Apa yang tercetak dalam benak Anda saat melihat sampul buku ini ? Pertanyaan itu penting karena boleh jadi, setiap pembaca akan merasa telah ditokohkan di dalamnya
Apa yang tergambar di layar otak Anda saat membaca judul novel ini? Mengapa peci menjadi begitu penting dan menjadi sebuah persoalan?
Ini bukan kisah tentang misteri 'peci suci' ala 'cawan suci' yang disembunyikan pleh Biarawan Sion.
Ini adalah kisah mengelitik seorang anak Jakarta yang kritis juga romantis
JANGAN SALAH BACA. INI BUKAN NOVEL DAN BROWN! INI NOVEL TENTANG BUDAYA 'ANE' DAN 'GUE'DI ABDA MICROCHIP
Semua masalah yang ada di buku ini akan terselesaikan jika orang-orangnya memiliki ilmu dan adab.
Terima kasih kepada menulis yang membuat saya berpikir keras dan melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Apa yang Anda sampaikan di dalam novel ini memang sesuai sekali dengan apa yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Ketika yang tua kukuh pada tradisi dan meminta yang muda untuk mengikuti, ketika yang muda dengan pergaulan dan pendidikan mereka merasa ada hal yang perlu dikritisi dari tradisi, baik itu secara radikal ataupun secara liberal seperti Rosid dan Lukman.
Lalu, yang manakah yang menggambarkan Islam yang sesungguhnya?
Untuk mengetahuinya, tentu kita harus belajar lagi secara lebih jauh dan mendalam. Kita harus menyadari bahwa di dalamnya ada hal-hal yang pokok dan mendasar menyangkut soal keimanan, yang sudah tidak bisa diganggu gugat, dan sudah disepakati oleh para ulama. Tapi selain itu kita juga harus tahu bahwa ada hal-hal yang bersifat cabang yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ahli fikih. Ketika kita mengetahui mana hal-hal yang merupakan pokok dan yang mana adalah cabang, maka kita tidak perlu ribut dan tidak akan bingung lagi mencari mana yang salah dan benar.
Rosid benar, bahwa peci bukanlah hal yang menunjukkan baik-buruk seseorang. Itu bukanlah ajaran agama. Tapi ia seharusnya mendahulukan bersikap baik dan santun kepada ayahnya, karena itu adalah kewajibannya sebagai anak. Seperti kata Ustadz Abu Hanif, ayahnya sudah tua dan sulit menerima hal-hal yang di luar kebiasaannya, jadi Rosid-lah sebagai pemuda yang harus menjelaskannya dengan cara yang baik.
Sesungguhnya saya merasa sikap Rosid mendua. Ia masih mencari ajaran agama yang sesuai dengan apa yang enak untuk dirinya. Dia tidak mau pakai peci, tidak mau potong rambut, dengan dalih itu adalah dirinya yang sesungguhnya dan bahwa peci bukanlah ajaran agama. Tapi ia justru meninggalkan ajaran agama yang menyuruhnya untuk bersikap baik dan taat kepada orang tua. Atau ketika ia yang sudah baligh masih bergantung sekali kepada orang tuanya sedangkan ia tetap berpacaran dengan Delia, yang memiliki keyakinan berbeda dengannya. Mungkin di buku berikutnya ia akan mencari berbagai pembenaran yang membuatnya yakin bahwa ia bisa bersama Delia. Jika mereka bersama atas nama cinta, maka apakah pernah mereka berpikir, siapakah yang menaruh cinta itu di dalam hati mereka? Jika cinta itu tiba-tiba dicabut dari hati mereka, maka apakah yang tersisa?
Sebenarnya saya kasihan dengan Rosid, karena ia merasa menjadi orang yang berbeda sendiri di antara keluarga besarnya, klan Al Gibran. Tapi sesungguhnya saya merasa Rosid kurang mencari dan kurang belajar. Ketika ia berdebat dengan ayahnya dan mengatakan kalau kitab berbahasa Arab dari leluhurnya itu adalah karya seni, sebenarnya Rosid sendiri tidak tahu apakah isinya. Belum tentu juga ia pernah membacanya apalagi tahu artinya. Namun ia hanya merasa miris ketika kitab itu dibaca tanpa makna, tanpa ia sendiri mencoba cari tahu apa maknanya.
