Jump to ratings and reviews
Rate this book

Montase

Rate this book
Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.

Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku.

Tapi...,
kalau aku benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa terasa.
Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh mencintai...
dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu.

368 pages, Paperback

First published December 1, 2012

64 people are currently reading
1296 people want to read

About the author

Windry Ramadhina

12 books824 followers
young woman with lots of interests, ambitions and dreams, which shattered into pieces, each surfaced as different face and waiting for itself to become whole once more time. her world came to architecture, illustration, photography, literature, business, and japan. used to known as miss worm in cyber world. shattering her pieces at kemudian.com and deviantart.com

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
513 (25%)
4 stars
745 (37%)
3 stars
576 (29%)
2 stars
122 (6%)
1 star
25 (1%)
Displaying 1 - 30 of 268 reviews
Profile Image for Alvi Syahrin.
Author 11 books725 followers
February 5, 2013
Tanpa perlu menanti review-review positif, saya sudah meyakinkan diri untuk memiliki buku ini. :)

***

Akhirnya saya menemukan satu lagi tokoh yang bisa bikin saya senyum-senyum ketika ada dia pada suatu adegan: Haru. :)

Awalnya saya tidak ingin membandingkan dengan Memori. Tapi saya senang mengakui bahwa saya lebih menyukai Montase. :)

Dan, alasan mengapa saya menyimpan satu bintang adalah karena saya berharap beberapa adegan ditampilkan secara 'langsung', supaya rasa sedihnya bisa lebih dapat. :)
Profile Image for bakanekonomama.
573 reviews85 followers
November 8, 2013
Suatu hari saya mengikuti sebuah training motivasi bersama teman-teman saya. Disana kami diminta untuk menuliskan cita-cita di atas kertas, lalu melipat kertas itu menjadi pesawat dan menerbangkannya. Ada yang menuliskan dengan begitu cepat dan dengan mantap melipat pesawat kertasnya, lalu menerbangkannya ke angkasa. Sementara yang lainnya tampak bingung, berpikir lama, dan tampak ragu-ragu ketika menerbangkan pesawatnya.

Jika Anda diminta untuk melakukan hal serupa, yang manakah diri Anda? Apakah Anda dapat dengan mudah menuliskan cita-cita dan impian dalam hidup, lalu menerbangkannya diiringi jutaan doa ke angkasa? Ataukah Anda ragu-ragu bahkan harus mengubek-ubek isi otak terlebih dahulu sebelum dapat menuliskannya ke atas kertas, lalu melipatnya menjadi pesawat, dan menerbangkannya dengan perasaan gamang?

Haru mungkin tipe yang pertama, yang dengan mantap menuliskan cita-citanya di atas kertas, melipatnya menjadi pesawat, lalu menerbangkannya dengan penuh harapan. Wanita Jepang ini memang tampaknya tahu betul apa yang ia inginkan. Mimpinya. Cita-citanya. Meskipun impian itu tidak selalu sejalan dengan keinginannya, tapi itu tidak menjadi masalah bagi gadis itu. Baginya, asal impian besarnya bisa terpenuhi, maka sudah tak ada lagi penyesalan di dalam hidupnya.

Sedangkan Rayyi, tokoh utama dalam cerita ini, mungkin tipe yang kedua. Bukan berarti Rayyi ini pemuda galau yang tidak tahu ingin menjadi apa di masa depan dan menyerahkan segalanya kepada nasib. Bukan seperti itu. Rayyi tahu apa yang diinginkannya. Tahu apa yang disukainya. Namun keadaan membuatnya harus melepaskan impiannya dan membuatnya mengikuti apa yang diinginkan ayahnya.

Rayyi ini anak seorang produser film ternama di Indonesia. Ia diharapkan untuk mengikuti jejak ayahnya, membuat film box office yang mainstream, laris, disukai banyak orang, menghasilkan uang banyak, nggak peduli film itu punya makna atau tidak. Sementara Rayyi ingin menjadi pembuat film dokumenter, yang notabene bukanlah genre populer dan akan dicintai oleh banyak orang.

Kehadiran Haru, gadis kepala angin yang mirip boneka kokeshi dan gemar makan onigiri serta teriak-teriak "kawaii" ini membuka mata Rayyi, akan apa yang sebenarnya paling penting di dunia ini. Namun, saat kesadaran itu hadir ke dalam dirinya, apakah Rayyi masih punya waktu dan kesempatan untuk mewujudkannya? Ataukah ia harus mengorbankan hal penting dalam hidupnya terlebih dahulu demi mencapai impiannya?

Jawabannya silakan dibaca sendiri di dalam novel "Montase" karya Windry Ramadhina ini. Menurut saya, kisahnya manis dan cukup romantis, meski tidak membuat saya menangis. Penggambaran tokohnya sangat baik, begitupun dengan pengembangan karakter mereka. Rayyi si mahasiswa semester enam IKJ yang berantakan; Haru si mahasiswi dari Jepang yang ceroboh dan suka salah masuk kelas bahkan salah lihat jadwal; Samuel Hardi--dosen matkul dokumenter Rayyi dan Haru--yang sinis, pede jaya, tapi jenius; sahabat-sahabat Rayyi yang unik; hingga ayah Rayyi yang dingin dan ambisius.

Sayangnya, ada beberapa hal yang bikin saya kurang sreg dengan novel ini.

Pertama, soal Haru. Haru diceritakan sebagai mahasiswi dari Jepang yang pergi ke IKJ sebagai seorang pertukaran pelajar. Biasanya sih ya, mahasiswa asing datang ke Indonesia itu buat belajar bahasa Indonesia, bukan untuk ikut mata kuliah di Indonesianya. Makanya, saya bertanya-tanya seberapa jago bahasa Indonesianya si Haru sampai sanggup ikut mata kuliah-mata kuliah yang ada, yang notabene pakai bahasa Indonesia. Soalnya tidak dijelaskan sebelumnya soal dimana Haru belajar bahasa Indonesia, dan kenapa dia memilih untuk pertukaran pelajar di Indonesia, karena menurut saya alasan "di kampus saya tidak ada peminatan dokumenter" itu adalah hal aneh.

Kedua, mengenai bahasa dan tanda baca. Entah kenapa, beberapa percakapan yang dilakukan antara Rayyi dan sahabatnya di novel ini menurut saya masih agak kaku. Begitupun dengan sisipan anak kalimat yang hanya menggunakan tanda "-" satu dan bukannya dua. Setahu saya, kalau mau menyisipkan itu seharusnya dengan menggunakan tanda strip panjang, yang kalau di Microsoft Word itu dibuat dengan mengetik tanda "-" dua kali lalu diapit dengan kata yang bersangkutan lalu ketik spasi. Jujur saja, ini cukup mengganggu saya, karena ada banyaakk sekali kalimat yang seperti ini.

Ketiga, soal latar. Ketika Haru dan Rayyi ke Japan Foundation untuk menonton film dokumenter Jepang, ada adegan ketika Haru membelikan minum dari mesin penjual minuman di lobi Gedung Summitmas. Hhhmm... Setau saya sih nggak ada barang begituan di Summitmas, soalnya saya udah sering banget ke JF. Dan ketika saya konfirmasi ke teman saya yang kerja di sana, dia bilang "Hahaha ngaco.. dia pasti berhalusinasi. Mungkin terlalu ngefans sama JF kali" xp. Yah, itu mungkin improvisasi Windry kali ya, tapi buat orang yang sudah sering ke tempat itu, pasti merasa aneh dengan fakta ini. Hehehe...

Lalu soal kereta ekspres yang dinaiki Haru dan Rayyi dari Cikini. Agak aneh aja disebut dengan "kereta ekspres" soalnya penyebutan itu adanya pas jaman saya kuliah dulu, dimana si kereta cuma berhenti di stasiun-stasiun tertentu saja dan ekonomi masih merajai rel. Nah, karena novel ini terbit tahun 2012, harusnya disebutnya sudah Commuter Line lah ya, alias comline atau comel. Sudah begitu, pertama disebutkan naik dari Cikini, tapi lalu setelahnya latarnya jadi Gondangdia, jadi yang mana dong yang benar? Kalau kosan mereka dekat IKJ sih, harusnya ya dari Cikini dong ya, bukan Gondangdia.

Ketiga, soal bahasa Jepang. Bahasa Jepang yang digunakan di novel ini sudah cukup bagus dan benar penggunaannya, walaupun ada beberapa juga yang salah dan agak aneh. Seperti kata-kata "Hai, desu yo" di halaman 185 yang menurut saya tidak tepat. Yang lebih tepat seharusnya, "Hai, sou nan desu yo," karena di kata yang pertama itu tidak jelas Haru memberikan penekanan terhadap apa. Tidak ada subyeknya disana.

