Jump to ratings and reviews
Rate this book

Menalar Tuhan

Rate this book

224 pages, Paperback

First published January 1, 2006

67 people are currently reading
675 people want to read

About the author

Franz Magnis-Suseno

43 books88 followers
Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ adalah rohaniwan yang lahir tahun 1936 di Eckersdorf, Jerman, dan sejak 1961 hidup di Indonesia. Dia adalah guru besar filsafat sosial pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta dan guru besar luar biasa Falkutas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dosen tamu pada Geschwister-Scholl-Institut Universitas Munchen, pada Hochschule fur Philosophie, Muchen, dan pada Falkutas Teologi Universitas di Innsbruck. Ia belajar Filsafat, Teologi dan Teori Politik di Pullach, Yogyakarta dan Muchen. Pada tahun 1973 ia memperoleh gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Munchen dengan sebuah disertasi tentang Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848) (1975,Alber)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
107 (38%)
4 stars
96 (34%)
3 stars
53 (19%)
2 stars
13 (4%)
1 star
8 (2%)
Displaying 1 - 29 of 29 reviews
Profile Image for John Ferry Sihotang.
27 reviews47 followers
August 5, 2010
Review: Tuhan Itu Rasional?

Di permulaan abad ke-21, orang yang percaya kepada Tuhan berhadapan dengan pelbagai tantangan. Pertama, meriapnya sekularisasi seluruh kehidupan yang mengacu pada Tuhan yang menguap, seperti yang marak terjadi di dunia Barat. Kedua, munculnya berbagai religiositas baru seperti New Age, Hare Krishna, dan agama/aliran kepercayaan baru lain. Ketiga, maraknya tendensi fundamentalisme baru yang fanatik, seperti yang kerap terjadi di negeri ini.

Filsafat, dalam situasi ini, umumnya menganut agnostisisme: mencurigai dan menolak klaim-klaim kebenaran (truth claims) agama-agama, dan mendukung relativisme religius. Bahwa hal adanya Tuhan dianggap tidak dapat diketahui secara filosofis seperti suara rasionalisme kritis Kant: Iman kebal terhadap falsifikasi (menyalahkan dengan bukti) dan karena itu tidak rasional. Pernyataan "tuhan itu ada" dan "tuhan itu tidak ada" sama-sama tidak memadai. Karena itu, lebih baik tidak membicarakannya. Banyak filsuf beranggapan bahwa agama/religiositas hanya urusan selera, estetika kultural, hingga imperialisme terselubung. Di sisi lain, para teolog cenderung menjungjung tinggi fideisme: iman itu bagi yang percaya saja, tak ada itu pertanggungjawaban rasional.

Mempertanggungjawabkan Iman secara Rasional

Sebagai mahkuk rasional, sepantasnyalah manusia menggunakan rasionya termasuk dalam beragama. Pada tahun 2006, pernyataan Paus Benediktus dalam ceramah ilmiah di Regensburg, Jerman mengundang polemik internasional. Pro dan kontra terjadi hanya karena sebuah kutipan yang menimbulkan salah paham di banyak kalangan Muslim – Iman dan rasio harus bersama: "Allah adalah rasional dan bukan irasional". Iman harus dipertanggungjawabkan demi kejujuran intelektual sendiri. Menjelaskan iman dengan wahyu agama semata memang memenuhi kebutuhan psikologis akan kepastian: agamanya muncul dari Tuhan sendiri secara otentik. Lantas agama lain akan dianggap lebih rendah. Sikap ini membawa kecenderungan eksklusivisme narsistik, dan pada ekstrim tertentu mudah menjadi destruktif terhadap yang lain: misalnya praktik terorisme, bunuh diri massal, dan tendensi destruktif lain yang bertentangan dengan hakekat warta tiap agama, bahkan menggerogoti martabat agama itu sendiri.

Dalam buku filsafat ketuhanan (theodicea) ini, mempertanggungjawabkan iman bukan mau membuktikan eksistensi Allah itu secara hitam putih. Namun Franz Magnis mau memperlihatkan bahwa adanya Allah sangat sesuai dengan realitas alami dan sosial yang dialami oleh manusia. Hidup ini absurd, kata Camus, sementara pikiran kita tidak bisa menerima sesuatu yang absurd. Karena itu realitas alam semesta lebih mudah dimengerti kalau ada Tuhan. Maka "Tuhan menuntut 'dinalar'! Penolakan penalaran perlu ditolak", ujar Magnis Suseno saat peluncuran buku ini di kampus Universitas Parahyangan, Bandung.

Tantangan-Tantangan Bagi Iman

Atheisme menjadi tantangan besar bagi kaum beragama. Buku ini membahas lima tokoh ateisme paling terkemuka dan paling berpengaruh atas pemikiran filosofisnya: Ludwig Fuerbach, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Sigmund Freud, Friedrich Nietzsche, dan sedikit menyinggung model ateisme Camus.

Ateisme abad ke-19 dan 20 lebih bersifat 'ideologis' dan bukan ilmiah. Marx/Marxisme memandang agama adalah sebuah ideologi, "sebuah candu rakyat". Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya (h.72). Bagi Sigmund Freud, agama itu sebuah ilusi infantil (kekanak-kanakan) dan neurosis kolektif masyarakat. Agama membuat manusia membawa diri seperti anak kecil: Ia menghadapi masalah-masalah nyata dengan 'wishful thinking'. Masyarakat pun menjadi neurosis karena ketakutan yang berlebihan akan Allah atau "ayah super" (h.84-92). Sedangkan Fuerbach lebih melihat Tuhan dan agama itu hanya proyeksi, hasil pikiran manusia semata (h.65). Bagi Nietzsche, Allah, tepatnya kematiannya, merupakan "peristiwa baru paling besar". Dan Nietzsche sendirilah pemaklum kematian Allah itu: "Tuhan telah mati!" Agama menurut Nietzsche hanya sentimen manusia yang hidup dan kalah, maka mengharapkan, sesudah hidup ini, kemenangan di alam baka. Nietzsche mengkritik agama, khususnya Gereja, yang selama waktu panjang mengalami kebobrokan moral (h.83). Sartre sendri - mirip Nietzsce – mengusung eksistensialismenya. Sartre membalikkan kalimat teramasyur Ivan (novel The Brothers Karamazov), yang ditulis oleh Dostoevsky: "Kalau Tuhan tidak ada, semuanya boleh". Sartre mengatakan "Kalau Tuhan ada, manusia kehilangan otentisitas dan kebebasannya". Adanya Tuhan membuat manusia selalu merasa bersalah, bedosa, dan terus diawasi, kata Sartre (h.95). Albert Camus justeru melihat dunia ini dipenuhi penderitaan dan ketakutan. "Kalau Tuhan memang Maha Kuasa mengapa Dia membiarkan semua kejahatan dan penderitaan terjadi didunia ini?".

