Hanya satu kata ini yang tepat untuk mengomentari kumpulan cerpen terbaru karya Djenar Maesa Ayu. Karya-karyanya yang berani membuat penulis perempuan ini sering dimaki sekaligus dicintai. Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia seperti Kompas, Republika, majalah Cosmopolitan, Lampung Post, majalah Djakarta!.
Buku pertamanya yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! telah dicetak ulang beberapa kali. Cerpennya "Waktu Nayla" menyabet predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003. Sementara cerpen "Menyusui Ayah" menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi majalah Jurnal Perempuan. Hampir semua tulisan Djenar menyingkap sisi kehidupan yang ditabukan oleh masyarakat kita. Pembaca yang baru mengenalnya akan terusik, bisa jadi merasa tertampar oleh cerpen-cerpen yang disajikannya dengan gaya pengucapan ekperimental dan inovatif.
Djenar Maesa Ayu mungkin hanya sekadar menyodorkan cermin kepada pembacanya. Cermin yang jujur dan menampakkan apa yang terjadi di hadapannya. Cermin yang selama ini terlarang untuk ditatap, mungkin....
Djenar Maesa Ayu started her writings on many national newspapers. Her first book "Mereka Bilang Saya Monyet!" has been reprinted more than 8 times and shortlisted on Khatulistiwa Literary Award 2003.
Her short story “Waktu Nayla” awarded the best Short Story by Kompas in 2003, while “Menyusu Ayah” become The Best Short Story by Jurnal Perempuan and translated to English by Richard Oh with title “Suckling Father”.
Her second book "Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)" was launch February 2005 and also received great success. The amazing part is this book reprinted two days after the launching.
Other books by Djenar: * Nayla * Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek
Hampir semua cerpen yang ada di buku ini aku suka. Terutama cerpen yang menjadi judul buku ini. Penuh teka-teki dan endingnya bagus banget. Ada juga cerpen yang nggak aku pahami banget, yaitu cerpen berjudul Cermin. Jadinya aku harus pergi ke halaman yang ditulis oleh Richard Oh lagi demi mendapatkan penjelasan. Dan sedikit banyak aku mulai mengerti, meski tetap nggak begitu sreg dengan alasan si gadis itu bunuh diri. Cerpen penutup buku ini juga nggak kalah bagusnya, tapi endingnya kurang berkesan.Lalu ketika membaca cerpen di mana benda mati semacam kursi, meja, dan juga penthouse bisa berbicara dan berperasaan layaknya manusia, aku jadi ingat sama cerita Semua Ikan di Langit-nya Ziggy. Mereka mirip si bus.
Cerpen-cerpen di sini memang banyak mengandung konten dewasa. Buat yang nggak terbiasa dan nggak terbuka dengan apa yang coba disampaikan oleh Djenar pasti nggak akan cocok dengan bacaan yang satu ini. Sekarang aku bertanya-tanya, kira-kira ini beneran ada di kehidupan nyatakah? Yang benar-benar mirip dengan ini, terutama yang terjadi pada Nayla? Memang sih udah sering dengar soal inses. Tapi ketika membaca soal itu, mengerikan banget.
Itu aja peringatannya. Karena buku ini lebih galak daripada anjing kompleks, lebih ignoran daripada "babi" yang sering nyampah di sembarang tempat, lebih berbahaya daripada naik motor tanpa helm, lebih nakal daripada menginjak rumput, dan lebih radioaktif daripada sinyal ha-pe.
PS. Cerpen favorit = "Menyusui Ayah" Serasa ditonjok. x(
Judul: Jangan main-main dengan alat kelaminmu! Penulis: Djenar Maesa Ayu Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Dimensi: ebook, 122 hlm, no ISBN
Ini adalah kali pertama saya membaca karya Djenar. Meski sering mendengar namanya yang cukup kontroversial, sebab ia dan ayu utami seringkali diidentikkan dengan sastra basah dan isu feminis. Pernah juga saya membaca cuplikan karya mereka dalam kritik sastra Helvy Tiana Rosa di bukunya yang berjudul "Segenggam gumam".
Buku ini sendiri merupakan kumpulan cerpen. Ada 11 cerpen yang isu utamanya berkisar pada perempuan, seks, dan pengkhianatan. Karakter tokohnya selalu mewakili keterasingan, kesepian, pengkhianatan, termarginalkan secara moral dan tentunya merupakan sosok yang kebanyakan dianggap negatif dan berperilaku tabu di masyarakat.
Dalam cerpen "Jangan main-main dengan alat kelaminmu!" dan "Staccato", saya menemukan gaya menulis kreatif yang mudah namun kuat, yaitu berupa pengulangan. Di JMDAK, pengulangan tersebut diulang hingga empat kali, mewakili empat tokoh, dan baru tertebak di tengah kalimat atau penghujung--kecuali tokoh istri, karena ia yang paling berbeda. Semua memakai sudut pandang orang pertama "saya". Sempat membuat saya terkecoh, mengira ada kesalahan teknis setiap di bagian kedua dan ketiga, yang ternyata berbeda tokoh. Awalnya saya hanya mengira tiga tokoh yakni suami, simpanan, dan istri. Ternyata tokoh kedua yang saya kira kesalahan teknis adalah tokoh sahabat suami. Sedangkan di staccato, lebih menarik lagi, karena hanya penggalan ingatan dalam frase yang perlahan sempurna menjadi kata. Persis bagaikan seseorang yang hangover di pagi hari dan berusaha mengingat kejadian yang dialaminya semalam.
"Mandi sabun mandi" menjadi unik dengan menghidupkan karakter meja dan cermin di sebuah motel murahan yang menjadi saksi komitmen rapuh dalam sebuah hubungan gelap. Bahkan di endingnya, tercipta twist yang menunjukkan hal tersebut.
