Pada abad ke-10, Jepang Timur yang dianggap primitif menjadi terkenal oleh ulah Taira no Masakado, anak seorang penguasa Shimosa yang sempat menjadi pelayan selama belasan tahun di Ibukota.
Bermula saat ditolong seorang gadis, anak pembuat baju zirah, Masakado yang pernah patah hati kini jatuh cinta lagi. Dia berhasil merebut hati dan mempersunting gadis yang menjadi rebutan para pemuda. Namun, kebahagiaannya terusik oleh kecemburuan dan dengki yang membuat dirinya diserang oleh para daimyo dan pamannya.
Persoalan kian rumit saat orang-orang mengangkat Masakado sebagai Kaisar baru sehingga istana kekaisaran pun gempar dan langsung turun tangan.
----------
Inilah kisah perjalanan hidup the first samurai yang lugu, setia dan cinta damai namun dipaksa berperang untuk mempertahankan wilayah dan kehormatannya. Seorang tokoh samurai yang dikagumi oleh Miyamoto Musashi dan Minamoto no Yoritomo.
Pen-name of Yoshikawa Hidetsugu. Yoshikawa is well-known for his work as a Japanese historical fiction novelist, and a number of re-makes have been spawned off his work.
In 1960, he received the Order of Cultural Merit. Eiji Yoshikawa (吉川 英治, August 11, 1892 – September 7, 1962) was a Japanese historical novelist. Among his best-known novels, most are revisions of older classics. He was mainly influenced by classics such as The Tale of the Heike, Tale of Genji, Outlaws of the Marsh, and Romance of the Three Kingdoms, many of which he retold in his own style. As an example, the original manuscript of Taiko is 15 volumes; Yoshikawa took up to retell it in a more accessible tone, and reduced it to only two volumes. His other books also serve similar purposes and, although most of his novels are not original works, he created a huge amount of work and a renewed interest in the past. He was awarded the Cultural Order of Merit in 1960 (the highest award for a man of letters in Japan), the Order of the Sacred Treasure and the Mainichi Art Award just before his death from cancer in 1962. He is cited as one of the best historical novelists in Japan.
When I look around Everybody always brings me down Well is it them or me Well I just can't see But there ain't no peace to found But if someone really cared Well they'd take the time to spare A moment to try and understand Another one's despair Remember in this game we call life That no one said it's fair - Guns N' Roses (Breakdown)
Berapa harga yang harus dibayar oleh seorang anak manusia yang hanya ingin hidup bahagia dan bersahaja di tanah air yang damai?
Taira no Masakado, atau Soma no Kojiro, putra pertama Taira no Yoshimochi, keturunan kelima dari Kaisar Kanmu, tidak punya ambisi besar selain hidup damai di tempat kelahirannya, dataran Bando di Jepang Timur. Namun nasib menentukan lain. Saat usianya menginjak tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebelum meninggal, sang ayah menitipkan tanah pertanian dan peternakannya kepada ketiga saudara laki-lakinya, untuk diserahkan pada anak-anaknya setelah mereka besar nanti.
Tapi tentu saja, Taira no Kunika, Yoshikane, dan Yoshimasa, yang selama ini merasa iri dengan kekayaan sang kakak, bersekongkol untuk membagi-bagi harta peninggalannya di antara mereka bertiga. Gagal membunuh Kojiro remaja dalam perjalanan mengawinkan kuda ke peternakan lain, mereka menyingkirkannya dengan cara lain: mengirimkan Kojiro ke Ibukota untuk "belajar menjadi pria terhormat".
Kojiro yang lugu (atau bodoh?) dan tak pernah berburuk sangka pun berangkat ke Ibukota, dan akhirnya bertahun-tahun menjadi pelayan kelas rendah di kediaman Fujiwara no Tadahira, Menteri Kiri di pemerintahan. Selama di Ibukota, Kojiro tanpa sengaja berkenalan dan berkawan dengan sekelompok pria terpelajar yang merasa muak dengan dekadensi pemerintah Ibukota yang semakin menyengsarakan rakyat dan diam-diam merencanakan revolusi. Di antara orang-orang yang kelak mempengaruhi jalan hidupnya adalah kepala bandit Yasaka no Fujito dan Inspektur Iyo Fujiwara no Sumitomo.