Lalu kata "raifu" yang menurut saya juga agak tidak tepat. Saya pikir orang Jepang lebih senang pakai kata "jinsei" meskipun keduanya memiliki arti kata kehidupan. Yang satu kata serapan bahasa Inggris, yang satunya dari bahasa Jepang asli. Tapi mungkin Haru ingin Rayyi mengerti sepatah dua patah kata yang dia ucapkan, makanya sengaja pakai versi Inggrisnya kali ya...

Bahasa Jepang Rayyi juga yang bikin saya merasakan ganjalan lainnya. Di awal diceritakan kalau Rayyi menggunakan bahasa Jepang seadanya, ketika ia berkunjung ke Jepang demi menemukan Haru. Tapi di akhir cerita, Rayyi dapat ngobrol panjang lebar dengan orang tua Haru, pakai bahasa Jepang!! Sugoi da ne!! Demo, muri jan!! Masa Rayyi dapat begitu cepatnya menguasai bahasa Jepang? Terus, Rayyi belajar bahasa Jepangnya dimana? Soalnya kok saya dapat kesan Rayyi langsung cao ke Jepang begitu dapat surat dari Haru? Lagian, emang Rayyi sempet belajar bahasa Jepang ya? Dia kan "disiksa" Samuel Hardi siang dan malam di rumah produksi filmnya....

Huehehe.. maaf ya... saya emang tipe pembaca perfeksionis yang suka rewel bin bawel X) Terutama karena ada hal yang saya tahu banget disini. Kalau soal film dan sebagainya, saya pasrah deh, soalnya saya nggak ngerti. Hahahaa

Oh iya, ketika membaca deskripsi Rayyi mengenai Haru, saya jadi ingat sama Aoi Miyazaki di film "Tada Kimi Wo Aishiteru". Soalnya dijelaskan kalau Haru itu berbadan kecil, lincah, dan juga ceroboh, mirip sama Aoi di film itu yang imuutt banget. Jadi, setiap kali Haru muncul, yang kebayang di kepala saya ya si Aoi itu deh. Kalo Rayyi-nya... siapa ya? Nggak ada bayangan!! Hahahaa X)

Omong-omong, tadinya saya sempet curiga, jangan-jangan novel ini nanti mirip-mirip sama film itu lagi xD. Alhamdulillah nggak, meskipun akhirnya mereka harus menghadapi hal yang tragis sebelum mencapai impian juga sih. Fffiuuhh...

Saya memilih buku ini secara acak saja, tanpa tahu ceritanya seperti apa (Yeah, jangan pernah mengandalkan sinopsis di belakang cover untuk buku-buku Gagas). Saya kaget aja gituh ketika buku yang saya baca ternyata ada hubungannya sama Jepang-jepangan, karena sebenarnya saya lagi nggak mood untuk baca buku kayak gitu... Hwahahaa... Lalu, ketika saya masuk halaman pertama, awalnya saya pikir Haru itu cowok dan Rayyi itu cewek xp (Ya kali gitu namanya Haruto atau Haruo terus panggilannya Haru... lagian saya punya temen cewek namanya Rayi... So don't blame me, okay! xp) Ternyata Windry pakai sudut pandang cowok, jadi saya kecele deh... xD

Tiga bintang untuk sakura yang mekar sempurna lalu beguguran ditelan angin. Filosofi orang Jepang mengenai sakura memang seperti yang disampaikan Windry di novel ini. Sakura yang hanya mekar sempurna sementara saja, lalu gugur seolah menari-nari karena tertiup angin. Keindahan yang tidak abadi, tapi begitu berharga untuk dinikmati...
Profile Image for Orinthia Lee.
Author 12 books123 followers
December 27, 2012
Ngoleksi dan baca buku-bukunya Windry Ramadhina buat saya udah jadi sebuah kewajiban. Iya, saya ngefans berat sama tulisan-tulisannya sejak saya baca Orange. Saya makin tergila-gila ketika membaca Memori dan sekarang... setelah saya menuntaskan Montase sampai saya mengorbankan jam tidur karena nggak bisa berhenti... apa saya perlu memberitahu bahwa saya sudah jatuh makin dalam... hehehe....

Waktu saya mendengar novel Montase akan segera terbit, saya udah menunggu-nunggu... dan ketika beberapa hari lalu saya ke Gramedia dan menemukan buku ini sudah menumpuk dengan cantiknya... saya berulang kali mengambilnya... saya kepengin beli... tapi hari itu saya berniat beli buku tentang Seoul buat referensi novel yang lagi saya tulis. Dan saya nggak bawa uang lebih.... Saya jadi galau haahaha.... sempat berniat batal beli buku tentang Seoul demi beli Montase, tapi nanti saya dibakar sama mama yang udah ngasih duit buat beli buku tentang Seoul itu.

Akhirnya saya letakkan lagi Montase di tempatnya, saya pandangi terus karena ga rela pulang tanpa buku itu. Dan saya sempat ngetwit pengin buku ini jadi kado Natal saya segala. Alhasil... karena saya udah gak tahan... saya telepon papa... dan bilang saya kepengin beli buku itu. Dan papa ternyata mengijinkan tanpa banyak komplain. Singkatnya, Montase pun ada di tangan saya.

Montase bercerita tentang Rayyi, seorang pemuda yang bermimpi menjadi seorang pembuat film dokumenter. Sementara itu, statusnya sebagai putra dari seorang produser kenamaan membuatnya harus mengambil jurusan produksi alih-alih dokumenter. Lalu Rayyi bertemu dengan Haru, seorang mahasiswi dari Jepang yang belajar dokumenter di kampusnya. Kisah Rayyi dan Haru so sweet banget. Rayyi yang terkesan angkuh dan merasa hebat itu perlahan-lahan luluh di depan Haru yang imuuut. Saya jatuh cinta banget sama tokoh Haru... dan analogi tentang Sakura yang dijabarkan di novel ini membuat saya trenyuh....

Yang pasti, ada adegan di novel ini yang membuat saya teringat dengan masa lalu saya :'> membuat kisah ini jadi lebih personal buat saya meski nggak secara langsung.

Suteki da ne. Kono raifu wa.-- Hidup ini indah, ya.
Profile Image for Annisa Nur Widya.
378 reviews
December 23, 2012
Berbeda dari Memori yang menyuguhkan masalah dari awal, Montase membawa saya perlahan-lahan menuju puncak cerita. Saya benar-benar menikmati itu. Proses kebiasaan yang berubah perlahan karena sesuatu yang di singgung di novel (Haru yang bergabung dalam lingkaran Rayyi dan tiga temannya di kampus).

Dan harus saya tekankan berkali-kali, mungkin. Kayaknya novel ini penuh riset ya? Deskripsinya itu loooooh. Men-detail banget. Itu bikin saya geleng-geleng kepala takjub. Bikin saya percaya kalau yang nulis itu pernah kuliah di IKJ atau mendalami sinematografi atau dokumenter atau box office atau apapun itu :) sampai greget karena banyak informasi-informasi baru yang saya dapatkan. Tempat jual kamera video paling bagus di Jakarta, nama-nama bersejarah di bidang perfilm-an, atau sesederhana si Bolex milik Rayyi yang katanya luar biasa itu. Kereeeen.

Konflik yang di suguhkan sudah umum diceritakan. Tapi, yah. Sesederhana apapun konflik, kalau penyajiannya bagus, jadi menarik dibaca (halah, sok tahu haha). Walaupun saya sempet kecewa konflik utamanya (yeah, konflik terakhir saya anggap konflik utama. sementara konflik pengiringnya yang masalah Rayyi dan ayahnya) nyempil di sepertiga (kalau saya gak salah ngira-ngira) akhir novel. Hadeuh yang kayak gitu bikin kesemutan perut. Jadinya kurang menggigit aja, gitu. Agak sok tahu sih. Soalnya pas baca novel ini suasana sekitar gak mendukung (malah mencari alasan :D).

Secara keseluruhan, saya suka buka ini. Bagus untuk dibaca walaupun kurang menggigit seperti yang saya bayangkan. Tapi, saya tetap menikmatinya.
Profile Image for Prisca.
Author 37 books678 followers
August 8, 2013
Indah.... Itu kesan saya setelah membaca novel Mba Windry ini. Efeknya sama dengan ketika saya membaca Memori. Saya suka karakter Rayyi, Haru, Bev, dan tentu saja Samuel Hardi (meski saya kecewa akhirnya Samuel tidak jadi dengan Bev T.T). Sepertiga akhirnya sungguh menyentuh, apalagi menjelang ending. Ada beberapa hal yang mengingatkan saya pada diri saya sendiri, salah satunya ketika Rayyi bertemu Mirna Lim.