Agak ironis bila mengingat cerpen "Moral" yang disindir penulis dengan tajam. Moral diperdagangkan murah dari harga seribu, tiga ribu, hingga diobral lina ribu tiga di DPR! Kalah sama harga rok mini sejuta sekian.
"Menyusu dengan ayah" adalah cerpen kesukaan saya di buku ini. Tokohnya yang sedari--bahkan sebelum--lahir memiliki ingatan kuat tentang peristiwa di sekitarnya. Begitu polos, naif, dan bodoh, mencoba mengganti kerinduannya akan sosok ibu dengan sosok ayahnya. Namun pengingkaran sang ayah, menjadikannya salah arah dan malah dimanfaatkan oleh teman-teman ayahnya, hingga ia bernasib sama dengan ibunya dan mengulangi nasibnya sendiri melalui calon anaknya.
Dalam "Cermin" penulis mengkritisi hubungan ibu dan anak yang terlihat hangat namun ternyata dangkal. Sindiran pun terasa dalam kalimat "...menatap cermin tanpa mau melihat bayangannya."
"Saya adalah seorang alkoholik" menggunakan teknik penulisan rewind yang cukup menarik. Kegelisahan dan nasib yang tak jelas ujung pangkalnya bagi seorang alkoholik dan pelacur yang sudah sering aborsi, tetap merasa kesepian meski ada perkumpulan rehabilitasinya.
"Saya di mata sebagian orang" berkisah tentang pelacur yang mengidap HIV, namun tetap saja berprasangka baik pada pelanggannya yang ia anggap teman. Malah ia menggugat masyarakat yang menganggap dirinya negatif dan menyalahkannya terus.
"Ting!" cukup mencitrakan tokoh sedikit baik dari sekian cerpen di buku ini. Seorang pelacur yang sedang cuti dan merutuki kilasan hidup serta pandangan orang yang berpapasan di dalam lift. Namun semuanya sirna saat ia disambut oleh kejernihan suara anaknya.
Impian murni yang diharapkan sebuah benda mati seperti "Penthouse 2601" harus ternoda oleh ulah para manusia yang disindir penulis dalam kata yang cukup vulgar, seperti binatang.
Cerpen terakhir adalah "Payudara Nai-nai" yang menjadi konflik sepanjang cerita. Sebab kontras doa yang terkandung dalam namanya dengan kenyataan yang dihadapi.
Secara keseluruhan, saya suka sekaligus sebal membaca buku ini. Suka akan teknik penulisan, gaya bercerita, pilihan kata dan judul, serta isu yang diangkat. Tapi saya juga sedikit jemu dan agak sebal pada tokohnya yang hampir mirip semua dan yang ditekankan memang lebih banyak perihal seksnya. Persis seperti yang dikontroversikan orang-orang. Namun, ada beberapa hal yang bisa saya jadikan pelajaran untuk dicoba dalam praktik menulis saya yang mungkin cukup monoton dan terlalu putih.
Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.
"Yaa...bertahan, bukankah hanya itu yang saya lakukan di separo perjalanan hidup yang melelahkan?" (Hlm. 65)
"...karena ternyata tidak semua orang mampu bercerita." (Hlm. 117)
[LITERA] Djenar, Sudut Gelap Hidup Anak, dan “Menyusu Ayah” Oleh Rohyati Sofjan
ADA hal menarik dari tema yang diusung Djenar Maesa Ayu, kecenderungannya untuk memaparkan masalah seksual, semacam kompleks kejiwaan dan selalu dialami seorang [anak] perempuan. Itulah yang akan saya bahas di “Menyusu Ayah”, salah satu Cerpen Terbaik versi Jurnal Perempuan 2002 yang masuk antologi cerpen Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Antologi cerpen terbitan Gramedia yang provokatif dengan sampul merah menyala dan seolah menantang pembaca untuk menyelaminya. Saya cenderung memandang karya Djenar sebagai semacam letupan-letupan yang mengasyikkan. Bahwa ia dengan tokoh-tokohnya seolah mengobrak-abrik tatanan moral yang penuh hipokrisi. Dan efek repetisi (perulangan) adalah semacam “bius” agar pembacanya bisa trance ke alam lain. Blak-blakan, memang. Namun bukankah dalam realitas sekitar pun hal itu bukanlah sesuatu yang asing? “Menyusu Ayah” terasa absurd alurnya. Namun absurditas itu tidaklah kental nuansanya. Rada mild. Kalau dibidik dari sudut pandang psikologis, tokoh aku-anak terasa “dewasa” dalam kenaifannya. Matang secara seksual sejak usia dini bukanlah hal ajaib lagi. Orang boleh saja merekanya sebagai fiksi, namun bukan mustahil apa yang dipaparkan Djenar sebenarnya merupakan sudut gelap dari kehidupan anak. Kita jadi ikut berandai-andai sebab pengandaian Djenar terasa menabrak pakem “tabu” namun mengena. Kalaupun tokoh utamanya terasa eksistensialis dan sibuk bergulat dengan pemikiran tentang dirinya di antara orang lain, itu merupakan pemikiran “asli” Djenar yang subjektif dan khas. Sesuatu yang disebut “warna jiwa” dalam bahasanya. Makanya saya tak keberaan dengan seksualitas yang diusung Djenar karena waktu kecil dulu pernah nyaris jadi korban pedofilia. Memang tidak parah karena waktu itu cuma dipangku kawan kakak perempuan saya, orang dewasa sekira 25-an. Waktu itu kami di kamar yang sepi, siang hari, dan kakak saya ada di kamar mandi. Tak tahu mengapa ia demikian, bersikap akrab atau apa, namun tindakannya terasa tidak wajar. Main pangku dan elus kepala segala, lalu pelukan dan elusannya terasa aneh, jadi saya buru-buru cabut darinya sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Alhamdulillah, selamat. Ini hanyalah salah satu contoh nyata, banyak contoh lain yang saya persaksikan. Antara fiksi dan fakta memang tipis selubungnya. Namun imajinasi pengarang menentukan peran: bagaimana popularitas sampai esensi cerita itu akan dicerna pembaca. Di sanalah Djenar memainkan psikologi tokoh-tokohnya dengan gaya tutur “saya” agar pembaca pun turut serta berperan sebagai tokoh