Buku ini menanggapi dan menunjukkan bahwa ateisme-ateisme filosofis itu "gagal" membuktikan diri sebagai ajaran atau teori yang sah. Pertama, gagal membuktikan atau pun memberikan pendasaran objektif dan menyakinkan bahwa 'Tuhan tak mungkin ada'. Semua filosof itu tidak menyinggung pertanyaan fundamental itu. Kedua, gagal dalam usaha untuk memberikan penjelasan menyakinkan tentang fenomen agama. Ateisme harus memberikan penjelasan mengapa manusia percaya kepada Allah dan bersedia mengatur seluruh hidup sesuai dengan kepercayaan itu kalau tidak ada Allah (h.101)." Teori para atheis itu tidak tahan uji.

Namun Franz Magnis lebih melihat sisi positifnya: "barangkali lebih penting adalah bahwa kritik agama Fuerbach, Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre selalu bertolak dari kenyataan dalam agama, dalam pola kehidupan iman orang yang percaya akan alam seberang, yang memang pantas diritik (h.100). Unsur-unsur yang dikritik sendiri: proyeksi, pelarian dari ketertindasan, pelarian dari tanggungjawab, ketidakdewasaan rohani memang ada. Ateisme-ateisme itu harus terus-menerus menjadi tantangan. Berkat kritik mereka, agama-agama dibantu untuk terus secara kritis belajar dan membersihkan diri dan bergulat untuk merenggut kembali pesan hakikinya (h.101)."

Pertanggungjawaban Iman

Menalar Tuhan itu untuk menangkis para penangkis, kata Magnis. Lebih masuk akal kalau Tuhan itu ada yang membuat semua keteraturan dan misteri alam semesta. Penghayatan kerohanian – misalnya dalam suara hati – manusia selalu bersinggungan dengan realitas mutlak yang benar, baik dan memperhatikan. Adanya Tuhan membuat manusia lebih berani menghadapi masalah/kesulitan hidup. Yang dalam novel Dostoevsky, Tuhan itu adalah Cinta. Dengan cinta membuat manusia dapat hidup walau kebahagiaan menjauh, dan dalam kepedihan pun hidup terasa manis.

Buku ini tidak terjebak dalam simplikasi masalah. Kejahatan dan penderitaan tetaplah jadi batu sandungan paling gawat (scandalum) mengakui keberadaan Tuhan. Misalnya tsunami Aceh dan gempa bumi di Padang beberapa waktu lampau, tetap menjadi misteri yang tak bisa dijelaskan secara ajeg. Ilmu geologi hanya bisa mengatakan sepanjang Pulau Jawa bagian selatan dan Sumatera bagian Barat berada dalam jalur busur volkanik yang rawan terhadap gempa dan tsunami. Kapan hari H, jam J, dan di tempat T tidak ada yang tahu persisnya. Tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan, mungkin sampai kapanpun. Franz Magnis berpendapat, orang beriman tidak perlu lari kepada penjelasan-penjelasan dangkal/murahan (misalnya "itu cobaan dari Tuhan karena dosa manusia"). Sebagai seorang Imam, Romo Franz mengajak untuk berani menghadap masalah/kesulitan, tetapi menunjukkan bahwa orang beriman mempunyai alasan untuk tetap menyerahkan diri dalam kepercayaan penuh kepada Tuhan.

Selain ahli filsafat, Franz Magnis dikenal juga seorang Teolog. Naluri teologi itu pula yang terlihat pada bab terakhir, buku ini. Teologi disini menjadi pelengkap, khususnya berhadapan masalah ’penderitaan’. Franz Magnis menghadirkan model yang paling baik dalam Alkitab dan Al-quran: Ayub. Penderitaan yang bertubi-tubi tak membuat nabi Ayub lari dari kenyataan atau menyangkal Tuhan. Akan tetapi, dengan imannya yang teguh tetap mau berharap bahwa Tuhan tidak meninggalkannya. Harapan itu pula yang berbuah menjadi kebahagiaan didalam iman. Di situlah iman mencari pengertian (fides quarens intellectum). Pun orang beriman yang berani mengikuti pertimbangan nalar filsofis justru diantar ke iman. Di mana filsafat menyerah, iman dapat mengambil alih. Dengan perantaraan nalar pula agama sendiri dapat mencapai dimensinya yang lebih mendalam. Buku ini diakhiri dengan satu kalimat yang filosofis-teologis: "Hanya kalau Tuhan menjadi pertanyaan, Tuhan juga dapat menjadi jawaban (h.235)."

