Jump to ratings and reviews
Rate this book

Hujan Kepagian

Rate this book
These short stories are eyewitness account from the frontlines of the War of Independence, the period of time where Indonesians declared war against the Dutch forces (the latter seek to regain control of the archipelago post World War II's defeat of the Japanese). The stories are more about the personal struggles of the individuals involved in the battlefields, not the heroic elements of war. The stories also reflect the author's personal experience having to join his schoolmates in the trenches in their early teens without his father's approval, being reminded of his little sister at home, and the painful memories of losing his friends in the line of fire.

67 pages, Paperback

First published January 1, 1958

58 people are currently reading
944 people want to read

About the author

Nugroho Notosusanto

36 books16 followers
Dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah 15 Juli 1931, dan meninggal di Jakarta, 2 Juni 1985. Karya-karya sastrawan dan sejarawan yang pernah menjabat Rektor Universitas Indonesia (1982-85) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1983-85) ini antara lain: Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959), Rasa Sayange (1961), Hijau Tanahku Hijau Bajuku (1963), Norma-norma dasar Penelitian Sejarah Kontemporer (1978), Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang (1979), Sejarah dan Sejarawan, Tercapainya Konsesus Nasional 1966-1969 (1985), Sejarah Nasional Indonesa I-IV (bersama Marwati Djoened Poesponegoro), dan sejumlah karya terjemahan.
Adalah Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah era orde baru yang menggagas didirikannya sebuah museum untuk mengabadikan peran TNI dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ahli sejarah bergelar Profesor Doktor itu memang punya hubungan yang erat dengan TNI, ia pernah menjabat Kepala Sejarah ABRI, Pengajar SESKO ABRI, juga pengajar pada Lemhanas.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
129 (45%)
4 stars
78 (27%)
3 stars
48 (16%)
2 stars
15 (5%)
1 star
14 (4%)
Displaying 1 - 30 of 49 reviews
Profile Image for A.J. Susmana.
Author 3 books13 followers
May 17, 2014
Perempuan di Tengah ‘Hujan Kepagian’


Hujan Kepagian melukiskan heroisme Tentara Pelajar dalam membela kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Demi tanah air dan masa depan generasi berikutnya yang lebih baik, para pelajar muda-remaja berumur belasan tahun ini rela berkorban dan pergi selamanya di saat usia masih pagi.

Hujan Kepagian, ditulis oleh Nugroho Notosusanto, partisan perang kemerdekaan yang juga anggota Tentara Pelajar dengan apik, menyentuh dan tajam. Bagaimana Nugroho menggambarkan seorang tentara pelajar heroik yang terluka, menahan sakit, nyeri dan bagaimana luka-luka digambarkan dengan detail hingga tumbuh kengerian pada pembaca, bisa dibaca pada cerpen “Senyum”, cerpen paling panjang dibanding kelima cerpen lainnya dalam kumpulan ini. Nugroho Notosusanto yang dikemudian hari di masa Orde Baru menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini pun tak ragu menggunakan ungkapan kasar khas rakyat tak terpelajar: Asu! dan sebagainya.

Hujan Kepagian juga punya visi luas terhadap kemanusiaan seperti bagaimana memperlakukan tawanan dalam cerpen “Pembalasan Dendam”(h. 35-47): Con tak jadi menghabisi tentara Belanda yang tertangkap dan memilih “mengembalikan” ke pangkuan ibunya walau hatinya penuh amarah dan dendam pada tentara Belanda karena saudara kembarnya dibunuh dengan cara yang menyakitkan yakni ditusuk dengan pisau bayonet di depan mata kepalanya sendiri. Juga pada cerpen “Bayi”, kemanusiaan didahulukan. Dua Pengintai dari pihak-pihak yang berseberangan menghentikan tembak-menembak dan bersama menolong Mbok Simin dan bayinya.

Di balik heroisme Tentara Pelajar, Hujan Kepagian juga tampak memberikan gambaran negatif bagi kelaskaran. Barangkali rakyat bersenjata masih terlalu pagi bagi Republik dan bisa membahayakan karena hanya ingin mengambil keuntungan pribadi sebagaimana gerombolan yang dipimpin Jayeng Bledeg dalam cerpen “Pembalasan Dendam”. Pun Hujan Kepagian menganggap masih terlalu pagi untuk perempuan bersenjata terlibat dalam perjuangan bersenjata di garis depan. Hujan Kepagian walau menyandang gelar Pelajar akhirnya juga menyerah terhadap dua takhyul yang berkembang selama revolusi fisik. Yang pertama tidak boleh ada dua saudara kembar dalam satu pasukan karena salah satu pasti menemui ajal, seperti dalam cerpen “Pembalasan Dendam”. Yang kedua, sex sebelum nikah di garis depan atau front adalah konyol dan akan membawa kematian konyol bagi pejuang yang dianggap tidak suci dan tak mampu mengendalikan hawa nafsu sebagaimana dalam cerpen “Konyol”.

Bila menengok sejarah perjuangan nasional, kita melihat bagaimana kaum perempuan diundang terlibat 100 persen tanpa diskriminasi dalam melawan penjajahan. Kartini, seorang perempuan pula yang memberanikan diri mengundang seluruh Rakyat untuk turut bekerja agar Habis Gelap Terbitlah Terang dan menjadi Ibu gagasan bagi kaum pergerakan kemerdekaan nasional begitu memasuki abad ke-20 yang gemilang. Di samping itu tidak kurang contoh pemimpin perempuan berdiri tegak melawan penjajahan di garis depan di abad sebelum Kartini seperti Christina, Cut Nyak Dien, dan Nyi Ageng Serang. Pun banyak organisasi perempuan didirikan untuk melawan kolonialisme dengan sadar.

Karena itu, tidak heran bila pada Pemberontakan Nasional 1926, kaum perempuan pun terlibat. Dari periode ini kita kenal Munasiah dari Jawa Tengah dan Sukaesih dari Jawa Barat yang turut dibuang ke Digul. Dalam suatu kongres perempuan di Semarang tahun 1924, keduanya menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang memajukan hak-haknya agar tidak disisihkan. Mereka juga memimpin demonstrasi di Semarang tahun 1926 dengan mengenakan “Caping Kropyak” atau topi bambu menuntut perbaikan kondisi kerja buruh perempuan. Munasiah pun berkata: “Wanita itu menjadi mataharinya rumah tangga, itu dahulu! Tapi sekarang wanita menjadi alat kapitalis. Padahal jaman Majapahit, wanita sudah berjuang. Sekarang, adanya pelacur itu bukan salahnya wanita tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme.”

