“Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Diakhir revolusi, dia algojo berdarah dingin. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa!”
Pembukaan novel yang mencekam seperti itu, sampai dengan tahun 1960 silam, merupakan pembukaan novel yang khas milik Iwan Simatupang. Pembukaan novel yang padat, penuh dengan pandangan-pandangan hidupnya. Ini juga yang menjadi dasar konsep penulisan kesustraannya yang sarat dengan personifikasi teori eksistensialisme.
Novel yang mulai ditulis 18 Maret 1961 hingga 9 September 1961, menampilkan Tokoh kita. Yang dengan kesadarannya bergelimang pada nilai-nilai irasionalisme, kesadaran pada nilai-nilai ‘gelandangannya’, tak jelas mana makna dan realitas. Hingga akhirnya terbias menjadi manusia-manusia kalah dalam usaha memahami apa sebenarnya hakikat hidup ini.
Iwan Simatupang dilahirkan di Sibolga, Sumatera Utara, 18 Januari 1928, dan meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970.
Sastrawan yang pernah memperdalam antropologi dan filsafat di Belanda dan Perancis serta sempat meredakturi Siasat dan Warta Harian. Ia dikenal dengan novel-novelnya yang mengusung semangat eksistensialisme: Merahnya Merah (1968), Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975), Ziarah (1969), Kering (1972). Dua novel yang disebut terakhir diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris.
Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993).
Mari kita lihat lagi. Tragedi pertama adalah tentang calon rahib yang di masa revolusi menjadi algojo pemenggal kepala lalu sesudahnya jadi gelandangan. Tragedi yang kedua adalah ia tak punya nama, hanya dikenal sebagai Tokoh Kita, identitasnya buram, hanya karakter yang melekat padanya; juga masa lalunya.
Tragedi ketiga adalah tentang Fifi, si gadis kampung korban perkosaan yang melanglang di kota sebagai pelacur dan mendambakan cinta. Tanpa disadarinya ia terlibat cinta segitiga dengan si Tokoh Kita, merasa yakin dengan angan-angan romantisnya, merasa penuh dengan perasaannya, dan karena kepolosannya itulah dirinya suatu hari hilang tanpa jejak. Itu tragedi yang keempat.
Tragedi berikutnya adalah tentang bagaimana orang-orang yang hilang jadi sukar ditemukan, dan bagaimana Tokoh Kita tak sanggup memaparkan ciri-ciri mereka dengan jernih selain dengan tata bahasa yang rumit, puitis, dan berbelit. Tragedi yang lainnya adalah tentang si Pak Centeng, jagoan andalan para gelandangan yang baru kali ini tak bisa menemukan orang hilang; si manusia berbuat yang apa adanya, simpel, lugas, yang berkonflik dengan kalimat-kalimat panjang yang kerap diutarakan manusia berpikir.
Jika boleh dikatakan, para tokoh di sini adalah para penuntut peran dan posisi masing-masing dalam kehidupan. Revolusi jadi momen penanda yang telah mengaburkan esensi orang-orang. Kehidupan ditata ulang oleh daya baru yang mengacaukan, membongkar-pasang, dan merekayasa peran-peran manusia. Sejatinya, secara eksistensi mereka hilang, kesasar dalam labirin tanpa penunjuk jalan yang jelas dan bisa diandalkan. Hal-hal seperti harapan, cinta, dan masa depan tampak hancur tergerus oleh kekinian yang terus-menerus, yang padanya napas kehidupan terborgol dengan amat kuat.
Makanya bayangan Fifi akan cinta dan masa depan dinilai sebagai kepolosan anak-anak, yang dalam masa serba tak pasti malah balik "membunuh" keberadaannya. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan kehampaan seperti yang dimiliki Tokoh Kita, yang selalu ia kemas dalam glorifikasi yang puitis sebagai upaya untuk "menghidupi" segalanya walaupun mentok oleh dinding kesia-siaan. Maka segalanya tereduksi dalam kotak-kotak masa sekarang, dalam perjuangan sehari-hari yang lebih sempit, tanpa kemarin dan besok, tanpa narasi, hanya deskripsi, seperti jalan pikir Pak Centeng, yang meski belum tentu efektif namun terjangkau secara fisik.