Buku ini layak dibaca semua kalangan, baik bagi kaum beragama, pun bagi para atheis yang menjunjung ideologi tertentu termasuk sains. Ikhtiar yang bisa disimpulkan dari buku ini: Orang yang berpikir jujur dan berkeyakinan humanis masih dapat percaya ke Tuhan. Dan agama tak perlu memusuhi nalar. Orang beragama pun tak perlu menolak nilai-nilai kebenaran yang diusung agama lain maupun nilai-nilai idealisasi yang dibawa para spritualis murni yang tidak beragama. Hidup nalar! hehe***


Pustaka:
Magnis-Suseno, Franz, "Menalar Tuhan", Yogyakarta: Kanisius, 2006
Leahy, Louis, "Filsafat Ketuhanan Kontemporer", Yogyakarta/Jakarta: Kanisius/BPK Gunung Mulia, 1994
Profile Image for Yoe.
8 reviews1 follower
May 15, 2008
Menalar tuhan ternyata masuk akal, setidaknya menurut Romo FMS, mungkin ada yg 'ketipu' kalo mengira buku ini berbicara hal teknis dalam urusan 'mencoba mengerti Tuhan', tapi ternyata cukup renyah juga untuk genre buku filsafat.
IMHO buku ini berusaha menggiring secara halus kelompok skeptis menjadi lebih sedikit 'menaruh harap' terhadap keberadaan pencipta, dibantu dengan argumen-argumen sopan kas Romo FMS.
Yah, cukup menghibur :)
Profile Image for Andhi.
11 reviews4 followers
October 17, 2008
Buku ini tentang filsafat di mana tuhan menjadi objeknya. magnis-Suseno bermaksud mengajak kita sebagai manusia modern untuk mempertanggunjawabkan iman yang kita anut secara rasional. (nanti disambung lagi karena harus baca lagi buku ini.)
Profile Image for Junevio.
2 reviews1 follower
Read
November 1, 2008
Sebuah buku pengantar dalam filsafat ketuhanan yang mencoba mengajak seorang pembaca untuk mempertanggungjawabkan iman secara rasional.
Profile Image for Jessica Huwae.
Author 7 books32 followers
April 3, 2018
A good introductory for those who wonder about one's existence, personal faith vs realities and "why" god. Recommended!
Profile Image for Maya Murti.
205 reviews8 followers
December 16, 2020
Saya bukan anak filsafat, dengar tentang filsafat ketuhanan sebelumnya pun tidak. Ada beberapa hal yang tidak bisa saya pahami (argumentasi Nietzsche, pembuktian ontologis, dll), ada pula yang membuat saya tertarik dan terkesan (bab 7).

Frans Magnis-Suseno melihat ada peningkatan jumlah orang-orang atheis dan agnostik secara global. Di sisi lain ia juga mengamati bahwa Indonesia mengalami 'kelebihan' semangat dalam berketuhanan. Jika dua kelompok berbeda ini bertemu dan terlibat dalam pembicaraan filsafat, pertanyaan yang sangat mungkin diajukan oleh seorang ateis adalah, bagaimana bisa kamu percaya bahwa tuhan itu ada? Atau pertanyaan dari seorang agnotik: bagaimana sebenarnya wujud tuhan itu? Dari sinilah penulis merasa bahwa kaum beriman harus punya jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan dalam kerangka nalar.

Isi bukunya dijabarkan secara runut. Pertama, penulis menjelaskan berbagai konsep ketuhanan secara umum, lalu tinjauan sejarah tentang konflik gereja terhadap kegiatan filsafat di Eropa. Kemudian munculnya paham ateisme dan agnotisisme sebagai produk filsafat tadi yang berdampak pada pandangan sebagian masyarakat Eropa tentang ketuhanan. Sembari membahas tentang kedua paham itu beserta macam-macam argumentasinya, Frans Magnis-Suseno juga memberikan bantahannya pada masing-masing argumentasi itu.

2 bab berikutnya membahas jalan-jalan upaya pembuktian adanya Tuhan. Dari 2 bab itu, penulis tiba pada kesimpulan bahwa manusia dapat bersentuhan dengan realitas mutlak yang transenden, namun pada akhirnya manusia mencapai batasnya untuk bisa memahami tuhan karena nalar mereka yang terbatasi dimensi ruang dan waktu.
Tidak ada pengalaman tentang Tuhan yang berdasarkan sebuah pengamatan. Semua pengamatan bersifat inderawi (baik indera luar maupun indera batin), padahal Tuhan bukan realitas inderawi. Hal mana tidak berarti bahwa tidak ada pengalaman tentang Tuhan. Pengalaman tentang Tuhan adalah transendental, artinya, Tuhan dialami sebagai syarat kemungkinan semua pengetahuan dan penghendakan manusia, tepatnya sebagai cakrawala di dalamnya penangkapan semua objek pengetahuan dan objek kehendak selalu sudah terjadi.
Setelah itu, buku ditutup dengan pembahasan keberadaan kejahatan dan penderitaan yang disandingkan dengan sifat-sifat tuhan yang mahabaik dan mahakuasa. Yang bisa saya tarik dari pembahasan itu adalah, karena Tuhan menciptakan manusia untuk bisa melampaui dirinya sendiri, maka implikasinya adalah Tuhan menerima konsekuensi adanya manusia yang memilih jalan yang tidak sesuai kehendak-Nya. Adanya kejahatan adalah urusan Tuhan sendiri yang tidak bisa dijawab dengan filsafat. Namun adanya penderitaan yang membuat manusia sakit dan bersedih juga tidak bisa dijawab dengan filsafat, melainkan harus dialami sendiri dengan cara menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan (yang mana ini sudah merupakan ranah teologi).
...apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia yang secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya. Tetapi Allah tidak mencegahnya, karena Ia konsisten dengan kehendakNya untuk menciptakan alam dan manusia seperti itu.
Kesan umum yang saya dapat setelah membaca Menalar Tuhan adalah pembahasan tentang keberadaan Tuhan beserta sifat-sifat-Nya tetap tidak menemukan jawaban. Namun, dengan pendekatan filsafat ini setidaknya saya jadi lebih mengetahui sejauh mana keterbatasan nalar manusia untuk memahami Tuhan secara utuh--yang walau saya lupa detil argumennya, tapi saya masih menangkap gambaran maksudnya. Jadi pemahaman saya tentang Tuhan tidak lagi sekadar membeo perkataan yang sudah-sudah.