Nggak tahu harus bilang apa lagi... pokoknya love this book so much :) Terima kasih, Mba Windry, untuk pengalaman berharga yang saya dapat ketika membacanya. Sekarang lanjut ke London: Angel :)

---

"Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain."

Profile Image for Winna.
Author 18 books1,966 followers
December 29, 2012
Ketika tahu Sakura Haru telah dibukukan dan terbit, saya tak ragu memesannya di toko buku online dan langsung membacanya begitu tiba. Saya penggemar karya-karya Windry, dan yang satu ini saya pernah sekelibat membaca cerpennya.

Kali ini, kisah berfokus pada Rayyi, seorang mahasiswa IKJ yang mencintai film dokumenter. Kisahnya yang sangat mahasiswa ditaburi dengan penjelasan tentang film di sana-sini, dan tentu saja persahabatan khas kampus yang sangat menyenangkan. Teman-teman Rayyi: Sube, Bev dan Andre juga cukup menjadi bumbu cerita yang seru, masing-masing dengan sub-plot mini yang melengkapi cerita. Lalu muncul Haru, dan muncul topik idealisme, mimpi, cita-cita. Intinya, buku ini tentang keberanian menggapai mimpi dan juga tentang kehidupan.

Seperti biasa, prosa Windry memukau. Narasi berjalan lancar, walau sesekali saya masih melihat karakteristik sang penulis muncul di permukaan. Entahlah, saya merasa untuk seseorang yang 'cowok banget', agak aneh jika Rayyi mampu mengidentifikasi berbagai palet warna seperti turquoise dengan jeli. Atau mungkin di sinilah saya yang kurang paham, maafkan jika salah.

Membaca ini sedikit mengingatkan akan Memori, yang baru terbit beberapa bulan sebelumnya. Karakter Rayyi sangat mirip dengan Mahoni - sama-sama sinis, terkesan cuek, agak sulit mengungkapkan perasaan, tapi teliti dan mendetil. Walau begitu, saat membaca kisah Mahoni saya merasa hangat, sedangkan dalam menelusuri kisah Rayyi, saya mau tak mau merasa seperti mengulang karakter serupa dalam fisik laki-laki, dan kali ini merasa agak berjarak dengan sang karakter utama yang membawa cerita dari sudut pandangnya. Saya tidak dapat mengerti Rayyi, alasan di balik hal-hal yang dilakukannya, terutama. Misalnya, Rayyi yang digambarkan cukup tegas di kesehariannya, lemah jika berhadapan dengan ayahnya dan jarang sekali mengungkapkan ketidaksukaannya sampai menjelang akhir. Mengapa? Apa alasan di balik itu, apakah rasa takut mengecewakan, enggan berargumentasi, atau ada sesuatu yang lebih besar? Mungkin jika ada adegan tentang mendiang ibu Rayyi atau argumen besar dengan sang ayah, atau twist tersendiri yang menyokong alasan Rayyi menuruti keinginan ayahnya, konflik yang terbangun akan lebih kuat. Menjelang pertengahan cerita, saya kian frustrasi dengan Rayyi yang sepertinya tak berani mengungkapkan pendapat.

Mengenai Haru, twist yang dibuat cukup terendus saat Haru sakit selama tiga hari. Saya akui saya buta tentang leukimia dan mengerti Haru ingin menghabiskan sisa waktunya yang tak banyak dengan baik, tapi jika Haru sudah terdiagnosa sakit dalam tahap akut, rasanya agak janggal jika dia menghabiskan berbulan-bulan di Jakarta, sendirian, dalam keadaan sakit, tanpa menjalani kemoterapi. Kemoterapi hanya dilakukan ketika Haru kembali ke Jepang.

Dari segi alur, saya merasa alurnya sedikit lambat. Di akhir cerita, beberapa hal yang pernah disinggung tidak kembali mendapatkan penyelesaian, misalnya bagaimana reaksi Sube saat mengetahui Bev berpacaran dengan Samuel? Saya juga ingin tahu lebih banyak tentang kompetisi yang diikuti Haru dan Rayyi.

Saya menyukai pembukaan dan ending novel, yang membuat cerita berlalu flashback, kemudian ditarik ke masa depan. Montase bukanlah novel Windry favorit saya, tapi saya menikmatinya sama seperti saya mencandu novel-novel Windry yang lain :)

Menantikan karyamu yang selanjutnya, Wind.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Alifa.
64 reviews1 follower
January 24, 2013

it's been ages since i read a gagas media book, so i decided to read one.

if you're a fan of this book or author, for your own good, i recommend not to read this review. maybe you'll get offended.

Profile Image for Autmn Reader.
879 reviews91 followers
May 13, 2024
Actual rating 3,5 🌟

Baca bukunya Mbak Wjndry itu udah kayak comfort read. Karena aku tahu aku bakalan sukaaa banget sama narasinya dan berasa mengalir nyaman dan menyenangkan.

Tapi sebuah buku jelas bukan tentang narasi aja ya, kan?

Jadi kalau aku kiat dari unsur lain, sebenarnya masih terbilang buku yang biasa saja. Aku suka beberapa hal, tapi buku ini juga kurang beberapa hal.

Pros:

Hal yang paling kusukai ya perjalanan Rayyi meraih mimpinya. Dilema dia terasa nyata dan di beberapa kesempatan kerasa juga hopeless-nya dia. Ending cerita ini juga melegakan dan heartwarming. Rasanya ikutan lega dengan nasib Rayyi di akhir. Bagian dari babak baru kehidupan Rayyi seru sih. Di sini lebih kerasa sedihnya. Apalagi pas ada surat dari Haru. Duh.

Cons:

Yang kurang dari buku ini cuman karena buku ini diambil dari POV Rayyi yang cowok, aku kadang merasa ceritanya terlalu datar. Haru harusnya bisa disampaikan lebih deep lagi biar bittersweet-nya lebih berasa. Sayangnya build up di awalnya rada kurang, jadi pas tahu kenyataannya kurang sedih.

Over all, aku tetep suka.
Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
May 13, 2023
Sesungguhnya aku bingung mau kasih berapa bintang. Aku suka sama buku dan gaya penulisan kak penulis yang terkesan sendu, melankolis, dan punya gaya cerita tersendiri (ini buku kedua penulis yang kubaca), tetapi masih ada yang kurang menggigit dalam buku ini. Bagiku interaksi Haru dan Rayyi kurang banyak sehingga kurang meninggalkan kesan mendalam buatku, meski aku sedih baca di bagian2 menjelang akhir. Buku ini kesannya datar, cuma ya menurutku di dalam hidup ini kan nggak mesti ada drama yang wah banget juga ya. Jadi buatku oke aja sih.
Profile Image for Yusda Annie.
221 reviews32 followers
April 7, 2019
4.5 ⭐⭐⭐⭐

Buku ke-10 Windry Ramadhina yg kubaca… karya agak lamanya… dan yang paling mengHarukan… 😭😭😢😢🤒😢
Profile Image for Nina Ardianti.
Author 10 books399 followers
January 1, 2013
Okay, this review's gonnabe looong. It's because: 1) I never reviewed Windry's books though I have already read them all, 2) this review will involve some personal stuffs.

Saya mengenal Windry sudah lamaaaa banget. Lebih dari sebelas tahun lalu, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di kampus dan dianugerahi kakak asuh yang nggak lain dan nggak bukan adalah Windry sendiri. Jadi mulai saat itu saya memanggilnya sebagai 'Kak Windry' karena, heeeyyy saya kan lebih muda daripada dia. Heheheh.

Saya tahu bahwa Windry adalah seorang yang smart, hard-working, teliti, tekun, berbakat, dan kalau saya teruskan ini akan terdengar seperti testimoni di Friendster (is there anyone who still use Friendster? is Friendster still alive? I probably should google it later). Jadi ketika Windry menerbitkan buku pertama, saya nggak heran. That girl is very multitalented. I envy youuuuu!! (kenapa adik asuh nggak bisa seperti kakak asuuuhh?? *nangis berderai air mata*)

Mengingat bahwa jarak terbit antar ketiga buku sebelumnya agak jauh-jauh (Orange-2008, Metropolis-2009, dan Memori-2012) saya agak kaget juga ketika tahu bahwa Montase akan terbit pada tahun yang sama dengan Memori. Ketika mengetahui latar belakang Montase, saya jadi mengerti.

Anyhoo, nggak pikir panjang, saya langsung beli ketika pergi ke toko buku dan mulai membaca beberapa hari setelahnya.

