Ghirah, cemburu dan siri bukan sahaja milik orang Islam, atau pemimpin Islam, yang selalunya dilabelkan sebagai fanatik. Kerana hal ini terdapat pada segala bangsa dan agama, juga tokoh dan pemimpin mereka. Sebab cemburu adalah kesan daripada maruah yang tinggi. Cemburu adalah perhiasan yang laksana mahkota terletak di keningnya yang memancarkan cahaya bagi sejarahnya.
Ghirah atau cemburu itu ada dua, pertama masalah wanita dan kedua perkara agama. Jika adik perempuanmu diganggu orang, lalu orang itu kamu pukul, petanda padamu masih ada ghirah. Jika agamamu, nabi dan al-Quran kitab sucimu dipersenda, dihinakan orang kamu berdiam diri sahaja, bermakna ghirah telah luput dari dirimu. Sedarlah bahawa, ghirah dan cemburu kerana syaraf dan agama adalah pakaian yang tidak boleh ditanggal. Kalau akan ditanggal juga, gantinya hanya satu, iaitu kain kaan tiga lapis. Sebab kehilangan cemburu samalah dengan mati.
Kalau Ghirah, Cemburu dan Siri yang sejati tidak ada, nescaya kita akan dijajah orang kembali, bukan sahaja penjajahan dari bangsa asing bahkan daripada golongan yang kuat kepada yang lemah, daripada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa, selain dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.
Maka kalau tidak berani lagi mempertahankan keadilan dan kebenaran, bererti bahawa diri telah punah, dan punah pulalah kemerdekaan.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, known as Hamka (born in Maninjau, West Sumatra February 17, 1908 - July 24, 1981) was a prominent Indonesian author, ulema and politician. His father, syekh Abdul Karim Amrullah, known as Haji Rasul, led and inspired the reform movement in Sumatra. In 1970's, Hamka was the leader of Majelis Ulama Indonesia, the biggest Muslim organizations in Indonesia beside Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah. In the Dutch colonial era, Hamka was the chief editor of Indonesian magazines, such as Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, and Gema Islam.
Sebenarnya buku ini dibaca hanya satu malam sahaja. Nipis dan ringkas. Saya membacanya pula ketika Malaysia masih dalam mood menyambut perayaan Merdeka, 31 Ogos.
Maka, buku ini sangat mengena. Membicarakan bagaimana seharusnya kita punya ghirah dalam hal agama. Ghirah ini juga boleh membantu kita untuk benar-benar merasa cinta akan negara dengan semangat kecintaan yang betul.
Juga menyentuh tentang ghirah dalam hal perempuan. Seorang suami perlu rasa ghirah untuk sentiasa menjaga maruan isterinya. Apalah makna suami tanpa ghirah ini.
Hamka juga mengulas, tentang ghirah yang dimiliki Ghandi, dalam mempertahan maruah agama Hindunya. Hingga sanggup melutut kepada orang biasa, demi agama. Padahal semua kita tahu betapa lembut dan toleransinya Ghandi itu. Tapi nyata, dalam hal agama Ghandi itu keras dalam lembut.
Seharusnya kita begitu juga terhadap agama Islam tercinta ini. Bukan menyalahgunakan agama, bukan bersemangat Islam tak tentu hala. Tetapi harus kuat asas agama, bijak dalam beragama hingga boleh dirasakan maruah Islam itu terjulang tinggi kerana kita.
Sesiapa yang membaca buku ini, tetapi tidak naik semangat beragamanya, maka ucapkanlah Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Rasa emosional lepas habis baca buku ni. HAMKA menulis tentang masalah-masalah umat yang berlaku semasa zaman 80an. Pergaulan antara lelaki dan perempuan muslim sangat bebas sehinggakan ada lelaki yang sudah berkahwin tinggal satu bilik bersama dengan perempuan yang sudah bersuami. Itu pun beralasan kerana outstation. Itu 80an dulu. Sekarang dah 2018. Rasa bertambah teruk pun ada.