Hal lain yang menjadi catatan adalah buku ini cenderung sejalan dengan paham agama Abrahamik: bahwa Tuhan bersifat transenden, mutlak, dan personal. Saya tidak begitu yakin apakah orang-orang di luar keyakinan agama Abrahamik bisa mendapat manfaat yang memuaskan dari buku ini *angkat bahu*.
Profile Image for Arnel Willim.
44 reviews3 followers
March 5, 2023
Saya pikir jarang ada buku Indonesia mengenai filsafat Ketuhanan seperti ini. Buku ini saya anggap cukup lengkap dalam menjelaskan pertanggungjawaban kita yang percaya terhadap Tuhan, yang keberadaannya semakin dipertanyakan di era modern ini. "Mempertanggungjawabkan" di sini mempunyai 2 arti, yaitu memperlihatkan bahwa "percaya pada eksistensi Tuhan (yang tidak kelihatan) sangat masuk akal karena banyak kenyataan alam luar maupun alam batin dapat dimengerti dengan jauh lebih mudah apabila kita menerima adanya Tuhan". dan bahwa "ada beberapa kenyataan alam luar maupun alam batin yang sangat sulit dijelaskan kalau tidak ada Tuhan. Jadi meskipun data-data itu tidak memaksa sccara intelektual untuk me­nerimaa eksistensi Tuhan, namun kenyataan-kenyataan itu tidak dapat dipahami kalau eksistensi Tuhan disangkal."

Buku ini terbagi menjadi 8 bagian. Bab 1 membahas tujuan manusia menalar Tuhan dan pentingnya mempertanggungjawabkan iman secara rasional. Bab 2 membahas berbagai penghayatan ketuhanan, yaitu konsep-konsep yang dihayati dalam berbagai macam agama dan kepercayaan mengenai Yang Ilahi. Bab 3 membahas awal mula skeptisisme tentang ketuhanan di mana di dalamnya dijelaskan menganai pergeseran dari teosentrisme (berpusat pada Tuhan) ke antroposentrisme (berpusat pada manusia) melalui humanisme dan masa pencerahan Renaissance dan kemajuan ilmu pengetahuan (sains). Bab 4 membahas lima model ateisme: Feuerbach, Marx, Nietzsche, Freud, dan Sarte. Bab 5 membahas agnotisisme, yaitu suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan atau hal-hal supranatural adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui, yang oleh karenanya maka tidak dapat dibicarakan dalam ranah filsafat. Bab 6 dan 7 membahas petunjuk adanya Tuhan, yang kurang lebih berisi argumen yang mendukung keberadaan Tuhan. Penulis menjelaskan bahwa pada buku ini tidak digunakan kata-kata 'pembuktian adanya Tuhan' karena eksistensi Tuhan tidak akan dapat dibuktikan. Dalam 2 bab ini, ada point yang saya setujui, yang tidak saya setujui, dan adapula yang tidak saya mengerti. Pada bab 8 menjelaskan mengenai cara bicara (penggambaran tentang Tuhan), transendensi dan imanansi Tuhan, isu penciptaan, identitas dan kehendak bebas manusia, dan keberadaan Tuhan pada dunia yang seakan 'dipenuhi' dengan kejahatan dan penderitaan. Pada bab ini, banyak hal yang tidak dapat saya mengerti secara pasti karena penggunaan kata-kata yang sangat 'filsafat sekali' sehingga kemungkinan besar sulit dimengerti oleh general public (orang awam). Hal ini pula yang membuat saya memberikan bintang 3 pada buku ini.

Namun begitu, ada beberapa poin yang personally saya anggap penting dan ingin saya catat sebagai rangkuman dari buku ini.

Model ateisme:
-Feuerbach: Allah adalah proyeksi angan-angan manusia yang kemudian disembah karena tidak lagi disadari sebagai itu, oleh karena itu manusia jadi terasing dengan hakekat (angan) nya sendiri.
-Marx: agama adalah 'candu rakyat' yang muncul dari khayalan (angan-angan) manusia sendiri sebagai cara melarikan diri dari dunia nyata (sistem kelas) yang menindasnya. Agama memperlihatkan adanya ketidakberesan keadaan dalam masyarakat dan melumpuhkan semangat lawan kelas-kelas tertindas (misalnya: agama seringkali menjadi alasan langgengnya takhta raja).
-Nietzsche: "Allah telah mati.. dan kamilah yang membunuhnya!" merujuk pada pendapat Nietzche bahwa Allah sebenarnya tak pernah ada, namun manusialah yang menciptakan Allah. Jadi sebenarnya Allah harus dibunuh karena ia menguasai menusia, dan mcngasingkannya dari dirinya sendiri dan dari dunianya. Allah membuat manusia menjadi kerdil, mcngkorupsikan moralitasnya menjadi moralitas budak. Moralitas itu mcnjunjung tinggi kerendahan hati, sikap rela, menerima dan manut, kesediaan untuk tidak membalas, untuk menawar­ kan "pipi kiri". Moralitas ini meluhurkan mereka yang sakit, bengkok, lumpuh, kaum gagal. Moralitas itu kemenangan sentimen mereka yang diperbudak atas para tuan mereka karena nilai-nilainya justru menjun­jung tinggi sifat-sifat para budak.
-Freud: Freud dikenal sebagai 'bapak psikoanalisa'. Agama dilihat sebagai pelarian manusia dari dirinya sendiri atau sebuah bentuk ilusi (neurosis kolektif) untuk melindungi diri terhadap segala macam ancaman dan penderitaan. Yang khas bagi neurosis dianggap ada dalam agama, yaitu perasaan takut berlebihan apabila "hukum Allah' dilanggar. Dengan demikian, agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang se­benarnya dapat saja tercapai.
-Sartre: agama merupakan bentuk ketakutan manusia pada tanggung jawab/kebebasannya sendiri. Apabila orang percaya pada Allah, maka ia menyangkal tanggung jawabnya dan menaruhnya pada Allah.