Nggak ada yang berubah dengan gaya menulis Windry--rapi, teratur, mengalir. Pokoknya khas Windry banget deh. Selain itu, buat saya pribadi, menyenangkan banget karena nama-nama karakter di dalam Montase tersebut saya tahu the real person in the real life-nya siapa aja. Bao-bao (okay, beneran ganteng. Nggak bohong), Sube (bule Makassar-Jerman dengan logat betawi), Andre (dengan jaket kuning parasut yang nggak akan pernah diganti selamas satu semester. Haloooo, Andreas!) dan terakhir, cewek seorangan, Bevani. Sedihnya, selama membaca, muka mereka semua yang kebayang di dalam pikiran saya. Jadinya agak merusak ambience ceritanya. Hahahaha. Well, it's just me, anyway. Pembaca lain mungkin gak akan mengalami hal tersebut.

Di sisi lain, meskipun saya bener-bener menikmati cara bercerita Windry, jalan ceritanya banyak yang membuat saya mengernyitkan kening dan gemes banget. Okay, saya ngerti banget susahnya nulis dari sudut pandang orang pertama, cowok pula, sementara penulis sendiri adalah seorang perempuan. Seriously, I never understand how boy (or man)'s brain works. Mungkin sama seperti para cowok nggak mengerti bagaimana jalan pikiran cewek mengalir. Dan saya salut bahwa Windry mencoba untuk mengambil sudut pandang cowok dalam bukunya kali ini. Tapi, seperti saya bilang tadi, menyelami isi kepala lawan jenis itu susah. Disini saya merasa tokoh Bao-bao itu masih terlalu...perempuan. Dan mengingatkan saya kepada Mahoni (tokoh utama di Memori). Saya juga gemeeesss banget dengan Bao bao yang kayaknya nggak berdaya banget di depan Papanya, padahal kayaknya karakter kesehariannya itu terlihat keras dan tegas. Saya juga gemas dengan hubungan Bao bao dan Haru--kayak, 'Ihhhh, nunggu apalagi siiihh??' yah semacam itu lah. You know what I mean.

Dari sisi Haru sendiri, nggak tahu kenapa, saya nggak dapet feel-nya. Mungkin terlalu sedikit kali ya porsinya, padahal kan dia love interestnya Bao bao. Saya nggak bisa jatuh cinta sama Haru, saya lebih jatuh cinta kepada Samuel Hardi malah. Dan ketika cerita sampai pada kenyataan bahwa ... Mau nggak mau saya setuju seperti kata Winna Efendi di reviewnya

Banyak hal yang saya ingin tahu kelanjutan atau prosesnya; bagaimana cerita kompetisi yang Bao bao dan Haru ikuti, gimana kelanjutan Samuel dan Bev, gimana sikap Sube terhadap Bev, kapankah Andre akan mengganti jaket parasutnya yang sudah lusuh itu... okay this is not necessary actually, but reader can hope, rite?? :D

Overall, buat saya ini bukan cerita romance. Ini cerita tentang proses pendewasaan seseorang. Romance hanyalah menjadi bagian dari proses tersebut.

I love you, Kak Windry. Bahkan setelah nggak lagi menjadi kakak asuh saya di kampus, kamu tetap menjadi 'kakak asuh' saya dalam menulis dengan menerbitkan buku yang selalu aja enak dibaca dan saya belajar banyak dari situ.

Waiting for your next book :))
Profile Image for ayanapunya.
338 reviews13 followers
January 18, 2013
Sejak membaca novel pertamanya, Orange, saya sudah jatuh cinta dengan gaya menulis Windry Ramadhina. Karena itulah ketika dua novel terbarunya keluar, saya sangat bersemangat untuk mendapatkannya. Montase sendiri merupakan novel ke empat Windry, yang lahir hanya beberapa bulan berselang dari novel ke tiganya, Memori. Bercerita tentang dunia film dokumenter, Windry dengan suksesnya menghidupkan ketertarikan saya pada bidang yang satu ini.

Dari bahasa penulisannya, terlihat sekali bagaimana usaha Windry untuk dengan konsisten tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tak seperti novel bergenre sama yang lain, nyaris tidak saya temukan bahasa asing dalam novel ini (kecuali untuk beberapa istilah), yang tentunya membuatnya menjadi lebih nyaman dibaca. Selain itu, riset yang dilakukan penulis dalam upayanya menceritakan dunia film dokumenter di sini juga bisa dibilang cukup berhasil. Tak terlalu detail memang, namun cukup membuka wawasan.

Dari segi membangun hubungan antar tokoh, penulis juga menggambarkannya dengan cukup baik. Terasa natural dan tak terkesan terburu-buru. Mengalir, mungkin bisa dikatakan begitu. Cerita sendiri bisa dibilang berjalan cukup lambat, dan meski ada terdapat beberapa lubang dalam plot cerita ini, namun hal tersebut tidak mengurangi kenikmatan membaca novel ini. Bagian terbaik novel ini, mungkin ada pada surat yang dikirimkan Haru pada Rayyi. Benar-benar mengharukan dan sukses membuat mata saya berair. Berikut saya kutip bagian akhir dari surat Haru kepada Rayyi:

'Karena itu Rayyi, kenangan yang kau bawa serta bersama sekota mochi dan sebotol sake tadi sudah saatnya kau lepaskan. Tidak mudah, memang, dan butuh waktu. Itu sebabnya mengapa aku memberikan pesan ini setelah beberapa lama.

Lalu. kalau tangisanmu sudah berubah kembali menjadi senyuman, datanglah lagi mengunjungiku dan kita bisa melihat sakura bersama.'

http://ayanareview.wordpress.com/2013...
Profile Image for Silvia Natari.
71 reviews
February 7, 2013
Ini buku pertama kak Windry yang aku baca.
Awesome!! Recommended!
I know this book first from twitter then I looked the reviews and I’m in love with the cover. –Kau diantara seribu sakura.

“Aku berharap tak pernah bertemu denganmu.
Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu dalam lamunku.
Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu.
Supaya aku tak punya alasan untuk mencintaimu.
Dan terpuruk ketika akhirnya kau meninggalkanku”

Kisahnya berfokus pada dua sidekick –Rayyi dan Haru. Rayyi, seorang mahasiswa IKJ yang sungguh mencintai film documenter. Begitu pula Haru,mahasiswi Jepang yang sedang studi banding ke Jakarta yang juga ahli dalam film documenter. Haru Enomoto dengan tubuh mungil,berwajah bulat berhasil menjerat Rayyi dengan senyum naga khasnya. Namun Rayyi-terlalu naïf mengakuinya. Dan tanpa sadar sebenarnya mereka telah terikat.

Rayyi-yang demi papanya merelakan keinginannya dengan kuliah di kelas Peminatan produksi karena papanya ingin ia kelas menjadi produser tersohor sama sepertinya. Padahal, Rayyi sangat mencintai film documenter-bukan sinetron-film bualan belaka. Hampir sama dengan Rayyi, Haru juga mengalami kisah yang hampir sama. Haru mempunyai bakat luar biasa di bidang melukis namun ia memilih- menekuni mimpinya yang lain yaitu menjadi mahasiswa di kelas Film documenter karena ia ingin membahagiakan orangtuanya.

Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain,kan? Begitu kata Haru.

This novel teach me how to brave to make a decision. What the best for you? Do it!! Cause everything doen't happen twice.

Berkisah tentang persahabatan, mimpi, kenaifan, permasalahan, dan percintaan yang diceritakan dengan pas-romantis-tidak muluk-muluk. Good job kak!!

Montase berhasil buat aku googling arti Montase, film documenter dan indahnya sakura-hanami. Novel yang berbeda dari yang lain dengan film as a point of view.

