Matahari tenggelam sempurna di Manhattan, menghujani gedung-gedung dengan warna senja cakrawala.
Di kota ini, kau akan bertemu Callysta. Ia menemukan langit yang menaungi senja—membuatnya merasa nyaman, seperti mendapat perlindungan. Membuatnya jatuh cinta.
Namun, jatuh cinta memang tidak semudah yang dibayangkan. Saat cinta mulai menyergap, yang bisa dilakukan hanyalah mempertahankannya, agar tak memburam dan menghilang ketika ragu dan masa silam ikut mengendap.
Di kota ini, gadis itu jatuh cinta, tetapi segera ia surukkan di lorong-lorong gedung-gedung meninggi, dan ia benamkan bersama senja yang tenggelam sempurna.
“Hatiku masih terlalu rapuh,” begitu katanya. Maukah kau menemaninya di Manhattan?
Last Minute in Manhattan (Yoana Dianika, Gagas Media)
Don't judge the book by its cover. Sepertinya pepatah itu sudah tidak bisa diterapkan lagi untuk buku-buku jaman sekarang. Betapa tidak, cover buku-buku khususnya novel-novel jaman sekarang itu sangat menarik. Saking menariknya sampai-sampai lebih menarik dibanding isi novelnya sendiri. Salah satu contohnya adalah novel Last Minute In Manhattan ini.
Novel ini sebenarnya punya kisah yang klise dan konfliknya pun sangat sederhana. Callysta, si pemeran utama, adalah seorang perempuan kelas 3 SMA yang baru saja diselingkuhi pacarnya yang cakep bernama Abram. Disaat patah hati ternyata ayahnya berniat menikah dengan seorang perempuan asal California yang juga punya seorang anak bernama Mark. Demi menghindari Abram dan ingin menyembuhkan sakit hatinya Callysta pun setuju pada tawaran ayahnya untuk pindah ke California. Disana dia diperkenalkan pada Vesper Skyllar,sahabat saudara tirinya,Mark. Love at the first sight pun terjadi. Cally dan Sky pun mulai dekat dan saling menyukai. Sayangnya disaat hubungan mereka sudah semakin dekat Sky membuat masalah dengan becanda di stall kuda dan mengakibatkan kuda yang sedang sensitif itu merusak topi rajut warisan nenek Callysta. Cewek ini pun marah dan membenci Sky. Karena merasa bersalah Sky pun diam-diam belajar merajut untuk membuatkan Cally topi pengganti. Disaat mereka sedang perang dingin Mark sebagai adik dan sahabat mereka berniat mendamaikan mereka. Mark mengusulkan pada Sky agar ia pergi ke Prom night bersama Cally. Sky pun setuju begitupun Cally yang diam-diam juga rindu setengah mampus pada Sky. Sayangnya di malam Prom, Sky malah kepergok jalan bareng dengan Rachel yang dari awal sering digosipkan berpacaran dengan Sky. Mark pun tidak terima dan menghajar Sky.
Sementara itu Cally yang merasa kecewa dan patah hati untuk kedua kalinya mendengar selentingan miring tentang Sky. Cowok itu digosipkan sebagai seorang junkie dan menghabiskan malam bersama Rachel. Sakit hati atas semua itu Cally pun memutuskan untuk melupakan Sky. Mark yang tidak tahan dengan kondisi hubungan Sky dan Cally berusaha mendamaikan mereka kembali. Mark pun mengajak Cally traveling ke Silicon Valley dimana tanpa sepengetahuan Cally, Sky telah menunggu di salah satu kantor software terbesar disana. Disaat Mark ingin mempertemukan mereka ternyata tak disangka Cally malah bertemu dengan Abram yang ternyata tetap keukeuh ingin balikan dengan Cally.
Which one Cally will choose? Jawabannya silahkan baca sendiri yah..
