Jump to ratings and reviews
Rate this book

Earth Dance: Novel

Rate this book
Earth Dance," the story of four generations of Balinese women, centers on conflicts that arise between the demands of caste and personal desires. Narrated by Ida Ayu Telaga, a Balinese woman in her thirties, the novel shows Balinese women-as depicted by her mother, grandmother and female peers-to be motivated by two factors: the yearning to be beautiful, and the desire for a high-caste husband. Headstrong Telaga defies her mother's wishes and marries the man of her dreams, who is a commoner. Thus, in a reversal of societal expectations, as shown in the novel by images of women who aspire to "liberation" through "marrying up," Telaga's emancipation is implicitly characterized as a move downwards, through transformation to the status of a commoner.

"Earth Dance" also reveals that-like high-caste status-beauty, too, has a price. Behind the thick, glossy hair and golden complexion, lies a web of jealousy, derision and intrigue. Telaga, whose life is controlled by her mother's avarice, her mother-in-law's bitterness and the greed of her sister-in-law, has frequent cause to wonder: "Is this what it means to be a woman?

162 pages, Paperback

First published January 1, 2000

104 people are currently reading
1826 people want to read

About the author

Oka Rusmini

27 books138 followers
Oka Rusmini was born in Jakarta, July 11, 1967. She lives in Denpasar, Bali. She writes poetry, novel, and short story.
Her published works are Monolog Pohon (1997), Tarian Bumi (2000), Sagra (2001), Kenanga (2003), Patiwangi (2003), Warna Kita (2007), Pandora (2008), Tempurung (2010), Akar Pule (2012), Saiban (2014).
Her novel Tarian Bumi has been translated into foreign languages: Erdentanz (Deutsch edition, 2007), Jordens Dans (Svenska edition, 2009), Earth Dance (English edition, 2011), and La danza della terra (Italian edition, 2015).
In the year 2002, she received the Best Poetry Award from Poetry Journal. In 2003, The Language Centre, Ministry of Education of the Republic of Indonesia, gave her the Literary Appreciation Award of Literary Works for her novel Tarian Bumi. In 2012, she received the Literary Appreciation Award from the Agency of Language Development and Cultivation, Ministry of Education of the Republic of Indonesia, and the South East Asian Write Award, Bangkok, Thailand, for her novel Tempurung. Her book of poems Saiban (2014) won the national literary award, “Kusala Sastra Khatulistiwa 2013-2014”.
She was invited to national and international events, such as Literary Festival Winternachten in Den Haag, Amsterdam, Netherland (2003), Singapore Writer Festival (2011), and OZ Festival, Adelaide, Australia (2013). She was also invited as guest writer in Hamburg University Germany (2003).

Oka Rusmini can be contacted at
Twitter: @okarus
Email : tarianbumi@yahoo.com.
Facebook Page: oka rusmini

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
577 (30%)
4 stars
853 (45%)
3 stars
369 (19%)
2 stars
71 (3%)
1 star
20 (1%)
Displaying 1 - 30 of 353 reviews
Profile Image for Pandasurya.
177 reviews117 followers
November 3, 2010
Tarian Bumi, Tarian Langit Matahari

“Kelak, kalau kau jatuh cinta pada seorang laki-laki, kau harus mengumpulkan beratus-ratus pertanyaan yang harus kausimpan. Jangan pernah ada orang lain tahu bahwa kau sedang menguji dirimu apakah kau memilki cinta yang sesungguhnya atau sebaliknya. Bila kau bisa menjawab beratus-ratus pertanyaan itu, kau mulai memasuki tahap berikutnya. Apa untungnya laki-laki itu untukmu? Kau harus berani menjawabnya. Kau harus yakin dengan kesimpulan-kesimpulan yang kaumunculkan sendiri. Setelah itu, endapkan! Biarkan jawaban-jawaban dari ratusan pertanyaanmu itu menguasai otakmu. Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil risiko.” (h. 21)

“Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta. Itu kata laki-laki di warung, Meme. Benarkah kata-kata itu? (h. 39-40)

“Dalam hidup ini, Sekar, tak ada yang gratis. Air, udara, semua energi yang membuatmu hidup harus kau bayar. Kau pernah bahagia? Kalau kau mendapatkan hadiah itu dari hidup, kau harus bersiap-siap, karena beberapa detik lagi penderitaan akan berdiri dengan angkuhnya di hadapanmu.” Suara batin yang sering memaksanya untuk sadar, bahwa hidup memang harus disiasati, sebelum manusia hanya sekadar jadi pecundang. (h. 101)

“Apa arti cinta, Luh. Aku hanya memerlukan hidup layak, hidup terhormat!”
“Kau juga memerlukan kasih sayang. Jangan samakan dirimu dengan benda-benda mati!” Suara Kenten penuh amarah.
“Hidup telah mengajari aku jadi batu.”
“Kau pernah bertanya pada batu? Betapa menyakitkan menjadi batu!”
“Siapa yang mengatakan itu padamu? Apa batu pernah mengeluh padamu?”
Luh Kenten diam.
“Aku tidak akan pernah bermimpi sepertimu.”
“Berarti kau benda mati. Manusia hidup memiliki keinginan, memiliki mimpi. Itulah yang menandakan manusia itu hidup. Batu juga memiliki keinginan. Dalam kediamannya dia mengandung seluruh rahasia kehidupan ini.”
“Hidupku bukan hidupmu. Aku tidak suka bermimpi.”
(h. 106-107)

“Tahukah kau, Luh, kau terlalu lugu untuk hadir dalam kehidupan ini.”
Profile Image for Pepe.
117 reviews25 followers
February 6, 2014
Ini tentang perempuan Bali, dan kelamnya menjadi perempuan di dunia yang sangat patriarkis.
Tapi rasanya berlebihan jika buku ini dibilang sebagai 'luar dalamnya Bali' karena masih ada yang kurang digali oleh Oka Rusmini. Saya juga agak sangsi ketika dibilang perempuan-perempuan ini pendobrak adat, tapi kenyataannya, di akhir mereka tunduk kepada adat. Pendobrakan terhadap adat bukan hanya sekedar 'pindah kasta dengan begitu besarnya pengorbanan', pendobrakan terhadap adat seyogyanya dihadiri oleh nilai-nilai yang ditolak oleh si perempuan sebagai tokoh utama.

[spoiler] Misalnya, tokoh Luh Kenten yang dicitrakan lesbian tidak diungkit-ungkit lagi setelah perkawinan gadis impiannya, Luh Sekar. Kemana Luh Kenten? Padahal menurut saya tokoh ini harusnya digali lebih dalam lagi dan kalau penggambarannya baik, maka itulah nilai 'pendobrakan terhadap adat'.

Posisi laki-laki disini berbeda dengan perempuan, jika perempuan sangat manusiawi; abu-abu, juga penuh nafsu akan dunia, ambisi -- tidak demikian dengan laki-laki. Dunia laki-laki Bali digambarkan dengan hitam-putih saja. Kalau tidak sebejat binatang dan pretensius, ya baik -- kalaupun baik nasibnya naas, meninggal atau menjadi 'perempuan' melalui ritual Bali jika si perempuan bangsawan yang memintanya menikahinya-- yang mana mencabut keberadaannya sebagai lelaki, merenggut harga dirinya.

Sebagai perempuan, saya menyenangi novel ini. Okra Rusmini melakukan selebrasi terhadap feminitas perempuan. indah, sensual, dan bersinar lagi menggoda. Perempuan-perempuan yang ada dalam Tarian Bumi adalah mereka yang menanggung pilihan ketika prinsip mereka bertentangan dengan adat -- tapi pada akhirnya mereka tunduk terhadap adat tersebut.
Namun perempuan-perempuan ini adalah perempuan yang kalah dalam masyarakanya; tunduk kepada adat yang mereka takuti, yang mereka keluhkan karena repot.

