alex langsung selesai sekali duduk karena cerita yang ringan, tidak membosankan dan sangat inspiratif. Karena pekerjaan kala itu mulai menumpuk, buku Kala-Kali agak terlambat saya sentuh.

Bulan berikutnya baru saya sempat membuka kali pertama buku tersebut. First impression? Not that good. Saya bingung merespon bahasa yang digunakan penulis cerita pertama. Selama belum saya baca, Kala-Kali sudah dibaca dua orang teman yang sangat menyukai cerita pertama dan kurang suka cerita kedua. Saya justru sebaliknya.

Butuh waktu 2 bulan menyelesaikan cerita pertama karena kurang menariknya bahasa dan cerita, juga karena pekerjaan saya semakin banyak tuntutan waktu dan pikiran. Namun cukup dua hari saja (karena saya sakit dan tidak bekerja) menyelesaikan cerita kedua. Saya cukup tenggelam dalam cerita Bumi dan Akshara, karena saya suka bahasa yang dipakai sang penulis dan cerita yang meski mainstream namun tetap menarik.

Kekurangan cerita pertama adalah alur yang terlalu cepat. Perubahan nasib si karakter sering kali berubah dalam waktu yang singkat, jadi terkesan kurang masuk akal. Bahasa yang agak membingungkan karena cara penulis menceritakan hal lucu dan sedih tidak jauh beda. Intinya: terlalu banyak loncatan. Hasilnya, tidak ada emosi, saya hanya sesekali tertawa dan tetap merasa aneh. Saya rasa, bagian awal Kala-Kali akan jadi bagus jika dijadikan satu buah novel yang lebih tebal. Agar ada penjelasan yang cukup antar perubahan cerita.

Cerita kedua saya cukup suka, namun tak banyak hal baru. Yang membuat saya tertarik adalah kebiasaan si penulis menyelipkan sejarah dan fakta menarik dibalik percakapan tokoh dalam cerita tersebut.

Pendapat saya tentang Kala-Kali? Well, biasa saja.
Profile Image for Halida Hanun.
325 reviews13 followers
November 24, 2012
2/5 untuk Ramalan dari Desa Emas. Yang saya rasa perpindahan konflik yang cepat. jadi belum selesai saya mencerna konflik yang pertama, sudah disajikan konflik yang kedua, dan seterusnya. ya, kurang lebih begitulah.

4/5 untuk Bukan Cerita Cinta
mungkin banyak yang merasa terganggu dengan penuturan mbak Windy yang baku sebagai editor. Tapi buat saya yang memang tertarik untuk menjadi editor, tulisan mbak Windy bermanfaat sekali.dan saya rasa di bagian permainan kata baku dan tidak buka, itu sangat bermanfaat. Tentu banyak yang belum tahu bahwa yang benar itu lembap bukan lembab, jail bukan jahil, dan sebagainya. alasan lain, ini memang alasan subjektif, yaitu tentang kisah Bumi dan kakeknya yang hobi membaca kamus. Kisah tersebut mengingat saat saya kecil, bahwa dulu pun saya diajarkan dan dibiasakan membaca kamus oleh bapak. tapi terlepas dari alasan subjektif saya, saya setuju dengan pendapat orang yang mengatakan kalau di sini mbak Windy pamer kemampuannya sebagai seorang editor. Kemampuan yang sangat bermanfaat sekali buat saya khususnya, dan juga buat orang lain tentunya.

benar kata mbak Primadona Angela yang mengatakan bahwa beliau terganggu dengan hiasan di bagian cover itu gengges deh. bikin ribet aja (berlaku utk novel With You juga). aawalnya aku kira karena nggak ada pembatas buku, maka dibuatlah hiasan tersebut. tapi ternyata toh diselipkan juga pembatas buku, lalu hiasan itu fungsinya untuk apa dong? pemanis saja? hmmm...

well, secara keseluruhan 3,5 of 5 stars :)

Profile Image for Delisa sahim.
274 reviews13 followers
September 7, 2012
angpo dari orang yang baik hati :)

suka. aku suka dua cerita di dalam buku ini.

yang pertama ada Vabyo.
judulnya ramalan dari Desa Emas.

pas awal baca saya berkata
tolong.... tolong saya !!!
*gak berhenti ketawa*

seperti biasa vabyo membawa saya kepada kisah yang lucu sekaligus horor.
sepertinya sedikit menyesal membaca novel ini jam 2 malam.
ada lagu dari noke ardila pulak.
arghh.

ke cerita saja deh.
kalo dikasih tahu nanti spoiler.

jadi pertanyaan asaja,ya.

ibunya gila,ya ? dan nenek itu gaul banget,ya ? pakai ada follow back segala.
hihihihi


misteri dibalik kisah cerita vabyo itu.
umur berapakah keni itu ? lalu kenapa nenek bisa kasih nomor salah ? dan masih banyak pertanyaan .

seharusnya jingel si vabyo ini ada tawa dibalik horor.

curcol dari kisah vabyo.

ini kisah cinta sederhanaa yang so sweet dari mbak windy.

saya selalu suka karangan beliau.


cukup.
itulah cinta
"tak pernah sangat besar, tidak juga terlalu kecil. cinta itu cukup"- hal 312
itulah cinta yang sederhana tidak lebih dan tidak pula kurang.

aku selalu terbawa arus setiap lembar demi lembar. setiap lembaran itu pula aku menemukan kesederhanaan cerita. cerita tentang cinta yang sederhana. cerita tenggtang cinta yang menunggu. dan cerita cinta tentang memahami cinta itu sendiri.



sudah cukup curcolnya.
saya berterima kasih kepada vabyo ayang masih suka menulis karya-karya yang lucu.
dam ,bak windy untuk kisah cinta yang sederhana :)

terima kasih :)

Profile Image for Dini Novita  Sari.
Author 2 books36 followers
October 3, 2012
Suka baca kedua novella di Kala Kali ini, Ramalan dari Desa Emas (Valiant Budi Yoga), dan Bukan Cerita Cinta (Windy Ariestanty). Menurut saya, dua cerita dengan dua gaya bahasa yang berbeda ini sebenarnya lebih cocok jika memiliki bukunya sendiri. Namun setelah mendengar penuturan kedua penulis saat launching buku, saya pun menjadi maklum dan menangkap benang merah dari kedua novella ini: ulang tahun.

Ini kali pertama saya membaca cerita dari Vabyo, sedangkan kedua kali untuk Windy Ariestanty -saya terpukau dengan buku Life Travelernya. Untuk Ramalan dari Desa Emas, Vabyo menceritakan dengan gaya jenaka ala remaja yang cuek. Sementara Windy menceritakan dengan gaya bahasa yang agak berat, sesuai dengan segmen tokohnya yang dewasa.

Ramalan dari Desa Emas menceritakan tentang seorang gadis remaja yang ingin merayakan ulang tahun dengan nuansa berbeda, namun malah memperoleh hal-hal yang di luar dugaannya dan tidak menyenangkan. Bukan Cerita Cinta bercerita tentang seorang pria yang diam-diam menyukai sahabatnya yang juga merupakan rekan kerjanya (editor-penulis), dan juga bercerita tentang bagaimana sih sebenarnya kita bisa dikatakan sedang 'jatuh cinta' ?

Kedua ide ceritanya segar dan menarik, tapi bicara tentang selera, pilihan saya memang jatuh pada 'Bukan Cerita Cinta. Faktor U kali ya, Umur, hehee ..

http://dinoycute.blogspot.com/2012/09...
Displaying 1 - 30 of 86 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.