Kisah cinta segitiga memang sudah sering dikisahkan berulang-ulang. Diselingkuhi pacar, ketemu cowok baru, mantan pengen balikan dan seterusnya dan sebagainya pun sudah sering diangkat. Disinilah kreativitas penulis diuji bagaimana membuat sesuatu yang baru dari hal yang sudah dikisahkan berulang kali. Nah, disinilah keistimewaan novel ini. Disini tak melulu bicara tentang percintaan remaja beranjak dewasa. Lokasi cerita pun dituliskan sedemikian rupa hingga ada hal lain yang menarik minat pembaca. California, hampir semua orang tahu itu adalah negara bagian di Amerika Serikat. Pemilihan kota Hermosa yang jarang dijadikan latar belakang kisah menjadi hal yang memberi point tersendiri. Kisah tak melulu berkutat di kawasan Hermosa, tapi berpindah ke Santa Cruz, San Fransisco hingga New York. Setiap tempat membalut novel ini dengan kisahnya masing-masing. Satu hal lain yang membuat novel ini menarik adalah ilustrasi gambar diawal setiap chapter. Penulisnya pun menyisipkan potongan-potongan lirik lagu ( Jpop yang sebenarnya kurang nyambung dengan lokasi cerita) atau quote-quote diantara ilustrasi gambar tersebut. Cantik! Novel ini pun berbonuskan pembatas buku berbentuk postcard. Ini Mengingatkan saya pada proyek novelku yang akhirnya terbengkalai gegara teman yang jago gambar pindah tugas ke kota lain. Yah.. ada yang mendahului ( curcol dikit boleh dong!)
Anyway, setiap novel tentu ada kekurangannya. Bagi saya ada beberapa hal yang bikin saya sering mengangkat alis sendiri (yalah,masak angkat alis kamu). Misalnya si tokoh Mark yang berumur gak lebih dari 18 tahun tapi penuh dengan petuah petuah bijak layaknya orang tua.Sepertinya dia sudah kenyang asam garam kehidupan atau terlalu sering berenang mencicipi air laut pantai Hermosa yang asin? I don't know.. The conflict is also too cliche and a little bit bored. Gak tahu ya, apa mungkin karena saya sudah bukan anak SMA lagi jadi menganggap kecelakaan topi rajut warisan nenek yang terseret kuda dengan tidak sengaja bisa membuat seseorang benci setengah mati pada orang lain yang menyelamatkannya. Lalu di jaman internet canggih seperti ini dimana om Google baik banget ngasih informasi kok ya gak tahu letak suatu tempat, berapa jaraknya dan Silicon Valley itu tempat apa sihh....
Well, maybe i'm too much reading books so this novel like a cliche story for me. Or maybe i'm too mature for this kind of novel? :D Maybe.. Toh layaknya setiap tempat punya cerita, setiap pembaca pun punya ekspektasi mereka masing-masing. Gak salah kan?
BORING, CLICHE, TOO LOVEY DOVEY. Kalau suatu saat ada teman yang hidupnya delusional dan tidak pernah baca buku tiba-tiba merekomendasikan suatu novel, lebih baik jangan dipercaya atau kamu akan menyesal.
Satu kalimat yang paling pas untuk merekomendasikan novel ini adalah 'kombinasi dari kisah romantis klise dengan tokoh perempuan Mary Sue'. Yaiks, dibayangkannya saja malas.
Jadi begini ceritanya. Callysta adalah seorang perempuan yang baru saja patah hati karena dikhianati high-school heartthrobnya dan memutuskan untuk pindah ke USA, tempat ibu tirinya tinggal. Disana dia bertemu dengan seorang lelaki berambut emo bernama Vesper yang misterius dan dipuja-puja satu sekolah sampai pernah menjadi homecoming king. The story goes, Callysta dan Vesper punya hubungan yang hot-and-cold (walau lebih banyak hot nya sih, karena Callysta agak sedikit kurang berpendirian soal Vesper), bla bla bla, beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara mereka berdua, bla bla bla, juga ada perempuan ketiga yang jujur aja enggak cukup signifikan keberadaannya. Endingnya tentu saja happy ending yang menurutku agak terlalu muluk-muluk dan kurang realistis dijaman sekarang ini.