utama atau memahami ada saya-lain yang tak terkira. Begitulah Djenar, memainkan karakter tokoh-tokohnya secara naif, lugas, keras kepala dengan prinsip hidupnya. “Menghardik” masyarakat yang punya pakem gelap-gelapan dalam hal moral dengan menyodorkan moral-lain versi dirinya. Terlepas dari tidak setujunya saya dengan prinsip demikian, namun yang menarik adalah hal tersebut bisa jadi merupakan fakta. Lalu, haruskah Djenar dikecam karena memilih angle macam itu dalam versinya? Bagian mana yang menarik dari cerpen itu? Kekuatan perempuan! Perempuan yang selama ini diposisikan sebagai “korban” bisa mengambil alih permainan selaku “pemeran”, terutama menghadapi lelaki berikut sesama kaumnya sendiri, baik secara personal maupun kelompok. Ketika direpresi, ia punya imajinasi akan kendali yang diyakininya untuk memutarbalikkan keadaaan atau setidaknya melunakkan tekanan dengan prinsip keras kepalanya bahwa ia bukanlah makhluk lemah. Orang lain boleh menganggap apa tubuhnya, ia sebagai pemilik tubuh punya hak akan memberi “jiwa” macam apa pada tubuh tersebut. Lalu Nayla pun dengan keras kepala meyakini prinsip dasar yang dianutnya: Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah. Saya mengenakan celana pendek atau celana panjang. Saya bermain kelereng dan mobil-mobilan. Saya memanjat pohon dan berkelahi. Saya kencing berdiri. Saya melakukan segala hal yang dilakukan anak laki-laki. Potongan rambut saya pendek. Kulit saya hitam. Wajah saya tidak cantik. Tubuh saya kurus kering tak menarik. Payudara saya rata. Namun saya tidak terlalu peduli dengan payudara. Tidak ada pentingnya bagi saya. Payudara tidak untuk menyusui tapi hanya untuk dinikmati lelaki, begitu kata Ayah. Saya tidak ingin dinikmati lelaki. Saya ingin menikmati lelaki, seperti ketika menyusu penis Ayah waktu bayi. (Hlm. 36-37) Dahsyat! Konsepsi pemikiran Djenar lewat tokoh Nayla dan struktur bahasanya yang penuh repetisi seakan hendak menegaskan keyakinan Sang Tokoh yang lugas dan tegas di balik citra “lemah”. Di sanalah Djenar bermain dengan tanda penis, air mani, susu, payudara, kencing berdiri, rambut, kulit, wajah, tubuh, dan sekian penanda lainnya; untuk mengingatkan bahwa hal tersebut eksploratif sekaligus eksploitatif. Lalu karakter Nayla, secara psikologis ia telah bicara banyak dengan prinsip-prinsipnya. Di balik keluguan, ia tengah mencerna hidangan pelajaran kehidupan. Dan perspektifnya mengenyakkan kita. Betapa Nayla pun bisa “dewasa”. Tapi tidak ada pesta yang tidak usai. Kebahagiaan adalah saudara kembar kepahitan. Ternyata orang dewasa lebih mampu berkhianat. Ternyata tidak semua orang dewasa hanya mau menyusu. (Hlm. 40) Siapakah pengkhianat itu? Pelan-pelan kita dibawa dalam setiap fragmentasi adegan dari halaman 41 s.d. 43. Ketika “menyusui” berubah jadi perkosaan. Sosok teman-teman Ayah ternyata berubah wujud jadi Ayah sendiri. Kita tak mengira bahwa pemerkosa itu ternyata harus orang yang dekat dengan Sang Nayla; figur pengayom pun ternyata melakukan lebih daripada apa yang dilakukan kawan-kawannya dalam hal “menyusui”. Di sana ada efek ketidaksadaran, pada mulanya Nayla merasa asing lalu kemudian ia mengenal baik siapa pelakunya: ayahnya sendiri! Sosok tersebut seolah ditampilkan dalam citraan “mimpi”, mula-mula samar lalu jelas setelah ada efek kesadaran. Serba mengawang. Di sana umpama tersebut saya paparkan untuk memberi kebebasan; pilihan rasa apa yang di benak Nayla -- juga kita, pembacanya? Yang menarik adalah Nayla masih bisa melakukan perlawanan di akhir adegan perkosaan tersebut: Tangan saya meraih patung kepala kuda di atas meja dan menghantamkan ke kepalanya. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum ambruk ke tanah. Matanya masih membelalak ketika terakhir kali saya menatapnya sebelum dunia menggelap. Pancaran mata itu, tidak seperti pancaran mata teman-teman Ayah yang lain. Pancaran mata itu, sama seperti pancaran mata Ayah. (Hlm. 43) Ia telah kehilangan kenikmatan menyusui. Dari “bayi”, ia berubah jadi gadis kecil yang didewasakan keadaan. Pada usia berapakah peristiwa tersebut terjadi? Yang jelas barangkali semasa akil balig, setelah masa menstruasinya, sebab pada akhirnya Nayla bisa hamil. Itu absurd. Mengandung anak dari ayahnya. Inses dalam pandangan seorang anak. Bukankah absurditas hidup itu kompleks? Sering kita temui dan baca hal macam itu. Namun Djenar memaparkannya dengan struktur cerita dan bahasa yang lekas. Eksistensialisme yang mandiri. Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah. Kini, saya adalah juga calon ibu dari janin yang kelak akan berubah menjadi seorang anak yang kuat, dengan atau tanpa figur ayah. (Hlm. 43) Getir namun optimis! Demikianlah membaca Djenar Maesa Ayu. Tema seksual tak bisa begitu saja dikategorikan amoral. Ia justru memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan moral. Tatanan moral yang jungkir balik dalam sisi gelap kehidupan. Sesuatu yang kita tolak dan sangsikan, namun sebenarnya senantiasa mengintai.*** Cipeujeuh, 3 Januari 2013
Buku yang sesuai dengan blurb di belakangnya, Shocking! Membahas sensualitas dalam kehidupan sehari-hari secara mentah-mentah, buku ini seakan mengajak masyarakat untuk melakukan refleksi sosial atas isu-isu 'kelamin' yang kerap ada di sekitar kita. Sebuah kumpulan cerpen yang menarik, unik, nyentrik dan thought-provoking.