Banyak persoalan menarik disini, dimana narasi tentang perempuan yang diberikan Oka Rusmini kadang saling bertentangan, bertabrakan, lalu melahirkan suatu cerita panjang untuk memberitahu apa rasanya menjadi perempuan Bali. Setidaknya.
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
March 28, 2022
Review (February 2022)
Five years ago I read this book and couldn't remember a thing because I gulped it down. I'm so glad I read this little gem of a book again. I had a much better appreciation of it. Yes, there are references to Balinese dancing and art, but the book focuses mainly on the female characters and how the caste system shapes their lives. We meet Luh Sekar, who is ruthless and ambitious despite being born in the lowest class. To make matters worse, her father has been labeled PKI. This only fuels her drive to make it out of the Sudra class and marry a Brahmana. Her daughter Telaga is born into the Brahmana class, but for love she does the unthinkable. Destiny is very cruel to her. Rusmini displayed the mother-daughter relationships very well; its strains, its misunderstandings, its heaviness. Many characters in this book are crass, jealous, ambitious, weak, utterly human. Very far from the paradise image we have of Bali. Despite this being a short book, it manages to delve into the character's mind and several subjects related to Balinese culture. I enjoyed that this book focused on women.

Review (September 2017)
description
Tari Oleg Tamulilingan, a Balinese dance of love, the male and female dancer imitate the flirtatious behavior of bumblebees.

Excellent! I loved this! It was just by chance that I stumbled upon this book in my library - Erdentanz by Oka Rusmini, which is originally called "Tarian Bumi" in Indonesian and translated means "Earth Dance". It's a short novel about the lives of Balinese women over four generations and highlights different aspects of Balinese culture. Truly enjoyed this!

One theme that was largely covered in this book was the Balinese caste system. Now, I knew that Bali is the only Hindu-majority island in Indonesia, but I was never really informed about their caste system. This novel shows through the family's drama and marriages the differences between the castes. We see a male Brahmana marrying a Sudra woman, who is lifted from the lower caste. However, when a female Brahmana marries a Sudra man, she has to step down to the lower caste group.

Another theme that this novel discusses is the commercialization of art. I found this part fascinating. Balinese lifestyle is known for its ceremonies, the dancing, the sculpture making and the painting. Balinese people are often stereotyped as natural artists. In this story, there's a part involving the Western artists that come to the island of God and are looking for artistic inspiration. Some European artists made a lot of money from the art that they created in Bali. It's no surprise that some Balinese people were sucked into this money economy and others were taken advantage of. One of the characters contemplates how art changed once the Westerners came to Bali and introduced their way of "art". Very interesting!

This novel also incorporates themes of Balinese dancing, the life of these female dancers who become revered in society and can marry into the Brahmana class, but have to immediately stop dancing after the wedding. One character's father was labeled a communist and killed for it, but this novel doesn't focus on the 1965 event. I remember the author briefly mentioned how society ostracized that family because a single family member is allegedly a communist. My only criticism is that this novel was too short.

"...Deshalb sollst du aus solchen Erfahrungen lernen. Lauf niemals vor der Realität davon. Stell dich mutig allen Herausforderungen. Jeder Mensch hat grosse und schwere Ereignisse im Leben zu meistern."
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,035 reviews1,962 followers
September 21, 2021
Bagaimana rasanya menjadi perempuan dalam cengkraman adat & budaya?

Telaga punya kisah hidup yang tak mudah. Menuruti apa kata ibunya, neneknya, & pandangan masyarakat untuk menjadi perempuan Brahmana punya nilai tukar yang besar. Telaga tidak habis pikir, menjadi dewasa malah membingungkan. Kalau begitu adanya, ia lebih senang tetap menjadi anak-anak saja. Bisa bebas bermain tanpa ada embel-embel yang memberatkan dirinya.

Tarian Bumi merekam kisah hidup para perempuan Bali. Dari mereka yang lahir & besar sebagai Brahmana, lahir sebagai Sudra & besar menjadi Brahmana, hingga seorang Brahmana yang berakhir sebagai Sudra. Semuanya punya kompleksitasnya sendiri. Membuat decak, "Enaknya hidup sebagai titisan Dewa" hilang seketika. Meminjam sebuah frasa Jawa, "Urip mung sawang sinawang." Alias, hidup manusia siapa yang tahu. Permainan praduga tidak akan ada ujungnya. Yang Brahmana berharap hidup bisa sesantai Sudra. Yang Sudra, berharap bisa berada setara dengan Brahmana.

Membaca Tarian Bumi membawaku pada khazanah yang baru. Jika selama ini Bali terlihat sebatas destinasi pelesir untuk orang Jawa, kisah Telaga mengantarkanku pada peliknya hidup sebagai perempuan Bali. Bahwa Bali juga punya budaya & adat yang... masih memandang perempuan sebagai warga kelas dua.

Oh anyway, aku menemukan kalau dalam adat Bali, seorang laki-laki Brahmana menikahi perempuan Sudra maka kastanya tidak turun satu tingkat ya? Sedangkan di Jawa (Kraton Kediri), laki-laki ningrat menikah dengan perempuan rakyat jelata maka gelarnya akan turun setingkat 🤔 (koreksi jika aku salah).

Buku ini merupakan tulisan 188 halaman yang layak untuk dibaca minimal sekali seumur hidup.
Profile Image for Liliyana Halim.
309 reviews235 followers
October 17, 2021
Selesaiiiii! 🤩🤩🤩 Jadi penasaran dengan judul lainnya. Cerita sederhana, apa adanya, sedih, gregetan, nggak tega tapi juga salut sama Telaga.
Profile Image for Maulida Raviola.
63 reviews6 followers
Read
October 21, 2009
Satu hal yang saya sesali saat membaca buku ini adalah, "Sial! Kenapa baru membacanya sekarang, ya?". Buku ini akan bermanfaat sekali sebagai sebuah referensi di kelas Gender yang sedang saya ikuti. Dan lagi, secara pribadi, saya temukan beberapa kesamaan karakter perempuan Bali dan Minang: ambivalensi kelembutan dan kekuatan. Saya ingat Ibu, Nenek, dan Nenek Uyut ketika membaca ini. :)
(Dan tentu saja, saya jadi suka sekali nama Wayan dan Telaga!)
Profile Image for Irwan Sukma.
10 reviews3 followers
July 20, 2015


Cetakan pertama, April 2000
Cetakan keempat, Juli 2004

Saya belum pernah pergi ke Bali, jangankan ke Bali naik pesawat saja saya belum pernah. Ah katanya pengagum Habibie. Ironis memang. Tapi setelah membaca novel Tarian Bumi, setidaknya saya tahu sedikit tentang kultur di Bali.
Jika novelis Inggris, Graham Greene, merasa telah menemukan India yang sebenarnya justru dalam novel-novel dan cerita-cerita pendek yang di tulis R.K. Narayan, maka tak berlebihan jika kita telah menenmukan Bali yang sebenarnya melalui novel ini. (Horison, Juli 2001)

Novel ini saya beli 2 minggu yang lalu (14 maret 2010) saat ada obral buku, di toko buku Gramedia, Depok. Saat sedang asik melempar-lempar buku obral—berlebihan memang—buku inilah yang saya lihat menarik dan yang lebih penting murah harganya, yah namanya juga obral. Setelah dengan “iseng” membuka lapisan sampul plastik pelindung buku—bagian ini jangan ditiru—ternyata buku ini merupakan salah satu novel yang fenomenal sekaligus kontroversial.

Novel ini dengan sangat terbuka menghantam keadaan yang melingkupi kehidupan perempuan di kalangan bangsawan Bali yang masih feodal. Dalam konteks adat-istiadat Bali, Tarian Bumi dipandang sebagai sebuah pemberontakan terhadap adat. (Tempo, 9 Mei 2004)

Menurut saya novel ini berbeda dengan novel yang pernah di buat oleh novelis perempuan lainya. Novelis perempuan yang pernah saya baca seperti Fira Basuki, Djenar Mahesa, dan Ayu Utami terkadang (ini menurut saya lho ya) kalau tidak terlalu vulgar, atau terkadang kalimatnya sulit di pahami. Memang tiap penulis punya gaya menulis masing-masing.
Tarian Bumi merupakan karya terbaik yang pernah saya baca yang di tulis oleh novelis perempuan. Bukan berarti karya noevelis perempuan yang lain tidak baik. Buktinya saya suka dengan Nayla (Djenar Mahesa) Saman, Bilangan Fu (Ayu Utami) bahkan saya punya triloginya Jendela, Pintu dan Atap (Fira Basuki)—walaupun baru ���pintu” yang saya baca, jendela dan atapnya masih terbungkus rapi..hehehe.