Kurang rekomen lah buat yang enggak suka novel kelewat romantis dimana tokoh perempuannya lembek dan tokoh laki-lakinya sama lembeknya.
Aku kira mungkin buku ini hanya gitu-gitu aja; setting di luar negeri, tapi ga bener-bener di show apa aja yang ada di daerah itu. Kan kalau seperti itu, pembaca jadi ga bisa berimajinasi karena tempat dan suasananya yang ga sama--yang ga selalu diliat dan dirasakan--dengan Indonesia. Tapi untung buku ini ga.
Aku sebenarnya ga terlalu suka sih kalo novel terlalu detail, seperti nulis detail pakaian yang dipakai di hari biasa. Aku lebih suka kalau bisa berimajinasi sendiri pakaian yang mungkin dipakai di scene itu. Beberapa pengecualian: detail kostum dan karena ini settingnya bukan di Indonesia, jadi bagus kalau diceritakan apa aja yang ada di daerah itu secara detail.
Yang aku suka dibuku ini, percakapannya ga gitu-gitu aja yang ngebahas seputar diri karakter. Tapi juga ngebahas hal lain seperti tentang astronomi, hal-hal yang berkaitan dengan suatu daerah tersebut, dan pengetahuan lain..
Satu lagi yang paling disuka; sebelumnya mau nanya, penulisnya pernah ke California & New York ga sih? Kalau ga, berarti risetnya bener-bener maksimal. Semua tempat yang dipakai dibuku memang bener-bener ada. Apalagi dipakai kota seperti California, yang mungkin jarang ada orang yang mau kesana karena 'ga terlalu terkenal' ketimbang London, Paris, New York. Karena buku ini, rasanya jadi ingin ke California. Mengunjungi Hermosa Beach, ke Mystery Spot, dan daerah sekitar California, dan ngeliat senja di Hermosa dan Manhattan ;)
Seharusnya sebelum baca buku ini, saya mensugesti diri saya sendiri dulu bahwa...
SEMUA NOVEL ROMENS HARUS KEJU!!!
Tetapi entah gimana, saya survive baca novel ini. Buktinya? Tuh lihat di atas, saya kasih dua bintang. Karena SAYANGNYA saya ga bisa ngasih satu bintang untuk buku yang berhasil saya selesaikan. (sebenarnya saya juga heran kenapa bisa selesai, walaupun saya speedreading)
Permasalahan kisah ini sesungguhnya, bukan di keju-kejuan. Tentulah, saya bukan orang yang menilai satu buku hanya dari narasi semata kok. Hehehe... Bila ada teman-teman penulis yang ingin tahu contoh karakter Marry Sue pegimana, silahkan tengok novel ini.
Gimana nggak, coba?
Mari kita runutkan satu persatu kenapa saya bilang karakter ini Marry Sue dan sooo unlikable.
Cerita dibuka dengan setting di sebuah resto mewah di Jakarta. Callysta, si tokoh utama, mau dikenalin bokapnya dengan calon mami baru yang bule dan calon adek tiri cowok baru yang tentu saja bule juga. Nah, secara KEBETULAN, sang tokoh utama ketemu dengan mantannya waktu ke WC (saya sebenarnya heran, kenapa sering ngambil setting WC untuk adegan awkward-awkwardan?) Bukan cuma tu aja, selain sang mantan, dia juga ketemu pacarnya si mantan YANG KEBETULAN adalah anak suami baru mama kandungnya.
Too much coincidence here? Batin saya membela: "Ah, ga papa. Kebetulan toh bisa terjadi di mana aja kan? Bisa jadi, ternyata besok nyokap saya bilang bahwa ternyata Pak Obama yang presiden Amrik itu ternyata om saya."