Agnotisisme:
-Keberadaan Tuhan tidak dapat difalsifikasi
-Parable of the invisible gardener

Keterarahan di alam semesta sebagai petunjuk adanya Tuhan:
"Kita manusia ada di alam raya karena "alam" memilih persis satu di antara 10^5.313.680 kemungkinan yang sebenar­nya tersedia, suatu angka yang sama sekali tidak dapat dibayangkan. Hanya satu di antara 10^5.313.680 kemungkinan alam raya berkembang bi­sa menghasilkan manusia, dan justru yang itulah yang "terpilih". Kebetulan saja?"
"Probabilitas amat rendah bahwa proses-proses yang kelihatan terarah terjadi "kebetulan" saja, dapat dibandingkan dengan orang yang main dadu. Ambil saja dia enam kali berturut-turut men­ dapat angka 6. Barangkali orang masih mau percaya bahwa itu kebetulan. Tetapi bagaimana kalau seribu kali berturut-turut selalu ke luar 6? Menurut hukum probabilitas, untuk seribu kali mendapat angka 6, ia harus memainkan dadu itu 6^100 kali (scbagai perbandingan: Angka tertinggi di kalkulator biasa, 999.999.999.999, adalah sedikit lebih dari 2 x 615, jadi kalkulator masih bisa memperhitungkan bahwa untuk secara kebetulan mendapatkan 15 kali angka 6 berturut-turut, dadu harus dilemparkan sebanyak 470.184.984.576 kali!). Tetapi di alam raya kemungkinan yang cocok bukan satu di antara 6, melainkan satu di antara puluhan ribu. Dan untuk, misalnya, menghasilkan sebuah organ baru, diperlukan ribuan kali munculnya kemungkinan yang cocok. Padahal untuk setiap kemungkinan rata-rata harus dimainkan masing-masing dari ribuan kemungkinan alternatif."


Bagaimana bicara tentang Tuhan?
"Semua istilah kita sebenarnya tidak cocok untuk diterapkan pada Tuhan. Karena semua istilah itu memperoleh arti mereka dari pengalaman kenyataan terbatas (inderawi), istilah-istilah itu tidak mampu untuk menandai yang mutlak dan yang tak terbatas"

Menjawab masalah penderitaan:
"Tanpa ncgativitas segi-segi positif eksistensi tidak dapat mcmperoleh bobot yang sebenarnya. Kalau setiap puncak tinggi di bumi da­pat tercapai dengan lift, kepuasan mendalam yang kita peroleh apabila kita mencapainya melalui pendakian berat dan berbahaya tentu tidak bisa tercapai....Secara sederhana: Tanpa penderitaan, kehidupan manusia ti­dak akan berbobot. Tanpa pendcritaan, tidak ada tanggungjawab, tidak ada pengurbanan, tidak ada kesetiaan, tidak ada solidaritas."
"Apabila ada Allah, dari mana hal-hal buruk? Tctapi dari mana hal-hal baik, kalau la tidak ada?"
"Tetapi kalau memang ada Allah, dan Allah itu baik tanpa kompromi, maka, betapa pun kita tidak mengerti, segala pendcritaan dan kengerian yang kita alami sudah dikalahkan oleh kebaikan llahi, bahkan akan menjadi unsur dalam kebahagiaan kita, bukan pada umumnya, melainkan pada setiap orang satu-satu. Karena Allah sungguh-sungguh baik, dan kebaikan Ilahi bebas dari segala unsur keliru, kurang tepat, kira-kira atau meleset sementara, kebaikan bukan hanya akan menang, melainkan scgala penderitaan akan merupakan unsur yang ikut membahagiakan"


Footnote menarik:
"Apakah ada neraka atau tidak hukan urusan filsafat. Akan tetapi, terhadap kepercayaan banyak ngama bahwa ada neraka, filsafar dapat memberikan catatan. Yaitu bahwa adanya neraka hanya dapat disesuaikan dengan keadilan, kebaikan dan keluhuran Allah apabila tidak dimengerti dengan salah. Segala pandangan neraka sebagai tempat siksaan yang dipersiapkan oleh Allah merupakan penghinaan pada Allah. Pada manusia saja tak pernah kekejaman dapat dibenarkan. Menggambarkan Allah sebagai secara aktif-positif menyebabkan siksaan mendekati hujatan. Apalagi siksaan untuk selama-lamanya. Manusia yang buruk pun tidak menginginkan bahwa musuhnya, atau seorang penjahat luar biasa, disiksa untuk selamanya. Apalagi hal itu dikaitkan dengan Allah. Apabila di ajaran-ajaran agama kesan semacam itu terjadi, tentunya karena cara penjelasan secara alegoris dan simbolis disalah-tafsirkan secara harafiah. Kalau ada neraka, neraka hanya dapat dipahami sebagai tindakan oleh yang bersangkutan sendiri. Ia sendiri - itulah rahasia kejahatan - tidak mau menerima uluran pengampunan dan kasih sayang Allah yang tidak pernah ditarik kembali."
Profile Image for Wina S. Albert.
164 reviews2 followers
October 24, 2024
Di akhir buku ini, saya dihadapkan pada kesimpulan yang terasa lebih seperti cliffhanger dalam serial TV yang belum terjawab. Apakah saya mendapatkan jawaban? Tidak juga. Mungkin penulis hanya ingin saya pergi dengan lebih banyak pertanyaan daripada saat datang.

Jadi, saya akan mengulas buku ini berdasarkan pada prinsip-prinsip iman dalam agama yang saya anut—Islam, bahwa pemahaman tentang Tuhan melibatkan aspek spiritual, wahyu, dan pengalaman pribadi. Saya akan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur'an sebagai sumber utama dalam menjelaskan konsep ketuhanan dan hubungan manusia dengan Tuhan. Interpretasi ini mengikuti pemahaman yang umum dalam tradisi Islam.