Cara dia mencari tahu soal rahasia di balik peci juga agak mengganggu saya. Jika ia ingin tahu artinya, seharusnya ia tidak hanya bertanya kepada ahli sejarah saja, tapi juga bertanya kepada ahli fikih. Kenapa peci yang bukan merupakan ajaran agama dipakai terus menerus oleh sebagian besar umat Islam di seluruh dunia sehingga peci menjadi identik dengan Islam? Saya pernah mendengar dari seorang ustadz, kalau fungsi peci itu adalah untuk menahan rambut yang ada di sekitar kepala bagian depan (atau bahasa kerennya poni) supaya tidak jatuh ke wajah ketika kita sujud, sehingga rambut itu tidak menjadi penghalang antara dahi dan tempat sujud. Kenapa? Karena, bagi sebagian ulama, shalat tidak sah jika dahi tidak menyentuh tempat sujud secara sempurna dan poni atau rambut lainnya di sekitar wajah bisa menjadi hal yang menghalanginya. Jadi peci adalah bentuk keberhati-hatian agar mereka yakin sholatnya sah di hadapan Allah.
Supaya saya tidak dianggap masuk golongan RADIKAL, saya mau mengkritisi Lukman juga. Lukman yang baru keluar dari pesantren punya kecenderungan untuk membidahkan dan menganggap sesat banyak hal. Padahal apa yang dia pelajari juga belum menggambarkan Islam secara utuh. Apa yang tidak ada si zaman Nabi tidaklah serta merta membuatnya menjadi bidah dan membuat pelakunya menjadi ahli neraka. Jika tradisi yang dilakukan oleh para sahabat, generasi tabiin dan tabiut tabiin disebut bidah maka tradisi siapakah yang harus kita ikuti sekarang? Jika Islam disampaikan dengan cara seperti itu ketika masuk ke Indonesia berabad-abad silam, maka apakah mungkin penduduk bumi nusantara dahulu mau menerimanya dengan tangan terbuka?
Yah, mereka memang masih muda. Masih mencari. Semoga niat mereka mencari yang benar itu berujung pada kebenaran dan bukan pembenaran. Sesungguhnya banyak sekali kok ulama-ulama Betawi yang ilmunya luar biasa dan mampu menjawab kegalauan mereka, jika saja mereka mau mencarinya di tempat yang benar.
Ini alasannya kenapa gue kasih 5 bintang untuk buku ini.
Gaya bahasanya seperti dialog sehari-hari. Karakternya kuat. Dialognya lucu. Plot nya asik dan ceritanya pun menggambarkan sebagian kecil realitas di lingkungan kita.
Cobalah kita liat disekeliling kita. Lumayan sering gue liat tradisi atau budaya dari sebuah agama diterjemahkan bulat-bulat menjadi agama itu sendiri.
Contohnya bahasa Arab. Buat yang muslim, kita kenal bahasa Arab dari Al-Quran, jadi banyak orang berpandangan bahasanya itu sendiri sakral. Masa juga setiap gue denger seorang Ibu dari Libya yang sedang menegur anaknya dalam bahasa Arab harus gue amin-in? Kan nggak gitu walaupun gue gak akan bisa mbedain kapan mereka ngomong atau kapan mereka mengutip sesuatu dari Al-Quran. Di Da Peci Code kasusnya ya si peci itu.
Contoh lain dari topik yang sering kita lihat adalah hubungan beda agama. Kalau kita baca, pasti kita berpikir ya kalau punya pacar beda agama, pasti ujung-ujungnya seperti itu. Sepintas seperti klise, tapi sebenarnya - menurut gue, cerita itu seolah masih "menjerit" kenapa hal-hal yang klise ini masih terjadi.
Tapi gue suka banget ceritanya. Argumennya di narasikan dengan sangat baik. Bisa memotret apa yang terjadi di komunitas kita dengan baik. Ini novel anak jaman "sekarang" yang merangkul agama dan tradisi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis. Kalau menurut gue, hal-hal yang kritis ini justru diangkat untuk mempertahankan agama dan tradisi itu sendiri supaya relevan dengan jaman yang semakin kritis.
Sbnernya gw ga tlalu suka buku or film yg ber tag 'parodi' krn biasany cuma lucu doang tpi shallow.. tpi somehow buku ini end up ddpan kcamata gw n slesai jga gw bca.. TERNYATa eh tnyata.. yg bikin buku ini beda ma parodi lain adalah gaya berfikir tokoh utamany yg simple dan trkesan naive tpi brhasil mengkritik fenomena sosio-reliji yg happening d masyarakat Indonesia.. Dengan gaya penulisan yg 'standar' komedi, ben brhasil mengeksplor jawaban dr ptnyaan yg standar n simple tpi jawabanny susah n prinsip yg bikin buku ini ga cuma mnghibur tpi juga bsa jadi referensi
Gue sendiri belom pernah baca Da Vinci Code yang termasyur itu...
Tapi
Gue baca dua buku plesetannya, yang dua-duanya EDUN!! Di karang sama dua jenis mahluk berbeda, yang satu mahluk lokal Indonesia, yang satu mahluk impor dari tanah bule.