Menurut buku sejarah kelas XI sekolah menengah atas. Bangsa Arya termasuk bangsa Indo-Jerman. Bangsa Arya memiliki ciri-ciri kulit putih, badan tinggi dan hidung mancung.
Bangsa Arya menyebut bangsa DravIda sebagai arasah (hidung pesek) atau dashu (budak). Untuk membatasi jarak hubungan bangsa Arya terhadap bangsa DravIda sekaligus menyucikan darah keturunan Arya, diciptakalah kasta yang terdiri dari 4 golongan, yaitu kasta brahmana (keluar dari mulut dewa), kasta ksatria (keluar dari tangan dewa), kasta waisya (keluar dari perut dewa), dan kasta sudra (keluar dari kaki dewa).
kasta tertinggi adalah brahmana. Hanya kaum brahmana yang boleh menyebarkan agama. Dan sudra adalah kasta terendah.

Konflik dalam novel ini menceritakan tantang pergolakan kasta-kasta dalam kultur Bali. Di ceritakan bagaimana seorang wanita berambisi untuk masuk kasta brahmana, untuk keluar dari kemiskinan kasta sudra. Dan juga menceritakan kisah percintaan antara perempuan brahmana dengan laki-laki sudra. Jadi kisah dalam novel ini sungguh berbeda dengan novel kebanyakan. Saya akui novel ini banyak membuka wawasan dan mendapatkan pengetahuan baru.

Dalam novel ini juga saya menjadi bertambah wawasan mengenai terminologi dalam bahasa Bali seperti Luh adalah panggilan untuk anak perempuan, Odah artiya nenek, Ida Ayu adalah nama depan anak perempuan kasta brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali, biasanya di singkat Dayu. Untuk anak laki-laki bernama Ida Bagus. Kemudian ada griya artinya rumah tempat tinggal kasta brahmana. Untuk kasta ksatria rumahnya bernama puri. Sedangkan Meme artinya ibu, tugeg singkatan dari Ratu Jegeg. Seorang yang kastanya lebih rendah memanggil anak perempuan brahmana dengan panggilan tugeg. Tuniang artinya nenek (panggilan untuk nenek kasta brahmana), Jero adalah nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan kebanyakan yang menikah dengan laki-laki bangsawan. tiang artinya saya, selanjutnya ada Tukakiang artinnya kakek, Ratu adalah panggilan kehormatan untuk kalangan bangsawan, dan hanya terminologi ini yang saya tahu, karena pernah menjadi salah satu iklas susu kental manis yaitu kata Bli yang merupakan panggilan untuk kakak laki-laki.

Tokoh utama dari novel ini bernama Telaga. Telaga merupakan seorang Ida Ayu. Ida Ayu Telaga Pidada lengkapnya, merupakan anak pasangan Ida Bagus Ngurah Pidada dengan Luh Sekar (Jero Kenanga). Ida Ayu Telaga Pidada mempunyai anak bernama Luh Sari. Mengapa anak Ida Ayu Telaga tidak memakai title Ida Ayu, karena Ida Ayu Telaga tidak menikah dengan seorang Ida Bagus (sesama bangsawan). Telaga menikah dengan Wayan Sasmitha. Wayan Sasmitha merupakan laki-laki sudra.

Wanita yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Telaga adalah ibunya yaitu Luh Sekar atau setelah menikah menjadi Jero Kenanga.
Luh Sekar adalah seorang wanita sudra. Luh Sekar hidup dalam keadaan miskin. Ayah dari Luh Sekar berkecimpung dalam politik, dia diculik karena termasuk orang PKI dan hilang tak pernah muncul lagi. Derita itu ditambah lagi kecelakaan yang luar biasa. Ibunya—Luh Dalem—saat pergi ke pasar Luh Dalem, dirampok dan diperkosa hingga buta dan hamil. Dan kemudian melahirkan anak kembar, Luh Kerta dan Luh Kerti.

Luh Sekar adalah wanita yang cantik dan pandai berjoged. (joged di novel ini bukan merupakan joged dangdut tetapi joged dalam tarian Bali). Kata ibu Sekar, ”pragina-pragina (primadona) tari, terlebih tari hiburan seperti joged, Memerlukan doa yang sangat luar biasa”.
Masih kata ibu Sekar, hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan restu para dewa ntuk meari dengan baik. Penari yang bahkan mampu mematahkan panggung hanya dengan satu tetes keringat.
“Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka labih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Merekapun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.”

Demi keluar dari kemiskinan dia berambisi untuk menikahi seorang Ida Bagus. Bahkan dia memilih untuk bersumpah tidak menikah kecuali dengan seorang Ida Bagus. Sekar mengatakan dengan penuh ambisi “aku benci perempuan diluar. Merka hanya bisa mengejekku. Aku tahu mereka sungguh adalah seorang pengecut yang takut bersaing denganku. Karena hidupku selalu sial, aku ingin bertaruh pada diriku sendiri. Aku ingin menaklukan hidupku. Hidup bagiku adalah pertarungan yang tidak pernah selesai. Tidak akan pernah habis selama aku masih hidup. Aku harus jadi pemenang. Sebelum kau mengalahkan hidup, aku tidak ingin mati.”

Luh Sekar punya sahabat dan sepetinnya dia satu-satunya sababat. Namanya adalah Luh Kenten. Kenten adalah wanita yang perkasa. Dia memiliki kecantikan khas seorang wanita sudra. Kulitnya hitam, matanya tajam, dan tubuhnya sangat kuat. Dia juga memiliki rambut yang sangat panjang. Rambut itu sering digulung seadanya. Itulah yang memuat orang-orang mengagumi kecantikannya.
Keakraban Kenten dengan Sekar ternyata memiliki maksud tersendiri yang tidak di ketahui oleh Sekar. Kenten mencintai Sekar.
Luh Kenten hanya bisa menarik nafas dan bertanya pada diri sendiri. ”Dosakan aku bila hanya mencintai dan hanya bisa tersentuh bila memandang tubuh perempuan?”
Suatu hari Kenten pernaah berbicar pada ibunya. Kenten tidak senang mendapat gunjingan dari laki-laki yang duduk santai di kedai kopi. Sementara aku—Kenten—harus kerja keras. Kaki mereka terangkat dikursi.
“Sungguh Meme, aku ingin melempar kayu bakar kearah mereka. Bahkan ku dengar laki-laki yang sering mencubit pantatku istrinya dua. Laki-laki tukang kawin. Padahal tidak punya pekerjaan tetap yang bisa menopang keluarganya. Meme tahu apa yang dia katakana ke teman-temanya?”
“Bicara apa dia?”
“Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itulah kunci agar kehidupan laki-laki makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka Cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah dipenuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering berbohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta. Itu kata laki-laki di warung Meme, apakah benar itu?” (hal. 39)

Sekar sungguh mencintai Kenten hanya sebatas sahabat atau bahkan saudara. Tanpa pernah tahu Kenten mencintai Sekar dalam arti yang sesungguhnya. Kenten selalu menemani dan memberi agar sedikit membelokan ambisinya. Namun Sekar mengatakan bahwa semua ini dilakukan demi masa depan.
Luh Sekar akhirnya disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada—laki-laki yang paling rajin datang setiap joged. Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus meninggalkan semua yang pernah membesarkanya.
Jero Kenanga memiliki anak bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Berbeda dengan ibunya yang sudra menjadi brahmana sehingga menyandang nama Jero, tetapi Telaga adalah murni brahmana sehingga menyandang nama Ida Ayu.
Telaga memiliki kaki yang indah untuk menari. Ibunya meminta Luh Kambren untuk mengajari Telaga menari. Luh Kambren mempunyai sebuah taksu, yaitu kekuatan dari dalam yang tidak bisa telihat. Menurut Luh Kambren, Telaga adalah gadis pilihan yang mampu menerima taksu yang dia punya.
Kambren adalah seniman tua Bali yang tercatat dalam buku sejarah kesenian, tetapi tidak pernah merasakan hasil yang pantas dia dapatkan dari pengabdianya. Telaga ingat kata-kata perempuan tua yang tatap perawan itu “dulu tiang berfikir, berpuluh-puluh piagam yang tiang sendiri tidak tahu namanya ini mampu menanggung masa depan tiang. Nyatanya tidak!”
“Berpuluh piagam penghargaan miliknya yang kemudian dirobek-robek untuk menutupi biliknya yang bolong.” Akhirnya Luh Kambren meninggal karena penyakit jantung di biliknya yang bau dan tidak terawat.