Iwan Simatupang menggambarkan suatu kondisi di mana sentimentalitas jadi hal yang luks dimiliki manusia dalam kehidupan. Kenormalan baru membuat manusia harus "menggelandang" mencari arti dan makna dalam hidupnya, berkompetisi dengan takdir baru yang tanpa panduan dan histori. Apalagi satu-satunya guru besar yang bertanggung jawab mengajarkan filsafat telah ditembak mati, meninggalkan satu bangsa dalam asumsi-asumsi subyektif yang bisa diatur interpretasinya.
Iwan Simatupang mungkin tidak pernah meramalkan tentang pandemi di 2020. Tapi ia cermat menggambarkan bagaimana dalam setiap putaran dan perubahan kehidupan yang besar, manusia selalu tak luput dari kehilangan akan diri dan makna-makna. Atau mungkin selama ini makna-makna memang tak pernah setia menetap dalam diri manusia? Selalu bisa berubah dan berpindah sesuai situasi? Kalau memang demikian, berarti kita memang dikutuk untuk selalu mencari cara-cara agar hidup ini bisa berarti.
Seriously, ternyata ada juga sastrawan besar di Indonesia ini yg originale bangete! Mr. Iwan Simatupang bow' yang bikin gw terkaget2 and terpesona, and realise juga, klo otak manusia tuh penuh imajinasi2 liar yang anehnya di describe dengan cantik, and details, sedikit melancholic, satir.
life is a drama (panggung sandiwara) how to put an end to it? that's the question.
cocok banget buat ngegambarin Merahnya Merah book.
A philosophical novel (but not a novel of philosophy) and a good one. It is a little disturbing that the author's voice is so strong in the novel but we can do nothing since it uses third person point of view. I like it as a novel not so much as a proposal of dialogue. Several questions proposed uniquely are interesting enough to contemplate.
Melalui Tokoh Kita, karakter tanpa nama yang diceritakan baru keluar dari rumah sakit jiwa dan berusaha mencari makna hidup di tengah absurditas dunia, Iwan Simatupang menghadirkan kisah yang sarat refleksi filosofis, terutama tentang eksistensialisme, kebebasan, kesepian, dan pencarian jati diri.
Dengan dialog dan monolog yang terasa ganjil, serta narasi yang kadang kala absurd, novel ini justru menyingkap lapisan-lapisan realitas sosial dan juga sisi psikologis manusia. Plot dan konfliknya tidak memberi konklusi pasti, tetapi menggiring pembaca untuk mempertanyakan kembali arti kewarasan. Para tokoh "gelandangan" di novel ini pun merasa berhak mempertanyakan eksistensi mereka.
“Sedang ... sejak dulu kala, kaum gelandangan tak putus-putusnya hilang. Tak tentu rimbanya. Dan sejarah tak ada bikin ribut apa-apa. Bila di masa datang sekian gelandangan bakal hilang lagi, siapa pula yang akan bikin heboh? Dan untuk apa heboh? Penulisan sejarah bukanlah tentang manusia-manusia jenis mereka. Dari mereka sendiri belum pernah ada yang tampil menulis sejarah. Kehidupan mereka berlangsung persis di samping sejarah-sejarah resmi, maupun sejarah tak resmi.”
Bagi saya, Iwan Simatupang adalah "bau hujan yang sore tadi tercium". Buku - bukunya memabukkan. Tapi selalu memberi saya semacam "bau" kenangan puluhan tahun lalu.membekas
Jujur saja saya baca roman ini ketika saya kelas satu SMP. Saya temukan dia tersembul diantara ratusan buku kakek saya yang rapi di rak koleksi. Saya masih ingat, saya kira ini buku lawak karena kovernya yang bisa anda lihat sedikit mbanyol. Dengan desain huruf yang komedik semacam judul filemnya warkop dki, persis dengan gelombangnya.