Ha ha ha!
EDUN! (edhan thuenan/ gile bener)
Ini bukan top bacaan. Tidak mencerdaskan dan bukan pencerahan. Tapi gue suka...
Asli buku plesetan the da vinci code ini kocak, tapi bukan cuma sisi kocak yang ditawarkan si penulis, tapi sisi moral, pengetahuan, budaya dan agama dia ramu hingga jadi tulisan yang menarik dan segar, menceritakan tentang pencarian dan pembenaran mengenai peci menurut 2 pemikiran berbeda dari 2 generasi. keren!!!
KOCAK!! Itu pasti yang langsung tertangkap dari cover yang meniru pose Mona Lisa dan tentu saja buku The Da Vinci Code. Splash "kemungkinan best seller" dan teks "tidak memukau nalar tidak mengguncang iman!" dan "misteri tak berbahaya di balik tradisi berpeci" makin meyakinkan bahwa genre buku ini adalah komedi. AIhhh serem amat sih ngutik-ngutik masalah penutup kepala pria yang keramat kemudian merembet ke cinta beda agama??
Ben Sohib mengemas semua permasalah dengan bahasa yang kocak, sedikit nakal dengan percakapan yang full becandaan khas betawi. Bagi Abahnya Rosid (Mansur) peci adalah soal tradisi islami Bani Gibran sedangkan bagi Rosid seorang aktivis di Sanggar Banjir Kiriman di Condet peci hanyalah sebuah tradisi, dan nilai-nilai islami tidak bisa begitu saja disimpulkan dari sejulur akar budaya. Apa lagi peci juga dikenal di kalangan Nasrani dan Yahudi. Konflik Bapak dan Anak bukan hanya soal peci semata, tapi juga pilihan kuliah Rosid yang keukeuh pengen di IKJ, juga pilihan cinta Rosid pada Delia seorang ce'cantik beragama Kristen yang demen ma sastra juga ngerokok. Bukan hanya permasalahan peci dan cinta yang dibahas dibuku The Da Peci Code, permasalahan juga mengupas pemilihan aliran, modern/fundamentalis/liberal? Nama kelompoknya juga lucu namun sangat menggambarkan kondisi saat ini: RADIKAL (Remaja Didikan Allah), FORMALIN (Forum Masyarakat Anti-Aliran Lain), dan MODERAT (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat).
Permasalah diselesaikan dengan kocak pula, namun ending-nya dibuat nggantung soal kelanjutan cinta Rosid dan Delia. Agak susah memang membuat sebuah masalah berat disajikan dalam komedi, tentu beda banget ma cerita kocak yang mengangkat kebodohan diri sendiri atau pengalaman unik.
So.. gimana kelanjutan kisah cinta mereka?? Inilah yang coba dibahas mendalam di buku ke-2nya Ben Sohib
Buku ini lucu. Terlepas dari kenangan jadi panitia promosi film "3 Hati 2 Dunia 1 Cinta" di PNJ tahun 2010 lalu, gue suka sekali dengan novel ini. Dan oh, gue memang diharuskan membaca buku ini sebagai kajian popular culture di kampus. Rosid, sang tokoh utama adalah anak muda berusia awal 20 tahun yang kritis dan open minded. Punya pacar seorang perempuan beragama kristiani dan Rosid sendiri berasal dari keluarga Arab Betawi taat. Seolah hubungan percintaan beda agama (dan suku dan ras) belum cukup rumit, Rosid sering adu mulut dengan Mansur, ayahnya yang selalu memprotes rambut kribo Rosid yang segede gunung hanya karena si anak wajib pakai peci putih sebagai identitas keluarga Al-Gibran. Ada beragam kritik yang disampaikan dengan cerdas oleh sang penulis, Ben Sohib. Fanatisme agama, yang diwakili oleh grup "RADIKAL" (Remaja Didikan Allah) dan "FORMALIN" (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain) kontra "MODERAT" (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat). Ada juga kritik mengenai tema utama novel ini, tradisi berpeci di keluarga Al-Gibran. Kalau kata dosen gue Ibu Prof. Melani, buku ini adalah "Multikulturalisme yang 'gaul'" Saya sangat setuju.
as what the spoiler on the backcover says, this book isn't another Dan Brown's book.
Rosid doesn't want to wear the white hat called "Peci" as his symbol of religion. because in his opinion, "Peci" is not the thing that a Moslem must to wear. But his father, Mansur al-Ghifari, has the opposites opinion. according to him, if a Moslem man didnt wear the "Peci" then he is not a real Moslem.
This book shows us some debates between Rosid and his father about this "Peci" stuff. and also, there are some romantic story between Rosid and his girlfriend, Delia, which obstracted by the difference of their belief.