#terlalusinis #ditabok
Yah well, selanjutnya, cerita bergulir yang menegaskan, intinya Cally patah hati dan kebetulan baru lulus SMA. Jadi dia pun berangkat ke Amrik sama mami dan adik baru untuk tinggal di sana. Tujuannya? Menyembuhkan hati yang terluka. EH? Ga kuliah gitu, Neng? Bukannya dah lulus SMA? Nggak. Kan dari keluarga kaya gitu, Mbak. Bokap, nyokap tiri kaya. Bahkan nyokap kandung aja selingkuhnya internasional kan? Sama pengusaha Singapura gitu lhoo~
Ya deh, kayanya saya yang ngiri, gigit jari. Nasib tiap orang kan beda. Lagian itu duit juga duit ortunya, bukan duit saya kan? #plak Ohya, maaf. Sinis lagi.
Lanjut. Dalam perjalanan menyembuhkan patah hatinya, Cally diajak jalan-jalan sama adik tiri yang baik hatinya. Ketemulah dia dengan Vesper Skyfall... eh lupa deh siapa nama belakangnya. Masih bagus saya ga tulis Casper. Hehehe...
Singkat cerita, tentu saja sudah jelas kan? Cally jatuh cinta ke Vesper. Dan tentu saja sudah jelas lahh!! Vesper juga jatuh cinta ke Cally. Daan tentu saja sudah jelas buanget!!! ada penghalang di antara mereka berdua, Rachel. Cewek mantannya Vesper.
....menjelang halaman 90an saya udah mulai ngos-ngosan. dan duh! saya makin ngos-ngosan begitu sampai adegan Cally memperlihatkan topi rajutan neneknya yang rusak dan hilang gara-gara ditendang kuda. Eh, jadi gini. Kuda itu ngamuk kaget gara-gara Vesper, lantas nendang Cally. Sayangnya Cally nggak terluka karena dilindungi Vesper yang sigap. Tapi topi rajutan nenek hilang.
Dan apa yang terjadi? Cally ngamuk. Dan bilang benci ke Vesper. Dan mereka musuhan sampe berbulan-bulan.
*membenamkan kepala sendiri ke bantal*
Ya elah, Mbak!! Segitu cintanya elo sama itu topi?? Lebih dari cowok yang katanya lo cinta?? Lo ampir mati, Mbak! Hampir matii kalao ga ada itu cowok!
*membenamkan kepala ke bantal lagi*
Perlukah saya menjabarkan sifat sang tokoh utama ini lebih lanjut? A Spoiled Brat! But be loved by others!
Haduh... mulai dari sini, saya baca speed reading. Saya juga jadi malas menjabarkan kedodolan si Cally ini lebih lanjut.
Terus gimana dengan tokoh lain? Euh. Nggak ada tokoh yang saya suka. Vesper terlalu dreamy. Tipikal cowok idaman cewek-cewek. Mark terlalu dewasa untuk jadi adiknya Cally. Mungkin Claire yang paling saya suka. Karena tendangan epiknya. #plak
Setting? Okelah, di sini bisa saya bilang, settingnya bagus. Walaupun ga bisa crosscheck, tapi saya merasa penulis sudah cukup bagus risetnya. HANYA SAJA too much tell than show. Rasanya seperti diajak tur ke Amerka lewat buku. I mean, REAL TOUR. Dimana para tokohnya menjadi pemandu wisata. Jadi yaa.. seperti baca brosur perjalanan aja.
Kesimpulannya, penulis berusaha terlalu keras menampilkan setting Amerika, tanpa dibarengi dengan plot, karakterisasi dan narasi yang cukup baik. Alhasil, jadinya datar.