Saya jatuh cinta pada Iwan Sumatupang karena buku ini. Dari buku ini, saya lalu melahap "Ziarah" (1969) dan "Koong"( 1975 ). Merahnya Merah membuat saya kusyuk membaca, merenung di separo halaman, selanjutnya tercekat di halaman lain. Khayalan saya diaduk, terhenti di tengah, lalu berfikir. Baca lagi, lalu berhenti untuk merenung lagi. Seperti itu seterusnya. Dan itu saya alami kelas satu SMP! dan disaat itu, jiwa anak kecil saya begitu bahagia bisa mengenal buku buku "dewasa" seperti ini.
Nama tokoh utama adalah "tokoh kita". Dulunya calon pastor, pensiunan komandan militer sekaligus algojo eksekutor pemenggalan musuh negara paska kemerdekaan. Penamaan "tokoh kita" bagi saya bikin mikir sepanjang cerita. Iwan Simatupang begitu cerdik membikin pembaca masuk dalam emosi cerita. "Tokoh kita" menggelandang setelah pensiun dari militer. Dosanya menumpuk karena telah memenggal puluhan mungkin ratusan orang. Di dalam perenungannya, dia akhirnya memilih jadi gipsi, menggelandang dan hidup dari apapun yg dia bisa lakukan. Menjauhi hedonisme, hidup dalam jiwa yang nomaden dan merdeka.
Selain "tokoh kita" ada lagi tokoh penting lain seperti Maria, Fifi dan Pak Centeng. Kesemuanya saling berkaitan kecuali pak Centeng yang hanya muncul di akhir cerita.
Buku ini membuat kita berfikir tentang arti hidup. Tentang hakikat manusia dan eksistensi. Mencoba menggelitik kita tentang pengertian agama dan spiritualitas "semu" masyarakat. Tentang percintaan inosen. Tentang kemerdekaan jiwa dan keangkuhan negara sekaligus. Tentang seluk beluk hidup tapi dalam lingkup yang mikro, hanya dalam objek cerita berupa komune "gelandangan" yang berkongsi dan menguasai sebuah daerah. Yang jelas, waktu itu saya berfikir keras tentang arti hedonisme dan keasyikan hidup menggelandang.
..........
Saya rindu masa masa SMP saya yang doyan banget baca buku. Saya kangen sekali sore sore baca buku ini di kamar belakang.Dengan lampu 5 watt kekuningan, dengan pintu terkunci rapat, dan hujan deras mengetuk keras genteng tua rumah kakek. Bau hujan merembes lewat celah genteng bata dan saya, anak smp ingusan duduk dipojok mencoba mengerti arti pelacur dan rumah bordil.
Ada rasa keasyikan dan tentu saja perenungan yang berbeda setelah membaca lagi Merahnya Merah. Corak naik turun eksistensialis manusia kembali muncul ketika menemukan tokoh kita, Fifi dan Maria.
Mungkin nasib, jalan hidup, atau kebetulan-kebetulan yang entah bagaimana muncul, kemudian kembali membuat relasi manusia menjadi begitu rumit, ambisius.
Tapi, walau bagaimanapun membaca karya Simatupang yang ini, tidak hanya berhasil membuat saya bernostalgia dengan kutukan, "haram jadah!" khas Pak Centeng yang bertebaran di mana-mana. Buku ini begitu kuat mengingatkan saya tentang karakter-karakter manusia yang amat kaya, berlimpah khususnya ketika skenario, "bertemu adalah untuk berpisah. Tapi berpisah - untuk apa?" dimunculkan.
“... tapi pastilah hal-hal itu tidak bakal dipermasalahkan oleh mereka yang melihat sebagai ekonomi terakhir dari setiap pemberontakan: mati, dengan persoalannya yang inhearent: di sebelah mananya kita tegak! Yakni: kita bakal mati, atau kita bakal tak mati. Kita dimatikan, atau kita mematikan. Inilah pemberontakan. Alpha-Omega-nya, Alif-Bata-nya.”