Perjuangan Nasional yang selalu mengundang tanpa membedakan jenis kelamin untuk terlibat membuat UUD Proklamasi 1945 pun tidak mengkhususkan perempuan dalam pasal-pasalnya. Perempuan sudah turut ambil bagian dalam revolusi nasional karena itu berhak juga menikmati hasil dan kemenangan revolusi nasional. Revolusi itulah yang membuat Perempuan setara dengan lelaki. Karena itu pasal-pasal UUD 1945 selalu berbunyi: Setiap warga negara berhak….atau setiap warga negara sama..tanpa menyebut jenis kelamin.

Barangkali disadari, terutama oleh Bung Karno, bila Perempuan yang telah dibebaskan oleh revolusi nasional dari belenggu faham dan adat tua: perbudakan, patriarkhi, feodalisme,kolonialisme dan terus bergerak melawan kapitalisme dan imperialisme belum menyadari betul posisinya sebagai manusia merdeka. Bung Karno mengejar kekurangan tersebut dengan segera mengadakan kursus-kursus politik perempuan ketika Ibu kota Republik dipindah ke Jogja. Kursus-kursus itu bertujuan memberanikan kaum perempuan terlibat dalam menuntaskan perjuangan nasional, mempertahankan Negara Nasional: Negara Persatuan Nasional antara lelaki dan perempuan seperti dua sayap burung yang terbang sempurna menuju tujuan hakiki kemerdekaan nasional yakni masyarakat adil dan makmur atau sosialisme indonesia. Materi-materi kursus itulah yang kemudian dibukukan di bawah judul Sarinah, perempuan dari golongan “wong cilik” yang turut membesarkan Bung Karno dan mengajarkan untuk selalu mencintai “orang kecil”.

Dari sekilas soal kepemimpinan dan keterlibatan perempuan jauh sebelum perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, apakah gaung harumnya dan undangan untuk terlibat jiwa-raga dan sadar mempertahankan negara Republik tidak sampai di garis depan revolusi yang heroik dan seakan dikuasai laki-laki? Memang sangat sedikit catatan atau berita Perempuan membangun laskar bersenjatanya sendiri dalam revolusi nasional; terlibat di garis depan memanggul senjata mempertahankan kemerdekaan baik dalam Pertempuran Surabaya atau pun pertempuran lainnya. Kebanyakan sebagaimana sering diungkap, perempuan ada di garis belakang; bekerja di dapur umum, palang merah dengan Selendang Sutra; menjadi pendukung yang penuh kerinduan dan cinta dalam Sapu Tangan atau menjadi kurir yang bisa saja penuh resiko.

Karena itu, dinilai masih terlalu pagi bila perempuan menikmati hujan anugerah untuk terlibat dalam perjuangan pembebasan dan terlibat dalam revolusi nasional memanggul senjata bersama lelaki di garis depan mempertahankan Kemerdekaan. Bukan sambutan hangat dan bahagia dari Lelaki yang menemukan sayap sempurnanya untuk bekerja-sama dan bersatu menuntaskan perjuangan nasional tapi justru pelecehan dan pemerkosaan yang bahkan berulang terhadap Perempuan di Garis Depan (h.48-54). Tidak tanggung-tanggung pelakunya adalah pemuda dari Laskar Buruh, yang dalam rumus marxisme dianggap sebagai kelas pelopor revolusi, yang pertama kali dipercaya untuk menjadi sandaran perempuan. Suasana berikutnya di garis depan, perempuan justru menjadi sumber masalah dan tak menjadi bagian yang turut mencerahkan dalam perjuangan revolusi nasional dan ada nada penyesalan mengapa perempuan ada di garis depan? Menyesali dan menangisi keperawanan yang hilang lantas main hakim sendiri?

“Dia punya Vickers Jepang di bawah jasnya. Dia tak segan-segan menembak, dan selalu luput dari hukuman. Pemuda yang memperkosanya ditembaknya mati ketika bertemu di front Surabaya. Dia tak apa-apa. Aku sendiri pernah ditembaknya ketika mendekati dia waktu mandi. Pikir sendiri, perempuan di front!” (h. 50)

Tidak lebih baikkah perempuan di garis belakang sebagaimana Ibu Jon dalam “Senyum” (h. 9-23), yang selalu merestui, menyayangi dan mendoakan atau Titi, gadis Palang Merah dalam “Konyol” (h.24-34) daripada di garis depan yang selalu mengundang energi negatif?

Di garis depan, bila pun perjuangan harus suci yang mengamankan perempuan dari lelaki-lelaki jahat yang hendak mengambil keuntungan pribadi dari perempuan, mau tak mau kembali menyudutkan perempuan karena pejuang lelaki yang mati konyol tetap menjadi pahlawan sementara perempuan aman di garis belakang dengan berbagai macam tuduhan atau kembali ke posisi: perempuan semestinya menjadi ibu yang baik, melahirkan dan membesarkan para pejuang dan para pahlawan, merestui, mendoakan, merawat dan memanjakan lelaki pejuang.

Dalam cerpen” Senyum”, di desa yang pernah menjadi front pertempuran digambarkan bagaimana rakyat desa tersebut mengalami perubahan dan bersiap menghadapi Pemilu pertama Republik, 1955:

“Jiwa penduduknya berubah..Bahwa ia punya almari palang merah berisi obat-obatan dan pembalut di mejanya penuh berserakan buku-buku dan brosur-brosur butahuruf PPK serta selebaran Pemilihan Umum di mana dulu hanya terdapat tembakau krosok di dalam slepen dan teko berisi teh encer, hanyalah tanda-tanda lahir dari perubahan jiwa. Perubahan-perubahan yang hakiki tampak, kalau mereka berbicara tentang koperasi, transmigrasi dan pajak seperti ekonom sejati dan membicarakan arti republik serta kesehatan rakyat seperti negarawan yang berpengalaman. Dan betapa bangganya mereka akan gedung SMP baru yang kira-kira lima tahun yang lalu dimulai pelajaran-pelajarannya oleh anak Mobilisasi Pelajar. (hal .11)

Hujan Kepagian dicetak pertama kali tahun 1958, tiga tahun sesudah pemilu. Jadi tampak jelas betapa dinamisnya kehidupan politik rakyat termasuk di desa-desa sesudah perjuangan fisik dihentikan dengan “Penyerahan Kedaulatan” ke Republik melalui Konfrensi Meja Bundar, 1949. Antara tahun 1957 sampai 1958, politik anti modal asing dan kehendak berdikari juga menguat yang berpuncak pada pembatalan perjanjian KMB 1949 dan menasionalisasi perusahaan imperialis Belanda. Karena itu membaca Hujan Kepagian sebenarnya juga membaca arus ideologi politik yang berkembang di sebelah kanan. Akan berbeda, kalau kita membaca pergulatan jiwa di sisi lainnya.