Kalau dulu kita kerap dinasehati untuk tidak bermain air ("Nanti basah,") dan tidak bermain api ("Nanti terbakar,"), kini kita dinasehati oleh Djenar untuk tidak bermain dengan kelamin sendiri. Kenapa?
“Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-main, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan! Berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun? Ini tidak main-main!”
'Jangan Main-main dengan Kelaminmu' merupakan buku kumpulan cerita kedua Djenar Maesa Ayu yang pertama kali diterbitkan pada Januari 2004. Sama seperti tulisan-tulisan beliau sebelumnya, buku kumcer ini menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak biasa; disajikan dengan bahasa yang vulgar dan apa adanya.
Buku dengan sepuluh cerpen ini bercerita mengenai hal-hal dianggap tabu oleh masyarakat konservatif dikupas sampai ke bijinya oleh Djaenar. Tak tanggung-tanggung beliau mengeksplorasi sisi seksualitas para karakter. Tokoh-tokoh yang ia hidupkan melalui tulisan tidak mengemis simpati dan mengharapkan perhatian. Mereka tampil apa adanya dengan hasrat dan kedagingan yang ditampilkan secara frontal. Buku ini kian menarik saat beberapa cerita di dalamnya, seperti 'Penthouse 2601' dan 'Sabun Mandi Sabun', mengangkat benda mati sebagai tokohnya, turut melempar komentar sinis mengenai mereka yang hidup.
Cerpen pertama buku ini, yang judulnya digunakan sebagai judul buku, mengambil empat sudut pandang: seorang suami, seorang istri, seorang pelacur, dan seorang sahabat. Kisah yang ingin disampaikan sebenarnya sederhana: perselingkuhan seorang suami yang jenuh dengan istrinya. Namun, penceritaan ulang tiap paragraf melalui sudut pandang yang berbeda menggelitik emosi saya sebagai pembaca. Terlebih, Djenar amat brilian dalam memilih kata untuk mendekatkan tokoh dengan pembaca.
"Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah toko. Harganya seribu rupiah. Tapi karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu juta sembilan ratus sembilan puluh sebilan ribu delapan ratus rupiah, akhirnya saya memutuskan untuk menunda membeli moral." (Cerpen 'Moral')
Secara keseluruhan, Djenar berhasil mengambil hati saya melalui tulisannya yang jujur. Kerap kali ia membuat saya berpikir, "Ah, karakter-karakter ini bisa saja tengah berjalan di tengah kota gemerlap, atau sedang menghabiskan waktu di restoran sebuah hotel bintang lima." Inilah yang membuat tulisan Djenar semakin spesial: karakter yang ia pilih tidak sulit ditemukan di antara lautan orang dalam keseharian kita.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Beginilah Djenar; menerobos tanda baca, bermain dengan kata seolah sedang merapal mantra. Sayangnya terkadang sulit dicerna, seperti hidangan spesial di restoran mewah, terlihat sangat lezat tapi tidak selalu nikmat rasanya. Bagaimanapun juga, aku suka Penthouse. Seolah-olah Djenar bisa memanusiakan tumpukan batu-bata.
Bagi Djenar eufemisme tak lebih dari pengaburan realita. Bahasa yang gamblang adalah cermin bagi mereka yang ia gambarkan sebagai orang-orang yang bersikukuh dengan pilihan hidupnya. Getir. Pun kokoh.
"Ini tidak main-main!" Kata bercetak tebal dengan warna merah yang tercantum pada belakang buku memberikan penegasan bahwa jangan main-main dengan buku ini, karena buku ini bukan mainan. Penegasan yang jelas bahwa buku ini TIDAK DIPERUNTUKKAN bagi mereka yang naif, menganggap dunia ini masih waras dengan segala gemerlap. Buku ini merupakan pemaparan ironik yang nyata, walaupun fantasi membumbui setiap ceritanya (tentu saja), namun apa yang ada dalam novel ini mungkin saja terjadi. Dalam bahasanya yang vulgar, buku ini menyindir habis-habisan kehidupan orang-orang (terutama Indonesia yang masih dikenal dengan sopan santun timurnya).
Jujur saja, saya cukup kaget ketika membaca buku ini. Kevulgaran bahasanya menanjak daripada buku sebelumnya, Mereka Bilang, Saya Monyet! buku ini memaparkan segalanya dalam bahasa tersurat, bukan tersirat. Namun, buku ini tidak hanya bermain dalam kevulgaran bahasa, melainkan dari sisi perasaan peran yang terlibat di dalamnya.
Cerpen paling sinting menurut saya: Menyusu Ayah. Busyeeettt, bahasanya alamak-terang-terangan-sekali. Cerpen yang paling saya suka: Staccato , Moral dan Penthouse 2601. Cerita-cerita yang lain: Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu), Mandi Sabun Mandi, Cermin, Saya adalah Seorang Alkoholik!, Saya di Mata Sebagian Orang, Ting! serta Payudara Nai Nai adalah cerpen yang tak terlupakan - mungkin bakalan lupa juga lama-lama, tapi bila Anda menyodorkan bukunya, saya akan segera ingat dengan cerpen-cerpen di atas.
Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) adalah kumpulan cerita pendek yang menyinggung hal tak biasa. Jangan Main-Main dengan buku ini. . . Buku ini tidak memiliki gigi, ia tentu tak bisa menggigit. Buku ini tidak memiliki bisa, tentunya tak ada racun didalamnya. Buku ini hanyalah mengangkat isu yang sangat tidak biasa. Topik-topik yang membuat kedua alisku menyatu, membuatku tak berhenti menyerngit.
Kumcer yang paling menarik perhatianku adalah Menyusu Ayah. Ada pepatah berkata,"Tak ada rotan, akar pun jadi." Dalam cerita Menyusu Ayah, tak ada air susu ibu, air mani ayah pun jadi. Tak usah dibayangkan, hanya mengucapkannya pun aku sudah mual. Well, sekali lagi aku camkan, Jangan Main-Main dengan buku ini, juga dengan kelaminmu, tentunya.
Jangan Main-Main dengan kelaminmu karena itu bukanlah sebuah mainan. Yah, walaupun banyak pria maupun wanita yang sering tidak peduli dan justru menjadikannya sebagai alat permainan mereka. Tak peduli apakah mereka sudah menikah, masih lajang, ataupun masih dibawah umur. Tentunya mereka semua memiliki tujuan yang berbeda-beda.
"Jaman sekarang laki-laki lebih takut bikin bunting perempuan ketimbang kena penyakit!"
Dengan personifikasi, benda-benda mati seolah bernyawa dan dapat berbicara. Jika semua dinding, meja, cermin, dll bisa berbicara, mungkin akan banyak pria beristri/wanita bersuami yang ketahuan tidak setia. Apa yang salah dengan para pria dan wanita tersebut? Mereka miskin moral. Buku ini cukup mengungkap fakta yang terkubur oleh gemerlapnya dunia.
Kita tahu, Kita tidak tahu, Kita tahu tapi tidak mau tahu. Kita tidak tahu dan tidak mau tahu.
Kumcer kontemporer yg mengulik masalah seks, perempuan, perselingkuhan dan moral. Semua diceritakan dengan gamblang tanpa ditutup-tutupi, dan dengan cara penyampaian yg sangat unik. Misalnya dlm cerpen utamanya, JMDK, suatu insiden diceritakan dari sudut pandang 4 orang berbeda, dalam bentuk repetisi-repetisi. Pembaca harus pandai2 membedakan agar tahu 'siapa yg sdg berbicara' saat itu. Unik. Keren.
Pengulangan yg berkali-kali juga digunakan dalan cerpen STACATTO. Di sini repetisi digunakan untuk menimbulkan kesan yg makin lama makin klimaks, lalu meledak di endingnya.
Selain menggunakan cara penyampaian spt itu, Djenar jg sering mengambil tokoh penyampai cerita yg tak lazim. Dalam MANDI SABUN MANDI, meja dan perabot hotel lainnya menjadi saksi perselingkuhan seoran suami. Atau dalam cerpen favku di sini, PENTHOUSE, si kamar hotel itu sendiri yg muak bercerita ttg pesta hura2 dan pergaulan bebas yg dialaminya.
Satu cerpen yg jg sangat unik dan bertema lain, adalah MORAL yg dijual obral tp tetap kalah laku dr secuil rok mini yg berharga jutaan. Menyentil sekali!
Ini pertama kalinya membaca cerita dari Djenar Maesa Ayu. Kenapa? Karena hanya buku ini yang terbuka sampulnya di toko buku ketika sedang menunggu jam bioskop yang masih 2 jam lagi.
Judulnya jelas provokatif. Sedangkan mengenai cerita-ceritanya...
Rata-rata memang cerita pendek di buku ini berkaitan dengan isu seksualitas dengan fokus di (mungkin) salah satu fakta yang agak menyedihkan bahwa manusia dikontrol oleh nafsu birahinya. Tema perselingkuhan, incest, pergaulan bebas, prostitusi semuanya diangkat oleh Mba Djenar ini.
Untuk saya sendiri: cukup dibaca satu kali. Bukan karena tidak bagus. Cerita pendeknya tidak bertele-tele dan sangat mudah dimengerti. Namun agak membuat sesak karena seakan-akan hidup ini dipenuhi orang-orang yang otaknya bukan 'di atas' tetapi 'di bawah'. Memang hal-hal ini nyata dan benar terjadi.
Intinya: kekacauan moral.
Pesannya: saya tidak tahu apakah Mba Djenar hanya sekedar eksplorasi tema cerita ini dan ingin memberitahukan kepada pembacanya bahwa hal ini benar-benar nyata dan ada di sekitar kita.. atau dia hanya ingin bertanya:
"Setelah membaca ini, masih mau menjadi orang ngaco?"
Walaupun ia merupakan karya indonesia pertama yang menjadi bahan bacaan, tulisannya terus dan lantang, jadi senang sekali untuk saya menghadamnya. Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) bukanlah berkisar perihal seks semata-mata (yang digambarkan tajuknya) tetapi banyak mengangkat isu psikologi wanita dan kehidupan sosial di bandar yang pada saya digarap dengan baik. Ada 11 cerpen semuanya, dan antara yang menarik hati ialah Cermin, Saya Seorang Alkoholik! dan Ting!
Baca ini karena direkomendasikan di r/indonesia. Di negeri yang penuh orang-orang bertopeng moral dan sopan santun, buku ini adalah bacaan wajib. Kalau harus mendeskripsikan buku ini dengan satu kata, itu adalah berani.