Merahnya Merah menawarkan pemikiran filosofis yang dikemas melalui perspektif seorang gelandangan dengan kisah hidup yang tragis. Perang batin dan konflik internal yang memanas pada tokoh utama begitu autentik dan jujur, dan didalamnya terdapat suatu pemberontakan dari kaum yang termarginalkan. Pemberontakan yang sangat nyata di setiap sudut pikirannya.
novel filsafat dg sedikit bumbu kisah detektif di seperempat akhir. gaya bahasanya cenderung lugas. puitis di beberapa bagian, dalam porsi yg sesuai takaran. pengalaman membaca yg menyenangkan. terima kasih, eyang simatupang :)
walaupun membaca buku seperti ini tidak sesuai dengan ketertarikan saya, tetapi saya cukup terbawa dengan alur cerita yang disajikan. Saya lebih terpaku pada hal-hal yang terjadi dalam lingkup kehidupan rakyat miskin khususnya gelandangan. Melalui perspektif ini kita sebagai pembaca diberikan gambaran kehidupan yang "nyata" itu seperti apa. Bukan hanya gambaran tetapi ya memang seperti itu adanya. Meskipun ada "romantisme" di antara kekejaman dan kerasnya hidup, tetapi ya realita tetaplah realita. Persepsi dan filosofi yang dimiliki tidak dapat memberi mereka makan atau uang untuk hidup. Jika mereka harus menjadi pelacur ya jadilah mereka. Sudah sulit untuk menstandarisasi apa itu kehidupan normal.
Yang khas dari tulisan Iwan Simatupang adalah ketidak terdugaannya: plot, tokoh, gaya bahasa.
Merahnya Merah bercerita tentang mantan algojo yang menderita PTSD setelah perang berakhir. Realita, dalam pandangannya, kerap menjadi hal yang filosofis, dan kadang magis.
Berbicara karya sastra tahun 1960-an tdk akan pernah lepas dr seorang Iwan Simatupang. Penulis kelahiran 18 Januari 1928 di Sibolga, Sumatera Utara ini melahirkan karya2 terbaiknya pd dekade 1960-an. Salah satunya "Merahnya Merah", novel yg terbit pd tahun 1968 ini mendapat penghargaan sastra Nasional 1970.
Khas Iwan Simatupang dlm beberapa novelnya, kita dihadapkan pada tokoh tak bernama. Kali ini tokoh utama dlm novel ini hanya disebut sbg " Tokoh Kita". Iwan Simatupang menciptakan absurditas2 tokohnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Penuh kesengaaraan dan penderitaan. Kehidupan para gelandangan dlm novel ini membuat mereka mencari eksistensi hidupnya masing2.
Sekumpulan gelandangan seakan membuat kita bertanya, apakah eksitensi mereka ada? Apakah kita melihat mereka? Bagaimana sikap kita thdp kaum2 gelandangan yg terpinggirkan? Mereka kaum2 anonim yg diabaikan begitu saja oleh realitas kehidupan masyarakat. Iwan Simatupang seperti mengingatkan kita, bahwasannya ada eksistensi yg hidup dipinggiran sejarah kita.
Novel ini khas Iwan Simatupang, aneh dan avant-garde. Roman yg setiap tokohnya mempunyai perasaan, pikiran dan tindakan yg merupakan filsafat yg dipersonifikasikan, atau filsafat in action, filsafat berbicara melalui sastra. Nafas eksistensialisme Sartre dan absurdutas Camus sangat berasa dlm novel ini, pencarian jati diri tiap tokoh dan penggalian2 sisi psikologis manusia.
Jika kalian ingin bacaan yg berbeda, yg aneh, absurd, eksperimentalis, yg berfilsafat, yg ga biasa2 aja. Novel ini layak utk kalian baca, terlebih karya2 Iwan Simatupang lainnya.
