Buku ini berisi catatan-catatann perjalanan seseorang di dalam mengunjungi berbagai tempat di dunia. Selain kaya akan informasi, buku ini juga penuh dengan drama kultural, ironi politik, dan kelembutan sastra. Ditambah dengan cara penyampaian yang lancar, segar dan mengalir, buku ini layak dibaca dan dikoleksi siapa saja, terutama bagi mereka yang berjiwa petualang.
Daftar isi: •Pertama Kali Ke Eropa •Danau Zug •Bersepeda Keliling Amsterdam •Che Masih Hidup di Kuba •Pulau Ichia •Ziarah Ke Makam Kafka di Praha •Saharadan Oase di Tunisia •Hotel Trotoar •Membelah Bulgaria •Goethe dan Strassbourg •Venesia Surga Sastrawan Dunia •Jalan-jalan ke Roma •Jejak Suku Maya di Meksiko •Dari Leningrad ke Moskow •Makam Mbah Marx di London •Shakespeare & Co di Paris
SIGIT SUSANTO lahir di Kendal, Jawa Tengah, 21 Juni 1963. Ia lulus AKABA 17 – UNTAG Semarang pada tahun 1988. Sejak April 1996 Sigit menetap di Swiss.
Karyanya yang telah terbit: Sosialisme di Kuba (2004) Pegadaian: Novel (2004) Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 1 (2005) Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 2 (2008) Menyusuri Lorong-Lorong Dunia: Kumpulan Catatan Perjalanan Jilid 3 (2012) Surat Untuk Ayah (2016) Kesetrum Cinta: Kisah Jenaka Pria Jawa Menikah dengan Perempuan Swiss (2016)
Banyak buku yang saya baca hasil pemberian teman, dan buku ini salah satunya. Sekilas memang seperti buku perjalanan biasa yang banyak beredar belakangan ini. Namun buku ini berbeda karena perjalanannya banyak berdasarkan kesukaannya akan buku dan sastra. Mulai dari kisah di Kuba dengan Che Guevara, tempat sastrawan dunia di Venesia, lokasi makam Marx di London sampai ke toko buku Shakespeare & Co di Paris. Berbarengan dengan perjalanannya, penulis buku ini juga bercerita kisah latar belakang dari tempat itu dari berbagai buku yang pernah dibacanya. Berpisah dari rombongan tur untuk menelusuri jejak sejarah juga dilakukan, sehingga tidak sekadar rute wisata yang biasa. Berdasar dari cerita di buku ini, bulan lalu ketika ada kesempatan ke Amsterdam, tujuan utama saya adalah ke Museum Multatuli yang lokasinya tidak jauh dari Centraal station. Menyenangkan dapat merasakan perjalanan yang sama dari buku yang kita baca, dan lokasi yang berbeda dari tempat-tempat yang orang-orang biasa kunjungi. Walau untuk museum Multatuli sendiri sekarang sudah berbeda dari penggambaran penulis yang bercerita bahwa di situ masuk Red Light District saat tahun 2003. Ketika akhir januari kesana lokasinya seperti kompleks rumah dan ruko biasa. Selain Amsterdam, banyak tempat-tempat menarik yang diceritakan di buku ini, memunculkan harapan untuk bisa melihat dan merasakan langsung.
Patut dibaca dan dicoba.
note. Ada kesalahan cerita di buku ini yang masih menganggap Den Haag adalah ibukota Belanda. Den Haag hanya pusat pemerintahan, dan ibukota tetap di Amsterdam.
I have to admit this book has a great travel stories. I enjoyed most, because I have similar thought processing about what I see while I am traveling. He must be realized that being Indonesian -mean you have to have a religion made travel to the corner of Socialist countries gave him different perspective. Yes indeed he've been traveling to Marx's grave, visiting Che's land, and making pilgrimage's literature of Kafka.
Very enchanting book, an eye opening about world's renowned writer through their place.
Di dalam buku kumpulan catatan perjalanannya ini, Sigit Susanto seakan membawa kita ke seluk-beluk hingga ke pelosok terdalam dari belahan dunia Eropa, Afrika, dan Amerika. Bahasa yang digunakan begitu lugas dengan kesan jurnalistik yang kuat dan begitu padat akan informasi.
Hal lain yang sangat menarik pada buku ini ialah pengetahuan luar biasa pengarang akan tempat-tempat yang dilaluinya, terutama dalam hal sastra dan juga sejarah. Dengan luwes penulis menyisipkan berbagai kisah menarik seputar sastrawan ternama di belahan dunia itu serta mengisahkan bagaimana kehidupan serta karya sastra mereka lahir. Buku catatan perjalanan ini sangat jelas menambah wawasan, memperkaya ilmu pengetahuan, serta memperluas cakrawala pemikiran kita akan keadaan sosial-budaya negara lain.