4star. Still looking for Memori and Orange kak!xx
Profile Image for Hani Taqiyya.
16 reviews18 followers
January 30, 2013
Kadang-kadang, kalau sudah suka dengan salah satu penulis, kita mulai bisa mengurai gaya kepenulisan seseorang. Bukan dalam perspektif literatur dan teknis, yang mungkin bagi saya sendiri pengetahuannya masih belum memadai, tapi dari segi rasa.
Itulah sebabnya, kini saya bisa sok tahu mengurai rasa dalam karya-karya Mbak Windry, dan yang selalu saya rasakan adalah kesunyian yang berbicara. Kesunyian yang menarik kita untuk terus mengikuti alur cerita. Begitu juga dalam Montase. Percakapan dalam isi kepala tokoh yang menarik, tapi percakapan antar tokoh yang diucap secara langsung bukan hanya basa-basi, tapi bermakna.
Rayyi dan Haru. Dua-duanya ikonik, karena itu senang sekali melihat dua kepribadian itu saling bertemu. Rayyi yang agak sinis, tapi rapuh. Haru yang ceria, dan agak rusuh. Tokoh-tokoh lain juga tidak membuat isi novel menjadi 'kemana-mana', tapi justru semakin memperkuat jalinan cerita. Yang paling saya suka adalah Mbak Windry tepat sekali menaruh kalimat-kalimat klimaks di tempat yang seharusnya. Sehingga membuat kita sulit untuk melupakan kata-katanya.
Profile Image for Dion Sagirang.
Author 5 books56 followers
July 22, 2013
Hal pertama saat mengetahui bahwa buku ini ditulis menggunakan pov 1 laki-laki adalah, ketakutan kalau penulis tidak bisa mengeksekusinya dengan baik--karena praktiknya, penulis perempuan banyak melakukan hal demikian dan di mata saya selalu gagal. Tetapi ketakutan-ketakutan tersebut tertinggal sebagai dusta belaka karena penulis mengeksekusi Rayyi dengan sangat baik. Hasil yang tidak mengecewakan ketika berjuang menemukan buku ini yang dibeberapa toko buku stoknya sudah habis, padahal itu di pekan awal buku edar. Semakin kagum dengan karya-karya penulis.
Profile Image for Asya Azalea.
Author 7 books14 followers
September 16, 2017
Idenya OK punya. Mengangkat serba-serbi film dokumenter, IKJ, sedikit Jepang2an, dan masih banyak lagi. Cuma alurnya lambat, jadi berpotensi menciptakan rasa bosan.
Profile Image for Anastasia Cynthia.
286 reviews
April 6, 2013
Berbekal Bolex D16, jins belel, dan Converse aus, Rayyi tak hentinya menggerataki ubin kelabu. Memutar otak tentang skrip terbaru untuk film dokumenternya, kendati sang Papa, Irianto Kanarya, hendak membangun mahligai rumah produksinya menjadi mirip Punjabi; mendoktrin anak semata wayangnya agar terus berkecimpung dalam sinematografi mainstream dalam negeri. Rayyi hanya dapat mengunci mulut rapat-rapat, dan mengubur mimpi selangitnya di bawah angan film dokumentar Dziga Vertov milik sang Mama.

Padahal karya-karya Rayyi sungguh tak dinilai amatiran, malah Samuel Hardi--salah seorang sineas film dokumenter termuda yang diakui di kancah perfilman internasional--sempat bertanya mengenai namanya.

Pria metroseksual itu memang ambigu. Perangainya tak ubahnya es. Mengulas senyum yang entah tak terdeskripsikan di mata Rayyi, namun satu hal yang membuatnya berbeda. Ia seorang sineas yang amat digandrunginya. Rayyi mengidamkan hal itu sejak lama, beradu dalam kompetisi film dokumenter di Amsterdam, namun di suatu kala, ia malah beradu sengit dengan Haru Enomoto, si murid studi banding dari Jepang.

Gadis kepala angin itu begitu menggemaskan, kendati Rayyi membenci kala ia salah menyebutkan namanya menjadi "Rai i". Namun, Rayyi tak memiliki pilihan lagi. Bev, salah satu anggota dari geng Google V, tidak mungkin dijadikannya sebagai model utama lantaran Sube, seseorang yang dianggap Rayyi sebagai bule jadi-jadian itu diam-diam menaruh hati pada sahabatnya sendiri. Tinggallah Haru seorang yang menyetujui hari pensyutingan di galeri seni, dekat Stasiun Gambir.

Rayyi yang semula melihat Haru sebagai gadis ceroboh, terutama rontek-rontek boneka kokeshi yang bergayut di tasnya itu. Tak ayal merasakan hal yang berbeda. Senyuman Haru yang memesona, tubuh mungilnya yang berjalan lunglai dengan lutut tak lurus. Namun, satu hal yang tak terungkap. Haru tak sesempurna itu dan kehidupan tak juga seabadi yang dikira seseorang.


--------

"Montase" tidak serendah yang gue kira. Well, dari keseluruhan naskah Gagasmedia yang kadang gue gandrungi sampul depannya. Sungguh gue sudah menaruh antipati pada karya-karya penulisnya. Dari mulai sinopsis yang plotunis dan terlalu mencondongkan perdebatan batin salah satu karakternya. Cara itu tidak efektif untuk menarik perhatian gue, namun Windry Ramadhina mungkin berbeda dari anggapan pertama, mirip kala gue memandang karya Dahlian (penulis Gagasmedia lain) yang memang menaruh sinopsis dengan format yang sama.

Diawali dari sebuah sudut pandang yang unik, Windry dapat menjelaskan sebuah kepribadian Rayyi sebagai dokumenter dengan sangat komunikatif. Tidak monoton, seperti kebanyakan penulis yang kerap menuturkan pekerjaan/latar belakang karakternya secara langsung dan bukan dramatis. Dilihat dari penuturan narasi yang cerkas, Windry pun tak menulis "Montase" sesimpel ide keseluruhan plotnya. Ini poin plus yang sangat gue suka. Gagasmedia memang kerap mengoplah buku-buku mainstream, tapi Windry seolah menjadi yang unggul di antara yang biasa. Dari mulai kepiawaiannya menguasai seluruh pernak-pernik dunia mahasiswa jurusan perfilman dan multimedia, dan juga konflik yang diangkat di dalamnya.

Kebanyakan tema mainstream mungkin hanya mencitrakan perdebatan problema dengan satu sudut pandang. Entah itu romance, atau pun hal lainnya, tapi "Montase" merangkum tiga konflik sekaligus; romansa, keluarga, dan sahabat. Di samping itu Windry pun sangat gue acungi jempol dalam memilih judul dan subjudul. "Montase" menjadi sangat asing di telinga orang awan, tapi tidak di dunia perfilman. Seperti artinya: sebuah komposisi pemandangan untuk mengatur sebuah film, Windry dirasa pas dalam membangun montase untuk balada Rayyi/Haru. Perpaduan budaya di antara keduanya sangat pas.

Namun, mengapa gue meletakkan tiga bintang untuk karya yang boleh dibilang bagus untuk ukuran Gagasmedia? Bisa dibilang "it's not my cup of coffee", gue bukan pencinta sebuah cerita yang mudah tertebak dan beranggapan tidak asyik kalau memilih ending dengan ekspektasi yang tragis. Tapi, lagi-lagi gue memuji Windry untuk apa yang ditulisnya. "Montase" yang ia susun sedemikian rupa sama sekali tidak membuat pembacanya menyangka apa yang akan terjadi di belakang. Mungkin itu salah satu efek dari berbagai tema yang coba ia bangun dalam naskah sepanjang tiga 357 halaman. Kompleks namun ringan untuk dinikmati.

Sebagia saran mejelang penutup, mungkin gue kurang menikmati di kala Sude atau ya, salah satu anggota geng Google V mencoba menuturkan Ulead sebagai program andalan mereka dalam melakukan editing video. Menurut gue, Ulead terlampau amatir untuk Rayyi yang digambarkan sebagia sosok andal dalam menyunting dan juga menggagas sebuah film dokumenter, terlebih kelimanya sudah menempuh semester enam.

Diimbuh sampul depannya manis dan tepat sasaran, di mana terdapat sebuah bench kayu, tempat Rayyi/Haru menghabiskan jam-jam syuting mereka berdua, potongan klise rol film, dan juga pohon yang meranggas, mencitrakan sesuatu yang tidak abadi. Tetapi sayang, satu hal yang meleset dari penyampaian ide mengenai sampulnya, yaitu sudut pandang Rayyi sebagai narator, membuat makna manis tersebut tergeser. Alangkah lebih baiknya jika sampul tersebut tidak disangkutpautkan dengan kepribadian penulis yang bergender seorang wanita, melainkan gender naratornya dengan begitu buku tersebut lebih mencitrakan isi plotnya.

Kesimpulan akhir, "Montase" adalah bacaan yang pas untuk mengisi waktu kosong dalam tiga atau empat jam ke depan. Tidak monoton, memiliki plot yang simpel, namun pengarakterisasian yang amat kuat dari sisi dunia perfilman.

Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
December 24, 2012
AWAS SPOILER!

Bintang untuk ceritanya: tiga
Bintang tambahan untuk covernya yang bagus dan saya sangat menyukainya. (sempat kaget ternyata designer cover-nya bukan koko Jeffri Fernando)
Jadi, saya memberi empat bintang.