Dalam Islam, diyakini bahwa akal manusia memiliki batasan dalam memahami esensi Tuhan. Oleh karena itu, analisis ini akan mencerminkan pandangan bahwa tidak semua aspek Tuhan dapat dijelaskan secara logis.

Meskipun ulasan ini berfokus pada perspektif Islam, saya menghargai bahwa ada banyak pandangan dan pemahaman tentang Tuhan di berbagai tradisi religius. Ulasan ini tidak dimaksudkan untuk menilai atau merendahkan pandangan lain.

Ketidakmampuan Akal untuk Memahami Tuhan Secara Utuh
Dalam Al-Qur'an, ada pemahaman bahwa akal manusia memiliki batasan dalam memahami sifat dan esensi Tuhan. Konsep menalar Tuhan dapat dianggap cacat logika jika usaha tersebut berusaha menjelaskan atau membatasi Tuhan dengan cara yang tidak sesuai dengan sifat-Nya yang Maha Besar.

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. Ash-Shura: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan apapun, dan segala usaha untuk memahami-Nya sepenuhnya dengan akal bisa menjadi cacat.

Keyakinan yang Tidak Bergantung pada Logika Belaka
Dalam konteks iman, keyakinan kepada Tuhan bukan hanya dibangun di atas argumen logis, tetapi melibatkan aspek spiritual dan hati. Menalar Tuhan dengan pendekatan logika saja dapat mengabaikan dimensi iman yang lebih dalam.

"Dan Kami sudah pasti akan menguji kalian dengan sedikit perasaan lapar, haus, dan kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan; dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.S. Al-Baqarah: 155)

Ayat ini menekankan bahwa ujian dan pengalaman hidup adalah bagian dari iman, yang tidak selalu dapat dijelaskan dengan logika.

Mengandalkan Bukti Fisik untuk Keberadaan Tuhan
Menalar Tuhan sering kali melibatkan pencarian bukti fisik untuk keberadaan-Nya. Dalam Al-Qur'an, penekanan pada keimanan lebih pada pengakuan dan penerimaan daripada pembuktian rasional.

"Katakanlah: 'Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.'" (Q.S. Al-Ikhlas: 1-2)

Ayat ini menunjukkan bahwa esensi Tuhan adalah tunggal dan tidak dapat dibuktikan melalui argumen logis semata.

Kedalaman Iman Melampaui Nalar
Dalam Islam, iman sering kali dipandang sebagai sesuatu yang melampaui akal dan logika. Menalar Tuhan dengan cara yang terlalu rasional dapat mengurangi kedalaman makna iman itu sendiri.

"Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberikan kepada kalian pendengaran, penglihatan, dan hati agar kalian bersyukur." (Q.S. An-Nahl: 78)

Ayat ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan dan pemahaman datang dari Allah, dan pencarian Tuhan yang terlalu logis dapat mengabaikan aspek syukur dan pengakuan terhadap kekuasaan-Nya.

Keimanan kepada Tuhan tidak semata-mata bergantung pada penalaran rasional. Iman melibatkan kepercayaan yang mendalam, pengalaman spiritual, dan penerimaan terhadap wahyu Allah. Saat menalar Tuhan, penting untuk mengingat bahwa beberapa aspek iman tidak dapat sepenuhnya dijelaskan dengan logika.

Al-Qur'an mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki hikmah dan tujuan yang mungkin tidak selalu dapat dipahami oleh akal manusia. Oleh karena itu, menalar Tuhan harus dilakukan dengan kesadaran bahwa kita tidak selalu dapat mengetahui hikmah di balik setiap fenomena.
Profile Image for Noep.
49 reviews28 followers
January 26, 2018
Bisakah kita menalar Tuhan? Bisakah kita melakukan rasionalisasi- rasionalisasi dalam pikiran kita untuk membayangkan sesuatu yang “tidak bisa dilihat”? Bisakah hal- hal yang berbau metafisika dijabarkan dengan logika? Ya, pertanyaan- pertanyaan tersebut merupakan obsesi filsafat Ketuhanan yang pertama kali berkembang. Pertanyaan- pertanyaan yang berusaha menggapai Tuhan melalui ruang akal pikiran manusia. Apakah mampu?

Franz Magnis-Suseno memang salah tokoh kunci dalam bidang filsafat, Tokoh yang memiliki fokus dalam filsafat, teologi, etika, dan politik tersebut memberikan pemikirannya yang bernas bagaimana seseorang dapat menemukan nilai dan jalan yang lebih terang dalam melihat aspek ketuhanan dengan alur pemikiran yang terarah dan objektif. Bukunya yang manis tersebut adalah sebuah jawaban yang ciamik untuk orang- orang yang ingin berpikir jujur dan memiliki humanisme tinggi agar terus berada dalam jalan Tuhan.