Telaga pernah mendpat nasehat dari neneknya—Ida Ayu Sagra Pidada—bahwa, “Kelak, kalau kau sudah mengenal laki-laki, kau harus tanya dirimu sendiri. Apa dia pantas kau cintai. Apa perasaanmu sungguh-sungguh padanya. Harus bisa kau bedakan rasa kagum dengan dan mencintai dengan baik. Kalau kau tidak bisa bedakan, jangan coba memilih laki-laki untuk temapat bergantung.”

Akhrnya Telaga menambatkan hatinya pada laki-laki sudra yaitu Wayan Sasmitha mahasiswa seni lukis tingkat akhir. “Wayan adalah lelaki pertama yang menyentuh bibirnya, mengusap tubuhnya, dan membaca seluruh peta tubuhnya. Laki-laki yang tidak pernah tersesat menjelajah tubuh Telaga.
Pernikahan Ida Ayu Telaga dan Wayan Sasmitha awalnya ditolak oleh ibu dari Wayan yang, Luh Gumbreg. Karena menurut kepercayaan Luh Gumbreg, “seorang laki-laki sudra dilarang meminang perempuan brahmana.” Akan sial jadinya bila Wayan mengambil Telaga sebagi istri. Perempuan sudra itu—Luh Gumbreg—percaya bahwa mitos bahwa perempuan brahmana adalah surya, matahari yang menerangi gelap. Kalau matahari itu di curi, bisakah dibayangkan akibatnya?”

Telaga yakin terhadap pilihannya. Akhirnya Telaga menikah dengan Wayan Sasmitha. Kalau saja Telaga menikah dengan laki-laki brahmana, keluarga besar akan membekali kepergian mereka dengan perhiasan. Karena menikah dengan Wayan, tidak ada keluarga yang membawa peralatan pakaian dan perhiasan untuk Telaga. Apalagi dia kawin tanpa “pamit”.
Hasil buah cinta dari Wayan Sasmitha dengan Ida Ayu Telaga di beri nama Sari, Luh Sari. Anak itu bukan kaum brahmana melainkan sudra.

“Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan.” Ujar Luh Gumbreg.
“bapak mati karena sakit. Kenapa Odah salahkan Meme!”Sari memekik.
Telaga tiak pernah mengerti, tubuh Wayan yang kuat ternyata rapuh. Kata dokter, Wayan memiliki kelainan jantung sejak kanak-kanak. Wayan mati di studio lukisnya. Telaga bahkan tidak tahu jam berapa laki-laki itu sekarat. Karena bila Wayan masuk studio, Telaga dan seluruh penghuni rumah tahu diri, tidak ingin menggangu dia melukis.

Di akhir cerita, Luh Gumbreg meminta Telaga untuk berpamitan kepada griya, karena sewatu menikah Telaga tidak berpamitan, dan Telaga belum melakukan upacara Patiwangi.
Kemudian dilakukanlah permintaan Luh Gumbreg. Telaga datang menemui tukakiang Ida Bagus Tugur. Telaga menceritakan bahwa dia harus pamit pada leuhur griya, karena Sekarang dia bukan bagian dari keluarga griya.

Masih satu upacara yang harus dilakukan agar benar-benar menjadi perempuan sudra. Patiwangi. Pati berarti mati dan wangi berarti keharuman. Kali ini Telaga harus membunuh nama Ida Ayu yang telah berikan hidup padanya. Nama itu tidak boleh dipakai lagi. Tidak pantas. Hanya membawa kesialan pada orang lain.
Upacara Patiwangi adalah penurunan derajat. Dilakukan dengan cara menginjak dan bercuci kaki di ubun-ubun orang yang ingin diturunkan derajatnya. Sebelum perempuan tua sesepuh griya melangkahi tubuhnya. Telaga ingin ibunyalah yang menurunkan derajatnya. Sejak dia lahir perempuan itu tetap menghormatinya sebagai bangsawan.

Setelah di telaga mengetuk pintu dan memohon agar ibunya mau menemuinya. Ibunya pun akhirnya keluar dan memberinya sebungkus kain putih yang berisi tusuk konde. Kain putih ini adalah hadiah dari Luh Dalem pada Luh Sekar menjelang masuk keluarga griya dan merubah namanya menjadi Jero Kenanga. “Terima kasih Meme. Meme harus tahu, tiang tak pernah menyesal menikah dengan Wayan. Yang tiang sesalkan, begitu banyak orang yang merasa lebih bangsawan daripada bangsawan yang sesungguhnya.” Telaga menjauh.

Suasana pura semakin mengelisahkan. Sesaji sudah di hadapan Telaga. Telaga mulai membuka bajunya. Dia hanya menggunakan kain sebatas dada. Seorang pemangku mengucapkan mantra-mantra. Kaki perepuan tua sesepuh griya itu diletakan pada kepala Telaga, tepat di ubun-ubunya. Air dan bunga menyatu. Sebuah upacara yang harus dilakukan demi ketenangan keluarganya. Demi Luh Sari. Telaga lelah dianggap sumber malapetaka keluarga Gumbreg.
“Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup harus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga.”
Telaga bergumam, membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya yang menjelma dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra!

Novel ini menurut saya sungguh menarik. Yang akan memperkaya wawasan pembaca dan menambah khazanah kesusastraan Indonesia.
“Novel ini memikat. Tak cuma dari gaya bahasanya yang mengalir, padat, dan indah, tapi kisah perjuangan wanita Bali mencapai kebahagiaan dan menghadapi realita sosial budaya disekelilingnya…” (Femina 28/XXVIII 2000)
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for isaiah.
157 reviews
July 31, 2022
“Kelak, kalau kau sudah mengenal laki-laki, kau harus tanya dirimu sendiri. Apa dia pantas kau cintai. Apa perasaanmu sungguh-sungguh padanya. Harus bisa kau bedakan rasa kagum dan mencintai dengan baik. Kalau itu tidak bisa kau bedakan, jangan coba-coba memilih laki-laki untuk tempat bergantung.”

the best romance book ever. nggak cheesy, nggak ada gombalan alay, nggak ada acara flirty aneh aneh, langsung sat set. langsung ke inti cerita dan permasalahan.

i love this book soooo much. ceritanya nggak berat, juga nggak enteng. ya, walaupun, misalnya dijalanin di real life bakalan ribet banget sih, ahaha. dari buku ini juga aku lebih paham sama kasta kasta di Bali dan beberapa aturan dari tiap kasta. so glad i found it educational either!
Profile Image for Antin Aprianti.
46 reviews1 follower
April 19, 2022
Sempet ngira ini buku berat banget, ternyata nggak dong. Asik dibaca, banyak membahas budaya Bali.

Hidup sebagai perempuan memang rumit, terlebih berurusan dengat adat. Salut sekali dengan perjuangan Telaga
Profile Image for Hib.
45 reviews6 followers
December 9, 2021
Tarian Bumi, sebuah novel yang berlatarkan budaya dan adat istiadat bangsawan Bali. Tentu bagi saya yang tidak berdomisili di Bali (bahkan belum pernah ke Bali :")) ini merupakan novel yang sangat menarik. Di mata orang, Bali merupakan wujud keindahan alam dan busaya. Tentu saja karena itulah yang selalu digaungkan dari Bali mulai dari pariwisata, adat istiadat, dan keramahan masyarakatnya. Namun bagi penduduk asli, Bali tidak sesederhana itu. Bali sangatlah kompleks dengan peraturan kastanya yang sangat kental. Dimana kasta Sudra akan sangat jauh berbeda dibandingkan dengan kasta sudra dalam hal apapun, seperti kehormatan tentunya dan perekonomian.