Ada beberapa cerita yang benar-benar menunjukkan apa yang sering dibilang dengan 'kebobrokan moral bangsa'. Tapi cerita ini diambil dari sudut pandang berbeda, perlahan demi perlahan, supaya kita mengerti dan bisa bersimpati. Ada juga cerita yang benar-benar menyayat hati, seperti 'Menyusu Ayah'.
Saya menikmati Djenar! Banyak orang menjadi kurang suka, mungkin karena dianggap terlalu vulgar dan kurang cocok dengan budaya timur. Tapi buat saya Djenar berbeda. Ceritanya boleh Anda bilang vulgar, isinya seks terus, dan lain sebagainya. Tapi itu toh nyata dalam hidup, maknanya bukan sekedar hubungan badan. Di setiap cerita, ada makna yang lebih mendasar, yang perlu lebih dicermati.
Saya terkejut ketika membaca buku ini.... terkejut karena belum pernah membaca karya Djenar. Banyak bercerita masalah perempuan,perselingkuhan,seks dan digambarkan dengan bahasa gamblang. Djenar memang ahlinya.
Download e-book nya di site free download. Keseluruhan cerpennya menceritakan tentang sex&relationship yang aneh dan ga lazim. Penulisannya bagus. Paling suka gaya penulisan Djenar di cerpennya yg berjudul Staccato.
Djenar memang penulis yang bagus dan kreatif. Dan berani. Hanya aku merasa agak terpenjara oleh tema-tema dan karakter-karakter yang ada di buku ini. Yes, it was shocking, and then?
Lebih 'galak' daripada buku yang pertama. Membaca ini rasanya benar-benar seperti 'dijejelin' sama realita yang ada di keseharian, yang ditabukan dan yang tabu.
Kota besar menyuguhkan kemewahan. Gedung-gedung pencakar langit, mal di setiap penjuru, dan mobil mewah yang berseliweran di jalan raya. Namun, ironinya di balik kemewahan tersebut moral sebagian warganya dipertanyakan. Ada yang menutupi-nutupinya, ada pula yang menyodorkannya tanpa bungkus karena ingin tampil apa adanya. Sikap kaum yang terakhir inilah yang disodorkan Djenar Maesa Ayu dalam karyanya bertajuk “Jangan Main-main (dengan Kelaminmu)”
Judulnya menurut saya sangat vulgar. Saya menebak-nebak apakah isi novel ini hanya berkutat dengan hal-hal yang dianggap tabu dibicarakan luas di masyarakat, ataukah judul tersebut merupakan metafora yang lain. Dan rupanya Djenar memang ingin bermain-main atau mungkin ingin mengetahui reaksi dari masyarakat terkait dengan novelnya ini. Karena sudah ada novel atau buku lainnya yang juga mengupas hal-hal yang serupa maka novel ini meluncur dengan mulus. Masyarakat sudah makin permisif dengan novel-novel atau buku bertema sejenis.
Saya mengkategorikan novel ini novel pop. Judulnya mengundang rasa penasaran. Sayang isinya tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan karya Djenar sebelumnya, Mereka Bilang Saya Monyet, yang sudah saya baca sebelumnya. Tetapi, ada dua hal yang sama dengan dua novel ini, sama-sama mengupas ironi di masyarakat dan isinya bagi saya mudah dilupakan. Kurang berkesan.
Novel Jangan Main-main dengan Kelaminmu ini terdiri dari berbagai kumpulan cerita pendek. Sama seperti tajuk novelnya, rata-rata judulnya juga vulgar. Ada beberapa judul yang ‘biasa’ seperti Moral, Alkohol, Staccato, dan Sabun Mandi. Namun isinya masih berkaitan dengan tema pokoknya.
Di cerpen berjudul Moral, Djenar mempertanyakan nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa tahun terakhir, moral seakan dijadikan pakaian luar dan diperdagangkan, nilainya bisa naik atau turun atau bisa jadi diobral, bergantung pada peminatnya. Dalam kisah ini, tokoh wanita merasa enggan membeli moral meskipun harganya masa itu masih rendah, hanya Rp 1 ribu. Ketika ia berkunjung lagi, nilainya sudah Rp 3 ribu, namun ia masih enggan untuk membelinya. Ia menganggapnya hanya sebagai aksesori. Si wanita yang hendak berpesta sangat terkejut ketika hampir seluruh tamu pesta semua mengenakan moral sebagai aksesori.
Sementara di cerpen lainnya berjudul Stacatto, Djenar mencoba bereksperimen dengan gaya penceritaan yang mirip dengan istilah musik, yang bermakna dimainkan pendek terputus-putus dan tersentak-sentak. Sengaja ia membuat narasi yang beberapa bagian mengalami repetisi, maju beberapa saat kemudian direpetisi lagi, dan lagi. Eksperimennya cukup unik meskipun saya tidak merasa terkesan dengan isi ceritanya. Eksperimen ini akan lumayan bagus jika diekspresikan dalam bentuk film pendek.
Djenar mencoba lagi melakukan eksperimen di Jangan Main-main (dengan Kelaminmu). Kali ini ia mencoba gaya bercerita dari berbagai sudut pandang dan narasinya terkesan diulang-ulang. Ini tidak enak dibaca kecuali dibuat dalam bentuk fragmen atau diterjemahkan dalam bentuk film.
(Buku ke-4 di 2021: Eka Kurniawan - Corat-coret di Toilet dan buku ke-5 di 2021: Jostein Gaarder - Dunia Anna. Tapi kedua buku itu tak ada di Googreads. Januari.)