Puncanya adalah tak ada 'ghirah' dalam individu muslim tersebut. Ini kerana disebabkan serangan pemikiran dari barat yang mengangkat international relation sehingga tak ada batas yang perlu dihadkan. Kalau lapar, makan. Kalau rasa ghairah, lakukan seks. Tak perlu nikah!
Tajam, lugas, dan menohok. Khas Hamka, seperti biasa. Sesiapa yang usai membaca buku ini lalu tidak tersinggung ghirah keagamaannya, maka berikan kepadanya tali kafan dan ucapkan padanya Innaalillaahi wa inna ilaihi raajiuun.
Buya menamparku selaku pembaca, selaku seorang muslim, selaku seorang Indonesia. Ghirah/cemburu adalah karakter kita, yang sejak dahulu sudah diajarkan dan diwariskan dalam tindak laku.
Jangan sampai, manusia kehilangan kesadaran atas harga dirinya. Harga diri itu yang, selama ini terjaga dengan sifat malu. Sebagai muslim, aku percaya bahwa malu adalah cabang keimanan. Lantas, saat rasa malu itu kian samar, saat rasa malu sudah tidak lagi menjadi tameng, harga diri yang konon tidak terbilang harganya itu juga kian meluntur.
Dari buku ini, aku kembali diingatkan. Bahwa ada harga diri yang patut dijaga, terlebih saat itu berkaitan dengan keimanan kita. Jangan melemah, jangan menyerah.
Tulusan Buya tentang harga diri, kemahuan menjaga maruah agama, bangsa dan negara serta maruah diri sendiri. Banyak contoh yang diberikan berkaitan masalah sosial dalam masyarakat, pergaulan bebas, kemahuan pemerintah mencegah yang dirasakan begitu rendah; saya rasakan begitu mirip sekali dengan apa yang berlaku sekarang. Ternyata masalah ini sudah lama berlaku dan tidak selesai-selesai sejak dulu. Dan ia masih sangat relevan untuk dibicarakan dan dicarikan penyelesaian. Hamka memberikan beberapa cadangan untuk dilaksanakan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
"Tuan boleh menuduh kaum Muslimin itu fanatik. Akan tetapi, tuan harus membenarkan kata hati tuan sendiri bahwasanya fanatik Islam adalah modal yang sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia agar tuan tahu itu bukanlah fanatik! Itu yang bernama Ghirah." (24) . . .
Ghiroh (cemburu) seringkali dinilai sebagai bentuk "fanatik", "kolot", nyatanya tanpa adanya ghiroh, jatuhlah harga diri, jatuhlah kehormatan. Pasangan disentuh orang lain diam (dayust), saudara perempuan dinodai dilecehkan diam, seorang muslimah berusaha menjaga kesucian namun dianggap hina, Kesemua itulah tanda matinya ghiroh. . . .
Ghiroh yang telah menjadi darah daging ada 2 perkara, soal wanita dan agama. "Sangat awaslah kalau harta bendanya tersinggung, tetapi tak ada perasaannya apabila agamanya kena musibah." (Ali bin Abi Thalib) . . .
Komunisme adalah suatu paham! Orang bebas menyatakan pahamnya. Nasionalisme merupakan suatu paham! Orang bebas menyatakan pahamnya. Sosialisme merupakan suatu paham! Orang bebas menyatakan pahamnya. Namun kalau agamamu dicela, Nabimu diejek, dan pemimpinmu difitnah dibunuh, hendaklah engkau tegur! Itu adalah mungkar! . . .