Buku ini terdiri dari delapan bab yang saling runut satu sama lain. Buku Menalar Tuhan ini diawali dengan sebuah pertanyaan mengapa dan bagaimana Tuhan perlu dinalar. Hal yang perlu digarisbawahi dalam pembuka tersebut adalah sebuah kenyataan bahwa seringkali manusia dengan cakrawalanya yang terbatas, mempertanyakan tentang apapun – termasuk Tuhan. Pertanyaan- pertanyaan tentang Tuhan dan proses pencarian jawaban tersebut adalah upaya untuk mempertanggungjawabkan keimanan seorang manusia terhadap agama dan Tuhan mereka. Bab selanjutnya adalah membahas tentang keragaman proses penghayatan manusia terhadap Tuhan. Secara gamblang, bab ini mengajarkan satu hal penting: setiap orang memiliki cara mereka dalam menghayati Tuhan. Keragaman ini seharusnya tidak membuat kita sempit dalam mengira bahwa setiap orang harus memahami Tuhan dengan kyakinan kita sendiri. Bab ketiga adalah tentang perubahan- perubahan mendalam dalam manusia kaitannya dengan modernitas dan apa dampaknya terhadap pengertian terhadap ketuhanan. Bab empat adalah gambaran secara umum terkait kritik terhadap konsep ateisme dan tokoh- tokoh kuncinya – Feurbach, Marx, Nietzsche, dan Satre. Bab lima adalah gambaran tentang konsep agnotisme dan kritik- kritik terhadapnya. Bab enam adalah cara- cara menuju “Jalan ke Tuhan” melalui argument- argumen ontologis, kosmologis dan argument teologis dalam melihat Tuhan secara empiris. Bab tujuh adalah pernyataan tentang bagaimana manusia berusaha menemukan makna ketuhanan dengan kesadaran hati nurani mereka. Sedangkan, bab terakhir adalah membahas tentang hubungan yang hakiki antara Tuhan dan dunia; bahasa dalam berbicara dengan Tuhan, kemahakuasaan Tuhan dalam proses penciptaan dan lain lain. Selain itu, yang paling krusial dalam penutup buku itu adalah bagaimana memahami Tuhan di antara sebegitu banyak penderitaan dan kejahatan di muka bumi.

Keterkaitan yang menarik dalam buku tersebut adalah tulisan yang menarik bagi mereka yang percaya maupun tidak percaya kepada Tuhan. Yang percaya tentu akan memperbaharui keimanannya – semakin bertambah tentunya. Sedangkan, yang tidak percaya, akan berpikir ulang tentang Tuhan dengan kekayaan kata- kata yang disodorkan dalam buku tersebut. Intinya, buku yang ditulis dengan kekayaan intelektual tersebut, bisa menjadi landasan rasional mengapa kita percaya kepada Tuhan – Tuhan yang satu.
Profile Image for Nadia Hana Hana.
Author 2 books7 followers
November 19, 2024
"Manusia tidak hanya ingin taat pada Allah, ia juga ingin mengerti apa yang ditaati."
"FIDES QUAERENS INTELLECTUM / FAITH SEEKING UNDERSTANDING / IMAN MENCARI PENGERTIAN"

Kenapa dalam keimanan harus "bernalar?"

Buku ini sedikit menyinggung kesan yang seringkali ditunjukkan para filosof; mereka sombong, karena alih-alih menerima ajaran yang ditradisikan, mereka justru mempertanyakannya. Tetapi mereka justru sadar bahwa iman yang tidak disertai nalar belum utuh. Mengutip buku ini, "Iman hanya utuh apalagi seluruh manusia terlibat, dan itu berarti bahwa nalar pun harus beriman. Dan nalar beriman dengan mengerti. Mengerti bukan dalam arti bahwa nalar mau memahami rahasia Ilahi, melainkan dalam arti bahwa apa yang diimani disadari tidak bertentangan dengan akal budi."

Manusia adalah makhluk yang tak pernah sampai. Tak ada pengetahuan apa pun yang bisa membuatnya tidak mau bertanya lebih lanjut. Mengapa demikian? Karena manusia memang memerlukan pengetahuan. Pengetahuan manusia selalu terbatas. Tetapi wawasannya tak terbatas. Manusia, lain daripada binatang, bahkan ingin tahu demi untuk tahu. Dan karena itu ia juga bertanya tentang Tuhan.

Buku ini juga membahas tentang Teosentrisme ke Antrosentrisme: Apapun dipertanyakan dari sudut pandang bagaimana kaitannya dengan Allah yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, dan menyelamatkan manusia dan seluruh alam raya (pada abad pertengahan). 400 tahun kemudian, manusia menjadi titik acuan manusia. Apapun dipertanyakan dari sudut pandang manusia, termasuk Tuhan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Daniel Pramudita.
4 reviews79 followers
June 23, 2017
Salah satu karya terbaiknya.

This book gives LOGICAL EVIDENCES (PETUNJUK), NOT PROOFS (BUKTI), of God's existence.
Sebagai konsekuensinya, penjelasan mengapa logis untuk tidak percaya kepada Tuhan juga dapat dijabarkan.

Tidak cocok untuk pembaca yang tidak mau mengkritisi kepercayaan/ketidakpercayaan manusia terhadap Tuhan, pembaca yang melihat terlalu dangkal, dan pembaca yang berharap bisa mendapatkan jawaban akan keberadaan Tuhan,
Profile Image for Fendy Saliem.
3 reviews
November 22, 2020
FMS tak membantah dan menjawab argumen langsung khas atheis, tapi memberi penjelasan alternatif yang tak mudah juga dibantah dan dijawab atheis. FMS brilian dan punya hati dan jiwa yang besar.
Anda mencari #bukti ? Cari buku lain
Anda mencari #petunjuk ? Buku ini wajib untukmu
Bukan buku Agama, tapi buku Tuhan
Profile Image for Geral.
53 reviews1 follower
September 26, 2025
Romo Magnis benar-benar mengajak kita sebagai pembaca untuk bernalar tentang ketuhanan. Seribu sayang penalaran saya belum cukup untuk memahami apa yang berusaha dipersoalkan dan dijawab di dalam buku ini. Seringkali bingung saat membaca setiap patah kata yang tertera😭😭. But overall buku ini menarik bangett buat didalami😇
Profile Image for Iren Gian.
30 reviews
June 16, 2023
Buku yang cukup menjawab pertanyaan logika saya personal tentang Tuhan, beberapa hal yang tidak terpikirkan akhirnya menjadi pandangan baru yang saya temui dalam mengenal Tuhan, buku yang berat namun cukup bisa dipahami karena pembahasannya yang logis.
84 reviews
July 31, 2022
Buku wajib baca untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Tuhan.
Profile Image for Dewo Pasiro.
Author 6 books4 followers
October 25, 2025
Setetes saja yang saya miliki dari luasnya lautan pengetahuan. Menalar Tuhan, ah, judul yang amat provokatif. Dari awal sampai selesai, saya suka gaya ilmiah dan penulisan Franz Magnis.
Profile Image for dill.
57 reviews
August 10, 2024
dulu takut bgt baca buku ni kalo lg ada ortu. bukunya tipis dan isinya ringan-ringan ajasih. ovr okelah.
Profile Image for Dinda Sigmawaty.
65 reviews16 followers
November 7, 2020
Buku ini berusaha membuktikan bahwa orang dengan akal yang sehat, yang mampu bernalar, yang mampu berfikir kritis dan nggak mudah percaya, tidak bertakhayul, hidup di alam modern dan menghayatinya sebagai lingkungan kultural biasa, berkomunikasi biasa dengan lingkungannya, kalau tetap percaya pada Tuhan, maka dia tidak melakukan hal yang aneh atau tidak masuk akal atau inkonsisten dengan kemodernannya.

