Novel ini mengisahkan kehidupan Barman (lelaki tua yang sudah pensiun) yang berlibur ke gunung (villa) bersama seorang gadis muda (Popi). Liburan itu menjadi bermakna dan merupakan pencarian hakekat hidup dan perburuan spiritual yang indah baginya. Kuntowijoyo mengisahkan dengan lembut dan penuh makna apa yang dikhotbahkan lelaki tua itu di atas bukit.
Kuntowijoyo was born at Sanden, Bantul, Yogyakarta. He graduated from UGM as historian and received his post-graduated at American History by The University of Connecticut in year 1974, and gained his Ph.D. of history from Columbia University in year 1980.
His father was a puppet master (dalang) and he lived under deep religious and art circumstances. He easily fond of art and writings and became a good friend of Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, and Salim Said.
His first work was "Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari".
Waktu baca novel Murakami yang Kafka on the Shore, saya cukup terkesan dengan salah satu karakternya yang seorang pelacur sekaligus mahasiswa filsafat. Humor ganjil Murakami ditunjukkan lewat karakter pelacur itu saat ia membacakan kutipan filsuf favoritnya supaya pelanggannya tidak cepat ejakulasi.
Nah, ternyata Kuntowijoyo sudah lebih awal punya ide karakter semacam itu lewat novel ini, yaitu seorang pelacur yang belajar filsafat yang bernama Popi. Diceritakan bahwa ia harus menemani dan melayani segala keinginan seorang pensiunan diplomat bernama Barman yang memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di sebuah rumah di pegunungan. Meskipun tidak ada adegan absurd seperti di novel Murakami tadi, novel ini penuh adegan-adegan ajaib yang cenderung mengawang-awang dan dialog-dialog filosofis. Semua hal tersebut cocok dengan latar cerita di pegunungan yang menghadirkan suasana magis dan misterius.
Jika mengacu ke Murakami lagi, latar pegunungan juga muncul di dua novelnya, A Wild Sheep Chase dan Norwegian Wood. Di kedua novel itu, latar pegunungan memberi dampak yang signifikan pada kondisi kejiwaan karakter-karakternya. Begitu juga yang terjadi di novel Kuntowijoyo ini. Berbagai renungan dan pencerahan menghampiri pikiran Barman setelah ia mencoba meresapi suasana alam pegunungan yang terbentang di sekitarnya. Pada akhirnya, lewat rentetan peristiwa yang dialami Barman, dapat dipahami bahwa hidup hanya kekosongan yang membuat manusia terasing dan kebahagiaan sejati hanya dapat diraih melalui kematian.
Ini novel yang menurut saya sangat personal dari Alm. Kuntowijoyo, cara penuturannya benar-benar berisikan kegundahan dari si penulis, sehingga harapan untuk melihat plot dan karakter tidak akan terlalu terlihat seperti novel pada umumnya.
Jujur saja, butuh kesabaran dan perjuangan yang ekstra ketika saya membacanya, karena selain alurnya sangat lambat saya juga belum menemukan sesuatu kejadian yang luar biasa dalam novel ini.
Mungkin hal ini karena saya sendiri sebenarnya lebih sering membaca novel dengan sistem alur, plot dan karakter yang pas. Saya rekomendasikan novel ini hanya untuk para perenung yang sedang galau saat ini, jadi jangan hanya galau saja, berpikir dan berkontempelasi juga perlu....
Setelah gagal memahami tulisan ilmiah Pak Kunto dalam Muslim Tanpa Masjid, saya mengambil jalan yang lebih mudah untuk memahami pemikiran beliau iaitu melalui penulisan kreatif. Justeru, sewaktu berkunjung ke Yogyakarta dan berkesempatan untuk singgah di beberapa toko buku di sana, saya tidak melepaskan peluang untuk mendapatkan beberapa novel beliau: Khotbah Di Atas Bukit dan Pasar. Mencari juga buku Pistol Perdamaian, tapi tidak diketemukan.