Ada hal menarik pula tentang Gandhi, Begitu hebatnya cemburu Gandhi kalau martabat agamanya tersinggung, meskipun kelihatannya begitu lemah lembut dan berperikemanusiaan. Ada beberapa kisah di buku ini, bagaimana usaha Gandhi menggagalkan keislaman beberapa kalangan Hindu. Beliau saja punya Ghirah, mengapa Islam redup Ghirohnya????????? Orang tak menghargai kecemburuan atas "syaraf" yang ada dalam jiwa umat islam, dan orang lupa kecemburuan dalam selimut lemah lembut yang ada pada Mahatma Gandhi.
Memperluas perspektif tentang makna ghirah (cemburu) bagi setiap bangsa dan negara. Pemaparan penulis bernas dan tegas. Kisah-kisah di dalamnya berdasarkan pengalaman penulis yang kaya akan hikmah kehidupan.
Buya mengajak saya untuk meneliti dunia yang penuh dengan kontradiksi: di satu sisi, ada ghirah yang menggebu-gebu, dan di sisi lain, ada pengaruh budaya barat yang menggoda seperti iklan sabun mandi di televisi. Karakter-karakter dalam cerita ini berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai Islam di tengah arus modernisasi yang kadang lebih menyerupai festival diskon daripada perjuangan moral.
Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam berhasil menciptakan sebuah panorama sosial yang satir, di mana karakter-karakter berjuang antara mempertahankan nilai-nilai Islam dan tergoda oleh pengaruh budaya barat yang glamor. Buya ingin menyampaikan pesan yang sangat mendalam: bahwa umat Islam harus tetap berpegang pada nilai-nilai agama sambil menghadapi arus modernisasi yang menggoda. Namun, saya melihat bagaimana pesan ini bisa disampaikan dengan nada satir. Let’s get it!
"Jaga Ghirah, Tapi Jangan Terlalu Serius!" Pertama-tama, Buya ingin kita memahami pentingnya ghirah, yang bisa diartikan sebagai semangat atau kecemburuan terhadap agama. Namun, di dunia yang penuh dengan iklan dan influencer, ghirah ini sering kali tampak seperti barang antik yang teronggok di sudut toko. "Jaga ghirah, ya! Tapi jangan sampai lupa selfie dengan latte art di kafe Instagram," mungkin saran Buya jika dia hidup di zaman sekarang.
"Berjuanglah, Tapi Jangan Terlalu Kaku!" Pesan selanjutnya adalah pentingnya berjuang melawan pengaruh negatif dari budaya barat. Namun, dalam konteks yang konyol, Buya mungkin akan berkata, "Berjuanglah, tapi ingat, jangan sampai kehilangan gaya. Tampil fashionable sambil membawa Al-Qur'an itu penting, kan?"
"Pendidikan Agama? Oh, Itu Keren! Tapi..." Buya menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai benteng moral. Namun, jika saya mengambil sudut pandang yang satir, mungkin dia akan berkata, "Pendidikan agama itu penting, tapi jangan lupa, kelas online tentang cara memasak makanan barat juga harus diikuti. Siapa tahu bisa jadi influencer kuliner!" Dengan begitu, pendidikan agama bisa jadi sekadar hiasan di samping keterampilan memasak spaghetti.
"Solidaritas, Tapi Ayo Bikin Grup WhatsApp!" Dalam hal solidaritas, Buya ingin umat Islam bersatu dalam menjaga nilai-nilai agama. Tetapi, jika saya melihatnya dari sudut pandang satir, dia mungkin akan menambahkan, "Solidaritas itu penting, tapi jangan lupa untuk membuat grup WhatsApp agar semua orang bisa saling berbagi meme tentang ghirah. Bagaimana kalau kita adakan kuis virtual tentang sejarah Islam sambil menonton film barat?"
Dengan gaya satir, pesan Buya menjadi jelas: kita harus menjaga ghirah dan nilai-nilai Islam di tengah pengaruh budaya barat, tetapi dengan humor dan kesadaran bahwa dunia tidak selalu serius. Dalam pertempuran antara tradisi dan modernitas, mungkin yang terbaik adalah menemukan keseimbangan—sambil tetap tertawa melihat absurditas kehidupan. Jadi, mari kita jaga ghirah, tetapi jangan lupa untuk menikmati latte sambil selfie!