It seems that the author is copycat-ing Dan Brown's controversial book entitled The Da Vinci Code. though the idea of the story is almost similar (one talking about Christianity and Holly grail; one talking about Islam and the white hat) but in my opinion, it is so much different. though the comedy is a little bit awkward, still can make me laugh in a very small smile.
ttg islam tradisi..dilema yang hrs dijalani antara kepatuhan terhadap orangtua dan keyakinan dalam beragama..buku nya g blg lumayan bagus karena g bilang sangat mewakili pertanyaan2 dari kita ttg eksitensi kepatuhan manusia terhadap Yang Maha Esa..kita sering dibingungkan oleh banyaknya peraturan2 yang telah terdogma dalam kehidupan bermasyarakat kita yang bersinggungan dengan agama dan kita sendiri mempertanyakan apakah peraturan tersebut benar2 ada dalam kitab pedoman kita yaitu disini adalah alquran..kita sering meributkan emang bener nih di Alquran ada?trus kita sering merasa kok spt tdk fleksibel mengikuti perkembangan jaman dan segala macam hal pun trus berputar dalam pertanyaan dan pada akhirnya semua jawaban hanya bermuara pada satu jawaban kita sbg manuasi hanyalah mematuhi segala peraturan yg ada yang baik kita ambil yang jelek kita buang..
Buku ini asyik untuk dibaca. Bahasanya ringan dan lucunya pinter. Lewat buku ini, Ben pengen pembacanya mikir ulang antara mana tradisi dab mana tuntunan agama sebelum mutusin untuk yakin sama sesuatu. Ceritanya tentang pertengkaran antara ayah dan anak. Mereka berdua ribut gara-gara si anak nggak mau motong rambutnya yang super kribo. Si ayah ngotot bawa anaknya ke ustad dan make berbagai macam cara supaya anaknya mau potong rambut dan pakai peci putih yang selama ini jadi tradisi di keluarga besarnya. Si anak juga nggak kalah ngototnya. Dia nyari berbagai alasan supaya tetep punya rambut gondrong.
Bukunya bagus. Menjelaskan mengenai pertentangan antara orang tua yang memegang teguh tradisi dan anak muda yang mengritik tradisi tersebut yang mempertanyakan apakah tradisi itu memang yang diajarkan agama. Bukunya ringan. Nggak perlu mikir untuk baca buku ini meskipun isinya lumayan dalam.
Saya baca buku ini di rumah nenek saya di Jakarta, rumah tua, jadi seperti berada di dalam cerita yang settingnya adalah di Jakarta, terutama Jakarta yang bagian tuanya.
Dari judulnya sih udah menarik perhatian banget. tapi isinya rada Garing euy, tau-nya ceritanya standar, jadi ga bikin gw penasaran.. gw jd ga pengen tauuu apa akhir ceritanya, kadang dia terlalu muter2 di situasi yang sama. Gw ampe sebulan gt baca ini ga beres2, sorii... gaya cerita nya emang monoton.
dari segi isi cerita sih cukup ngasih pemahaman baru bahwa yang namanya peci itu bukan simbol agama melainkan hanyalah sebuah budaya. sayang, kadar humornya biasa aja. Nggak sebanding dengan covernya yang lumayan heboh. deskripsinya lumayan tapi seringkali agak membosankan dan terkesannya hanya untuk 'menambah' jumlah halaman.
Lumayan lucu. Novel ini bukan sindiran buat The Da Vinci Code. Tapi gaya arah penulisan novel ini yang rada2 ngikutin The Da Vinci Code. Latar belakang novel ini mengambil budaya betawi arab. Misteri yang ingin dipecahin di novel ini yaitu latar belakang keharusan memakai peci di kalangan orang-orang arab keturunan yang ada di Indonesia.
Buku ini tiba2 ada di lemari kaka gue! iseng-iseng baca deh soalnya abis nonton da vinci code. Padahal mah isinya ga nyambung banget!!..tentang the use of PECI. Is it a tradition or an obligation of one's religion?
Demi hari-hari jurnal nan pening, buku semacam ini perlu dikumpulkan. Biar bisa senyum namun tetap mengundang pengetahuan. Cerita konflik antar generasi antara bokap dan anak Arab Betawi. Baru skimming sih!
gw baca buku ini karena tertarik dengan judulnya, awal2 sih lucu dan ada beberapa lokasi yang gw kenal jadi makin tertarik tapi lama kelamaan kok biasa aja ya...emhhh
Saya suka buku ini.. Ternyata buku ini ngga lucu, tapi penuh dengan nilai-nilai keagamaan. Bahasanya ringan, mudah sekali dimengerti dan menceritakan realita kehidupan sehari-hari.