Sebegitu pentingnya kasta bagi penduduk Bali, sampai sampai Luh Sekar yang notabennya perempuan Sudra, berusaha mati-matian agar bisa masuk menjadi keluarga bangsawan. Namun harga yang harus dibayar Luh Sekar dengan menikahi laki-laki yang walaupun bangsawan, tapi kelakuannya sangat jauh menyimpang. Obsesinya yang begitu tinggi juga membuatnya terlalu mengekang anaknya, Dayu Telaga. Tidak ada yang gratis di dunia ini, bukan? Pasti akan selalu ada pengorbanan dan penderitaan untuk mencapai level "bahagia" yang berbeda dari satu hati dengan hati lainnya. Termasuk panggilan-panggilan yang digunakan baik untuk kasta Brahmana dan Sudra yag ternyata pun juga berbeda. Seperti perbedaan panggilan nenek, yaitu Odah (Sudra) dan Tuniang (Brahmana).

Seperti buku-buku yang mengangkat budaya tari, di novel ini juga terdapat seorang penari senior yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk tari. Mereka memandang tari bukan hanya soal melenggok-lenggok di atas panggung. "Mereka menari karena ada upacara-upacara di pura. Sekarang? Tidak lagi." Kebanyakan orang sekarang belajar tari tapi tidak menemukan esensi tari itu sendiri. Dan seperti kebanyakan, meski mereka mendapat banyak penghargaan sana sini, tapi kehidupannya tetap tak bisa lepas dari belenggu kemiskinan.

Novel ini begitu berani mengkritisi posisi perempuan di Bali yang menjadi tulang punggung keluarga. Perempuan menjadi makhluk yang lebih dominan di rumah, sedang laki-laki seakan tidak punya daya dan mengiyakan apapun yang dikatakan perempuan. Seakan perempuanlah yang melakukannya segalanya. Sedangkan laki-laki hanya "ongkang-ongkang kaki" dan hanya peduli pada nafsu birahinya saja. Seakan "pemerkosaan" di sini menjadi hal yang biasa saja? Bahkan bagi laki-laki kasta Brahmana. Lalu apa yang membedakan laki-laki Brahmana dan Sudra kalau untuk menahan nafsu saja sama-sama tidak becus. Yang menarik, novel ini juga mengangkat isu LGBT. Wow sekali. Alasannya tidak yakin dan tidak bukan adalah karena semua laki-laki yang dikenalnya semua brengsek, bangsat, dan bajingan. "Apakah Tuhan tidak akan memberi tempat bagi seorang perempuan yang mencintai seorang perempuan juga?".

Novel ini begitu padat dengan segala fakta-fakta yang mencengangkan untuk saya pribadi. Terlalu banyak hal-hal baru mengenai Bali, yang tentu saja tidak hanya tentang keindahan alam dan adatnya, tetapi keaslian dan kemuraman di dalamnya.
109 reviews
July 12, 2017
Betapa indah sekaligus repotnya menjadi perempuan Bali. Mereka sungguh penuh akan taksu, penuh daya pikat yang entah mengapa sampai sekarang masih bisa saya lihat dan rasakan (apalagi ketika sedang bersama mama dan masyarakat di kampung halaman). Mereka kuat dan tangguh. Maka dari itulah, para Dewata menjadikannya makhluk yang dihadapkan dengan beragam problema. Dibandingkan para laki-laki Bali, mereka sangat sulit untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri: karena kasta, karena adat, karena agama, karena keluarga, karena sistem patriarkat. Untuk bertata laku saja sudah dikekang oleh beragam hal, apalagi untuk urusan memilih teman hidup dan menikah. Semuanya harus sesuai pakem, tidak boleh ada yang keluar haluan. Akan tetapi, para perempuan dalam novel ini, Pidada, Kenanga, Telaga, dan tokoh-tokoh perempuan lainnya membuat saya sadar, bahwa masih ada kesempatan untuk memberontak; masih ada kesempatan untuk hidup atas jalan yang telah kita pilih sendiri.
Profile Image for Rere.
48 reviews
April 2, 2021
Untuk pertama kalinya saya membaca buku bertemakan adat dan perempuan Bali. Sempat mengira buku ini hanya berisikan perjuangan cinta Wayan dan Telaga, dan ternyata lebih dari itu. Buku ini menyajikan kisah hidup beberapa perempuan yang ingin mengubah hidupnya dengan cara apa pun, namun semuanya sama. Berakhir dengan pedih.

"Membangun dinasti itu sulit, Telaga. Apalagi sebagai seorang perempuan."
Profile Image for literautres.
290 reviews25 followers
March 14, 2022
perempuan bali itu, luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup. keringat mereka adalah api. dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. mereka pun menyusui laki-laki. menyusui hidup itu sendiri.

wow. wow. setelah nyelesain buku ini aku nggak bisa langsung lanjut nulis apapun karena i need time to process the brilliance of this book. aku ngerasa aku nggak punya kualifikasi apa-apa to say anything about the book haha tapi *in sischa kohl's voice* mari kita coba

buku ini menceritakan tentang kehidupan perempuan bali di tengah sistem kasta dan adat istiadat bali yang kompleks banget dan nggak ada 'celah'nya. berangkat dari telaga, karakter perempuan pertama yang dimunculkan di cerita ini, kita bisa ngeliat perempuan-perempuan di sekeliling hidup telaga yang secara langsung maupun nggak langsung membentuk pribadi telaga sebagai perempuan bali. dari mulai ibunya, neneknya, teman ibunya, mertuanya, guru tarinya, dan lain-lain.

melalui perempuan-perempuan dalam cerita ini, yang aku merasa sangat menonjol adalah pengorbanan-pengorbanan setiap perempuan untuk paling nggak bisa mendapat kehidupan yang lebih baik dan gimana jomplangnya pengorbanan yang harus mereka lakukan, pilihan yang bisa mereka ambil, kebebasan mereka, beban mereka, kalau dibandingkan dengan laki-laki di dalam adat dan budaya mereka yang nggak memihak perempuan. salah langkah sedikit aja bisa malu seumur hidup, sampe ke anak cucunya huhu banyak banget part yang bikin aku marah dan sedih, tapi ada juga bagian-bagian yang bikin terharu, misalnya soal tusuk konde :')

penulisannya blunt dan berani, tapi tetap indah dan elegan. aku suka detail-detail kayak deskripsi sistem kasta di bali yang rumit, saklek dan kaku, yang memberi perspektif baru terhadap bali secara keseluruhan untuk orang awam seperti aku yang masih kadang pikiran utama ketika mendengar bali adalah sebagai tempat yang terkenal sebagai pusat wisata dan turisme. di ceritanya disorot juga tentang penari-penari bali yang underappreciated, gimana orang-orang nggak lagi menghargai dan memandang kesenian tari bali sebagai bagian dari adat, budaya serta ritual mereka nggak cuma sekadar performance buat wisatawan (fenomena ini diceritakan dari sudut pandang guru tari telaga, luh kambren). untuk buku yang tebalnya nggak sampe 200 halaman, tema bukunya menurutku lumayan berat dan ngecover banyak aspek meski centralnya tetap perempuan.

yang aku ngerasa agak kurang menurutku personally mungkin pas udah mendekati akhir, pacenya jadi cepet banget dan aku jadi kaget wkwk padahal dari awal sampe ke tengah menurutku pacenya udah pas dan aku udah keburu familiar dengan pace segitu. mungkin sebagai bentuk untuk nunjukin ke pembaca kalo hidup itu berubahnya juga bisa cepet banget? soalnya perubahan pacenya pas banget mulai ketika telaga ngambil satu keputusan yang bikin hidupnya berubah 180 derajat.

tapi aku suka gimana penyelesaian konflik antara telaga dan ibunya di akhir dituliskan. mungkin untuk kebanyakan orang (termasuk aku) gestur kayak gitu nggak cukup untuk mengakhiri konflik antara luh sekar (nama gadis ibu telaga) dan telaga, but i found that small gesture incredibly heartwarming and has a deep meaning terutama mengingat sifat luh sekar yang keras kepala banget.

to sum it up, tarian bumi is indeed the kind of book that deserves all the praise it has received and will receive.

kebahagiaan itu sulit digambarkan. juga tidak bisa diucapkan. kadang-kadang sesuatu yang tidak bernilai bisa membuat kita tentram, lalu beberapa detik kemudian terenggut lagi. tiang tidak tahu bagaimana merasakan arti kebahagiaan itu sendiri. terlalu mahal.
Profile Image for Alvina.
732 reviews122 followers
June 7, 2017
Sukaa ama buku ini. Mengupasa bagaimana sifat dan sikap wanita, dalam hal ini digambarkan oleh wanita Bali. Review lengkap menyusul


Sekar sudah capek menjadi orang miskin. Sudah dikucilkan tetangga karena bapaknya diduga PKI, ibunya dirampok dan diperkosa pula. Bagi Sekar, jalan menuju kebahagiaan yang ia cari adalah dengan menjadi seorang penari dan menikah dengan lelaki Brahmana. Apapun akan ia lakukan demi mendapatkan kebahagiaan tersebut sekalipun menjadikan hati dan telinganya beku dan batu dari gunjingan orang-orang.