Melalui puisi Sugiarti Siswadi: Kebebasan, yang ditulis pada 31 Mei 1958 dan disebar-luaskan melalui Majalah Gerwani: Api Kartini-No 5 Th II, Mei 1960, kita mendengar seruan sadar agar perempuan tanpa ragu bertempur-bersenjata di garis depan.

“Kebebasan telah mengubah wajah dunia
dirajainya otak, hati dan kepribadian
disingkapnya kabut di gunung, di lembah, di pantai, di ladang, di pabrik, di kota-kota,
dan di hati kami, wanita.

Kini kami bukan lagi
hanya melahirkan prajurit pekerja
kami adalah prajurit pekerja
bukan lagi hanya isteri pahlawan rakyat
kami adalah pahlawan rakyat

Dan jika nanti benteng jaman tua sudah hancur
perkasa berdiri kubu pekerja di persada tanah airku
kami bukan lagi hanya penabur bunga
membaca doa dan meratapi kehilangan
kami adalah sebagian anggota pasukan yang terdepan”

Hujan Kepagian sudah berkali-kali naik cetak. Hujan Kepagian yang dibaca ini adalah cetakan ke sembilan dan diijinkan untuk menjadi bacaan kaum terpelajar di Sekolah Menengah Pertama. Sayangnya, sampai sekarang, politik bacaan belum bergerak ke arah demokratis. Akibatnya akses bacaan kaum terpelajar terhadap bacaan alternatif sangat terbatas kecuali rajin mencari bahan di internet. Kondisi ini tentu saja merugikan kerja pembangunan bangsa untuk memperkuat kepentingan nasional, memperkuat persatuan nasional antara lelaki dan perempuan di tengah pergaulan internasional yang juga berubah karena perempuan di garis depan akan selalu dianggap terlalu pagi, belum saatnya, belum waktunya.

Perempuan di garis depan saat ini tidak harus diterjemahkan dengan memanggul senjata tapi juga menjadi pemimpin-pemimpin politik, Presiden, wakil rakyat, ketua partai. Kepala Keluarga dan seterusnya. Betapa sedih bila sampai sekarang setelah 69 tahun menjadi Republik, Perempuan “dicalegkan” pun sekadar pelengkap administratif agar Partai peserta Pemilu tak didiskualifikasi karena telah menempatkan jumlah caleg perempuan sesuai kuota. Akibat yang terjadi: bukan kader perempuan partai yang terbaik yang dicalegkan seringkali malah anak perempuan, adik perempuan, keponakan perempuan, atau istri pimpinan partailah yang dicalegkan tanpa pertimbangan ideologi, politik dan organisasi tapi semata-mata mengamankan kekuasaan pribadi. Yang penting duduk.

Perempuan di garis depan juga masih terlalu pagi di abad 21 ini?

Jakarta, di Bulan April 2014

AJ Susmana, Pengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/...
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Profile Image for Inggita.
Author 1 book21 followers
August 17, 2007
It's never easy to read stories about war. Especially when personal sacrifices, broken dreams, rape, lost youth, are highlighted alongside deaths. Some cliche and propagandist lines aside, the readers immediately feel that the situations described in the shorts, sometimes comic and sometimes intense, but always tragic, were based on actual experiences in the trenches.
43 reviews
May 30, 2024
“Berkorban adalah sifat manusia yang sangat memperbedakannya daripada hewan.” 😬

keren tp rada bingung sm latar waktunya 😁
Profile Image for Clavis Horti.
125 reviews1 follower
March 8, 2024
Buku Hujan Kepagian adalah sebuah karya sastra yang memuat enam cerita pendek yang disusun oleh tangan cendekia Nugroho Notosusanto. Diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, Jakarta pada tahun 1958, buku ini menjadi saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah.

Cerita-cerita yang terhampar di dalamnya membawa pembaca dalam perjalanan emosional yang mendalam, mengisahkan tentang zaman di mana gemuruh senjata menggema di antara lapisan awan mendung masa agresi Belanda pada tahun 1947-1949. Setiap cerita, dihias dengan latar belakang yang menggambarkan keganasan zaman, membawa kita berkelana dalam pusaran perang yang membara.

Buku ini dengan tajam mengarahkan sorotan kepada para tentara, khususnya para tentara pelajar, yang turut berperan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Mereka, yang semula hanya mengejar cita-cita ilmu di bangku sekolah, berubah menjadi pejuang yang tangguh, siap menghadapi bahaya demi kemerdekaan bangsanya. Sebagai ujung tombak dalam pertempuran melawan pasukan Belanda, mereka menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan dan semangat juang yang membara.

Dengan narasi yang memukau, pembaca dibawa merasakan getirnya perjuangan yang dijalani oleh para pejuang kemerdekaan. Mereka, bukan hanya pelajar, tetapi pahlawan yang rela mengorbankan segalanya demi cita-cita luhur bangsa. Di setiap halaman, terpahatlah kisah keberanian yang menginspirasi, di mana segala rintangan dihadapi dengan kepala tegak dan hati yang kokoh.

Namun, di balik keberanian dan semangat juang, buku ini juga menyingkapkan sisi lain dari perang, menggali masalah-masalah sosial yang tersembunyi di balik gemerlapnya medan pertempuran. Norma-norma yang seharusnya menjadi landasan bermasyarakat, seperti norma kesopanan dan norma kesusilaan, terkadang terabaikan di medan perang.

Selain itu, buku ini tidak hanya menggambarkan keganasan pertempuran, tetapi juga menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang tetap bersinar di tengah kegelapan perang. Meskipun terlibat dalam pertempuran yang mematikan, namun tetaplah terlihat kilauan kebaikan hati yang muncul dari para pejuang, menghadirkan harapan di tengah-tengah keputusasaan. Dengan memperkaya narasi melalui penceritaan yang penuh warna, buku ini memperlihatkan segala sisi kompleks dari perang kemerdekaan, mengajak pembaca untuk merenung dan mengapresiasi keberanian serta pengorbanan para pahlawan bangsa.

Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh menyukai buku ini. Sudut pandangnya yang unik dan bahasanya yang kaya akan daya tariknya sendiri, tak terkecuali tema-tema yang diusungnya. Bahasa yang digunakan sungguh memesona dan mengalir dalam balutan sastra lama yang mengingatkan pada gemerlapnya masa lalu. Saat kita terhanyut dalam aliran narasinya, kita akan menemukan banyak kata-kata dan objek yang khas pada zamannya. Mulai dari merek kacamata hingga permen, bahkan hingga sepatu yang menjadi penanda khas zamannya. Senjata-senjata yang digunakan pun tidak luput dari perhatian, menghadirkan nuansa autentik dari masa perjuangan tersebut.