Khotbah Di Atas Bukit ialah karya (fiksyen) pertama Pak Kunto yang saya baca. Mengisahkan Barman, seorang tua yang memilih untuk mengasingkan diri di puncak bukit atas nasihat doktor. Di sana, beliau ditemani oleh Popi, seorang wanita muda yang cantik, bahkan berkelulusan filsafat! Menyelak helaian demi helaian, saya mulai menyedari bahawa ini bukan novel dengan bentuk yang konvensional yakni ia tidak memiliki plot, sebaliknya hanyalah lontaran persoalan demi persoalan seputar kehidupan. Misalnya, “Apa yang kaucari? Keindahan! Keabadian! Kehidupan!” (h. 39) dan banyak lagi.
Novel ini ialah karya yang membincangkan eksistensialisme (existentialism)—satu fahaman yang berakar daripada falsafah Barat yang menekankan bahawa kewujudan manusia itu sendiri yang membentuk dan mencorak kehidupan berdasarkan nilai, pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya.
Antara persoalan-persoalan yang dibangkitkan dalam eksistensialisme oleh Kierkegaard (1813-1855) ialah apakah tujuan manusia hidup, apakah peranan manusia dalam kehidupan, bagaimanakah kehidupan ini memberi makna kepada manusia dan semisal dengannya. Pokoknya, persoalan-persoalan yang seputar kewujudan, exist-ance.
Ada beberapa nama failasuf yang masyhur dengan cabang filsafat ini iaitu Jean-Paul Sartre, Albert Camus dan Friedrich Nietzsche (saya lebih cenderung untuk meletakkan Nietzsche sebagai nihilis seperti yang disepakati umum). Namun, perbezaan utama antara Sartre dan Camus ialah konsep humanisme dan absurdisme. Sartre dalam bukunya yang berjudul “Existentialism Is a Humanism” (tidak, saya belum baca buku ini) meletakkan bahawa manusia yang bertanggungjawab menentukan segala perbuatannya, sekaligus memberi makna kepada kehidupan ini.
Berbanding Sartre, Camus lebih ekstrem dengan mengatakan bahawa kehidupan ini absurd (mengarut, gila, tidak masuk akal, mendukacitakan dan nihil makna). Walaupun begitu, Camus masih menerima segala ke-absurd-an ini, seperti yang didapati dalam kalam masyhurnya, “One must imagine Sisyphus happy.” (Sisyphus ialah dewa dalam mitologi Yunani yang dihukum dengan menolak sebuah batu yang besar ke puncak bukit berulang kali).
Dalam bahasa yang lebih mudah berkenaan perbezaan eksistensialisme kedua-dua failasuf ini ialah Sartre mengatakan, “kita tentukan sendiri kehidupan kita” sementara Camus pula berteriak, “ah hidup ini tidak apa-apa, mengarut je. Buat apa kita hidup?”. Kurang-lebih perkataan mereka dalam bahasa saya sendiri.
Perkaitan kedua-dua pemikiran failasuf ini mengalir dalam novel. Ada yang mengatakan bahawa eksistensialisme dalam karya ini turut diadun dengan nilai-nilai Islam, namun saya tidak merasakan sedemikian. Namun, satu hal yang pasti, novel ini melambangkan sisi Pak Kunto bukan hanya sebagai seorang sastrawan, tetapi juga pemikir yang tulen. Wajarlah Mahfud Ikhwan mengidolakan beliau!
“Tinggalkan segala milikmu. Apa saja yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikmu.” (hlm. 71)
Humam dan petuah yang diturunkannya kepada Barman sedikit mengingatkan saya pada sosok Sidharta Gautama. Kepada Barman, Humam mengajarkan bagaimana melepaskan diri dari segala bentuk kepemilikan karena semua di dunia ini sejatinya bukan milik kita. Barman juga mendapatkan banyak pelajaran tentang menikmati waktu, seirama dengan alam, juga menghargai semua ciptaan. Ketika kita menikmati waktu, maka tak ada lagi yang namanya menunggu terlalu lama. Dan dengan menghargai setiap ciptaan, bahkan dalam kondisi kekurangan pun akan kita temukan keberlimpahan. Hidup itu seperti alir yang mengalir, yang airnya mengalir ke suatu tempat, sebelum akhirnya beralih rupa menjadi wujud lain sesuai takdir yang telah digariskan. Ketika kita selalu mengkhawatirkan miliki kita, maka kita akan sulit menikmati hidup yang sejati.