"Bertemu untuk berpisah, tapi berpisah untuk apa?" - Tokoh Kita
Pengalaman membaca yg bisa membangkitkan nalar dan emosi. Terpental-pental otak-ku dibuatnya. Begitu dahsyat kekuatan cinta yg memabukkan jiwa2 lugu manusia. Semua perbuatan ada akibat dan dampak yg perlu dihadapi. Berkat kehadiran Fifi, si gadis mungil berusia 14 thn - kehidupan tokoh Kita berubah drastis. Tanpa pernah mencintai, kini ia mulai merasakan getaran2 kasih sayang thd seorang gadis. Namun, semua harap dan keinginan Kita kandas, ketika Fifi tiba-tiba menghilang tanpa jejak ........ dan tak pernah kembali 🙏🙏
*Bonus klimaks cerita yg berhasil bikin saya bermain tebak2an ala Sherlock, mengenai hilangnya Fifi dan kenekatan Maria di penghujung cerita*
sungguh plot twist yg tidak dapat disangka-sangka. 👏
Sejak SMA sudah sangat familiar dengan kutipan awal novel ini di soal-soal ujian Bahasa Indonesia.
Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa.
Semakin tertarik untuk membacanya ketika tahu Iwan Simatupang adalah pengarang favorit Cholil, vokalis band Efek Rumah Kaca, he he :)
Merahnya Merah adalah ejawantah dari kontemplasi Iwan Simatupang terhadap eksistensialisme dan hakikat hidup manusia yang menumpang pada plot tragedi romansa yang pekat dengan "merah". Pencarian hakikat itu digambarkan dalam kehidupan anonimisme gelandangan yang berpusat pada tokoh utama, Tokoh Kita. Tokoh kita memiliki konflik batin yang terus-menerus mengejar dirinya : persoalan mengabdi pada Tuhan versus kepada negara, persoalan ibadah sebagai ritual versus perwujudan konkret dan janji dari ibadah itu sendiri, persoalan dosa manusia yang tak henti-hentinya versus maaf dan ampun-Nya yang tak habis-habisnya. Karena persoalan inilah Tokoh Kita berusaha untuk menyederhanakan dirinya menjadi "hanya manusia", melampaui fisik dan hidup di ambang, menjadi gelandangan, mengubah neraka di dunia menjadi surga di bumi, dan mencari kebahagiaan yang asing dari manusia-manusia umumnya. Secara sarkas Iwan mengangkat paradoks anonimitas gelandangan yang dia rasa perlu mendapat penghargaan sebagai pejuang perdamaian, perikemanusiaan dan pendorong berkembangnya negara, yang matinya tidak ada yang tahu dan peduli alias "manusia tidak lengkap", namun mayatnya sering dipakai sebagai kadafer pendidikan dokter.
Salah satu tokoh yang juga menarik untuk dikupas tuntas adalah Pak Centeng, antagonis ideologi dalam cerita ini. Musuh mahzab dari Tokoh Kita ini adalan lawan dari manusia logika, yaitu manusia berbuat yang konkret, suka tantangan dan adrenalin, yang tidak suka kompleksitas dan kalimat panjang. Memiliki hati dan otak yang sempit membuat beliau menentang perubahan dan pertumbuhan, membenci gelandangan yang ingin 'lebih' dari naluri elementernya (makan, minum, tidur, bersetubuh) karena merasa hal tersebut mengkhianati hakikat gelandangan. Yang tidak beliau sadari, pertumbuhan karakter, pikiran dan pendidikan adalah sesuatu keniscayaan dari esensi manusia yang bertumbuh. Dan pada akhirnya, perlawanan terhadap perubahan dan pertumbuhan inilah yang mengakhiri hidup beliau.
Kagum pada Iwan, cendekiawan yang sudah berkeliling dunia, yang menunjukkan bahwa setinggi-tingginya manusia mencari ilmu, akan kembali pada hakikat kemanusiaan. Ia menghempaskan arogansi kaum intelektual dengan peduli pada kaum yang tidak dianggap manusia. Ini tergambar dalam kritik diri Tokoh Kita yang tahu kelemahan dirinya sebagai manusia logika kaku sok gagah-gagahan yang sering kehilangan kesederhanaan dan esensi hidup yang 'hidup'. Tokoh Kita senantiasa berfilsafat dalam hidupnya, mau mengorbankan apa saja, mau mengubah diri demi mendapatkan kesimpulan baru.