Pada usia dua puluh sembilan tahun, setelah sempat naik pangkat jadi Inspektur di Pangkalan Pengawal, Kojiro kembali ke kampung halaman untuk menunaikan tugas sebagai kepala keluarga dengan menyandang nama Taira no Masakado. Ia mendapati adik-adiknya hidup terlantar, harta kekayaan ayahnya habis dikuras, dan hampir seluruh tanah ayahnya telah diambil alih oleh ketiga pamannya. Meskipun telah hidup lama di Ibukota dan melihat kenyataan bahwa dunia penuh dengan manusia licik dan penuh tipu daya, ia masih lugu dan percaya bahwa para paman tetap memegang janji pada almarhum ayahnya. Ia pun berangkat ke tempat mereka untuk meminta kembali kekayaan dan tanah yang dititipkan. Hasilnya? Tentu saja ditolak dan dianiaya habis-habisan.
Apakah Masakado langsung melawan ketidakadilan yang menimpanya? Tidak. Ia bertekad mengembalikan kesejahteraan keluarganya dengan kerja keras, bukan kekerasan. Ia mengoptimalisasi tanah pertanian dan tanah peternakan yang tersisa, dan perlahan-lahan kehidupannya kembali makmur seperti saat ayahnya masih hidup. Bahkan saat musim paceklik, kekayaannya malah bertambah. Karena perkembangan pesatnya dan sifatnya yang senang membantu orang lain, sekutu pun mulai bertambah.
Takdirnya sebagai dewa perang yang tercatat dalam sejarah awal era samurai di Jepang dimulai justru setelah ia merasa sudah waktunya untuk berkeluarga. Sayangnya, Kikyo, gadis yang dipinangnya ternyata diincar oleh Tasuku dan Takashi, putra sulung dan kedua Minamoto no Mamoru dari klan Hitachi Genji, tuan tanah nomor satu di dataran Bando. Cemburu buta dan patah hati, ditambah hasutan trio paman Masakado yang merasa terancam oleh kebangkitan sang keponakan, mereka sepakat untuk membunuh Masakado dengan jebakan upacara kematian mendiang Taira no Yoshimochi, undangan yang tak mungkin ditolak Masakado.
Di luar dugaan, usaha penyergapan Masakado yang kelak dikenal dengan pertempuran Nozume malah menjadi bumerang bagi para penyerangnya. Masakado selamat karena bantuan dari adik-adik dan anak buahnya yang mengikuti diam-diam. Kadung sudah berperang, daripada kembali ke rumah untuk bertahan dari serangan lanjutan, Masakado pun memimpin pasukannya untuk lebih dulu menyerang lawan. Di sepanjang jalan, para prajurit lokal yang membenci klan Hitachi Genji serta trio Kunika, Yoshimasa dan Yoshikane, bergabung dengan pasukan Masakado. Apalagi sebelumnya daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Taira no Yoshimochi. Tahu-tahu pasukan Masakado berlipat ganda. Dan sebagai akibatnya, Masakado menang dengan mudah!
Dalam pertempuran ini, ketiga putra Minamoto no Mamoru tewas, dan Kunika bunuh diri. Namun tentu saja, perang tidak berakhir di sini. Perang yang awalnya didasari konflik internal klan Taira pun meluas, hingga lama-lama bikin gerah pemerintahan pusat. Sementara Yasaka no Fujito mengipas-ngipasi Masakado, Taira no Sadamori, putra Kunika dan sepupu Masakado, bergerilya di Ibukota untuk menumpas Masakado sebagai pemberontak. Belum lagi di tempat lain Fujiwara no Sumitomo juga memulai pemberontakan.
Masakado yang sebenarnya hanya ingin hidup tenang dan damai akhirnya dikendalikan oleh keadaan. Dendam antar keluarga mulai bertumpuk. Mata dibayar mata, gigi dibayar gigi. Ia tak bisa berbalik, apalagi setelah istri dan anaknya tewas. Konon, ia berperang seperti Asura, merebut provinsi demi provinsi, bahkan sebagian orang menobatkannya sebagai Kaisar Baru. Tapi kebahagiaan sederhana yang diidamkannya tak lagi menghampirinya.
Sejarah mencatat Masakado akhirnya kalah dan gugur, pada tanggal 14 Februari 940. Usianya baru tiga puluh delapan tahun saat itu. Masih muda untuk ukuran zaman sekarang. Apakah ia mendapatkan ketenangan yang didambakannya setelah kematian datang menjemput?