Menuntaskan membaca buku aqidah yang dirangkai sepenuh hati sebagai nasihat, buku yang ditulis oleh ulama hebat sekaligus sastrawan besar Indonesia "Buya Hamka" menyadarkan kepada kita akan pentingnya memupuk kembali sifat ghirah di dalam jiwa yang selama ini bersemayam, agar ia tumbuh menjadi jati diri dan harga diri.
Buku ini berisi bab-bab yang tegas menuntun kita memahami detail ghirah, mulai dari ghirah terhadap kehormatan perempuan, ghirah & kisah Ghandi (yang begitu terkenal keras terhadap agamanya Hindu, dimana kita mampu mengambil hikmah bahwa manusia yang terkenal bijaksana seperti Ghandi mampu keras dan benci manakala agama Islam masuk dalam ranah dan sekelilingnya.) Apatah kita yang sudah dibekali syari'ah untuk terus memperjuangkan agama Islam ini? Ghirah terhadap diri hingga puncaknya adalah ghirah kepada agama.
Buku yang ditulis sudah lebih dari berpuluh tahun ini, seperti mampu menembus cakrawala dalam persoalan masa kini, pengaruh ghazwul fikr nampak nyata dimuka, dan Buya seakan mengajak kita lebih aware terhadap issue itu. Mulai dari modernisasi hingga sekulerisme.
Dua kutipan yang saya simpan untuk dipublikasikan berasal dari buku ini (1)"Bila ghirah telah mulai hilang, jiwa akan mulai gelisah." (2)"Cemburu, laksana mahkota terletak di keningnya yang memberi cahaya bagi sejarahnya." Khazanah keilmuan beliau bisa kita rasakan seusai membaca buku yang penuh akan syarat makna ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Ghirah yang ada dalam bahasan buku ini adalah tentang bagaimana ummat muslim yang seharusnya memperjuangkan harga dirinya di tengah begitu banyak kebobrokan akhir zaman yang telah ditampilkan terang-terangan.
Terlebih ketika hari ini kita dihadapkan dengan fenomena Ghazwul Fikri, perang pemikiran yang sasaran utamanya adalah menghancurkan moral para pemuda. Buya menulis ini dengan latar belakang zamannya yang telah mendahului generasi kita, tapi apa yang dipaparkan masing sangat relate dengan fenomena yang terjadi sekarang. Fakta bahwa anak-anak muda mengalami krisis indentitas, gamang dalam memandang kehidupan, bercita-cita dengan orientasi yang sangat materialistik dan terkungkung dengan pemikiran sekularis adalah bukan hal yang baru lagi. Ternyata sejak era kemerdekaan Indonesia, berada dalam zona nyaman dalam menikmati kemerdekaan yang telah dibebaskan oleh para pendahulu, kita telah menjadi generasi yang lembek dan rapuh. Ini mengingatkan saya dengan kondisi generasi penerus Konoha pasca Perang Dunia Shinobi *eh
Ghirah ini ternyata sangat dekat dengan kebudayaan Indonesia, khususnya bagi masyarakat Bugis-Makassar yang telah akrab dengan bahasan Siri'. Orang-orang yang rela "mengangkat parang" demi mempertahankan harga dirinya. Begitupun dengan islam, ada orang-orang yang rela mati atas konsekuensi harga keimanannya.
Naskah yang saya baca bertajuk Ghirah Cemburu dan Kebencian Terhadap Islam, terbitan Pustaka Dini. Pesanan yang amat penting dari Buya Hamka, betapa perlunya kita sedar "wujudku". Tanpa kesedaran yang jitu dan perbuatan yang disandarkan pada rasa tahu marah, tahu malu, tahu cemburu, jangan kata maruah, kemerdekaan tanah air juga bisa dirampas. Kita anak Malaysia juga harus kuat menebalkan jati diri dengan sikap Ghirah, siri, tahu marah jika Islam diinjak.