Satu hal positif dari buku ini. Saya jadi tau dimana kantor Google, Frost Valley, gedung Rippley's, dsb dsb. Good touring. Ga penting buat cerita, tapi penting buat saya kalau kapan-kapan mampir main ke tempat om saya~
This entire review has been hidden because of spoilers.
"Saat cinta mulai menyergap, yang bisa dilakukan hanyalah mempertahankannya, agar tak memburam dan menghilang ketika ragu dan masa silam ikut mengendap.”
Begitulah kira-kira rasa yang dikisahkan Yoana Dianika pada buku terbarunya, Last Minute in Manhattan. Yoana mengemasnya dengan kisah cinta yang berwarna. Manhattan sendiri menjadi sebuah kota dengan kenyamanan yang dirasa tepat bagi seorang cewek yang sedang berjuang untuk move on dari masa lalunya. Pesan cinta yang dihadirkan dalam buku ini tak semudah yang dibayangkan.
Callysta Nararya meninggalkan Indonesia untuk menetap sementara di Hermosa Beach, salah satu dari tiga kota pantai di California, Amerika Serikat. Di Hermosa Beach, ia tinggal di rumah Sophie Hamilton, perempuan bule beranak satu, yang dinikahi ayahnya. Karena belum berniat melanjutkan kuliah selulus SMA dan baru saja dikhianati Abram Gunawijaya, pacarnya, yang berselingkuh dengan gadis lain, Hermosa Beach menjadi tempat berlibur untuk jangka waktu yang belum dipastikan. Sophie dan putranya, Marquez Stanley atau biasa dipanggil Mark, pun sangat senang menerima Callysta di kediaman mereka.
Kita sudah bisa menebak apa yang akan dialami Callysta di Hermosa Beach. Mark memperkenalkan Callysta kepada cowok tampan berambut coklat side swept bangs bernama Vesper Skyller. Vesper atau Vessy atau Sky bagi Callysta adalah teman sekelas Mark di Oaks Christian School, dan sedang berada di tahun terakhir. Tidak membutuhkan waktu yang lama, keduanya berhasil mengakrabkan diri. Keakraban mereka terbangun dalam perjalanan mengunjungi Westlake Village -di mana Sophie mempunyai rumah dan peternakan kuda- dan Mystery Spot di Santa Cruz yang berjarak enam jam lebih perjalanan dari Hermosa Beach.
Sayangnya, pada perjalanan kedua ke Westlake Village, Vesper memicu kekacauan yang berakhir petaka di peternakan kuda. Topi bubble tiga warna milik Callysta, pemberian neneknya sebelum meninggal, rusak dan hilang. Sekalipun Vesper telah berusaha menyelamatkannya dalam keadaan darurat di dalam istal, Callysta tetap tidak bisa menahan kemarahannya kepada cowok itu.
Apakah hubungan mereka akan membaik kembali? Atau tidak ada harapan seperti yang kemudian dipikirkan Callysta? Sementara Vesper berjibaku memperjuangkan cintanya pada Callysta, Rachel Claudio pun tak kekurangan siasat untuk memisahkan mereka. Sementara di sisi lain, ada Maggie, gadis yang membuat Abram berpaling dari Callysta, semakin menyulitkan keadaan. Dari Silicon Valley ke summer camp di Frost Valley, kemudian berpindah ke Manhattan saat terjadi Manhattanhenge atau Manhattan Solstice, cinta Callysta dan Vesper akan mengalami ujian, dan mendapatkan kepastiannya.
Tidak ada cerita dan konflik yang istimewa dalam Last Minute in Manhattan karya Yoana Dianika ini. Isi novel benar-benar cinta remaja sehingga novel ini mutlak masuk dalam kategori TeenLit. Seorang cewek patah hati karena pacarnya berselingkuh, meninggalkan rumahnya dalam ketidakpastian, berjumpa dengan calon pengganti pacarnya, mengalami konflik cinta, kemudian diselesaikan tanpa kesulitan berarti. Untuk membuat perjalanan cinta cewek ini terkesan rumit, dihadirkan cewek lain yang juga mencintai calon pengganti pacar yang berkhianat. Dan agar semakin terkesan rumit, si mantan pacar dibuat berubah pikiran dan ingin kembali padanya. Akibatnya, cewek yang merebut pacarnya berlagak seperti nemesis, terus mengejarnya dan mencari gara-gara.