Telaga lahir di keluarga terhormat, keluarga Brahmana. Ibu dan neneknya amat menyayangi Telaga dengan cara mereka yang berbeda. Sang Ibu terkadang amat menuntut Telaga dengan dalih untuk kebahagiannya, sedangkan sang nenek selalu menjejali Telaga dengan petuah kebangsawanan.
Kisah dua orang ini diceritakan dengan konflik yang berkelindan, berserta konflik para wanita di sekitar mereka. Wanita-wanita yang iri, yang membenci, atau yang mencintai sesama mereka.
Sewaktu melihat buku ini di scoop, saya sudah jatuh hati pada covernya. Setelah membaca buku ini pun, saya rasa covernya memang mewakili isi cerita yang bertumpu pada seluk beluk wanita. Jika pada buku Sagra, cerita para wanitanya hanya dikisahkan pendek pendek saja, maka di Tarian Bumi ini, kisahnya lebih rumit, mungkin serumit perasaan wanita itu sendiri.

Bagi saya, buku ini mengupas kisah wanita Bali dengan amat apik. Saya juga jadi nambah pemahaman dan pengetahuan tentang wanita penari Bali serta hubungannya dengan kasta-kasta mereka.
Buku ini memang cakap dalam menceritakan latar budaya yang kuat dalam ceritanya, ia juga mengungkap rahasia serta kekuatan yang dimiliki oleh seorang wanita, maka saya sendiri tak heran jika ia mendapat Penghargaan Sastra Badan Bahasa di tahun 2003.
Coba deh baca, semoga kamu juga suka.

Profile Image for Shela Yulfia Hadist.
44 reviews6 followers
August 10, 2019
Buku ini banyak menggambarkan ambisi, keinginan, dan ketidakpuasan manusia. Sejak dulu saya tertarik dengan kebudayaan Bali, tentu saja "Tarian Bumi" memberikan pengalaman membaca yang sangat menyenangkan.
Profile Image for Francesca.
44 reviews21 followers
July 12, 2025
Questo libro è stato il mio primo incontro con la narrativa indonesiana e già per questo è speciale. L'autrice racconta una storia intensa che scava nelle dinamiche familiari e sociali di una Bali ancora divisa in caste.
Ciò che mi ha colpita di più è il percorso delle protagoniste che cercano la propria libertà in un mondo che le vorrebbe docili e silenziose. Una vera rivincita femminista...
Una lettura diversa e interessante, che apre gli occhi su una cultura piena di contrasti.
Profile Image for jian..
77 reviews5 followers
October 30, 2021
ini karya pertama dari oka rusmini yang aku baca. membaca buku ini membuat perasaan aku campur aduk. aku pikir pacaran beda agama itu sudah berat, ternyata perbedaan kasta lebih berat lagi meskipun se-agama. aku suka buku ini, meskipun masih ada bagian-bagian yang meninggalkan tanda tanya besar, tapi buku ini memberikan aku pengetahuan dan pemahaman yang baru tentang adat dan perempuan bali. aku suka telaga, selain keren dia juga kuat sekali. i have no doubt to give this book 5/5☆
Profile Image for Diana.
21 reviews1 follower
March 6, 2022
Tarian Bumi menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan dalam adat-istiadat Bali. Aku awalnya kira buku ini menceritakan tentang tarian tradisional Bali atau kisah cinta antara Telaga dengan Wayan Sasmitha, tapi ternyata bukan. Buku ini lebih memfokuskan pada kisah Ida Ayu Telaga Pidada, seorang perempuan Brahmana yang tumbuh di tengah adat-istiadat Bali dan proses kedewasaannya. Di buku ini juga diceritakan kisah dua generasi perempuan di atas Telaga, yaitu nenek dan ibunya. Nenek Telaga yang lahir sebagai bangsawan dan Ibu Telaga, Luh Sekar, yang tumbuh sebagai perempuan Sudra. Luh Sekar punya ambisi untuk memperbaiki hidupnya dan kemudian berhasil menikah dengan seorang laki-laki Brahmana hingga akhirnya namanya berganti jadi Jero Kenanga.

Novel ini berisi perjuangan perempuan untuk memenuhi posisi yang diharapkan di tengah adat-istiadat dan perjuangan perempuan yang lain untuk melanjutkan hidupnya di jalan yang tidak direstui adat-istiadat. Aku sama sekali ngga tahu tentang adat Bali, jadi buku ini memberi aku sedikit pengetahuan tentang sistem kasta dan beberapa hal lain yang sebelumnya aku ngga tahu. Ceritanya cukup sederhana, narasinya juga tidak membingungkan walaupun ada banyak istilah dalam Bahasa Bali. Alurnya agak cepat, ada beberapa hal juga yang rasanya dilewat di cerita, tapi mungkin ngga diceritakan karena bukan fokus dari ceritanya. Tapi secara keseluruhan aku suka dan mungkin bakal baca karya Oka Rusmini yang lain nanti.
Profile Image for Gayatri.
94 reviews4 followers
June 9, 2021
Baca ini ga terlalu bikin mikir karena sama kayak menelusuri budayaku lebih dalam aja😃Secara keseluruhan udah ga kaget sama topik budaya Bali yang diangkat terutama tentang perempuan, beraatt. Inti ceritanya sih tentang mempertahankan kasta kebangsawanan dalam masyarakat Bali, istilahnya sama kayak mempertahankan harga diri. Mungkin bagi orang awam yang belum tau banget tentang budaya Bali, ada banyak istilah2 yang bikin bingung. Bagi yang tertarik dengan budaya dan adat Bali, buku ini bagus untuk dibaca, biar orang2 ga selalu menganggap hal2 yang baik aja tentang Bali, di balik itu ada banyak norma yang harus tetap dipertahankan.
Profile Image for Louisa Olivia Hadiwirawan.
36 reviews13 followers
July 8, 2017
Really an awesome book!
Although the premise of the story is not complex, but you will understand the layers of real life.
Different people had different ways of live.
Oka Rusmini could potray the layers of life, that life is not always a constant flow.
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
September 15, 2017
Berkisah tentang kehidupan para perempuan Bali. Perempuan dengan kasta yang berbeda namun memiliki penderitaannya masing-masing. Termasuk penderitaan perempuan yang berhubungan dengan budaya, pernikahan dan tentunya dengan laki-laki.




Profile Image for Melody Violine.
Author 27 books45 followers
March 30, 2012
Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini menggunakan narrative order yaitu narasi yang dimulai di tengah-tengah perkembangan kejadiannya sesuai dengan pengisahannya. Telaga sebagai pencerita memberitahu kita sejarah keluarganya dari kedua neneknya (Ida Ayu Sagra Pidada dan Luh Dalem) sampai dirinya memiliki seorang anak, Luh Sari.

Bila diceritakan secara kronologis, novel ini dapat dimulai dengan perjalanan hidup Luh Sekar, ibu Telaga. Selama masih menjadi perempuan sudra (kasta terendah dalam masyarakat agama Hindu) atau orang kebanyakan, keluarga Luh Sekar hidup miskin dan dikucilkan masyarakat karena ayah Luh Sekar yang telah pergi dari rumah adalah seorang anggota PKI. Dalam tekanan itu, Luh Sekar berambisi mendapat pengakuan dari masyarakat dengan menjadi pragina, primadona dalam grup tari. Mimpi ini tidak dengan mudah ia raih. Setelah berhasil menjadi pragina, Luh Sekar bermimpi lagi, kali ini menjadi seorang brahmana (kasta tertinggi dalam masyarakat agama Hindu).