Walau demikian, di tengah keindahan alur cerita yang menghipnotis, tak terelakkan pula terdapat sejumlah kesalahan penulisan serta pemakaian bahasa yang tak selalu sesuai standar. Barangkali hal ini disebabkan oleh fakta bahwa buku ini terbit pada masa lampau, di mana mesin tik, norma-norma tata bahasa, dan kaidah penulisan belum secanggih dan seketat masa kini. Meski demikian, hal ini justru menjadi bagian dari keaslian dan keragaman buku tersebut, menyiratkan nuansa nostalgia akan zamannya, di mana kebersamaan dengan kekurangan dan kejelasan masih terasa hangat dalam benak para pembaca.

Dari lubuk hati yang dalam, saya sungguh terpukau dengan cerita pendek yang pertama, yang berjudul “Senyum”. Pesan yang terkandung di dalamnya sungguh menyentuh hati saya dengan dalamnya. Terpaparlah di hadapan mata saya gambaran yang menggetarkan jiwa, menceritakan kisah seorang pejuang yang meski terluka, masih mampu menyunggingkan senyuman di bibirnya. Senyum itu bukan semata upaya untuk menyembunyikan luka, melainkan juga merupakan bentuk keteguhan hati dan semangat yang tak pernah padam, meskipun badai datang menerpa.

Selain itu, “Perawan di Garis Depan” juga menempati tempat istimewa dalam hati saya. Meskipun saya masih merasa sangat kesal dan marah di mana perempuan harus menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi bahkan saat berjuang melawan penjajah. Saya sungguh mengutuk tindakan keji mereka, yang tidak layak disebut sebagai manusia. Cerita ini menggambarkan tragedi yang menyayat hati, di mana seorang perempuan yang seharusnya diberi perlindungan dan penghormatan malah menjadi sasaran kekejaman dan pelecehan.

Melalui lapisan-lapisan cerita yang dalam dan mengharukan, buku Hujan Kepagian tidak hanya sekadar merupakan himpunan kisah perjuangan, melainkan juga sebuah refleksi yang memantulkan kompleksitas manusia dan perang itu sendiri. Setiap lembarannya dihiasi dengan kisah-kisah yang menggugah hati, mengajak kita untuk memandang baik sisi terang maupun sisi gelap dari perang dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan membius pembaca dalam gelombang emosi yang mendalam, buku Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto memberikan pelajaran berharga tentang nilai-nilai kemanusiaan dan keberanian yang harus senantiasa kita junjung tinggi dalam lembaran sejarah bangsa kita.