Kisah klise ini kemudian diperkaya dengan semangat kebetulan. Kebetulan yang sudah dimulai sejak novel ini dibuka. Saat Callysta diperkenalkan ayahnya kepada Sophie dan Mark, di tempat yang sama ia bertemu ibu kandungnya yang telah menikahi pengusaha kaya dari Singapura. Juga Maggie, cewek yang merebut Abram dari Callysta yang kebetulan adalah anak tiri ibu kandung Callysta atau putri dari si pengusaha Singapura dari istri sebelumnya. Saat Callysta pergi ke Amerika, Maggie juga pergi ke sana, dan mereka dipertemukan lagi, dalam dunia yang mendadak mengecil seukuran globe.
Untuk membuat cerita terkesan lebih berbobot -tapi tentu tidak berhasil- para karakter utama diberi latar belakang yang kompleks. Callysta ditinggalkan ibunya, seorang penyanyi yang menceraikan ayahnya karena dianggap menghambat kariernya. Kemudian ibunya menikahi pengusaha kaya Singapura yang adalah duda beranak perempuan sebaya Callysta. Ayah Callysta menikahi janda bule beranak satu yang dijumpainya di Amerika, membuat Callysta memiliki ibu dan adik tiri. Vesper Skyller, kehilangan ibunya yang meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Ia tidak tinggal bersama ayahnya yang mempunyai perusahaan di Silicon Valley melainkan bersama adik perempuan ayahnya di Hermosa Beach. Hidupnya tidak terlalu mudah karena ayahnya ingin ia menjadi insinyur yang nantinya akan bekerja di perusahaannya. Padahal Vesper bercita-cita menjadi astronom atau astronaut.
Latar belakang rumit yang diberikan kepada para karakter utama, ternyata, tidak membuat kisah dalam novel ini menjadi menarik. Justru kian membuat ceritanya menjelma cerita-cerita dalam sinetron.
Dalam hal karakterisasi, Yoana menampilkan Callysta sebagai seseorang yang kerap terkesan lugu-lugu bodoh. Ia hadir bagaikan rusa masuk kampung karena tidak mengetahui tentang Silicon Valley, teflon sebagai alat masak (bukan cuma) di Amerika, atau tanda rusa di jalan-jalan Amerika. Dan hanya karena topi bubble pemberian neneknya yang rusak, ia marah besar pada Vesper. Karakter Mark pun membuat bimbang. Usianya lebih muda dari Callysta, tapi dalam kebeliaannya, ia berpikir dan berbicara seperti orang-orang tua, lagaknya bagaikan buku motivasi berjalan. Untunglah ada Vesper yang digambarkan dengan wajar sebagai cowok berhati lurus di sepanjang Hermosa Beach.
Yoana Dianika menggunakan plot lurus tanpa kelok dalam mengalirkan ceritanya. Untuk membuat terkesan tampil beda, ia sedikit bereksperiman dalam hal sudut pandang pengisahan. Ia membuka kisahnya dengan menggunakan Callysta sebagai narator orang pertama dan menghadirkan kisahnya sebagai isi dari catatan harian Callysta. Itulah sebabnya ia menyematkan informasi: 1st Diary untuk cerita sebelum Callysta pergi ke Amerika dan 2nd Diary untuk memulai dan menciptakan konflik terkait dengan cinta yang dialami Callysta di Amerika. Lalu secara tiba-tiba, Yoana meninggalkan catatan harian Callysta dan memindahkan persperktif pengisahan menjadi perspektif orang ketiga. Eksperimen ini mungkin dilakukannya agar lebih leluasa menceritakan perasaan dan pikiran karakter selain Callysta. Tapi kurang berhasil karena perasaan dan pikiran mereka kurang tergali. Apalagi karena Yoana bermaksud memberikan kejutan sehubungan dengan tindak-tanduk Vesper yang berubah aneh semenjak insiden di Westlake Village. Menjelang novel berakhir, Yoana kembali pada catatan harian Callysta, 3nd Diary.