Buku ke-6 di 2021 - Februari
Dua hal yang paling menarik dalam kumcer ini; tema-tema inovatif yang kerap kali dianggap tabu oleh masyarakat kita dan teknis kepenulisan Djenar yang bervariatif. Kumpulan cerpen yang didominasi oleh cerita-cerita seksualitas, menjadikan nama Djenar sebagai penulis perempuan pemberani sekaligus kontroversial. Seperti halnya pembaca dapat melihat kehidupan perempuan pekerja seks dalam cerpen Ting!, pembebasan terhadap tubuh mereka dalam hubungan seksual di cerpen Staccato, Saya di Mata Sebagian Orang, dan Penthouse 2601, pengkhianatan suami terhadap istri mereka dalam cerpen Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu) dan Mandi Sabun Mandi. Juga bagaimana kalimat/paragraf repetitif dalam beberapa cerpen makin mempertegas narasi. Seperti cerpen yang juga menjadi judul buku ini, menggunakan kalimat hampir sama dari empat sudut pandang tokoh; suami, teman suami, pacar suami, dan istri suami. Berputar-putar tapi malah membuat cerpen ini padat dan menarik. Tapi di akhir cerpen, pacar suami dan istri suami membebaskan dirinya dari lelaki bajingan itu. "Sudah saatnya saya bertindak tegas. Saya berhak menentukan dan memilih kebahagiaan saya sendiri." Contoh lainnya dalam cerpen Menyusu Ayah. Kalimat kuat dari tokoh perempuan, diulang sampai tiga kali, "Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki." Juga pada cerpen Staccato.
Cerpen Menyusu Ayah yang mendapatkan penghargaan sebagai Cerpen Terbaik 2002 adalah salah satu cerpen dengan imajinatif terliar dalam buku ini. Nayla, perempuan yang mengalami kekerasan seksual oleh teman Ayahnya sampai membuatnya hamil. Semenjak kecil, ia mengisap penis Ayah, teman-teman sebayanya, dan teman-teman Ayahnya sebagai pengganti payudara ibunya yang meninggal ketika melahirkannya. "...saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah."
Tidak ada yang tabu dalam hal seksualitas. Pertanyaannya justru, mengapa kita menganggap seksualitas sebagai hal tabu? Bukankah munafik jika kita menganggapnya demikian, sebab kita justru lahir dari hubungan seksual? Bukankah anggapan kita terdengar kontradiktif, sebab banyak dari kita yang menggilai kenikmatan seksual tapi malah menganggap membicarakan seksualitas itu tabu? Djenar hanya menyuguhkan tokoh-tokoh yang sesungguhnya ada di sekeliling kita melalui cerita, merekonstruksinya dengan imajinasi dan realita. Djenar, "...sekadar menyodorkan cermin kepada pembacanya. Cermin yang jujur dan menampakkan apa yang terjadi di hadapannya. Cermin yang selama ini terlarang untuk ditangkap."
Novel ini, secara satir, menggambarkan realitas pahit dan perilaku manusia yang terjebak dalam permainan cinta dan seks yang dangkal. Dengan gaya penulisan yang tajam, Djenar mampu menciptakan karakter-karakter yang bukan hanya antihero, tetapi juga mencerminkan ketidakberdayaan individu di tengah norma sosial yang mengekang.
Di balik narasi yang provokatif, Djenar menyoroti bagaimana para tokoh terjebak dalam hubungan yang tampaknya remeh namun berbahaya. Mereka berkelit dengan kata-kata manis, seolah-olah berusaha membenarkan tindakan mereka yang seringkali tidak bermoral. Misalnya, ada yang dengan percaya diri berargumen bahwa hubungan mereka bukan sekadar "main-main," padahal realitanya adalah penipuan diri yang terus berlangsung.
Novel ini berfungsi sebagai cermin bagi masyarakat yang terlalu fokus pada penampilan fisik dan kesenangan sesaat. Djenar mengolok-olok obsesi masyarakat terhadap kesempurnaan, dengan menggambarkan karakter-karakter yang terperangkap dalam rutinitas menjengkelkan — dari senam kebugaran yang sia-sia hingga keluhan tentang penampilan pasangan yang semakin menua. Di sini, Djenar seakan bertanya, "Apa arti cinta jika yang dicari hanya fisik semata?"
Lebih lanjut, Djenar menunjukkan ironi dalam pencarian kebebasan individu. Karakter-karakter dalam novel ini mengklaim bahwa mereka bebas memilih, tetapi kebebasan tersebut justru terjebak dalam siklus ketergantungan dan pengkhianatan. Mereka berjuang untuk eksistensi, namun dalam prosesnya, sering kali mengorbankan moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan.
Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) bukan hanya sekadar kumpulan cerita tentang hubungan seksual, tetapi juga kritik tajam terhadap cara pandang kita terhadap cinta, seks, dan moralitas. Dengan humor yang menyengat dan sarkasme yang cerdas, Djenar mengajak saya merenungkan kembali nilai-nilai yang sering kali kita anggap remeh. Dalam dunia yang penuh permainan ini, satu hal yang pasti: jangan pernah main-main dengan kelaminmu, karena di baliknya tersimpan kompleksitas yang jauh lebih dalam.
Sebuah judul buku yang menarik perhatian. Dan isi buku yang layak diperhatikan, meskipun ‘katanya’ tak mengemis perhatian. Djenar dalam bukunya kali ini menampilkan perhatian yang nampaknya sering ia amati dan resahkan. Bagi kamu sekalian yang merasa begitu miskin secara materi, bagi kamu sekalian yang merasa hartanya tak habis-habis, dan bagi kamu yang merasa berada di tengah-tengah kondisi materi tersebut. Djenar melukiskannya dengan anggun melalui kata per kata, kalimat per kalimat, alinea per alinea, cerita per ceritanya. Eeaaa. Ia begitu getir, begitu marah, begitu sedih. Membuat pembaca tidak bisa duduk diam dengan tenang ketika membaca. Menohok, menyayat, mengiris, menjambak, menabrak, menjilat! Hahhhh..!!!!! Ini adalah buku yang mengajak para pembaca tidak hanya membaca, tapi juga membuka mata. Pembaca yang belum tahu banyak tentang Djenar barangkali akan memandang sebelah mata, buku macam apa, namun akan dibuatnya membuka mata setelah membacanya. Djenar menyampaikan hal-hal yang tidak ingin dibicarakan kebanyakan orang secara terbuka dan terang-terangan. Pembaca yang telah mengetahui Djenar akan menyipitkan mata dan siap menyergap segala kejutan yang ia hadirkan. Buku ini ada sebelas cerita jika saya tidak salah menghitung. Gaya penceritaan Djenar juga cukup inovatif, tidak banyak ditemukan dikalangan penulis Indonesia (sok tahu haha). Djenar adalah warna jika saya tidak berlebihan atau berkekurangan untuk memberi kesan. Dan mengangkat alis sembari manyun barangkali ekspresi yang tepat setelah menyelesaikan buku ini. Dengan bergeleng-geleng setelahnya. Buku yang direkomendasikan untuk khalayak yang sudah bisa membaca!