Mimpi Luh Sekar menjadi seorang brahmana harus dibayar mahal. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, Sekar harus berpisah dengan Luh Dalem, ibunya, dan Luh Kenten, sahabat satu-satunya. Dalam kehidupan barunya pun Sekar mengalami banyak kesulitan. Suaminya, Ida Bagus Ngurah Pidada, gemar main perempuan, berjudi, dan mabuk-mabukan. Ibu mertuanya, Ida Ayu Sagra Pidada, selalu menyalahkan Sekar perihal tingkah laku suaminya itu. Sekar sadar kalau semua kesulitan yang dihadapinya itu adalah konsekuensi dari mimpinya. Karenanya, Sekar menerima perlakuan ibu mertuanya terhadapnya.

Ida Ayu Telaga Pidada lahir dengan dibebani mimpi-mimpi Sekar. Telaga diingini menjadi perempuan terbaik, tercantik, dan nantinya menikah dengan seorang Ida Bagus. Telaga belajar pada Luh Kambren, guru tari terbaik dan termahal di seluruh desa. Luh Kambren mengakui Telaga sebagai murid terbaiknya, perempuan yang tepat untuk diberi taksu miliknya. Telaga pun menjadi penari terbaik dan tercantik seperti yang diidam-idamkan oleh ibunya.

Telaga menganggap ibunya, neneknya, dan guru tarinya sebagai tiga perempuan yang menjadi peta dalam proses kelengkapan pembentukannya sebagai perempuan. Pengalaman-pengalaman hidup dan nasihat-nasihat mereka Telaga serap maknanya baik-baik. Nasihat yang paling berpengaruh bagi Telaga adalah nasihat neneknya tentang bagaimana memilih laki-laki.

“Jangan pernah menikah hanya karena kebutuhan atau dipaksa oleh sistem. Menikahlah kau dengan laki-laki yang mampu memberimu ketenangan, cinta, dan kasih. Yakinkan dirimu bahwa kau memang memerlukan laki-laki itu dalam hidupmu. Kalau kau tak yakin, jangan coba-coba mengambil resiko.” (Rusmini, 2004: 21)


Telaga menolak semua Ida Bagus yang disodorkan ibunya. Sejak masih kanak-kanak, Telaga mencintai Wayan Sasmitha, pelukis muda yang sering mengunjungi kakek Telaga. Saat Wayan melamarnya, Telaga sadar kalau konsekuensinya sangat besar. Ia tidak hanya dikucilkan oleh kaum brahmana, kaum sudra pun menganggap pernikahannya dengan Wayan sebagai aib. Setelah menikah, Wayan sering pergi berbulan-bulan karena pekerjaannya. Selama itu pula, Telaga menerima kata-kata pedas dari Luh Gumbreg, ibu mertuanya, dan Luh Sadri, adik iparnya. Luh Gumbreg menganggap Telaga menyusahkan sedangkan Luh Sadri sudah sejak dulu dengki padanya. Saat Luh Sari, anak Telaga dan Wayan, berusia lima tahun, Wayan meninggal karena sakit. Luh Gumbreg mengkambinghitamkan Telaga.



Siapa pun yang bermimpi harus giat berusaha dan berani menanggung konsekuensinya—sebesar apa pun itu, termasuk jika mimpi itu hancur. Perempuan-perempuan dalam novel ini adalah perempuan-perempuan yang teguh dalam pencapaian mimpinya dan berani menanggung konsekuensi tersebut.

Satu hal yang meninggalkan misteri adalah tusuk konde yang diturunkan oleh Luh Dalem pada Sekar kemudian diturunkan lagi pada Telaga. Ada getaran aneh mengalir dari benda itu (Rusmini, 2004: 221). Baik Sekar maupun Telaga, semasa muda mereka mengaku merasa ada sesuatu yang ditanamkan oleh ibu mereka setiap kali menari. Bisa jadi tusuk konde itu adalah susuk yang bisa memikat orang lainnya pada pemakainya. Di balik semua itu, tusuk konde tersebut juga menjadi simbol kasih sayang ibu kepada putrinya. Meskipun Sekar sakit hati akan keputusan Telaga untuk menikah dengan laki-laki sudra, Sekar memberikan tusuk konde tersebut karena ia tetap mencintai putri semata wayangnya itu.

Dalam novel Tarian Bumi ini, Oka Rusmini menuangkan pemikirannya tentang budaya Bali yang telah menyatu dengan agama Hindu. Oka Rusmini yang terlahir sebagai seorang brahmana menghadapi pilihan sulit saat sudah dianggap layak untuk menikah. Kenapa laki-laki brahmana dapat menikah dengan perempuan mana saja sedangkan perempuan brahmana harus “turun kasta” bila hendak bersuamikan laki-laki dari kasta yang lebih rendah?

Alangkah mujurnya makhluk bernama laki-laki. Setiap pagi para perempuan berjualan di pasar, tubuh mereka dijilati matahari. Hitam dan berbau. Tubuh itu akan keriput. Dan lelaki dengan bebasnya memilih perempuan-perempuan baru untuk mengalirkan limbah laki-lakinya. (Rusmini, 2004: 43)


Cuplikan di atas adalah pendapat Luh Kenten terhadap laki-laki. Berdasarkan pendapatnya inilah Luh Kenten memutuskan untuk hidup tanpa laki-laki. Tarian Bumi memang memberi penilaian yang buruk terhadap laki-laki. Ayah Luh Sekar anggota PKI yang konon memimpin pembantaian di desanya. Suami Sekar laki-laki yang bisanya hanya kelayapan dan akhirnya mati di tempat pelacuran. Kakek Telaga melupakan istrinya dan tidak mengacuhkan anaknya. Putu Sarma, suami Sadri, menggoda Telaga setelah Wayan meninggal. Satu-satunya laki-laki yang “lurus” adalah Wayan. Pengarang pun tidak memberinya banyak waktu untuk membahagiakan istrinya.

Lewat Luh Kambren, Oka Rusmini juga mengkritik orang-orang asing yang dengan culas memanfaatkan perempuan-perempuan Bali. Dengan dalih kesenian, mereka menelanjangi perempuan-perempuan Bali dan menjadikan mereka aset demi kepentingan pribadi.

Tokoh-tokoh dalam Tarian Bumi tidak bernasib baik. Telaga sendiri menghadapi banyak tokoh antagonis seperti Sekar, Luh Gumbreg, Luh Sadri, dan adat Bali sendiri. Tokoh yang nasibnya paling buruk adalah Luh Dalem. Hidupnya dan anaknya sudah cukup sulit sebelum ia dirampok dan diperkosa. Tidak hanya itu, Luh Dalem kehilangan penglihatannya dan hamil. Walau demikian, Luh Dalem tidak pernah mengeluh pada hidup. Perempuan itu justru tersenyum kalau dilihatnya hidup menuntutnya terlalu banyak (Rusmini, 2004: 102).

Hidup memang keras. Hidup menghimpit kita dengan berbagai keadaan yang menyulitkan. Namun, kita tidak sepatutnya pasrah menerimanya. Nasib seseorang takkan berubah tanpa usahanya sendiri. Manusia berusaha karena manusia bermimpi. Seperti perempuan-perempuan yang bermimpi dalam Tarian Bumi, mimpi itu memiliki konsekuensi yang kadang tak terduga. Akan tetapi, mimpi jugalah yang membuat hidup lebih berarti.
Profile Image for Alfaridzi.
109 reviews3 followers
September 21, 2022
Rupanya novel ini sangat menarik untuk dibaca. Lewat cerita di dalamnya aku bisa tahu sedikit banyak tentang kebudayaan Bali terutama tentang tari menari serta status sosial dalam perkastaan antara kaum Brahmana dan kaum Sudra. Novel ini sangat lekat dengan dunia patriarki, perempuan, dan berbagai kritik terhadap adat istiadat Bali.

Cerita di dalamnya tampak dengan gamblang menceritakan berbagai pemberontakan terhadap sebuah tradisi yang dipandang sebagai ketidakadilan gender oleh para tokoh perempuan di dalamnya. Para tokoh perempuan tersebut berusaha berjuang untuk memperoleh kebahagiaan di tengah realita sosial budaya yang mengekang mereka.
Lewat cerita itulah, penulis berusaha menunjukan sebuah realita tradisi Bali yang jauh terkesan eksotik, namun sebenarnya menorehkan luka perih bagi penghuninya.