Sejujurnya, ekspektasi saya sangat besar akan karya teranyar dari kak Wndry Ramadhina ini. Mengingat ia adalah salah satu penulis yang saya sukai, dan selalu saya tunggu-tunggu karyanya untuk terbit.
Lalu, berdasarkan data-data yang saya ‘curi’ dari blognya, sebelum membaca Montase, kak Windry sudah memberi gambaran bahwa cerita dalam Montase ini akan berbeda dari karya-karya sebelumnya—mungkin yang dimaksud Orange dan Memori. Ia pernah bilang bahwa tokoh-tokohnya akan lebih muda. Dan ceritanya berganti dari tentang fotografi menjadi sinematografi membuat saya kian penasaran.
Ah, cukup basa-basinya. Sekarang biskuit lembek dalam kepala saya tengah berusaha bagaimana menuliskan review ini dengan baik. :p
Baiklah:
1. Saya suka ceritanya. Seperti yang saya katakan di awal, tiga bintang merupakan skor yang saya berikan untuk cerita Montase. Saya suka ide ceritanya, meski saya harus jujur bahwa pembukaan cerita dalam novel ini tidak menjadi favorit saya, seperti rasa suka saya terhadap pembukaan cerita Orange, Memori, bahkan Metropolis sekalipun. Pembukaannya itu bukannya kurang baik atau jelek, tapi apa, ya—mungkin bagi saya sendiri kurang menggigit. Lalu, setelah masuk ke konflik saya bisa dibilang kecewa dengan ceritanya yang terlihat sudah umum untuk ditampilkan—dalam kata lainnya mungkin klise. Beranjak menuju konflik puncak, saya tidak kunjung mendapatkan energi yang biasa ditampilkan kak Windry. Apa mungkin karena tokohnya yang masih muda atau apa, saya juga tidak tahu. Mungkin ini saya bahas di nomor selanjutnya.

2. Novel ini mengingatkan saya pada adegan-adegan dalam Orange dan Memori, entah mengapa. Kota Tua, adegan kisu, permasalahan keluarganya, dan beberapa komponen lainnya sangat mengingatkan saya pada karya-karya kak Windry sebelum ini. Walhasil, saya jadi turut membandingkan Montase dengan kedua novel tersebut. Beberapa adegan Montase terkesan fresh dan sendu, tetapi di beberapa momen yang ditekankan sedikit melemah atau tidak kuat. Juga adegan-adegan romantis itu, ah, sialnya kurang greget dan tidak sehangat—tuh, kan, saya membandingkannya lagi dengan Orange dan Memori.

3. Penokohannya kurang nendang.
Terkejut. Mungkin itulah yang saya rasakan saat membuka halaman pertama prolog dalam novel ini. Kak Windry memakai POV 1 lagi? Tapi kali ini ia menjelma menjadi tokoh laki-laki yang muda serta penuh ambisi dan kegalauan. Lalu, saya… kecewa—sejujurnya. Peran Rayyi yang ‘dimainkan’ oleh kak Windry memang berbeda, namun, sayangnya karakter itu tidak sekuat Mahoni dalam Memori—baiklah, lagi-lagi saya membandingkannya.
Beberapa tokoh sulit saya bayangkan dan sulit hidup dalam benak saya. Apa saya yang terlalu cepat membaca novel ini, ataukah karena hal lain yang menyebabkan saya kesulitan membayangkan para tokohnya? Entahlah. Saya sudah mencoba, tetapi yang tergambar hanya beberapa tokoh saja yang memang telah diberi gambaran yang mudah dibayangkan. Seperti tokoh Haru—saya mudah membayangkan gadis-gadis Jepang, dan Bev—yang dikisahkan mirip Natalie Portman (Gosh!)

4. Namun secara keseluruhan, saya tetap menyukai Montase.
Beruntungnya saya juga sangat menyukai mengamati dunia perfilman dalam dan luar negeri—meski hanya sebatas kecil-kecilan mengamatinya. Sehingga mudah bagi saya untuk nyambung dan mengerti istilah-istilah atau pun pernak-pernik dalam Montase. Beberapa film yang dimunculkan dalam novel ini juga saya kenali dan tahu. Begitu pula nama-nama macam Nia Dinata, Punjabi, atau Salman Aristo—ya, iyalah, siapa yang tidak mengenal mereka, he-he.
Saya acungi jempol kak Windry berani membuat akhir cerita yang mengharukan. Meski saya gagal tersentuh cerita tersebut, tapi hati saya cukup terenyuh di akhir cerita novel ini.
Lalu, usaha kak Windry dalam menyampaikan pesan yang tersirat dalam novel ini. Usahanya dalam mengenalkan film-film dokumenter kepada para pembaca. Usahanya dalam menampilkan sosok personaliti kawula muda yang harusnya selalu berjuang menggapai mimpi-mimpi mereka.
Usahanya dalam menyorot kehidupan sosial lewat lensa-lensa kamera.
Salut. :)

Akhir kata saya sangat merekomendasikan untuk membaca novel ini.
Montase; untuk kalian yang tidak pernah berhenti bermimpi
Profile Image for Dhani.
257 reviews17 followers
January 24, 2014
Membaca karya Windry Ramadhina, selalu membuka ruang- ruang baru yang sebelumnya hanya sedikit kutahu. Bahkan ketika sudah membacanya tuntas, masih tersisa banyak hal yang tak kumengerti. Tapi entah mengapa aku menikmatinya, membaca setiap halamannya dengan antusias, menangis tersedu di salah satu bagiannya. Sempat gemes dengan Rayyi yang pada awalnya tak berani bersikap, tersentuh dengan kepolosan Haru, juga sebel kepada Samuel Hardi yang keren tapi tingkah lakunya nyebelin.

Buku ini berjudul MONTASE, buku setebal 357 halaman yang bercerita tentang Rayyi dan Haru, juga lingkungan mereka kuliah di Institut Kesenian Jakarta dan pekerjaan Rayyi magang di kantor Samuel, juga perjuangan kerasnya menggapai mimpi.

Adalah Rayyi, anak seorang cineas besar Indonesia yang merasa " terjebak" kuliah di IKJ peminatan Produksi, karena mengikuti kemauan ayahnya. Padahal sesungguhnya, minat dan passionnya lebih pada Dokumenter.Itu pulalah yang mendorongnya ikut suatu kompetisi film pendek yang diadakan oleh Greenpeace dan tidak menang. Pemenangnya adalah seorang gadis Jepang bernana Haru, yang kikuk dan ceroboh.Rayyi tak habis mengerti, bagaimana sebuah karya yang menurutnya biasa- biasa saja bisa jadi juara.

Dalam sebuah kelas peminatan dokumenter yang diikutinya sebagai pengunjung gelap( bukan jurusannya), karena Samuel Hardi, seorang sineas dokumenter jadi dosen tamunya, Rayyi akhirnya mengenal Haru,tapi tentu saja bukan perkenalan yang pantas dikenang.Sebuah ketidaksukaan dan kesinisan yang berubah menjadi ketertarikan seiring proses waktu. Apalagi saat mereka berdua ditunjuk untuk mengerjakan suatu proyek bersama. Haru dan Rayyi menjadi dekat dan sering bepergian mencari obyek- obyek yang menarik bagi passion mereka.

Hidup ternyata tidak melulu tentang menjadi apa yang kita mau. Hidup ternyata juga tentang perbedaan persepsi tentang kesuksesan. Dan itu juga dialami Rayyi. Setelah mengantarkan Haru yang mendadak pulang ke Jepang karena sakitnya( Haru ternyata menderita Leukimia tingkat lanjut), Rayyi terlibat pertengkaran seru dengan sang ayah yang mempertanyakan urgensinya bolos kuliah demi seorang Haru. Sebuah pertengkaran yang berakhir dengan keinginan Rayyi keluar dari kuliahnya, tidak dibiayai lagi hidupnya oleh sang ayah dan harus meninggalkan rumah.

Rayyi lalu magang di rumah produksi milik Samuel Hardi untuk menghidupi dirinya dan memuaskan passionnya pada film dokumenter. Sememtara hubungan jarak jauhnya dengan Haru tetap berlangsung, sampai sebuah kabar datang dari Jepang.Lantas, apakah yang terjadi kemudian dengan hubungan Haru dan Rayyi?. Bagaimana pula hubungan antara Rayyi dan ayahnya? Apakah Rayyi bisa meraih semua impian- impiannya?