P.S: Sungguh sebuah sukacita kembali mendapat kuliah filsafat dari sastrawan dalam negeri sekaligus mengenal kembali diksi-diksi elok Indonesia yang multifaset namun sudah lama hilang dari dunia modern yang sarat slang, serapan dan akronim. Terima kasih Pak Iwan!
Dia sendiri tak pernah tahu seumur hidupnya apa agama ataupun kepercayaannya. Dia lahir, terus dimasukkan oleh ibunya ke dalam tong sampah. Maksudnya, supaya dia ikut terbuang bersama isi tong itu. Tapi, kuli-kuli dari dinas kebersihan kotapraja segera melihat bayi dibungkus itu. Kotapraja menyerahkan bayi itu kepada panti asuhan yatim piatu yang tak bersifat keagamaan. Berusia delapan tahun, dia lari dari panti asuhan itu. Dia cari hidupnya sendiri, katanya. Sejak itu, dia silih berganti masuk penjara dan rumah perawatan sosial. Tak pernah ada seorang yang mempersoalkan agama dengan dia. (hlm. 29)
Bahwa dasar dari ajaran-Nya adalah justru maaf dan ampun. Bahkan, adalah anjuran-Nya untuk menengadahkan pipi kita yang sebelah lagi apabila pipi kita yang satu ditempeleng orang. Aku masih saja berkejar-kejaran dengan diriku sendiri dan mencoba memecahkan persoalanku tentang maaf dan ampun itu. Tahu kau juatru apa yang makin membuat masalahku tambah parah? Yakni, keyakinanku sendiri bahwa aku dengan seluruh noda dan dosa yang telah kubuat itu, pada akhirnya akan dimaafkan dan diampuni Tuhan juga. Asal saja aku cukup kuat dan berani mengumpulkan semangatku untuk berpaling kembali pada-Nya, berlutut dihadapan-Nya meminta maaf dan ampun. (hlm. 38)
Apa yang penting dari ibadah? Perbuatan sembayang kah, atau hidup beribadah itu sendiri? Upacara mengikat janji itu adalah hanya upacara saja, basa-basi. Yang penting adalah hikmah keibadahan sebelum dan sesudah janji itu. Dan perwujudan secara konkrit dan inderiah, pasal demi pasal, dari yang telah dijanjikan itu. Justru karena tak keburu aku mengikat janji dan menjadi rahib itulah, maka persoalanku menjadi tambah rumit begini. Tragikku adalah tragik dari sebelum tragik. Tragik rangkap dua, oleh sebab itu tambah nyeri untuk dirasakan. Sebab itulah aku mencoba membujuk dan menghibur diriku dengan cara memantulkan diriku kembali dengan segala tenaga yang masih ada padaku ke kondisi kemanusiaan yang satu lagi. Yaitu, kondisi diri manusia-hanya-manusia. Katakanlah, manusia primer, yang hidup di taraf kehidupan nominal saja lagi. Aku telah mencobanya. Kini berhak lah aku berkata padamu, di kondisi yang satu lagi ini aku juga berhasil merasakan bahagia. (hlm. 39)
Kutipan di atas merupakan kutipan favorit saya. Novel ini tidak tebal, hanya 160 halaman. "Merahnya Merah" adalah bacaan yang sarat akan makna kehidupan.
This is a must-read if you want to explore Indonesian classic literature.
Iwan Simatupang's writing style was like none other I've experienced previously. Aside from keeping you at the edge of your seat with unexpected turns and twists, he was really good at dragging you into the characters' meddled thoughts. Like you'd feel you actually live inside of their minds. A seamless transition among many point of views were just fantastic, and gripping.
Merahnya Merah is a full-riddle masterpiece that will require multiple readings. And I'm planning to do just that.
