Mochtar Lubis lahir tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Mendapat pendidikan di Sekolah Ekonomi INS Kayu Tanam, Sumatera serta Jefferson Fellowship East and West Center, Universitas Hawai. Aktif sebagai penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Jakarta. Memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan, Golden Pen Award dari International Association of Editors and Publishers, Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Hadiah Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia, Hadiah dari Departemen P dan K tahun 1975 bagi novelnya "Harimau! Harimau!", dan Hadiah sastra dari Yayasan Jaya Raya untuk buku terbaik tahun 1977-1978, tanggal 15 Desember 1979, untuk romannya "Maut dan Cinta".
Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: "Senja di Jakarta", "Jalan Tak Ada Ujung" (terbit dalam berbagai bahasa), dan "Etika Pegawai Negeri" (ed.bersama James Scott). Selain itu ada juga buku-buku tentang liputan dan pers, bacaan anak-anak, dan dua ceramah yang diterbitkan sebagai buku, yaitu "Manusia Indonesia" dan "Bangsa Indonesia". Semasa hidupnya beliau menjadi Anggota banyak lembaga penting, seperti Pimpinan Umum majalah Horison, Editor majalah Media (yang diterbitkan di Hongkong oleh Press Foundation of Asia); anggota Board of the International Association for Cultural Freedom, dan anggota Board of the International Press Institute (Zurich).
Beliau juga banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah lingkungan hidup dan masalah-masalah ekologi. Mengalami tahanan penjara selama 9 tahun (1956-1965) dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno; dan pada tahun 1974 mengalami dua bulan tahanan setelah terjadinya peristiwa "Malari" bersamaan waktunya dengan pembreidelan Indonesia Raya. Beliau juga pernah menjadi Direktur Yayasaan Obor Indonesia.
Bibliography: * Tidak Ada Esok (novel, 1951) * Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (1950) * Teknik Mengarang (1951) * Teknik Menulis Skenario Film (1952) * Harta Karun (cerita anak, 1964) * Tanah Gersang (novel, 1966) * Senja di Jakarta (novel, 1970) * Judar Bersaudara (children story, 1971) * Penyamun dalam Rimba (children story, 1972) * Manusia Indonesia (1977) * Berkelana dalam Rimba (children story, 1980) * Kuli Kontrak (1982) * Bromocorah (1983)
Sebuah catatan harian seorang generasi '45 yang menceritakan perjuangannya melawan rezim tirani kala itu dibalik dinding penjara. Lewat korannya Indonesia Raya, beliau ML berani meneriakkan kebenaran lewat kata-katanya dan akhirnya dipenjarakan akibat kejujurannya itu.
Seorang yang memperjuangkan hak-hak merdeka individu, kebebasan pers, free speach dll.
Catatan harian ini begitu memilukan dan mengagetkan meskipun diselingi beberapa humor. Benar-benar menceritakan apa yang sedang terjadi saat itu, dibawah rezim Soekarno yang dengan kekuasaanya berani mengkhianati UUD 45, merusak tatanan hukum, menghancurkan seluruh lawan-lawan politiknya maupun rakyat sipil yang dianggap tidak sejalan dengannya/mengkritiknya, dan menginjak-injak rakyat kecil yang lugu dan memberi kepercayaan kepadanya.
Semua kepercayaan rakyat itu dibalasnya dengan kebangkrutan negara pada semua tatanan, politik, ekonomi dan sosial.
Buku yang sangat direkomendasikan bagia siapa saja khususnya yang ingin terjun dalam dunia perpolitikan, agar tidak sesekali "menggadaikan" integritasnya kepada para penguasa demi materi dan kekuasaan.
Ijinkan saya quote dalam buku ini "better a poor but wise youth than an old foolish king"
pertama kalinya saya membaca tulisan mochtar lubis dan dari buku ini lah saya mulai membaca karangan mochtar lubis yg lainnya. hingga saya menjadikan beliau penulis favorit saya. dan inilah pertama kalinya saya membuka mata untuk rezim sukarno
Catatan harian Mohtar Loebis ketika ia dirumahkan di era Orde Lama. Di dalam 'pingitan" itu lahgir juga novel "Maut dan Cinta". Sayang ingatan saya lebih ke novel itu daripada ke jurnal harian ini. Entah diskusi yang selalu marak ketika murid-murid SMA Muthohari memasuki jam istirahat yang membuatnya lenyap tak berbekas. Yang jelas ini salah satu buku koleksi dari perpustakaan Kang Jalal di daerah Kiaracondong Bandung.
