What do you think?
Rate this book


224 pages, Paperback
First published January 1, 2006
Tidak ada pengalaman tentang Tuhan yang berdasarkan sebuah pengamatan. Semua pengamatan bersifat inderawi (baik indera luar maupun indera batin), padahal Tuhan bukan realitas inderawi. Hal mana tidak berarti bahwa tidak ada pengalaman tentang Tuhan. Pengalaman tentang Tuhan adalah transendental, artinya, Tuhan dialami sebagai syarat kemungkinan semua pengetahuan dan penghendakan manusia, tepatnya sebagai cakrawala di dalamnya penangkapan semua objek pengetahuan dan objek kehendak selalu sudah terjadi.Setelah itu, buku ditutup dengan pembahasan keberadaan kejahatan dan penderitaan yang disandingkan dengan sifat-sifat tuhan yang mahabaik dan mahakuasa. Yang bisa saya tarik dari pembahasan itu adalah, karena Tuhan menciptakan manusia untuk bisa melampaui dirinya sendiri, maka implikasinya adalah Tuhan menerima konsekuensi adanya manusia yang memilih jalan yang tidak sesuai kehendak-Nya. Adanya kejahatan adalah urusan Tuhan sendiri yang tidak bisa dijawab dengan filsafat. Namun adanya penderitaan yang membuat manusia sakit dan bersedih juga tidak bisa dijawab dengan filsafat, melainkan harus dialami sendiri dengan cara menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan (yang mana ini sudah merupakan ranah teologi).
...apabila Allah memang mau menciptakan alam raya sebagaimana kita mengenalnya, dengan manusia yang secara bebas dapat menjawab panggilan Allah, Allah tidak akan intervensi untuk mencegah keburukan, penderitaan, kejahatan, dan dosa yang secara hakiki menjadi mungkin dengan alam raya seperti itu. Bukannya Allah menghendakinya. Tetapi Allah tidak mencegahnya, karena Ia konsisten dengan kehendakNya untuk menciptakan alam dan manusia seperti itu.Kesan umum yang saya dapat setelah membaca Menalar Tuhan adalah pembahasan tentang keberadaan Tuhan beserta sifat-sifat-Nya tetap tidak menemukan jawaban. Namun, dengan pendekatan filsafat ini setidaknya saya jadi lebih mengetahui sejauh mana keterbatasan nalar manusia untuk memahami Tuhan secara utuh--yang walau saya lupa detil argumennya, tapi saya masih menangkap gambaran maksudnya. Jadi pemahaman saya tentang Tuhan tidak lagi sekadar membeo perkataan yang sudah-sudah.