Note: The 4-star, instead of 5-star, is due to the description of sexual conduct with a minor. I really wish there was no such part, and I understand that maybe such thing were not considered as unacceptable as it is now back in the days (the book in fact won the Govt's award in 1970) - but it still just doesn't feel right for me.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sneak peek dari review tentang buku ini adalah buku ini kental nuansa eksistensialisnya.
Menarik sekali buku ini, tipis, alur cerita sederhana sekali dibumbui dng pertanyaan misteri ala ala detektif sehingga memaksa harus membaca hingga halaman terakhir supaya tidak penasaran dengan misteri nya.
Secara alur cerita, biasa dan sangat ringan. Maka ratingnya saya beri tiga bintang.
Untuk perkara eksistensialisnya, ratingnya saya beri 4.5 bintang! Dialog tokoh kita sangat tajam menusuk menembus apa itu hakikat keberadaan tidak hanya diri, tapi juga iman, ibadah, ideologi bahkan cinta, meski untuk cinta amat sangat disayangkan tokoh kita belum secara jelas menjabarkan eksistensi temuannya akan cinta yang terkalahkan oleh nafsu kebirahian kelamin laki-lakinya. Baca bagian dari novel ini, seperti membuka dialog yang selama ini terjalin antara diri sendiri dengan otak.
FASIH! Bagaimana Iwan betul-betul lancar dalam menyampaikan apa-apa tentang kaum marjinal. Hal yang jarang tapi ketika sebuah medium beliau berada, disitulah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Beliau wakili suara-suara eksistensi para gelandangan, pula menjadi pertanyaan saat ketiadaan. Memberi makna yang mendalam saat berhenti sejenak kemudian merenungi apa yang telah dibaca. Semoga kita bisa cukup bijak tanpa tergabung mazhab kalimat panjang.
Kisah Tokoh Kita dan gelandangan lain menuju akhir halaman, akan kita hargai dari apa yang 'sempat' kita ketahui padahal mereka hadir dalam kehidupan sehari-hari, yang kita gapai dari mereka hanyalah ketika 'sempat'. Ketika tak ada lagi kelanjutannya, coba ulik perasaan yang timbul. Halaman-halaman terakhir ditutup dengan sinematis.
Sebuah apresiasi untuk Zalmoon Studio atas desain sampul depan yang keren sekali sehingga membuat saya memutuskan untuk membeli dan menjadi perkenalan yang berkesan untuk karya Iwan Simatupang.
Sama dengan perasaan ketika membaca karya beliau yang lain, Ziarah, saya dihadapkan pada bentuk tulisan yang unik, jenaka, dan nyentrik yang sejauh ini belum saya temukan dari pengarang-pengarang Indonesia lainnya. Tentu penulis adalah orang yang cerdas. Dapat dilihat dari caranya menyajikan sandiwara kehidupan secara filosofis, yang kerap saya tangkap sebagai bentuk satir dari realita kehidupan. Iwan Simatupang, setelah mengenalnya melalui beberapa artikel yang tersaji daring, merupakan pribadi yang kompleks. Latar pendidikan, keprajuritan, perantauan, hingga kematian sang pasangan menanamkan dalam benak saya bahwa penulis bukanlah orang yang tidak terusik. Dan inilah bekal saya saat membaca novel Merahnya Merah, dengan mengenal beliau lebih, dari ketika saya membaca Ziarah. Beliau adalah orang yang tentu terusik bila tak membedah peristiwa per peristiwa secara substansial dan filosofis! Setidaknya ini yang saya tangkap, dari kepiawaiannya menuangkan cerita melalui tokoh-tokoh yang masing-masingnya unik. Analisis dari sehuah peristiwa, yang bila dalam keseharian kita lewati begitu saja, dibahasakan secara elok dan jenaka sehingga membuatnya menarik karena toh beberapa tokoh dibuatnya seperti "filsuf" saja, atau punya filsafatnya masing-masing. Dapat saya katakan bahwa novel ini cocok untuk dibaca siapapun yang mulai tertrik dengan literatur Indonesia. Membaca Iwan Simatupang tentu memberi kebanggaan tersendiri sebagai orang Indonesia, bahwa penulis semacamnya ada.