Yang paling berkesan dari buku ini adalah bagaimana penulis menceritakan keterikatan emosinya dengan setiap tempat melalui catatan2nya. Mas Sigit yang seorang asli Indonesia merefleksikan suatu mimpi yang dulu hanya mimpi menjadi sebuah kenyataan, bisa mereguk pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri orang.Menjelajahi ilmu Terpekur saat membaca tulisan mengenai pertanyaan istrinya, "apa yang ingin kau bawa pulang nantinya, kekayaan ataukah pengalaman?". Dan kita tahu sendiri jawabannya melalui buku ini...
it started off as a charming innocent perspective of a simple third-world traveler anxious about his first long-term journey in a foreign land - but the charm wears off as his tale of adventures started to read like a "been there done that" guidebooks - except for some misadventure in the desert, the struggle to get a visa, and the perils and joy of living as a foreigner in a cold cold land. Great literary travel trips though!
Buku lama yang diterbitkan Insist baru saya baca di tahun 2020. Persis saat protokol Covid 19 mewajibkan warga berdiam di rumah. Jilid pertama dari trilogi menjadi babak pembuka mengenal lezatnya tulisan Sigit Susanto. Penuturannya yang bersahaja. Begitu mengasyikkan bisa keliling tempat-tempat terkenal di dunia lewat buku.
Sigit Susanto menampilkan tulisan perjalanannya dengan memikat. Bukan sekadar menambah informasi bab sebuah tempat tujuan namun memberi lebih dari itu. Kesan-kesan terdalam dan autentik bisa kita temukan terbentang di buku ini. Sastra dan politik dengan kental menyatu menambah legitnya sajian yang dihidangkan. Franz Kafka dihadirkan. Ia mengunjungi makam sang sastrawan yang dikenal luas berkat novela "Metamorfosis". Tidak ketinggalan menyelami keindahan sekaligus pergulatan kehidupan di Havana tampil lewat pengamatan Sigit di "Che masih hidup di Kuba". Ditutup dengan menjejaki Paris, lihat-lihat toko buku legendaris Shakespeare & Co. dan Restoran Indonesia yang dikelola oleh orang Eksil asal Indonesia.
Direkomendasikan untuk pencinta buku catatan perjalanan, sosial dan politik, dan sastra. Penggalan kisah hidup Sigit yang dituangkan di sini sulit untuk dilewatkan.
NEGERI ini pernah hanya monolitik: segala sesuatunya tak boleh beda. Seperti di masa lalu Cina dengan baju, seperti Chili dengan mobil, seperti Venezuela dengan rumah, saat ini; monolitik adalah keseragaman. Untuk menciptakan keseragaman itu butuh satu komando yang tegas dan keras: komando kebenaran.
Sejarah yang lalu menempatkan kita pada pilihan komunisme sebagai pasangan keseragaman. Muncul enak-tak enak. Dalam Menyusuri Lorong-Lorong Dunia hal itu bisa ditemukan dari dialog dengan orang dari Eropa Timur, tepatnya Bulgaria, yang merupakan negara bekas komunis.
S: “Bisa sedikit diterangkan kehidupan di rezim komunis dulu?” D: “Menurut para orang tua, sistem komunis lebih enak dibanding sistem demokrasi. Tetapi menurut anak muda, lebih enak sistem demokrasi.: S: “Perbedaan apa yang mencolok?” D: “Di zaman komunis, tak ada kebebasan, juga partai politiknya tunggal. Di zaman demokrasi sekarang ada kebebasan. Tetapi perasaan takut dan cemas selalui menghantui.” S: “Bisa dijelaskan lebih rinci?” D: “Misal, dalam hal pekerjaan. Di zaman komunis pekerjaan dijamin pemerintah. Atasan tak boleh seenaknya memecat karyawan. Tetapi sekarang justru di zaman demokrasi ini, setiap hari karyawan khawatir berbuat salah, takut dipecat atasan.” S: “Ada contoh lain?” D: “Dalam hal mencari apartemen. Sekarang ini susahnya luar biasa. Apalagi di kota, karena semua apartemen ssekarang milik pribadi. Di zaman dulu tidak begitu. Setiap warga dapat kepastian mendapatkan tempat tinggal.”