Seperti pada novel- novel lain sebelumnya, kali ini Windry memperkenalkan sebuah dunia baru bagiku, dunia film khususnya film dokumenter. Lengkap dengan istilah- istilahnya yang beberapa di antaranya sulit dipahami awam. Tapi ya itulah Windry, selalu membawa kebaruan dalam tiap karyanya. Walau begitu, menikmatinya dengan utuh adalah hal lain dan ya, aku menikmatinya. Penulis berhasil mengantarkan tema yang tak biasa dalam kalimat- kalimat yang runut dan mudah dipahami. Karakter dan deskripsi tokoh, juga settingnya kuat dan detil.Konfliknya juga kuat dan tidak diselesaikan dengan cara mudah. Walau sempat merasa penyelesaian konflik Rayyi dan ayahnya terlalu lama, terganggu dengan perbedaan alasan kenapa Haru bisa kuliah di IKJ( pada suatu halaman ditulis karena dikirim kampusnya dan halaman lain bercerita bahwa itu keinginan murni Haru karena memenuhi cita- cita kedua orangtuanya), secara keseluruhan aku puas membaca novel ini. Setingkat dengan MEMORI, tapi dengan janis kepuasan yang berbeda dan tak sabar untuk membaca novel- novelnya yang lain...
Profile Image for fragaria.
47 reviews27 followers
March 14, 2013
Haru dan Rayyi mengalami cinta lokasi satu sama lain semasa menjadi mahasiswa jurusan perfilman di kampus yang sama. Pertemuan pertama mereka bukanlah hal yang menyenangkan bagi Rayyi, karena itu terjadi di festival film di mana Haru menjadi pemenangnya sedangkan Rayyi hanyalah salah satu peserta yang iri dengan sang pemenang. Tanpa disangka, Rayyi bertemu lagi dengan Haru di kelas Dokumenter yang sengaja dia selundupi agar dapat belajar dari pakar film dokumenter favoritnya, Samuel. Tugas pertama di kelas itu mengawali kedekatan di antara mereka berdua. Di tugas itu Rayyi menjadikan Haru sebagai satu-satunya tokoh dalam film bisu yang dibuatnya. Tanpa disangka pula, film buatan Rayyi dianggap yang terbaik oleh Samuel dibandingkan film-film yang dibuat oleh peserta kelas lainnya. Di satu sisi Rayyi merasa bangga akan bakatnya di bidang film dokumenter, tetapi di sisi lain ia pun sedih karena ayahnya tidak merestui keinginannya untuk bergelut di bidang tersebut.

Seiring dengan semakin akrabnya Haru dan Rayyi, Rayyi pun tahu bahwa jurusan perfilman bukanlah jurusan yang benar-benar diminati Haru. Haru memilih jurusan ini demi membahagiakan orang tuanya yang merupakan penggemar film dokumenter, meskipun orang tuanya sama sekali tidak meminta Haru untuk memilih jurusan tersebut. Dari Haru, Rayyi belajar bahwa "selalu ada impian yang lebih besar daripada impian lain". Sementara itu, Haru merasa bahagia bisa mengenal Rayyi karena Rayyi telah memenuhi harapan Haru untuk dicintai oleh orang yang Haru cintai.

Hingga akhirnya Haru pergi ke negara asalnya dan meninggalkan Rayyi secara tiba-tiba. Selama beberapa bulan mereka sempat bertukar kabar. Ternyata Haru menderita leukimia dan menurut dokter hidupnya hanya akan berlangsung hingga beberapa saat lagi saja. Haru menikmati saat-saat terakhir hidupnya bersama orang tuanya sementara Rayyi berjuang mengejar mimpinya untuk bergelut dalam bidang film dokumenter. Banyak hal yang dikorbankannya untuk menggapai impian tersebut. Semua itu berkat motivasi Haru kepadanya untuk tidak menyerah dalam meraih mimpi yang memang ingin diwujudkannya.

Sampai Haru telah meninggal, Rayyi masih terus merindukan Haru. Hingga akhirnya dua tahun kemudian, surat dari Haru sampai di tangan Rayyi. Rayyi pun mengunjungi rumah Haru dengan harapan gila bahwa Haru masih hidup. Tentu saja harapan tersebut tidak terkabul. Akan tetapi di negeri sakura itu, lagi-lagi dengan bantuan Haru (dan film), Rayyi berani menguatkan hatinya untuk melepaskan kenangan tentang kisah yang pernah dijalaninya dengan Haru sebagai masa lalu yang sepatutnya ditinggalkan.

Bagian akhir buku lah, bagian tentang bagaimana Rayyi berusaha move on, yang cukup kuat memainkan emosi pembaca. Bagian awal buku sampai bagian perginya Haru sama sekali tidak bersifat istimewa, cenderung datar. Saya sendiri awalnya mendapat buku yang salah cetak di mana belasan halaman awal buku tidak tercetak, tetapi saya masih bisa menangkap isi ceritanya. Demikian pula dengan paragraf-paragraf di buku ini yang--karena agak bosan--hanya saya baca ujung-ujungnya saja, ternyata tidak banyak mempengaruhi isi cerita maupun kesan yang ingin diberikan oleh buku ini. Walaupun demikian, akhir dari buku ini saya akui sangat bagus dengan tingkat ke-realistis-an yang memungkinnya untuk diangkat menjadi film. Selain itu, buku ini juga sangat menambah wawasan tentang dunia film, khususnya film dokumenter.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for s..
123 reviews4 followers
June 28, 2013
Pertama kali tahu Montase itu dari temen, dia bilang bukunya katanya bagus (dia juga dikasih tau orang lain). Waktu itu masih ngga tertarik karena liat sinopsis di belakangnya: duh ini kayaknya galau banget, dan jadi agak males.

Sampe suatu hari entah kenapa tiba-tiba kepikiran: saya pengin baca Montase. (bohong sih, saya baca beberapa review buku ini :p) Dan belilah saya buku ini. Begitu dibeli, langsung dibuka, dibaca, dan ditamatin.

Rayyi dan Haru.
Siapa sih yang ngga jatuh cinta sama Rayyi? Fix banget, begitu sadar karakternya cowok agak sinis yang terlalu banyak pikiran di dalem kepalanya, galau mau lanjut mimpi apa terus 'hidup' dalam genggaman ayahnya, dan ngga bisa ngungkapin perasaan dengan benar. Bahkan dia ngga pernah bilang cinta. Cuma cantik. Cantik.

Tapi justru itu yang istimewa. Penulis bisa banget merangkai semua sisi Rayyi dan pikiranya sekaligus. Merangkai cinta dan juga impian. Klasik, memang. Tapi tidak membosankan.

Jokes-nya konyol tapi bikin senyum dan ngerasa: ah iya, bener banget. Diksinya entah kenapa betah banget dibacanya.

Haru. Gadis ceroboh yang suka meninggalkan dan menjatuhkan barang. (bahkan dia juga ceroboh jatuh cinta sama Rayyi :p) Karakternya entah kenapa hidup banget. Senyum naganya, mata sipitnya, bahasa alien andalannya kalo ngedumel. Semuanya terasa nyata.

Kebersamaan mereka menimbulkan perasaan yang hangat ketika membaca. Tidak berlebihan, hangat.

Dan ending-nya, seperti potongan puzzle terakhir. Begitu pas, klik.

Tidak ada masalah dengan minimalisnya karakter Bev, Sube, Andre, Irianto Karnaya, bahkan Samuel Hardi. Seperti film dokumenter, mereka semua seolah mengingatkan: ini nyata.

Jadi pengin makan internet......
Profile Image for Devita Natalia.
105 reviews19 followers
December 26, 2012
Saat nutup buku ini seriusan gue nggak terima. Kenapa akhirnya kaya gini??
Walaupun penulis menceritakan dengan sangat baik, detil, dan juga tiap tokoh dalam novel ini sangat mudah disuka.
Gue nggak bisa kasih 5 bintang karena satu sebab. (kudu baca sendiri, no spoiler. :) )

Kali ini tentang dunia perfilm-an. Rayyi mahasiswa falkutas Film dan Televisi IKJ harus menerima kekalahannya dari Haru Enomoto pada pemilihan film-film terbaik Greenpeace. Haru adalah mahasiswi asal Jepang yang dikirim ke Indonesia untuk studi banding. Pada kesempatan lain mereka bertemu lagi dikelas dokumenter yang akan di ajar oleh salah satu sutradara film dokumenter terbaik yaitu Samuel Hardi. Rayyi dengan ketiga temannya Bev, Sube dan Andre menyelinap masuk ke kelas tersebut. Demi diajar oleh sutradara ternama.

Tugas pertama yang mereka dapat yaitu membuat suatu film dokumenter, dan dengan ide salah satu teman Rayyi. Rayyi memilih Haru untuk menjadi model di filmnya. Rayyi merekam segala aktivitas Haru. Hasil film Rayyi mendapat pujian dari Samuel Hardi. Dari sejak itu, Rayyi menjadi ketagihan untuk merekam Haru dan alhasil mereka berduapun menjadi dekat. Haru juga tahu kalau Rayyi harus menjadi produser seperti Ayahnya, walaupun itu bukan bidang yang disukai Rayyi.

Di lain sisi Haru menyimpan rahasianya. Rahasia yang membuat gue nggak bisa kasih 5 bintang..