Buku ini merupakan kumpulan cerpen dari Djenar yang pertama saya baca. Bahasanya yang santai, dan pedas menjadikannya related dengan kondisi masa kini. Terutama drama hidup wanita kota, Perselingkuhan, Pelacur, Kekerasan Seksual, Alkohol, menjadi hal yang tidak diterima masyarakat namun mereka lakukan.
Dalam buku ini terdapat 11 cerpen yang akan membuat kita sadar, naif jika kita mengatakan dunia ini tengah baik-baik saja. Cerpen Jangan Main Main dengan Kelaminmu membuka buku ini dengan sebuah peringatan, plot twist yang dihadirkan menjadikan saya lega membacanya. Sementara menyusu ayah menyuguhkan cerita pengulangan nasib, seorang anak dengan ingatan yang kuat ditinggal mati ibunya dan harus hidup dengan sang ayah. Tapi apa yang ayahnya lakukan hanya menjadikan anaknya mengulngi nasib sang ibu. Disisi lain Moral hadir dengan harga diobral. Lebih murah dari rok mini yang sengaja tidak makan agar bisa dikenakan. Masih banyak pesan tentang seksualitas yang diangkat Djenar dalam buku ini, seperti ; Staccato, Mandi sabun mandi, Cermin, Ting, Saya seorang alkhoholik, dan Saya dimata sebagian orang. Jika kalian telah sampai di Penthouse 2601, kita akan menemukan sebuah kamar mewah yang kesepian. Pada akhirnya buku ini ditutup dengan payudara nai-nai. Dimana Nai kecil menghadapi ejekan teman temannya tentang bagaimana seharusnya wanita terlihat. Tapi Nai mampu meruntuhkan itu semua dengan ceritanya. Ya benar, karena tidak semua orang mampu bercerita. (Hal 117)
Seperti itulah Djenar dan tulisannya, dicaci kontroversi, tapi tetap dicari dan dicintai.
Sudah lama tidak menikmati sastra yang unik dan liberatif. Saya cukup menikmati sebelas cerita pendek di dalamnya, jujur, frontal dan nyata. Tidak akan hanya menyinggung Ibukota, dimanapun ada manusia, pasti ada.
Cerpen 1 (sesuai judul buku): Pesan yang diantarkan penulis sama dengan cerpen 2 kurang lebih sama, jangan main-main dengan hubungan yang sejak awal dimula atas formalitas 'keseriusan'.
Cerpen 3: Moral mudah didapatkan, apalagi jika berurusan dengan kerah putih.
Cerpen 4: Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anak, koreksi. Orangtua adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Anak adalah titipan Tuhan.
Cerpen 5: Sebaik-baiknya orang tua bukan hanya orang tua, tapi sahabat untuk keturunannya.
Cerpen 6: Berisi kegelisahan seorang alkoholik dan pelacur. Sesuai banget baca ini sambil ternginga-ngiang lirik lagu 'Kupu-kupu Malam'.
Cerpen 7: Sukses membuat saya tergelitik tawa pada endingnya kalau sejak awal tipe pembacanya menaruh ekspektasi bahwa kemungkinan ada perubahan positif. Nyatanya: tidak diharapkan!
Cerpen 8: Maha benar netizen dengan segala firmannya.
Cerpen 9: Sebejat-bejatnya kamu, pasti ada suatu objek tempat kamu berpulang.
Cerpen 10: Patriarchy does very well.
Cerpen 11: Pesan yang diantarkan kurang lebih seperti cerpen 4, atas pengaruh faktor lingkungan eksternal.
It was amazing. Sebelas cerpen yang tidak main-main, yang kesemuanya memang pantas dilabeli untuk dewasa. Buku pertama Djenar Maesa Ayu yang saya baca dan tidak kecewa karena ternyata menarik. Kesemuanya diceritakan dengan sudut pandang yang tak biasa dengan penyampaian istimewa. Membacanya jadi ikut merasakan menjadi manusia yang berbeda, manusia yang modern, manusia dari dunia yang berusaha saya pahami asal muasalnya. Dalam kumpulan cerpen ini juga bisa ditemukan manusia modern secara keseluruhan. Kehidupan sosial dan interaksi dengan diri sendiri yang bisa ditemukan disekitar kita menunjukkan kegamblangan kumcer ini. Yang paling menarik perhatian saya adalah "Moral" yang sedang diskon limaribu tiga dan "Cermin" yang terus ditatap tapi tak menemukan bayangan sendiri. "Payudara Nai Nai" menjadi penutup yang cerdas dengan tantangan yang terselip disana: tidak semua orang mampu bercerita, lantas berceritalah. Bagi yang tidak gampang mendiskriminasi dan/atau belajar menuju golongan tersebut, buku ini bisa jadi pilihan. Tentunya kalau kalian sudah dalam tahap dewasa. Atau belajar menuju dewasa.
This entire review has been hidden because of spoilers.