Setelah menamatkan buku ini, aku sedikit kurang terpuaskan. Ceritanya terlalu singkat, banyak bagian yang diloncat begitu saja, padahal bisa dikembangkan lebih luas lagi supaya lebih berisi. Walaupun begitu, secara keseluruhan aku cukup bisa menikmatinya. Alurnya yang campuran serta narasinya yang ringan, membuatku tak jemu saat membacanya. Dengan penggunaan diksi dan permainan bahasa yang indah, penulis berhasil menyampaikan gagasannya sehingga pembaca dapat larut dalam beragam emosi saat membacanya.
Profile Image for Anggi Sekar Anggraeni.
11 reviews1 follower
June 27, 2020
Secara garis besar buku ini menceritakan tentang adat dan budaya serta sistem kasta pada masyarakat Bali. Selama ini kita hanya melihat keindahan panorama pantai dan juga keindahan tarian yang ditonjolkan. Hal ini menjadikan salah satu daya tarik para wisatawan asing, namun tanpa kita ketahui sejarah serta kepahitan dari sistem kasta yang ada pada masyarakat Bali.
Dalam buku ini sebagian besar perempuan menjadi sentral utamanya. Bagaimana sistem kasta yang ada mengekang pergerakan perempuan ketika dihadapkan pada pilihan antara adat dan cinta.

Pesan yang disampaikan oleh buku ini sampai kepada saya si pembaca dengan sangat baik. Bagaimana kita harus bertanggung jawab atas pilihan yang telah kita buat, seperti halnya yang dilakukan oleh salah satu tokoh sentral perempuan dalam buku ini yang berani mengambil keputusan yang cukup besar. Perempuan berkasta brahmana yang hidup dengan segala kecukupan dan kehormatan berani keluar dari sistem kasta yang sebenarnya membelenggunya. Cintanya kepada seorang pria berkasta sudra sangatlah besar, sehingga ia harus siap menanggalkan segala kemewahan yang selama ini tumbuh bersamanya.

Dalam sistem kasta masyarakat Bali, jika perempuan brahmana (kalangan bangsawan) atau yang biasa disebut Ida Ayu menikah dengan pria sudra (kalangan bawah) maka ia harus menanggalkan segala kehormatannya. Namun, jika pria brahmana menikah dengan perempuan sudra maka perempuan sudra ini otomatis akan terangkat derajatnya.

Tarian bumi adalah novel yang banyak memberikan saya pengetahuan baru tentang adat, budaya dan trsdisi juga istilah-istilah dalam kasta masyarakat Bali.
Profile Image for Ayu Ratna Angela.
215 reviews8 followers
November 17, 2021
Ini novel tentang Bali kedua yang saya baca setelah Leak Tegal Sirah. Dan sama memukaunya, dengan genre yang berbeda.

Tarian bumi mengangkat kisah para perempuan Bali dan pergulatan mereka dengan tuntutan adat, budaya, dan peran sebagai seorang perempuan. Novel ini juga menunjukkan bagaimana dekatnya seorang perempuan bali dengan identitasnya sebagai perempuan bali.

Kelebihan utama dari novel ini karena ia mampu menunjukkan sisi hidup para bangsawan Bali yang selama ini tidak kita ketahui, yang sangat jarang diangkat menjadi karya sastra. Bagi saya, membaca novel ini memberikan suatu pengetahuan baru yang langka, kehidupan masyarakat bali yang kental dengan adat dan budaya yang selama ini hanya saya ketahui lapisan-lapisan luarnya saja.

Buku ini tidak tipis, tapi hebatnya saya cuma membutuhkan waktu 5-6 jam saja untuk membacanya. Sangat menarik dan membuat tidak ingin berhenti membaca!

Terima kasih perpusnas sudah meminjamkan buku ini!
Profile Image for tariii ✰.
10 reviews
June 23, 2023
Buku ini mengangkat budaya feodal yang ada di Bali. Sebagai pembaca, kita disuguhkan bagaimana seorang perempuan hidup dengan cengkraman kasta yang tertanam dalam dirinya bahkan sebelum ia lahir. Aku belajar cukup banyak hal-hal baru dari buku ini, bagaimana perbedaan antara kasta Brahmana dan Sudra dalam kesehariannya (sekecil bagaimana nasi sisa tidak boleh diberikan pada Brahmana), belajar tari Legong Keraton dan tari Oleg, tahu istilah-istilah dalam silsilah keluarga (seperti Odah untuk nenek), dan berbagai kebudayaan Bali lainnya. Hatiku juga cukup tersentil dengan perbedaan 'peran' yang diinginkan Sekar dan Telaga, memperlihatkan bagaimana manusia memang tidak pernah puas dengan ala kadarnya.

Sayangnya, banyak hal-hal yang aku sayangkan dari buku ini. Karakter yang ada di buku ini kurang berhasil meninggalkan kesan karakter yang 'kuat'. Mungkin salah satu penyebabnya karena alur dari buku ini yang dibawa kesana kemari, bahkan sampai aku bingung sebenarnya fokus cerita ini apa. Aku rasa apa yang ingin disampaikan penulis dari buku ini adalah 'intergenerational trauma' dari 4 perempuan yang menurutku cara penyampaiannya masih miss. Contoh lainnya, karakter seperti Kenten muncul berkali-kali, lalu hilang tanpa sebab yang membuatku merasa Kenten hanya dipakai sebagai aksesoris dalam cerita ini, yang sebenarnya tanpa adanya karakter dia pun juga nggak masalah. Ringkasnya, menurutku buku ini punya potensi besar, tetapi eksekusinya masih bisa lebih ditingkatkan.

✩✩ 2/5 stars
Profile Image for Oca.
40 reviews
April 17, 2025
3.9 ⭐️

Quick review:
Melalui plot alur romansa dibalut dengan adat & tradisi. Mba Oka Rusmini menurutku berani mengkritisi adat & tradisi asalnya 👍🏻
Ada beberapa bagian yg jelas itu adalah sebuah pelecehan entah dari segi fisik dan emosional. Andaikan aku ada di kondisi seperti itu dan di jaman itu, aku pun sendiri bingung harus menyikapinya bagaimana.
Dalam hati ingin berontak & lantang berkata “Itu hal yang salah” tapi juga takut. Baca sendiri pasti akan paham.
Sistem kasta yang sebenarnya merupakan akar dari sumber masalah dari ketiga perempuan tersebut😭

Sistem Kasta + Patriarki = 😵‍💫🤪😵‍💫❤️‍🩹

Kudos Telaga memilih jalan dan bertanggung jawab atas pilihannya! Semua karakter perempuan di cerita ini Anti-Hero menurutku dan salah satu yg kusuka dari buku ini.
Profile Image for Amal Bastian.
115 reviews4 followers
September 19, 2017
Novel pertama Oka Rusmini yang saya baca dan berhasil membuat hati saya jatuh sejatuh-jatuhnya lewat gaya bertutur dan jalan ceritanya. Mengisahkan kehidupan segelintir perempuan Bali yang bergerak bersama zaman tanpa meninggalkan tata cara dan rautan adat istiadat kental yang telah mendarah daging. Unsur kasta yang lekat, sensualitas yang merangkak bersama geliat gerakan tari, cinta yang berbenturan dengan norma, dan relikui masa lalu yang bertahan di tengah perubahan peradaban yang terus bergerak maju. Penokohan yang saling bertaut, alur flashback, dan seksulitas yang tergambar malu-malu. Keindahan Bali disemayamkan dalam lekuk drama dari kemolekan perempuan-perempuannya.
Profile Image for Nike Andaru.
1,632 reviews111 followers
April 7, 2018
Novel ini adalah buku ketiga yang saya baca dari Oka Rusmini. Sebelumnya saya lebih dulu membaca Kenanga dan Sagra.

Ketika mulai membaca buku ini saya merasa sudah berkenalan lebih dulu dengan nama-nama seperti Kenanga, Sagra Pidada dan beberapa nama lain, ini karena saya udah baca buku lainnya lebih dulu ya. Tapi tetap saja Tarian Bumi ini lebih mudah dinikmati dibanding dua buku yang sudah saya baca lebih dulu.

Karakter perempuan Bali yang dituliskan mulai dari yang bangsawan hingga kasta sudra rasanya tergambar dengan baik, adat istiadat yang kental, pakem yang tak boleh dilanggar dan budaya tari Bali yang diceritakan.
Displaying 1 - 30 of 353 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.