Rezim komunis bisa jadi agung dengan kelebihan-kelebihan itu, seperti ketika Etienne Cabet sebelum pertengahan abad 19 menunjukkan sebuah negeri komunis ideal yang dipimpin diktator baik hati dalam buku Voyage en Icarie. Kegetiran tak jadi kisah yang melulu mengerdilkan sebuah kekuasaan komunis. Cerita ketika di Kostroma menambahkan: 80 % orang Rusia menanam kentang di tanah mereka sendiri. Dan kapitalis: perlahan-lahan hutan menjadi milik swasta, orang desa yang biasa mencari jamur di hutan dengan bebas merasa berat dengan perubahan cepat dan cara baru itu.
Tapi di Indonesia monolitik adalah sejarah setelah para komunis diburu dan dibunuh, setelah orang-orang yang menyanyikan Genjer-genjer dianggap pasti menyeleweng dari Pancasila dan mesti ditembak dengan mata tertutup kain. Bagi Leninist atau Kruschovist, tulisan Lenin dan segala ihwal tentangnya adalah kebenaran. Bagi Maois, buku Mao adalah panduan untuk menjadi manusia paling paripurna. Bagi negeri ini, titah dan keinginan Presiden adalah kebenaran—kebenaran yang mirip doktrin. Komando harus selalu dianggap kebenaran. Dengan doktrin-doktrin hidup jadi berat dan menyesakkan.
Saya memotret Entrok, sebuah novel Okky Madasari yang terbit tahun ini, mengenai kehidupan di masa Orba. Marni yang buta huruf percaya bahwa daun dewandaru membawa keberuntungan dari leluhur, yaitu Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Anaknya, Rahayu, adalah generasi sekolah dan taat pada agama Tuhan: dengan itu ia membenci ibunya. Takdir pun akhirnya memisahkan ibu-anak yang tak menemukan titik temu keyakinan mereka.
Dalam kehidupan yang kaya raya Marni hidup dibawah Golkar dan tentara. Setiap pemilu datang, ia mesti menyumbang banyak uang untuk kampanye, bahkan genteng rumahnya harus dicat kuning seperti warna partai. Di Singget, hanya dua orang yang tak mencoblos Golkar. Satu orang diketahui abangan, punya gambar Soekarno di rumah yang kemudian oleh tentara diminta tak dipajang. Setiap bulan Marni juga harus menyetor sejumlah uang pada tentara sebagai “uang keamanan”.
Pergi jauh dari ibunya, Rahayu menjadi aktivis. Ia membela rakyat atas keberingasan pemerintah yang ingin menjadikan sebuah desa sebagai waduk meski akhirnya terusir. Kemudian, ia mengungkap kebrutalan tentara atas apa yang dialami seorang tukang becak bernama Mehong. Tapi semua sia-sia: malam-malam Mehong dibawa paksa dari rumahnya oleh enam petugas, dan di suatu pagi Mehong ditemukan mati di depan pasar.
Pada akhirnya Marni dan Rahayu ─keduanya yang menempuh jalan berbeda─ kalah. Dengan sepatu-sepatu tinggi dan senapan teracung di mana-mana kehidupan masyarakat berjalan. Dengan itulah negara menjalankan pemerintahan monolitik, agar rakyat tak `melenceng`. Pemerintahan Orde Baru mempersempit ruang kontroversi politik yang diizinkan. Para ahli sering menyebut “politik tertib”.
Tentu saja, banyak ahli mengira-ira mengapa itu terjadi. Tantangan-tantangan krisis ekonomi, krisis politik, konflik-konflik antara pendukung Soekarno dan ABRI, membuat pemerintahan saat itu mesti memilih untuk menciptakan kepemimpinan baru yang meminimalkan konflik untuk mengatasi krisis. Dan kepemimpinan baru itu terlihat matang: kitchen cabinet dibentuk, perwira militer dilibatkan lebih jauh dalam pemerintahan sipil, perwakilan rakyat dikendalikan untuk mendukung “keinginan” pemerintah, dan doktrin seperti “pembangunaisme” dan “dwi fungsi ABRI” disebar.
Dalam praktek, perpolitikan menjadi ketat. Tak heran banyak pihak jadi subsisten. Kekecewaan itu jelas: pembebasan dari otoritarianisme Demokrasi Terpimpin malah hanya berujung pada otoritarianisme jenis lain. Dan kini, masa Reformasi agaknya menampilkan kekecewaan yang tak putus. Orang-orang terlampau bebas, korupsi dan kejahatan tak berkurang, malah makin tebal kasus-kasus tak selesai meski fakta terang-benderang, konflik di level lokal pun masih ramai.