Bahwa percaya akan adanya Tuhan adalah masuk akal.

Tapi buku ini direkomendasikan bagi orang yang percaya akan Tuhan dan ingin menalar apa yang diimaninya itu. Bagi yang sudah nggak percaya, nggak ada gunanya baca buku ini.
Dan kembali lagi, iman urusan masing-masing individu. Kalau seorang individu menerimanya, itu haknya, dan kalau dia meragukannya atau tidak percaya, tidak perlu diributkan.
Profile Image for Jordan Elang.
44 reviews1 follower
January 4, 2017
Saya begitu tertarik, ketika baru membaca kata pengantar dari buku ini. 'Menalar Tuhan, itulah yang sejak permulaannya menjadi obsesi filsafat.' Dan tidak butuh waktu lama, saya mengiyakan, menyetujui jika memang obsesi filsafat adalah menalar Tuhan. 'Mencari kebenaran' hanyalah analogi. Karena sejatinya kebenaran itu sendiri adalah Tuhan.
Benar memang sesuai yang dikatakan dalam buku ini adalah, kita orang yang beriman tidak akan pernah bisa memaksa mereka, golongan orang-orang yang tidak beriman. Tugas kita hanyalah mengajak mereka untuk beriman, tidak lebih. Dan tugas kita, bukanlah mengiyakan perkataan mereka yg tak beriman dengan ucapan. 'untuk mengejawantahkan kehadiran Tuhan. Maka hadirkan Tuhan sekarang.'
Dan, saya jadi ingin mengkritik keimanan seorang Soe Hok Gie, yang dia mengatakan kalau baginya, ia tidak percaya akan kehadiran Tuhan, dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran. Melainkan, secara tidak langsung ia menuhankan kebenaran. Tuhan baginya ialah representasi dari kebenaran. Namun tentu kembali lagi, ia masihlah tidak akan percaya dengan kehadiran Tuhan itu sendiri.
Bagi saya, Soe Hok Gie, telah melakukan fallacy disini. Seperti yang Romo Magnis bilang dalam bukunya, Kebenaran dan 'ADA' itu ialah Tuhan itu sendiri. Kita tidak dilahirkan di dunia dimana hanya ada Hitam dan Putih.
Saya rasa, buku ini patut dibaca untuk lintas agama, apapun agama anda, tidaklah masalah.
Saya (untuk saat ini) setuju dengan apa yang dituliskan oleh Romo Magnis dalam buku ini. Terlebih bahwa;Manusia berwawasan tak terbatas, sementara itu pengetahuan manusia selalu terbatas, maka dari itu sifat manusia adalah mencari tahu kebenaran untuk menguatkan pengetahuannya tersebut. Dan itu dilakukan secara terus menerus. Ad infinitum. Dan juga manusia yang kemudian pada hakikatnya adalah makhluk yang selalu bertanya.
Profile Image for Gabrielle.
39 reviews15 followers
February 26, 2016
Sangat amat jarang ada buku filsafat teologi yang bisa memberikan penjelasan , argumentasi, dan bantahan terhadap argumentasinya sendiri sebagus buku ini. Di saat buku filsafat teologi lainnya berakhir menjadi sebuah buku rohani, saya menemukan pemikiran yang dalam dan kegalauan para filsuf kuno dan modern dipaparkan dengan jelas oleh sang penulis. Menarik, karena menambah wawasan dan pemikiran, sama sekali tidak berusaha untuk membentuk/memaksakan sebuah dogma (tergantung level pembacanya). Ini buku filsafat.
Profile Image for Robin Hartanto.
39 reviews4 followers
December 29, 2011
Walaupun berurusan dengan hal yang sangat kompleks, penulis berhasil menuntun pembacanya (setidaknya saya) untuk menelusuri berbagai wacana tentang tuhan dengan jelas. Sangat baik sebagai buku teks maupun untuk dibaca kala senggang.
3 reviews
September 17, 2015
Saya baca dan saya masih tidak atheis. Meskipun Tuhan masih tak tertalar, namun kepercayaan atas eksistensinya semakin kokoh ditempa rasionalitas dan filsafat.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
April 14, 2017
Saya membaca buku ini setelah membaca God Delusion. Saya merasa perlu mencari argumen ilmiah mengenai eksistensi tuhan demi 'menyelamatkan' iman saya setelah 'digoyang'oleh Richard Dawkins. Dan ternyata saya tidak mendapatkan seperti yang saya harapkan. Menalar Tuhan disampaikan dengan pendekatan dan penalaran berbeda dari God Delusion. Romo Frans Magnis memakai perkakas penalaran filosofos untuk membedah ide ketuhanan. Namun, secara umum, ini buku yang sangat bagus mengenai eksistensi tuhan dari kacamata filosofis. Pada akhirnya, saya mengambil kesimpulan, ide mengenai eksistensi tuhan dan ide ketiadaan sesuatu yang adi-kuasa sama-sama memiliki argumen yang bisa diterima nalar.
Displaying 1 - 29 of 29 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.