Bagiku, Barman tidak sedang berlibur bersama gadis cantik, Popi. Namun, ia mencoba membuka kehidupan lagi. Kehidupan sejati yang sudah lama tergerus dengan hiruk pikuk "santapan dunia". Seperti orang yang sudah lama tak menikmati air telaga karena terganti "oplosan". Barman mengira di bukit yang indah pemandangannya dan ditemani gadis cantik bisa mengobati jengahnya kehidupan. Tidak. Barman di bukit tak menemukan kenikmatan seperti yang ia bayangkan. Barman sudah loyo untuk menikmati popi yang gemulai. Namun,ketidakberhasilan mendapatkan harapannya, Barman menemukan telaga jiwa. Dialog-dialog yang membuatnya membongkar tentang makna hidup. Novel ini cukup manis untuk disimak. Penuturan yang lembut dan mengalir memikat pembaca untuk terus menyusuri jalan cerita. Dan yang lebih penting adalah selipin-selipin makna yang dituangkan penulis dalam setiap alur ceritanya. Kita bisa berguru dan merenungkan kembali perjalanan hidup kita. Mungkin kita juga seperti Barman, yang telah lama tertindih gebyar dunia, lama meneguk oplosan dan lupa akan segarnya air telaga yang sunyi.
Kita sebagai saksi dan pelaku cukup mengerti sebab-sebab berakhirnya sebuah hidup; tua, sakit kronis, kecelakaan, ataupun mengakhirinya sendiri. Pun kita paham bahwa hidup untuk banyak orang terasa seperti penderitaan yang menyeret-nyeret. Namun, tokoh-tokoh di novel ini, baik yang utama maupun sampingan, kembali mengingatkan kalau rasanya tidak ada seorang pun yang tahu pasti bagaimana cara menjalani hidup, yang repetitif, membosankan, dan harus kita maknai sendiri. Atau mungkin Barman benar?
Novel ini adalah risalah tentang dua dunia yang bertempur dalam diri Kunto: dunia akademis dan dunia sastra, dunia rasional dan dunia intuitif, atau bisa juga: dunia rasional dan dunia wahyu. Boleh jadi kelemahan terbesarnya adalah kecenderungan berdiskusi yang kuat dalam novel ini, dan bukan menekankan pada plot atau karakterisasi psikologis (bahkan yang kejiwaan dalam novel ini pun terasa condong konseptual), tapi tak apa juga. Setidaknya, Kunto di sini jujur memapar kegalauannya akan logika-dalaman dua dunia itu.
Slama proses mmbaca, pikiran sy berputar ke mana2. Stlh mmbacanya tuntas, sy merenung. Mncoba mmaknai utuh pesan.
Bukan, bukan krn mnemukan bhw 'tujuan hidup' yg sharusnya dicari & ditemukan manusia adl sprti tokoh Barman, tp justru mkin menyadari bhw manusia adl kefanaan dg realitas hdupnya sndiri. Dan sberapa pun kuatnya manusia, ia tak akn bs sampai kpd ksempurnaan hidup yg dicarinya. Tidak akan.
Maka jika kau tanyakn, knp hidup adl kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, ketidakbahagiaan, kesengsaraan, dll? Aku hanya bisa mnjawab dg : "That's life!"
Di dlm novel ini, secara implisit, Kuntowijoyo menyimbolkan keadaan dlm 3 tokoh utama. Popi, simbol kebahagiaan duniawi, ia mewakili kondisi kenyataan. Humam, simbol kesufian -- tingkat spiritualitas yg ingin dicapai manusia. Dan, Barman. Simbol manusia yg sllu berburu, mencari, & ingin mncpai tingkat spiritualitas yg lbh tinggi.
Maka, ktika Barman brtemu Humam, Ia mrasa inilah kedamaian, kebahagiaan, kesempurnaan yg ia cari. Utk mncapai itu, Barman hrs mengikuti 'jejak' Humam : utk mncapai kebebasan, Barman hrs bisa meninggalkan semua miliknya, krn kepemilikan itu belenggu -- trmasuk Popi (simbol ksenangan duniawi).