Dan aku merangkak terus. Aku lupa kepada sakit, aku merangkak terus. Dan aku lihat di puncak Bukit Kuwuk, Tati berdiri berpakaian putih dengan pita merah di rambut dan ikat pinggang merah melilit pinggangnya. Ia menari-nari kegirangan, di tangannya sebuah batu tulis.
25 reviews1 follower
November 6, 2019
Novel ini menceritakan tentang kisah kakak beradik yang hidup dalam penderitaan. Jamin adalah nama kakaknya dan adiknya bernama Johan. Ayah dan ibunya bernama Bertes dan Mina yang kemudian ibunya yang baik hati dan penuh kasih sayang itu meninggal karena sakit akibat memikirkan kelakuan suaminya yang semakin hari semakin buruk. Ayahnya yang sudah lama mabuk-mabukkan menjadi lebih beringas. Bertes menikah dengan Inem, seorang perempuan yang punya sifat berkebalikan dengan ibunya. Ibu tirinya senang mabuk-mabukan dan menghisap candu dengan memperoleh uang dari Jamin yang disuruhnya untuk mengemis. Semua barang yang ditinggal ibu kandungnya pun habis dijual oleh Inem untuk membeli candu.
Pada suatu hari Jamin belum mendapatkan sejumlah uang seperti yang diminta ibu tirinya sehingga ia memilih untuk tidak pulang seelum uang yang diperoleh sudah memenuhi jumlah yang biasanya diinginkan ibunya. Biasanya apabila Jamin pulang dengan membawa uang yang belum cukup, maka adiknya, Johan akan dipukuli. Meskipun seharian belum makan nasi dan hanya minum air saja, Jamin tetap pergi ke tempat dimana ia bisa meminta-minta berharap belas kasihan dari orang-orang. Sampai malam tiba, ia belum dapat juga uang seperti keinginan ibu tirinya kemudian ia jatuh pingsan di emperan toko obat milik Kong Sui dan Nyonya Fi. Keesokan harinya, Kong Sui menemukan Jamin dan dibawanya ke dalam rumah. Ia dibangunkan dan diperlakukan dengan baik dan diberikan sejumlah uang. Nyonya Fi memberikan celana dan baju kepada Jamin untuk dipakai karena semalam celana dan bajunya kebasahan karena hujan.
Ternyata di kantong celana yang diberikan Nyonya Fi terdapat cincin. Sehingga Jamin tidak ingin melepaskan celananya karena takut ibu tirinya akan menemukan cincin yang bukan miliknya. Meskipun begitu, Inem menemukan cincin itu dan mengambilnya. Di samping itu, ayahnya Bertes, dituduh membunuh orang lain ketika ia sedang mabuk dan Bertes pun di penjara.
Akhirnya Johan bisa mengambil kembali cincin itu tanpa sepengetahuan ibu tirinya. Johan menemui Jamin yang sedang mengemis dan mereka berniat akan ke rumah Kong Sui. Di tengah jalan Jamin tertabrak trem dan ia dibawa ke rumah sakit. Johan kebingungan lalu ia tetap ke rumah Kong Sui dan mengembalikan cincin kepada Nyonya Fi. Johan pun menceritakan perihal kakaknya kecelakaan saat perjalanan ke rumahnnya Kong Sui untuk mengembalikan cincin. Nyonya Fi iba kepada kedua anak itu dan kemudian mereka mengunjungi Jamin di rumah sakit.
Jamin meninggal setelah beberapa waktu sempat sadarkan diri. Johan diasuh oleh Nyonya Fi dan Kong Sui sehingga Johan menjadi anak yang lebih baik dan segar juga Johan disekolahkan. Sementara itu, ibu tirinya dikabarkan tenggelam di sungai. Waktu berganti, setelah tiga bulan lamanya Bertes keluar dari penjara dan insaf dari perbuatannya. Ia sadar karena ketidakpeduliannya selama ini orang-orang di sekitarnya harus menderita sampai meninggal. Bertes menjemput Johan dan meminta maaf kepadanya dan berterima kasih kepada Kong Sui dan istrinya yang telah merawa Johan.
Armijn Pane lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada 13 Juli 1896 dan meninggal di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1940. Si Jamin dan Si Johan diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1918, saduran dari Jan Smees karya Justus van Maurik (Merari Siregar pernah mendapat hadiah dalam sayembara mengarang atas cerita Si Jamin dan Si Johan). Armijn Pane menggunakan bahasa yang tidak baku supaya masyarakat umum, khususnya para remaja mudah mengerti dari isi novel ini. Dan mudah untuk di pahami. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Melayu karena pada saat menulinya dan keterkaitannya dengan angkatan Balai Pustaka yaitu bahasa Indonesia saat itu belum diresmikan. Ia menulis novel ini karena membahas tentang perjuangan dan pengorbanan seorang anak kecil demi bertahan hidup yang dimana menggambarkan masyarakat dalam golongan kelas rendah pada masa angkatan balai pustaka.
Tema yang diangkat yaitu tentang keluarga yang kakak beradik yang nestapa dalam kepiluan. Pesan yang ingin Armijn Pane sampaikan kepada pembaca saat itu adalah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri dan anak perempuannya.
Dalam cerita ini pembaca dapat memaknai untuk diterapkan dalam kehidupannya bahwa setiap perbuatan baik maupun buruk pasti akan berimbas di kehidupan masa depannya dan bersyukur atas semua yang kita miliki karena ada tidak seberuntung kita menjalani kehidupan sehari-hari. Kedermawanan dan kejujuran juga menjadi hal yang penting untuk dilakukan kepada siapa saja tanpa memandang bulu. Pentingnya kasih sayang dan rasa peduli antar saudara dan keluarga. Menghargai kehidupan yang telah Tuhan berikan kepada kita dan memanfaatkan kesempatan yang ada agar tak menyesal akibat menyia-nyiakan.
Profile Image for Ademataho.
2 reviews6 followers
March 7, 2011
aha novel ini,,,
buku yang saia baca bolakbalik waktu SD, kalo tidak salah sekitar kelas IV
cerpen2nya tentang zaman perang,, yang dialami juga oleh pak Nugroho muda
beliau sekarang almarhum,, namanya diabadikan sebagai nama jalan antara kampus UGM dan UNY
Pak,, semoga tenang di sana
novelmu tetap abadi ^
Profile Image for Justlelly.
50 reviews1 follower
June 25, 2023
Selalu menguras emosi membaca kisah-kisah yg terjadi seputar perang, tapi bukan tentang perangnya sendiri.
23 reviews
November 6, 2019
Nugroho Notosusanto lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Juni 1930. Ia berkarier di bidang militer dan pendidikan. Selain itu ia juga terkenal sebagai sastrawan, oleh H.B. Yassin digolongkan pada Sastrawan Angkatan 66. Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai pengarang dan sebagai tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti yang dilukiskannya dalam cerpen Pembalasan Dendam. Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam.
Pada tahun 1962 buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka yang merupakan cetakan ke empat belas. Dalam pembuatan buku ini Nugroho notosusanto menceritakan tentang kesaksian tentang revolusi kemerdekaan. Tidak banyak karya sastra yang menampilkan kisah-kisah di sekitar revolusi itu, yang dialami sendiri oleh pengarangnya. Perang di sini tidak hanya dilihat dari sudut peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindakan-tindakan serba heroik para pelakunya, namun dilihat dari isinya yang lebih manusiawi. Pengarangnya sendiri terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan itu sebagai anggota tentara pelajar.
Tema yang diangkat Nugroho ini berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya, sudah tidak lagi tema kawin paksa seperti Balai Pustaka, romantisme, ada unsur romantisnya namun digambarkannya lebih lugas mengarah pada kepuasan raga, tetapi masih ada unsur adat yang berlaku seperti masih percaya takhayul dan budaya mereka masih melekat seperti perempuan masih dipandang rendah dan biasanya dipakai untuk kepuasan laki-laki.
Bahasa yang digunakan pengarang sederhana akan tetapi memikat. Kalimat-kalimat dalam paragraf disusun secara runtut sehingga mudah dipahami. Pengarang banyak menggunakan kosakata Belanda, karena masih adanya pengaruh pengalaman pengarang pada saat hidup di zaman penjajahan Belanda, selain itu juga sudah menggunakan bahasa Indonesia, sudah tidak menggunakan bahasa Melayu, atau bahasa daerah tertentu, dan bahasa masyarakat pada masa itu.
20 reviews1 follower
November 11, 2019
Buku yang berisi enam cerpen ini ditulis oleh Nugroho Notosusanto berdasarkan kesaksiannya tentang revolusi kemerdekaan. Tidak banyak karya sastra yang menampilkan kisah-kisah di sekitar revolusi itu, yang dialami sendiri oleh Nugroho. Hal itu membuat kumpulan cerpen ini sangat penting. Perang disini tidak hanya dilihat dari sudut pandang peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindakan-tindakan serba heroik para pelakunya, dilihat dari isinya yang lebih manusiawi. Tak hanya itu, Pak Nugroho juga terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan itu sebagai anggota tentara belajar. Cara penulisan Pak Nugroho sangatlah memikat. Membuat para pembacanya ikut masuk dalam cerita apalagi bagi mereka yang pandai berimajinasi. Konflik-konflik yang dihadirkan juga sangat menarik. Mulai dari cerita perjuangan yang disalamnya terselip juga cerita asmara dan juga keluarga. Sayangnya bahasa yang digunakan lumayan sulit untuk dipahami. Bagi pembaca “pemula” hal ini cukup menyulitkan. Namun sebenarnya jika pembaca mau bersabar dan memahami dengan baik maka tidak akan ada lagi kebingungan-kebingungan mengenai maksud cerita.
Pada cerita-ceritanya kebanyakan Pak Nugroho menggunakan pemilihan kata/diksi yang bisa dibilang masih belum familier untuk pembaca. Sehingga pembaca perlu mencari tahu sendiri kata-kata yang tidak mereka ketahui. Namun hal ini masih dapat dihindari seperti halnya pemahaman bahasa. Cerita-cerita Pak Nugroho dalam bukunya “Hujan Kepagian” ini mengingatkan kita pada bagaimana kerasnya perjuangan para Pahlawan demi membela Tanah air. Oleh karena itu sebaiknya buku ini memang harus disebarluaskan khususnya di perpustakaan-perpustakaan Sekolah. Apalagi jika tiap sekolah diwajibkan memiliki buku ini, itu lebih baik. Karena bagaimanapun juga kita sebagai warga negara yang baik hendaknya mengetahui perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu agar muncul nasionalisme yang tinggi. Buku Hujan Kepagian ini cocok dibaca untuk kalangan pelajar. Namun kurang cocok jika disuguhkan untuk anak-anak Sekolah Dasar karena dari keenam cerita tiga diantaranya di dalamnya sedikit mengandung kata-kata yang bisa dibilang vulgar untuk anak-anak, mereka akan kesulitan memahaminya.
Profile Image for Widodo Aji.
21 reviews2 followers
November 29, 2019
Kumpulan Cerpen yang berjudul Hujan Kepagian ini merupakan sebuah karya dari Nugroho Notosusanto. Karya sastra ini merupakan salah satu karya berbentuk Kumpulan Cerpen yang diterbitkan pada periode 1950-an. Karya sastra ini terbit di saat Bangsa Indonesia mengalami penjajahan. Sehingga dalam karya-karyanya pun mengenai penderitaan dan peperangan, seperti pada Kumpulan Cerpen Hujan Kepagian ini Adapun kesesuaian yang melekat antara karakteristik karya sastra angkatan 1950-an dengan kumpulan cerpen ini ialah salah satunya didominasi bentuk cerpen, sajak dan sedikit novel. Hal tersebut selaras dengan buku karya Nugroho Notosusanto ini, karena buku tersebut juga berbentuk cerpen.
Kemudian, mengenai kisah dan juga tema yang diangkat ialah tentang kehidupan masyarakat sehari-hari, yaitu masa penjajahan dan perjuangan. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik periode 50-an yaitu tema yang diangkat tentang kehidupan masyarakat sehari-hari bahkan tentang masalah kedaerahan. Selain itu, juga masih adanya takhayul yang merebak di masyarakat juga tertera dalam kumpulan cerpen ini, dan terdapat beberapa tokoh yang mempercayai takhayul seperti seorang prajurit harus bisa menjaga kesucian dirinya dari seksualitas di luar pernikahan sebab akan mendatangkan malapetaka, kemudian takhayul mengenai dua bersaudara yang bertempur dalam pasukan akan menyebabkan salah satu dari dua bersaudara itu gugur di medan pertempuran. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik periode 50-an, yang mana kebudayaan daerah banyak muncul dalam jalan cerita.
Dalam kumpulan cerpen ini menceritakan semua yang terjadi di suatu ruang lingkup masyarakat, terutama pada masa penjajahan. Hal tersebut berhubungan dengan karakteristik periode 50-an, di mana karya yang ada merupakan realitas kehidupan dalam bermasyarakat. Bahasa yang digunakan dalam kumpulan cerpen ini adalah bahasa Indonesia sederhana, maksudnya bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari dimana dalam menggunakan bahasa tidak memperhatikan aturan-aturan dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik periode 50-an bahwa karya pada saat itu menggunakan bahasa Indonesia.
Profile Image for Kath.
1 review
May 1, 2025
🌬 𝐇𝐮𝐣𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐩𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 - 𝐍𝐮𝐠𝐫𝐨𝐡𝐨 𝐍𝐨𝐭𝐨𝐬𝐮𝐬𝐚𝐧𝐭𝐨 ✅