Buku ini harus dibaca semua pemuda bangsa, sebab dalam buku ini mendorong anak-anak muda untuk memiliki harga diri. Kehadiran budaya Barat yang serba bebas, kemudian ditiru plek oleh pemuda, dan sampai hari ini masih relate dengan kondisi zaman, perlu akhirnya menjadi refleksi bersama; jangan sampai kita kehilangan identitas timur terutama apa yang agama ajarkan
Di era gazwul fikr a.k.a perang pemikiran yang makin hari makin gencar ini, akan kah kita masih mendengarkan esensi dari kalimat-kalimat itu? Ghirah umat yang kian hari kian menipis digerus arus liberalisme-sekularisme. Umat yang tidak lagi marah ketika agamanya terasa diinjak-injak dengan dalih sikap moderat. Moderat atau takut dituduh fanatik tuan?
Kalau anda mahu memahami perjalanan agama dan politik di Indonesia, baca buku ini anda mungkin akan faham sedikit sebanyak bagaimana sejarah dan penjajahan kehidupan, minda dan agama di negara Indonesia.
Umumnya, buku ini menyentuh suasana dan budaya rakyat di Indonesia. Menceritakan bagaimana rakyat Indonesia dahulunya mempertahankan agama dan maruah, lebih rela dipenjara berbelas tahun lamanya. Berbanding dipenjara kerana perbuatan merompak atau kejahatan yang sepertinya. Begitu juga hal budi pekerti serta pergaulan yang sangat dititikberatkan oleh orang-orang Islam di Indonesia.
Tidak ketinggalan Buya Hamka juga mengulas mengenai kedatangan para penjajah di negara itu yang sekian banyak membawa perubahan dalam kehidupan orang-orang Islam. Bermulanya era pegangan budaya dan agama makin lama makin disisihkan sehingga yang terlarang dalam agama mendapat sambutan, yang dianjurkan dalam agama malu untuk dilakukan! Pendek kata, bukan sahaja penjajahan dari luar berjaya terhadap budaya di Indonesia, tetapi juga terhadap minda dan pegangan agama. Bermula zaman orang yang mahu setia kepada pegangan agama dikatakan fanatik. Dan orang yang semakin membuang agama dalam kehidupan dikatakan hebat, dipuji dan disanjung.
Kesimpulannya, banyak butir nasihat di dalam buku ini yang diceritakan untuk menjadi pengajaran dan teladan kepada kita zaman sekarang, atau generasi yang akan datang. Biar lebih faham bagaimana perjalanan anasir-anasir luar yang licik untuk menyusup masuk dalam kehidupan seharian kita dan akhirnya, mahu membuat kita membuang agama.
"Jika hendak mengetahui muruah umat Islam, janganlah dilihat semata-mata di zaman yang membagi keuntungan, tetapi lihatlah di zaman sulit. Di zaman orang membagi keuntungan, ia kerap kali ketinggalan kereta api, sebab sarung dan serbannya berat sebelah saat berlari." --hal. 21
Akhirnya keturutan juga membaca karya Buya Hamka yang ini. Di momen yang saya kira tepat. Momen untuk menyalakan kembali nyala dalam dada. Nyala itu bernama ghirah.
Buku ini membangkitkan semangat untuk menjaga kehormatan diri, keluarga dan agama. Sebuah karya yang tidak lekang oleh zaman.
Ghirah menunjukkan nafas dan nyawa setiap anak manusia. Sehingga kalau seandainya ghirah telah hilang, maka tidak pantas disebut manusia itu masih hidup. Ghirah sebagai pembelaan terhadap harkat dan harga diri/fitrah kemanusiaan.