Mungkin kita perlu menengok Srikumar S. Rao dalam Are You Ready to Succeed?: kebebasan tak sekedar berhenti pada “tidak diatur-atur” dalam berbuat dan berpikir. Kebebasan yang tidak kalah penting adalah “kemampuan untuk menempuh sesuatu yang menurut kita—saat sedang waras dan rasional—paling baik” tanpa tuntutan ego.
Saya sendiri tak suka suatu hal yang arbitrer, sewenang-wenang. Seperti Ibrahim yang ”tak suka kepada yang tenggelam”.
Inilah buku traveling pertama yang aku baca. Dibeli sekitar tahun 2006 tanpa secuil pun informasi mengenai buku ini. Sampulnya pun tidak terlalu menarik malah cenderung gelap. Namun judul buku inilah yang paling menggoda sehingga aku tertarik untuk beli.
Ini bukan buku jalan-jalan biasa. Mas Sigit (penulis buku ini) bisa hidup di Eropa (tepatnya di Swiss) pasca menikah dengan wanita Swiss yang ia pandu selama berlibur di Bali. Ternyata, kepindahannya ke benua biru memudahkan langkah mas Sigit untuk menyusuri lorong-lorong dunia.
Ada banyak tempat, kota dan negara yang dijelajahi dan jadi sajian utama buku ini. Yang menarik adalah, perjalanan-perjalanan tersebut didasari keingintahuan dan ketertarikan mas Sigit terhadap karya sastra dunia. Misalnya saja ketika berada di Ceko, mas Sigit napak tilas perjalanan hidup Franz Kafka (penulis tersohor itu). Begitupun ketika berada di kota/negara lain. Semua perjalanan didasari kutipan-kutipan buku sastra yang sangat terkenal.
Di satu sisi itulah letak menariknya, namun jujur di beberapa part penjelasan-penjelasan yang terlalu detail kadang menghilangkan esensi perjalanan itu sendiri. Aku paling suka jika mas Sigit sudah bercerita tentang interaksinya dengan warga lokal. Misalnya saja ketika berada di Tunisia, mereka sedikit bermasalah dengan guide yang bertugas. Atau ketika berada di Rusia disapa "selamat pagi" oleh bule Australia yang pernah tinggal di Jakarta.
Pertemuan-pertemuan itu menjadi istimewa. Apalagi mas Sigit juga menyikap sejarah-sejarah dunia. Ingin sekali baca seri ke-2 buku ini. Ada yang mau menghadiahkan barangkali? haha.
Itu saja deh :) Pokoknya buku ini cakep dan sangat 'bergizi'.
Buku ini berisi tentang catatan-catatan perjalanan penulisnya ke berbagai negara. Menarik saat mempelajari tempat-tempat bersejarah di berbagai belahan dunia melalui buku ini, apalagi dikaitkan dengan tokoh-tokoh besar di negara tersebut. Dalam buku ini penulisnya menyoroti tiga bidang kegemarannya yaitu politik, budaya, dan sastra pada negara-negara yang menganut sistem komunis-sosialis. Pelajaran bagi orang yang menyukai travelling untuk membuat peta tujuan perjalanan.
Menyusuri lorong2 dunia, membuat gue berpikir banyak hal. Sigit menceritakan pengalamannya yg seorg Indonesia, menjelajah 'gamblang' negeri orang. Agak boring, namun punya nuansa historis yg kental, karena di setiap tempat, Sigit menceritakan kesannya sendiri. Hamka, Tempat tinggal Anne Frank, Mozart... hanya segelintir dari tempat yg ia lihat. Memorable buat gue, waktu Sigit di atas truk besar dan dikerjain anak lelaki jerman. Must Read.
Cerita tentang backpacker memang selalu menarik untuk dibaca, Sigit Susanto bisa menjadi mata bagi saya untuk melihat dunia dari kacamatanya, terutama kunjungannya ke negara Kuba. Tentu saja cara penulisan dan sudut pandang seorang backpacker akan berbeda dengan cara seorang wartawan pemburu berita menulis dan menyampaikan informasinya. Saya mengharapkan lebih dari sekedar catatan perjalanan dari buku ini. Di buku kedua saya mendapatkan informasi lebih dari yang diharapkan pada buku pertama.
Begini sewajarnya setiap buku tentang kembara! Bukan saja membicarakan soal perjalanan yang ditempuh tetapi yang lebih penting, soal politik dan sastra di setiap negara yang dikunjungi. Meskipun aku tak sudi dengan metode pengembaraan Sigit Susanto dan istri yang menurutku lebih mirip pelancung ketimbang petualang (bus wisata, menginap di hotel, beg tarik beroda), namun catatan-catatan pendek Sigit di 13 buah negara ini tetap saja mengasyikkan.