🎟 Historical Fiction, Classic
✨4/5, 2025
📍 Ipusnas

"𝘽𝙚𝙧𝙠𝙤𝙧𝙗𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙞𝙛𝙖𝙩 𝙢𝙖𝙣𝙪𝙨𝙞𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙙𝙖𝙠𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙝𝙚𝙬𝙖𝙣"

Kata merdeka yang kita sematkan sekarang ke bangsa Indonesia adalah jerih payah dan pengorbanan mereka-mereka yang tanpa ragu mempertahankan tanah air. Banyak darah yang tercucur, kehilangan, dan kesakitan, buku ini menceritakannya dengan penuh ketulusan.

Dalam buku ini ada 6 cerita pendek yang diambil dari pengalaman penulis saat menjadi orang di garis terdepan melawan penjajah.

Tiap ceritanya punya kesan dan makna yang berbeda, yang bahkan tidak semua baik, tapi ditulis dengan jujur.

Diantara 6 cerpen, aku paling kagum sama cerpen pertama. Beneran luar biasa emosi sedih yang ditawarkan, gimana semua kesakitan tetap diperjuangkan demi kenyamanan penerus bangsa.

Yang paling ngena buatku cerpen keempat.

Paling bikin sakit hati. Paling bikin mau berkata kasar

Ya Allah, bacanya kesel banget. Aku harap cerpen itu ngga menormalisasikan pengorbanan diri perempuan, tapi ngasih tau kayak bahkan perempuan bisa loh berjuang dengan dirinya sendiri demi kemerdekaan

Cerpen lainnya yang agak ngena ada "Bayi". Wah, itu gilasih, agak merinding untung happy ending.

Buku ini ngasih gambaran yang realistis di mana ada sisi heroik tapi juga menampilkan sisi manusia yang buas. Ngga cuman baiknya aja, tapi brengseknya juga dikasih tau.