Mungkin tidak. Taira no Masakado telah menjadi urban legend yang sangat populer sampai saat ini. Konon, kepalanya yang dipenggal dikirim ke Kyoto untuk dipamerkan pada publik tidak membusuk selama berbulan-bulan. Lantas, si kepala terbang ke arah kampung halamannya, sebelum akhirnya mendarat di desa Shibasaki (sekarang masuk wilayah Tokyo). Para penduduk desa menyucikan dan mengebumikan kepala itu di Kuil Kanda Myojin. Selama berabad-abad arwah Masakado dikabarkan menimbulkan peristiwa-peristiwa aneh yang tidak masuk akal sehingga diperlukan berbagai cara untuk menenangkan arwahnya. Jadi, jangan coba-coba menggusur makamnya kalau tidak mau kena kutuk. Oleh karena itu, kuil tempat kepalanya bersemayam sampai saat ini masih terpelihara dengan baik di Tokyo.
Sebagai tambahan, karena gambar-gambar Taira no Masakado yang kutemukan di internet tidak ada yang cukup keren untuk kupajang di sini (apalagi gambar kepala gentayangannya!), kupajang saja chara arwahnya dari game Shin Megami Tensei di sini. Hm... masih kurang seram sih.
Ketika awal melihat buku ini, saya hanya melihat nama sang penulis, Eiji Yoshikawa. Terlintas bahwa kisah dalam buku ini akan semenarik buku-bukunya yang lain. Setelah membaca buku ini, saya mendapatkan tiga hal yang menarik. Pertama, saya jadi mengenal seorang legenda Jepang yang bernama Kojiro alias Taira no Masakado. Tidak hanya kisah kehebatannya, tapi juga sisi kemanusiaannya yang bisa gagal dan jatuh. Dalam buku ini, ia disebut-sebut sebagai the first samurai. Dan inilah hal kedua yang saya dapatkan, kesan dan ciri-ciri seorang samurai sejati yang ada pada diri seorang Masakado. Hal ketiga yang saya dapatkan adalah bagaimana Masakado sebagai seorang yang mengambil keputusan di setiap permasalahan yang dihadapinya, termasuk menghadapi lingkungan sekitarnya yang sulit. Buku ini bagus.
The story of Masakado is a historical novel and is from more than thousand years ago. From the young boy living in the Bando area, to the young man whose land and property is stolen by his three uncles. His adventure in the capital and his return and his battle for justice. His love for kykio and his loss. His growing fame as a warrior and his fall. Warning to those who are first readers to Japanese books. Sometimes it is difficult to follow, names of characters change overtime and an endless naming of places can make this book a difficult read.
Taira No Masakado tokoh samurai abad ke-10 yang dikagumi oleh Miyamoto Musashi dan Minamoto No Yoritomo.
Seorang samurai yang setia dan cinta damai tidak memiliki ambisi yang besar cuman ingin mengelola warisan ayahnya. Tetapi alam semesta tidak mengijinkan dia dalam hidup yang tenang lewat berbagai macam kesalah pahaman dan fitnahan mau tidak mau dia dipaksa berperang untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dari dulu saya penasaran dengan sosok Masakado yang di dewakan oleh sebagian masyarakat Jepang dan begitu melihat buku ini dikarang oleh Eiji Yoshikawa saya tidak ragu-ragu membelinya karena saya sendiri sangat suka dengan karya Eiji Yoshikawa yang lain (Taiko). Namun entah kenapa walau secara garis besar novel ini bagus dan menarik tapi jika dibandingkan dengan Taiko novel ini tidak memberikan kesan epik dan heroik yang sama.
tp kenapa tdk bisa suka ya???hmmm...mungkin krn kesusahan mbayangkan setting t4nya kali ya.. emang sih..ada bbrp part yg di suka...hehehe yg pas masakado sama puteri kikyo :p
Keluguan dan kepolosan seorang pemuda berdarah bangsawan yang kemudian dimanfaatkan oleh keluarganya sendiri kemudian menjadikan dirinya seorang penguasa yang serba salah. Sebuah pembelajaran bagi para pemimpin bahwa setiap keputusan akan selalu menghasilkan pro dan kontra.
walaupun kisahnya cukup menarik, tapi gaya berceritanya ga menarik. Seperti membaca novel yang seharusnya beberapa buku, dipadatkan jadi 1 buku. Terasa ada yang kurang
This is about a the first Samurai, before the Edo era (around 900 AD). The writing and the characters details are explained clearly, yet I do not know, just less interesting course, less alluring.