Selanjutnya dibaca sendiri.

Montase, suatu kisah yang bisa ngaduk-ngaduk perasaan yang baca.
Profile Image for Caca Venthine.
372 reviews10 followers
January 28, 2013
Akhirnya punya ini buku juga. Dari awal selalu penasaran dengan cerita di dalam buku ini,dan saya juga pengagum kak Windry..

Ini buku ke3 kak Windry yang gue baca setelah Orange dan Memori. Pas baca buku ini,gue udah bisa ngerasain gaya nulis dan ciri khas kak Windry..

Ceritanya unik,dan ada beberapa adegan yang bikin nangis juga,dimana si Haru (gadis kepala angin) punya penyakit leukimia dan meninggal. Pas tau Haru punya penyakit,sempet males lagi bacanya.. Yaelah gk laen penyakitnya leukimia melulu,boceennnn.. Karena penyakit leukimia sering banget dipake di novel2 lainnya. Tapi akhirnya diniat2in juga buat baca abis buku ini,sempet kecewa juga setelah Haru memutuskan balik ke Tokyo,seolah2 cerita dia diputus begitu aja. Tanpa ada kisaah kehidupan dia lagi (duh gimana ya jelasinnya,bingung aahh)

Tapi untuk keseluruhan cerita,bagus banget. Gk nyesel belinya juga. Untuk itu gue kasih 4 bintang,3 untuk ceritanya yang manis banget,dan 1 bintang untuk covernya yang oke banget. Sumpah dari semua terbitan Gagas Media di tahun 2012,menurut gue cover Montase paling keren.. :p Dan ditambah lagi,gue gak nemuin typo di dalam buku ini..

Good job kak Windry,moga cepet bikin novel lagi ya.. Gak akan pernah cape untuk nunggu karya kakak yang lainnya ^^

Btw,gue suka dengan nama Rayyi.. Unik ^^
Profile Image for Inge.
150 reviews3 followers
June 20, 2013
Kisah tentang Rayyi dan Haru, yang sama2 kuliah di IKJ.

Rayyi yang begitu tertarik bahkan bermimpi untuk menjadi pembuat film dokumenter terkenal harus terjebak di peminatan (mungkin semacam jurusan) yg sama sekali bertolak belakang dengan apa yg dia inginkan. Hanya karena ia satu-satunya anak seorang produser yang sangat terkenal.

Haru, salah satu mahasiswa "hasil" pertukaran pelajar dari Jepang. Sebenarnya ia mencintai bidang melukis tetapi ia justru "terjebak" dalam peminatan dokumenter. Tetapi ia berbeda dengan Rayyi karena ia menikmati walau ia sama dengan Rayyi "terjebak" untuk melakukan sesuatu yang tidak benar-benar mereka inginkan.

Film dokumenter, mungkin bisa juga dikatakan sebagai penyatu mereka berdua. Awalnya menebak endingnya pasti Rayyi bakal jadian ama Haru, ternyata walau nggak sepenuhnya meleset tapiiii banyak hal diluar dugaan disajikan oleh penulis. Lebih-lebih cerita mendekati ending, maniiiiis banget.

Tetap menjalani hari, tetap berbuat sebaik mungkin dengan apa yang dikerjakan... belum tentu bisa dikatakan move on. Ternyata.

Suka dengan tokoh Haru... bisa dikatakan tabah, tegar dan ceria walau memang sangat ceroboh. :)
Profile Image for Deta NF.
234 reviews6 followers
December 31, 2014
Saya harus bilang kalau novel ini menghipnotis saya dari halaman pertama!

Bagi saya, cerita tentang film dokumenter itu menarik. Dan mengenal mahasiswa perfilman juga tak kalah menarik. Goggle V; Rayyi, Haru, Bev, Andre & Sube.

I like this novel better than Memori or London. ;)
Dan entah mengapa Samuel Hardi mengingatkan saya pada tokoh Zima di novel Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa karya Prisca Primasari atau Peter Van Houten di novel The Fault in Our Stars karya John Green. Sangat-sangat menyebalkan namun di waktu yang bersamaan bisa membuat saya simpatik hehe

Menggunakan PoV orang pertama tunggal dr sudut seorang Rayyi. Ya Allah... saya bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Rayyi.

Sempat berkaca-kaca di beberapa part. Novel ini memang sangat mengharukan. Namun ada beberapa keganjalan yang tak akan saya bocorkan di sini hehe. Dan seperti novel-novel Windry yang lain, banyak istilah asing (setidaknya untuk saya pribadi) yang tidak menggunakan footnote. Huhu... saya ini gaptek qaqa...
Profile Image for Abdul Azis.
127 reviews13 followers
March 15, 2014
GUE NANGIS !!! haha... baca sinopsisnya aja gue udah kaya disilet trus dikasih garem sama air perasan jeruk. permainan kata mba windy sama seperti LONDON, berhasil buat gue teradiksi. nyolong dari seseorang gue di tumpukan novel yang belom dibaca yang dibungkus kantong kresek item karena saking banyaknya dan gak tahu kudu ditaro di mana *hat hat curhat*, awalnya gue yang males baca soalnya sicover yang gak colourfull tapi pas baca sinopsisnya....
bukan hanya menceritakan soal percintaan ala-ala cabe sama terong zaman sekarang yang ngakur ngibul gak jelas, novel ini ngasih gue satu paket cerita yang terdiri dari cinta,mimpi,persahabatan, dan keluarga. pertahanan gue pecah di hal 310, dan itu sangat mengganggu. kenapa? cowok nangis didepan umum, didalam transjakarta lebih tepatnya*untung gue pake kacamata jadinya gue akting kaya kelilipan gt* aih...gue gak mau spoiler, yang jelas gue suka banget dengan novel ini. keep writing mba windy :*

note : kenapa harus bao? adakah nama lain? soalnya kalo ditambah K diakhir dalam bahasa sunda itu artinya sangat .... *googling aja sendiri*.
Profile Image for Stefanie Sugia.
731 reviews178 followers
January 22, 2013
"Selalu ada impian yang lebih besar dari impian lain, kan? Bagimu, impian itu adalah menjadi pembuat film dokumenter... Kita tidak hidup selamanya, Rayyi. Karena itu, jangan buang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak kita inginkan."

Sebuah kisah yang berawal dari seorang lelaki bernama Rayyi - mahasiswa di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Cerita ini diawali dengan kekalahannya dalam sebuah Festival Film Dokumenter Greenpeace yang diikutinya; Rayyi dikalahkan oleh seorang gadis asal Jepang bernama Haru Enomoto yang sedang melakukan studi banding di IKJ. Kesan pertama Rayyi terhadap gadis liliput dari Jepang itu tidak begitu baik - apalagi mengingat kekalahan yang masih tidak bisa ia terima. Namun, kehadiran Haru Enomoto dalam kehidupan Rayyi, secara perlahan mengubah diri lelaki itu dan juga masa depannya....

Baca review selengkapnya di:
http://thebookielooker.blogspot.com/2...
Profile Image for Ainu Athifah.
193 reviews
June 21, 2013
Pertamanya, saya tertarik untuk membeli karena covernya hahaha, tapi saya ga jadi beli. Kemudian beberapa minggu setelah itu, teman saya sudah membaca novel ini dan berkata kalau novel ini bagus, saya pun berminat untuk membeli, namun sayangnya stocknya sudah habis. Dan akhirnya, saya kesampean beli baru 2 hari yang lalu hahahaha.

Walau tema yang diusungkan sudah banyak dan umum, tapi saya suka latar ceritanya yang bertemakan film. Menurut saya, jarang penulis menggunakan dunia film sebagai latar ceritanya, jadi saya memberi nilai plus untuk itu.

Dari segi bahasa, saya merasa -there's something weird- dengan bahasanya hahaha, mungkin karena tokoh aku disini adalah seorang cowok, tapi gaya bahasanya begitu, jadi yah....rada ga cocok. Tapi hubungan antara Rayyi dan Haru itu memang........hm mengesankan (bagi saya lol) karena mereka lucu pas lagi bareng. Walau akhirnya sad ending gitu, tapi mereka tetep keren.

But overall, it's nice c:
Profile Image for Ayun Qee.
Author 1 book6 followers
January 7, 2014
Ceritanya inspiratif dan bikin pembaca semangat mengejar mimpi. Dengan sangat detail, penulis menceritakan tentang dunia perfilman (khususnya film dokumenter), dan ini yang membuat saya salut. Tapi agak kurang suka dg kematian Haru karena penyakit yg dideritanya. Udah sering banget nemuin cerita yg kayak gitu.
Displaying 1 - 30 of 268 reviews

Join the discussion

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.