Emang ga berhubungan banget sama isu sekarang, tapi buku ini nyadarin kalau kita ga peduli isu negara saat ini, mau di taro kemana muka kita ke mereka yang tanpa nama sudah berjuang demi kita hidup enak.
Profile Image for Nila Mahardika.
20 reviews
November 5, 2019
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi agresi Belanda. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam.
Sebagai pengarang dan sebagai tentara Nugroho dapat bercerita tentang suasana pertempuran, baik tentang tempat, maupun peralatan peperangan. Pengarang mau berkata sejujurnya bahwa manusia itu tidak bebas dari kesalahan, baik dia tentara, pelajar, maupun pemimpin, seperti yang dilukiskannya dalam cerpen “Pembalasan Dendam.”
Cerita pendek ini adalah saksi mata dari garis depan perang kemerdekaan, periode waktu di mana bangsa Indonesia menyatakan perang melawan pasukan Belanda (yang terakhir berusaha untuk mendapatkan kembali kendali dari Kepulauan pasca perang dunia II kekalahan dari Jepang). Cerita lebih tentang perjuangan pribadi individu yang terlibat dalam medan perang, bukan elemen heroik perang. Cerita juga mencerminkan pengalaman pribadi penulis harus bergabung dengan teman sekolahnya di parit di awal remaja mereka tanpa persetujuan ayahnya, diingatkan adik kecilnya di rumah, dan kenangan menyakitkan kehilangan teman-temannya di garis api.
35 reviews1 follower
December 4, 2019
Buku ini ditulis bertemakan perjuangan atas kemerdekaan berdasarkan pengalaman Nugroho Notosusanto sendiri tentang revolusi kemerdekaan. Di dalam buku ini banyak kisah-kisah yang masih belum ada di dalam buku lainnya. Hal itu membuat kumpulan cerpen ini dapat dijadikan sumber wawasan dan pengetahuan. Perang disini tidak hanya dilihat dari sudut pandang peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tindakan serba heroik para pelakunya. Cara penulisannya sangatlah memikat. Membuat para pembaca ikut masuk dalam ceritanya apalagi bagi mereka yang pandai berimajinasi. Konflik-konflik yang dihadirkan juga sangat menarik. Namun, bahasa yang digunakan cukup sulit untuk dipahami bagi pembaca pemula. Penulis menggunakan diksi yang bisa dibilang masih belum familiar untuk pembaca. Cerita dalam buku ini mengingatkan kita bagaimana perjuangan para Pahlawan demi membela Tanah air. Buku Hujan Kepagian ini cocok dibaca untuk kalangan pelajar. Namun kurang cocok jika disuguhkan untuk anak-anak dibawah umur karena dari keenam cerita, tiga diantaranya sedikit mengandung kata-kata yang bisa dibilang vulgar, mereka akan kesulitan memahaminya.
Profile Image for ola.
52 reviews
September 3, 2024
Membaca kisah-kisah yang disajikan Nugroho Notosusanto dalam Hujan Kepagian terasa seperti mengintip dunia yang tak akan pernah bisa saya jamah. Saya seperti duduk di kursi penonton, dipaksa diam dan menyimak bagaimana dunia merangkak di era yang amat asing. Sebuah era di mana hujan bukannya air malah peluru, jalan bukannya aspal malah lumpur curam, dan pemuda-pemuda yang belum genap dua puluh dipaksa menggenggam senapan alih-alih pensil dan buku tulis.

Betapa senangnya saya, memiliki kesempatan untuk setidaknya mencicipi bagaimana rasa pahit getir masa itu. Memang meninggalkan amis di ujung lidah dan mencekik tenggorokan. Tetapi saya senang bisa tau. Bisa mengenal. Bisa mencicipi.

Rasa-rasanya luka ini akan saya bawa hingga akhir hayat.
Profile Image for Alfaridzi.
109 reviews3 followers
September 12, 2022
-
Seluruh ceritanya menarik, seluruh cerpen di dalamnya merupakan kesaksian tentang revolusi kemerdekaan yang dialami secara langsung oleh penulis. Kemudian ditorehkan dalam bentuk karya fiksi sejarah, yang tetap menjaga esensi nilai sejarahnya.

Namun, aku sendiri kurang bisa menikmati narasi dalam setiap cerpen. Banyak sekali bahasa yang terkesan kaku, kata-kata serapan yang awam ku ketahui, berbagai akronim yang identik dengan masa kolonialisme, mayoritas dari semua itu tidak ada footnote untuk menjelaskan itu semua.

Cerpen yang aku suka berjudul "Konyol" dan cerpen yang tidak terlalu ku suka berjudul "Bayi".
Profile Image for Fairynee.
82 reviews
June 27, 2025
Saya membaca buku ini karena rekomendasi teman dekat saya. Katanya, penulis buku ini merupakan tokoh yang dihormati oleh Budi Darma.
Sejujurnya, cerpen pertama agak menggelitik karena pencerita berganti mendadak menjadi sudut pandang orang mati. Saya paham hal utama yang ingin ditonjolkan cerpen "Senyum" adalah sudut pandang orang di tengah sakratul maut. Tapi tetap saja, pergantian ini tidak membuat saya nyaman. Tidak ada bridging, tidak ada alasan mengapa bisa demikian.

Cerpen yang paling saya sukai adalah Pembalasan Dendam. Di sini, kita melihat bagaimana perang yang kejam masih menyisakan sisi kemanusiaan baik dari pihak penjajah maupun pejuang.

20 reviews
December 6, 2019
Hujan Kepagian karya Nugroho Notosusanto merupakan kumpulan cerpen yang berlatarkan penjajahan Indonesia dahulu. Cerpen-cerpen tersebut memiliki tema yang bervariasi ada yang mengenai kesetaraan gender, mistis dan sebagainya.

Nugroho dengan kepiawaiannya mampu bercerita dengan baik dan membuat pembaca penasaran. Sebab cerpen ini tidak disajikan secara langsung, perlu adanya penafsiran terlebih dahulu.
Profile Image for Alvi Tita Wijaya.
35 reviews
December 3, 2019
Novel ini berisikan beberapa cerpen yang dijadikan satu dalam sebuah buku. Buku ini termasuk tipis karena hanya beberapa halaman saja. Cerita yang ada di dalam buku ini kebanyakan memilih tema peperangan. Pemilihan bahasa yang digunakan oleh penulis mudah untuk dipahami kami kaum milenial. Cerpennya juga memiliki makna yang ingin diberikan pengarang terhadap pembaca.
Profile Image for Quinsha R. Shita.
6 reviews1 follower
November 10, 2022
Kumpulan cerpen yang sangat menggugah. Merasa tersentil karena di umur segini belum bisa kasih apa2 buat negeri, sementara di zaman dulu pemuda berusia belasan tahun baik laki-laki maupun perempuan pergi ke medan perang, atas kesadaran diri sendiri. Sayang, karena ditulis pada masa itu, cukup banyak istilah dan kaidah bahasa yang sukar dimengerti karena sudah tidak sesuai dengan saat ini.
Profile Image for Patim.
1 review
November 1, 2024
sepertinya rada salah aku milih kumcer ini buat sekedar breaktime dari bacaan tebel yg menguras emosi wkwk emosiku agak kesentak sm ceritanya tati dan jon🥺 70 hal. pas memang buat baca sekali duduk dan cukup detail sampe aku agak bimbang nasionalismeku🥲