Namun, ketika Barman brada dlm situasi sprti Humam, pertanyaannya : Apakah ia bisa bebas? Bisa bahagia? Bisa damai? Kuntowijoyo menyampaikan : tidak! Saya sependapat.
Alur novel dibawa pd kisah, di mana Barman mndptkan 'pengikut' yg mnjadikn Barman sbg pemimpin utk membawa 'umat' menuju kebebasan. Bersama mlakukn perjalanan mnuju tmpt yg dianggap bs mmberikn kesempurnaan itu. Tp ketika prjlanan smakin sulit, Barman, sbg pemimpin, menyerukan, "Hidup ini tak berharga utk dilanjutkan!" lalu, "Bunuhlah dirimu!"
Konteks ini ingin dimaknai sbg keberanian, atau justru kepengecutan? Keduanya tak ada artinya. Sama saja. Hidup pasti berakhir dg kematian. Utk apa melakukan itu jika barangkali dia pun akan dtg sbntr lg, sengaja/tdk. Di sinilah jawaban, bhw manusia ttp manusia.
Lantas, kenapa manusia ingin belajar jd tuhan, jika belajar jd manusia saja msh selalu gagal?
Lenyap sudah keinginan Barman untuk hidup tenang bersama Popi di vila yang nyaman. Hari itu setelah Barman tua bertemu lelaki asing di bukit penuh rerumputan dan udara pegunungan yang menyegarkan, pikirannya kembali gelisah. Barman ingin mencari tahu siapa sebenarnya lelaki itu, dan mengapa ia terlihat begitu bahagia. Tentu saja Barman tak tahu bahwa kelak lelaki itu akan membuatnya kembali mempertanyakan makna kehidupan. Apa itu kesengsaraan dan apakah ia sebenarnya bahagia. Lebih dari itu ia akan mempertanyakan banyak hal ke banyak orang yang ia temui. Popi, kekasihnya yang cantik jelita dan setia bahkan tak sanggup menahannya untuk tetap kerasan di vila.
Novel Kuntowijoyo ini sebenernya jalan ceritanya sungguh di luar perkiraan saya. Apalagi bahasa yang ia gunakan cenderung indah dan memukau pembacanya. Jadi ketika sebenernya selesai membaca buku ini, saya agak bingung apakah yang saya baca barusan sebenarnya tragedi atau kisah cinta manusia dengan pencarian spiritualnya dalam hidup. Bahasanya bisa dibilang agak berat karena berbunga bunga tapi wajar digunakan karena jalan ceritanya memang cenderung filosofis. Pembaca diajak merenungi apa kebahagiaan dalam hidup ini seperti halnya Barman. Hidupnya bisa dibilang sempurna, ia berlimpah harta sehingga tak ada kesusahan berarti dalam memenuhi hajatnya. Wanita juga mudah dicari, anak juga sayang sama dia, tapi mengapa Barman masih merasa ada yang hampa dalam hidupnya? Apakah ini sama aja kayak kita-kita?
Tokoh tokoh dalam cerita ini juga ngga banyak, ya hampir keseluruhan memang cuma menceritakan Barman dan kegelisahannya sih. Untung bukunya ngga tebel tebel banget, karena kalau lebih tebal lagi saya yakin ngga bakal selesai bacanya. Padahal dulu dibeli pas masih fresh baru diterbitkan. XD
Dalam “Khotbah di Atas Bukit”, Kuntowijoyo bukan berkisah tentang Barman, lelaki pensiunan yang dipaksa hidup di atas bukit, dan Popi, kekasih muda sewaan anaknya, yang rajin bercinta sehari-semalam. Bagi para pembaca kritis, novel ini, sama dengan karya-karya Kuntowijoyo lainnya, bercerita tentang kebebasan pikiran dan hakikat kehidupan.