Catatan Loebis atas masa ketika negeri ini sedang bergeliat antara demokrasi parlementer atau megalomania dalam bungkus demokrasi terpimpimpin. Setiap episode sejarah memang mengandung pertentangan diantara anak-anak sejarahnya. Loebis menetapkan dirinya ada dimana. Sedikit dari sekian banyak memoar yang ditulis pada masa itu.
prison notes that reflect much of the turmoil of Indonesia in the 60s, quite a crazy time that is - combined with his thoughts and ideas for the young country - everyone should look for the grocery shopping list budget - it's a classic.
Buku ini sebenarnya buku harian, yang format penulisannya pun kronologis berdasarkan tanggal, bulan dan tahun. Mulai tanggal 22 Desember 1956 dan diakhiri tanggal 17 Mei 1966. Dalam beberapa catatan, Mochtar Lubis menyelipkan puisi-puisi perlawanan yang tak kalah memukau.
Sejumlah Terus
Hai, mengapa hari jadi suram Sedang matahari bersinar terik? Orang pada bermuka pilu Mata merah karena menangis Bung Sjahrir, Bung Sjahrir tak ada lagi Bapa kami, tangis dua anak kecil Suamiku, tangis seorang istri Bapa kami tangis berjuta rakyat Bapa kami tangis berjuta pemuda kawan dan saudara kami tangis yang sebaya yang sama berjuang dengan dia di zaman tirani Belanda, Jepang dan Indonesia Aduh, dia wafat jauh dari Jalan Jawa Dia wafat dalam sakit selagi tahanan politik Dikirim berobat ke luar negeri Sehabis tersiksa bertahunan di dalam negeri Mengapa begitu? Mengapa begitu? Seorang pendekar kemerdekaan manusia Indonesia Seorang pahlawan revolusi empat lima dapat ditangkap dan tersiksa dalam tahanan Difitnah penghalang revolusi, pengkhianat bangsa? Sedang dia selama hidupnya sejak mulai dari bangku sekolah memberi jiwa raganya untuk kemerdekaan bangsa? Mengapa begitu? Mengapa begitu? Mengapa banyak orang yang tahu menutup mata? Menutup telinga, mulut dan hati nurani? Pura-pura tak tahu kezaliman menindas pendekar kemerdekaan yang jujur dan berani? Mengapa begitu? Mengapa begitu? Dan kini setelah dia tak ada lagi Mengapa tiba-tiba diproklamirkan resmi jadi Mahaputra Bangsa yang mesti dihormati, Dikawal hormat ke Taman Pahlawan Mengapa begitu? Mengapa begitu? Oh, pemuda angkatan enam puluh enam Engkau mengerti, engkau mengerti Tanamlah di atas kuburnya bunga Kemerdekaan dan kemuliaan manusia, bunga kebenaran dan keadilan Bung Sjahrir, Bung Sjahrir Senyumlah, senyumlah terus di haribaan Illahi Difitnah penghalang revolusi, pengkhianat bangsa? Sedang dia selama hidupnya sejak mulai dari bangku sekolah memberi jiwa raganya untuk kemerdekaan bangsa? Mengapa begitu? Mengapa begitu? Mengapa banyak orang yang tahu menutup mata? Menutup telinga, mulut dan hati nurani? Pura-pura tak tahu kezaliman menindas pendekar kemerdekaan yang jujur dan berani? Mengapa begitu? Mengapa begitu? Dan kini setelah dia tak ada lagi Mengapa tiba-tiba diproklamirkan resmi jadi Mahaputra Bangsa yang mesti dihormati, Dikawal hormat ke Taman Pahlawan Mengapa begitu? Mengapa begitu? Oh, pemuda angkatan enam puluh enam Engkau mengerti, engkau mengerti Tanamlah di atas kuburnya bunga kemerdekaan dan kemuliaan manusia, bunga kebenaran dan keadilan Bung Sjahrir, Bung Sjahrir Senyumlah, senyumlah terus di haribaan Illahi