rate 4/5 ⭐️
Profile Image for suaralam.
49 reviews
January 19, 2023
Kunpulan cerpen pada saat zaman revolusi kemerdekaan. Hampir seluruh cerpen mengisahkan adegan pertempuran yang menurut saya biasa-biasa saja, terlebih banyak istilah-istilah tak lazim yang tidak ada catatan kakinya. Terutama bagian-bagian pada senapan.
Profile Image for Abovetheclouds.
205 reviews
February 13, 2024
Kumpulan cerpen tentang revolusi kemerdekaan yg dialami secara nyata oleh penulis, masing2 cerpen terdapat makna yg mendalam. Aku paling suka sama bayi, pembalasan dendam, dan perawan di garis depan
1 review
February 8, 2025
I really like this book it carry a lot of emotion and also a dilemma. Isi ringkas tp juga padat, penulis bisa menceritakan berbagai pemikiran yang dikemas dalam sebuah cerita.
Profile Image for Wirotomo Nofamilyname.
380 reviews52 followers
September 14, 2014
Saya suka cerita tentang perang kemerdekaan Indonesia, terutama yang dikarang tidak terlalu jauh dari kejadian. Contoh: Lelaki dan Mesiu (1957). Karena biasanya ceritanya jujur, dikarang oleh orang yang pernah mengalaminya, dan orang yang mengalami itu belum menjadi pejabat, sehingga ia ingin membuat cerita perangnya lebih menonjolkan kepahlawanannya. Saya nggak punya contoh di buku, tapi kalau di film, anda bisa menonton "Janur Kuning" dimana kepahlawanan Pak Harto begitu ditonjolkan di luar proporsi, karena beliau saat itu sudah menjadi Presiden. Berbeda dgn film 30-an tahun sebelumnya: "6Jam di Djogja", yg bahkan kita tak tahu ada tokoh bernama Soeharto di film itu.

Kembali ke buku, saya sangat suka "Lelaki dan Mesiu (cetakan I thn 1957)". Ceritanya benar2 menggambarkan keadaan perang tersebut, lebih manusiawi, dan ada hal yg bisa kita renungkan.
Berbeda dengan "Hujan Kepagian" ini (cetakan I thn 1958), saya agak tidak dapat feelnya. Sepertinya kisah gugurnya seorang tokoh di buku ini, atau kehilangan keluarga tidak dapat menyentuh hati saya. Sepertinya Pak Nugroho hanya bertutur tanpa melibatkan perasaan kita.

Saya membaca Lelaki dan Mesiu cetakan tahun 1971, sedang utk buku ini adalah edisi tahun 2002. Apakah penerbitnya telah mencocokkan cerita ini sehingga lebih ditangkap pembaca sekarang, saya tidak tahu. Tapi saya tidak merasakan bahwa ini cerita tahun 40-50an

Dan saya juga tidak tahu apakah pengarang buku ini, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan aktor utama penulisan sejarah Indonesia versi Orde Baru (dan TNI), juga sempat mengubah cerita di buku ini. Karena saya tahu buku ini sangat dipuji oleh para pengamat sastra. Apakah saya membaca versi yang berbeda karena saya benar2 tidak melihat kelebihan cerita di buku ini.

Dan terakhir, mengapa saya masih memberi bintang 3 untuk buku ini, yang di Goodreads berarti: I like it? Karena saya memang benar-benar suka cerita perang kemerdekaan. Saya selalu terkesan dengan apa apa yang telah diperjuangkan oleh para pejuang dan masyarakat pada saat itu agar kita tetap dapat hidup merdeka. Dan saya ingin kita tetap dapat mengetahui dan tidak melupakan hal ini, dan dengan gampang melakukan korupsi, memaksakan pilkada melalui dprd (hehehe jadi ketahuan pandangan politiknya deh).
Jadi yah walaupun biasa-biasa saja, saya tetap suka buku ini. Maka saya kasih bintang 3.
Sekian. :-)
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
June 21, 2022
Ada catatan saya pernah membaca buku ini tahun 2008 dan saya kasih bintang dua, tapi saya gak ingat 😅

Gak ada reviu yg saya tulis saat itu, tidak ada setidaknya catatan buku itu saya dapat dari mana.

Ada enam cerita dalam buku 60 halaman kurang ini. Cerita pertama "Senyum" paling panjang, dan cerita keenam "Eksekusi" yg paling singkat. Semua mengisahkan balada prajurit belasan tahun di medan tempur saat bangsa ini mengalami masa Revolusi Fisik melawan Belanda yg datang kembali ingin menguasai negeri ini.

Membaca ulang buku ini, saya menemukan nuansa pertempuran yg begitu dekat, karena penulisnya dulu memang anggota Tentara Pelajar (yg belakangan malah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Lalu saya malah kepikiran kepada anak beliau yg galak, dosen saya sendiri 🤭

Gak nyambung emang.
Profile Image for a y a .
5 reviews
May 11, 2025
berisikan enam cerpen yang ditulis sebagai kesaksian penulis sebagai anggota terntara pelajar, berkisah tentang revolusi kemerdekaan. perang tidak hanya dilihat dari sudut kekejaman dan heroisme para pelakunya tetapi juga ari isinya yang lebi manusiawi.

kumpulan cerita dengan 70 halaman sangat-sangat menguras emosiku karena ceritanya dengan peperangan dan aku agak terguncang juga di awal akibat cerita jono dan tati.
dari keenam cerpen semuanya memiliki makna yang sangat dalam. dan yang paling aku suka dibagian perempuan digaris depan, tentang perempuan yang mengorbakan kehormatannya :( miris.

".... perjunganku suci ibu. bukankah dewi durgandini jadi perawan kembali setelah megorbankan dirinya pada bagawan parasara? bukankah pengorbanan ku juga suci, ibu?"
Profile Image for Aesna.
Author 3 books13 followers
January 1, 2015
Senyum
Perang merebut segalanya! Perang merebut segalanya

Konyol
Cerpen ini mengajarkan etika tentang 'bercinta' dalam peperangan. Awas mati konyol.

Pembalasan Dendam
Barangkali, dalam perjalanan hidup seorang, tentunya setelah kematian orangtua, kematian saudara adalah barang yang harus dibayar mahal.

Perawan di Garis Depan
Aku tahu, wanita adalah manusia hebat yang tidak henti-hentinya berkorban.

Bayi
Siapa yang tahu satu nyawa bisa mengubah banyak hal?

Eksekusi
Perang merebut segalanya! Perang merebut segalanya!
23 reviews8 followers
October 4, 2015
Pertama kali membaca kutipan cerpen ini di buku pelajaran SD atau SMP, lupa tepatnya. Buku yang berisi 6 cerpen ini merupakan saksi revolusi pasca kemerdekaan, saat para tentara berusaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru seumur jagung.
Menarik, karena cerpen-cerpen ini memotret sisi manusiawi para prajurit di medan perang: perasaan takut dan harap, takhayul di antara pejuang, kebutuhan biologi, perasaan sentimentil saat menghadapi bayi, hingga beban moral saat menjadi eksekutor tembak mati seorang penjahat.
Singkatnya, flash fiction yang bagus dan menarik tentang perang kemerdekaan Indonesia!
Displaying 1 - 30 of 49 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.