Dikisahkan kehidupan Barman yang serba kecukupan—simpanan melimpah yang diusahakan dari masa muda, anak yang menjamin segala keperluan, wanita cantik yang siap menemani di kala siang dan malam, dan sebuah rumah kecil di puncak bukit yang penuh dengan ketenangan. Saya rasa sebagian besar masyarakat perkotaan pasti mendambakan masa pensiunan seperti itu—termasuk saya. Tetapi Barman tua malah dibuatnya gelisah bukan main. Ia selalu teringat ajaran Humam, tetangga bukit sebelah, bahwa manusia tak bisa sepenuhnya bebas tanpa keberanian untuk melepaskan diri dari hal-hal duniawi.
"Milikmu sesungguhnya adalah belenggumu" - Khotbah di Atas Bukit. Lama sekali saya akhirnya membaca buku yang memiliki tingkat krisis eksistensialis sedalam dan seintens buku ini. Kita tahu linear hidup yang akan berujung pada kematian, entah melalui proses penuaan, sakit kronis; atau siklus hidup yang tidak terduga -- kematian mendadak bahkan hingga mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Namun sesungguhnya tidak ada yang bisa mengetahui bagaimana satu manusia menjalani lika liku hidupnya. Buku ini juga mengingatkan saya tentang pola hidup anti ngoyo, mengalir, tidak memaksa diri sendiri untuk membenahi segala sesuatunya dengan seorang diri. Seperti membenahi kabel yang kusut, atau pertemanan yang rumit dan hubungan lainnya yang toxic. Mirip seperti omelan ibu saya jika saya pulang kerja dengan muka kuyu dan minta kerokan. "Mbok dikurang kurangi ngoyonya. Mengalir saja." Mungkin dengan begitu hidup akan jauh lebih sederhana dengan menyederhanakan harapan. Mungkin.
Tadinya Rumah Villa yang dibeli Bobi diperuntukan untuk Sang Ayah-Barman-menghabiskan masa tuanya. Suasana khas pegunungan dirasa cocok untuk barman untuk membusuk disana, dan benar saja akhir hayatnya ia pun membususk dalam lubang 2x1 meter di atas bukit.
Sungguh memilukan, disaat pengikutnya mulai banyak.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kenapa ya saya tidak bisa menerima jalan cerita ini dengan baik? Kenapa saya merasakan pemain utamanya adalah lelaki tua yang gatal. Saya cuba dua tiga kali untuk berlapang dada tentang lelaki tua tetapi entahlah sangat sukar untuk dimasukkan ke dalam kepala. Bayangkan awal Januari saya mulakan pembacaan. Sekarang sudah September!
saya suka endingnya. adegan si perempuan yang kehausan keperkasaan lelaki. kemudian menubruk lelaki pertama yang ditemui, dan menggaulinya dengan beringas. sebuah kisah tentang pencarian hakekat diri oleh seorang pensiunan tua kaya raya. ditemani gadis cantik yang menjadi bidadarinya. ia menyepi di sebuah desa diatas bukit dengan lingkungan pertanian yang nyaman. kisah sufistik ini bergulir dengan alur yang enak diikuti, diselingi dialog sarat permenungan. buku ini masuk daftar buku yang tak bosan saya baca ulang
Bagi saya sih, makna buku ini yang sangat melekat adalah kesempurnaan hidup yang didapat lewat kematian. Tapi bukan begitu caranya kita menemui sang maut. Biarkan dia datang sendiri. Maut tidak akan salah mengambil nomor urut. Setiap kepergian adalah memang sudah pada waktunya. Tidak akan tertukar. Tapi memang, menangisi kepergian seseorang adalah sesuatu yang naluriah.
Ketika semua orang sibuk dengan dunianya. Pada suatu ketika mereka menawarkan kehidupan mereka, aku teringat lagi khotbahmu, Kek! Di bukit itu. Ya, di bukit sana. Bukan disini. Disini terlalu sesak dengan hiruk pikuk yang sedang memperdagangkan busa dan buih.
Sepertinya saya terlalu berlebihan memasang ekspektasi untuk novel (cerbung) ini. diawal, ceritanya cukup bisa diterima dan mengalir. tetapi di bagian akhir, saya agak sedikit kecewa. saya pikir akan memberikan hal yang berbeda atau luar biasa. ternyata, ... jadi cukup bintang 3 saja. :)