Jelas dari tulisannya, Iwan sangat mengalir, lugas dan sekaligus liar. Dia bukan menulis cerita tapi menulis pikiran. Dan tulisannya seolah abai dengan apa yang bakal menghantam jenis buku seperti ini, utamanya di Indonesia. Tak heran, di era buku ini rilis, pembaca umum sukar meluluskan buku ini sebagai bacaan favorit. Kecuali bagi pakar kesusastraan, seperti HB Jassin, barulah dapat disadari ini adalah hadiah eksentrik dan model baru. Saya tercengang dengan gaya khas Iwan di buku-bukunya. Seperti kering tapi licin, seperti bising tapi santun. Ah, penulis sejenis ia layak dipisahkan dari keumuman.
A thought provoking philosophical novel. Selama dan sehabis membaca ini, rasanya jadi banyak merenung soal eksistensi kehidupan, tentang benar dan salah, dan banyak lagi yang ga bisa disebut satu satu. Novel ini dibuat di tahun 1960-an tapi masih terasa relevan di era sekarang. Aku suka dgn cara author yg ga terlalu meromantisasi hidup gelandangan dan kemiskinan (kayak yg dilakukan oleh banyak novelist sekarang. Rasanya, semuanya apa adanya aja di dalam novel ini. Too bad, the author's voice is just too strong in the narrative but I guess that probably happened for using the 3rd pov. Overall, this book is probably one of the best Indonesian literature. Actually, didn't see it coming.
Di antara Agama dan Nasionalisme. Di antara suci sempurna atau bejad sejadi-jadinya. Di antara buih mendidihnya darah bening pahlawan revolusi dan kisah cinta segitiga yang juga berdarah-darah. Di antara hidup yang tak berarti apa-apa dan mati yang juga tak ditangisi siapa-siapa.
Buku ini menuang kebebasan sastra yang sebebas-bebasnya. Melawan segala tata cara dan batas-batas konvensional cara berpikir. Menjadi liar dalam berekspresi sambil menghayati realita tragisnya kehidupan yang sebenarnya.
(Bagiku) tentang pertemuan antar kutub yang kemudian membawa sesuatu ke permukaan, hingga pertemuan itu selesai dan dunia berjalan lagi seperti biasa, kutub kembali pada kutubnya masing-masing, sampai nanti jika terjadi pertemuan lagi. Tapi mungkin tidak perlu diceritakan lagi, karena akhirnya mungkin akan sama: pertemuan selesai dan dunia berjalan lagi seperti biasa. By the end I realize that reading this book is like seeing a stage theatre with curtains opening and closing.
Baru pertama kalinya baca tulisannya Iwan Simatupang. Butuh berkali-kali bacanya biar ngerti apa yang diceritain. Unik, absurd, dan ada bumbu melankolisnya.
Sempat bosan sebenarnya, karena menurut aku agak susah dipahamin, tapi waktu masuk bab empat mulai enjoy. CERITANYA BAGUS BANGETT😭❤️ (ciri-ciri mau baca bukunya Iwan Simatupang yang lain😋)
Tragedi setiap tokoh utama yang diceritakan terpisah malah di tengah-tengah bisa jadi satu kesatuan. Dengan diceritakannya latar belakang setiap tokoh ini membuat pengembangan karakter terasa hidup karena masing-masing mendapatkan porsinya. Walaupun bagi saya pribadi terdapat beberapa yang membingungkan, tetapi selebihnya novel dengan genre dan tema serupa merupakan hal yang baru untuk saya baca.
saya sepertinya mirip si Centeng kecuali emosinya yang suka meluap-luap, saya kurang suka kalimat-kalimat panjang yang keluar dari mulut lawan bicara yg tanpa tahu memberi kesempatan padaku berbicara.
kisah tragis gelandangan dengan mazhab kalimat penuh dan nafas panjangnya, pikirannya, dan tindakannya yang memengaruhi banyak orang; centeng, bekas bang becak, tentara, polisi, sampai pangdam dan pangdak.