Meskipun disunting dua orang editor, novel ini masih tetap membutuhkan penyiangan, minimal sekali lagi. Masih terdapat kalimat-kalimat yang tidak enak dibaca dan penggambaran fisik karakter yang diulang-ulang hingga sedikit membosankan.
But overall, I enjoyed the story :)
Boleh dibilang, ilustrasi cantik karya Lia Natalia yang bertaburan di dalam novel ini menjadi penyelamat isi novel. Tanpa ilustrasinya, novel Last Minute in Manhattan hanya akan hadir dan terpuruk sebagai novel yang terlalu biasa.
Last Minute in Manhattan adalah novel pertama dari proyek kolaborasi Bukune dan GagasMedia, Setiap Tempat Punya Cerita, yang diterbitkan Bukune. Seri ini ditujukan untuk memberikan pembaca novel-novel terbitan kedua penerbit ini fiksi dengan pengalaman traveling ke mancanegara.
Tidak ada yang menarik dari gaya menulis Mbak Yoana—saya masih merasa demikian. Well, ini buku keduanya yang saya baca setelah Truth Or Dare. Kesan-kesan baik yang saya dapat di sini sedikit-banyak menyelamatkan "reputasi"-nya yang bagi saya tidak "wah" di Truth Or Dare (saya kurang suka repetisi berlebihan yang mengulang-ulang apa yang telah disampaikan Alice). Tapi saya masih belum menemukan sesuatu yang khas dari gaya menulisnya. Rasanya tidak ada yang istimewa. Tidak seperti saat saya membaca karya Winna Efendi, that "khas" factor langsung nancep. Mungkin butuh waktu—saya masih akan membaca buku Mbak Yoana, btw. Ada satu bukunya yang ada dalam wishlist saya.
Kesan-kesan baik itu seperti... narasi dan deskripsi yang mengalir cukup lancar. Ada kalanya sedikit tersendat saat dibaca karena terlalu detail (dan saya kurang suka jika imajinasi saya dibatasi), terutama pada bagian penggambaran pakaian yang dikenakan tokoh. Oh please, that's so gak penting. Saya skip paragraf penjelasan pakaian ini dan ini tidak mengganggu saya saat membaca paragraf selanjutnya, yang berarti paragraf deskripsi pakaian itu cukup pantas dibuang karena ternyata tidak penting. Akan lebih baik jika penulis cukup memberikan beberapa patah keyword yang dapat menggambarkan pakaian tokoh secara keseluruhan. I mean, tidak harus sedetail "itu"-lah. Untuk saya, saya hanya cukup tahu tentang gaya berpakaian seorang tokoh, ke depannya akan saya bayangkan sendiri baju-baju seperti apa yang mungkin dikenakan seseorang dengan gaya berpakaian seperti itu. Jadi imajinasi saya dibebaskan. Disodori penjelasan detailnya malah bikin saya malas mengimajinasikannya, karena saya sendiri tidak begitu paham istilah-istilah fesyen yang memang jarang saya dengar. Dan hei, akui saja, saya tidak sendirian. Pasti ada pembaca lain di luar sana yang merasa seperti ini.
Tentu saja keluhan tentang "penggambaran pakaian tokoh yang terlalu detail" ini tidak berlaku saat pakaian tokoh memang perlu dideskripsikan secara detail karena ada momen spesial (seperti saat pesta itu).
Kemudian, "kesan baik" yang lain... Hmm... Saya rasa ada sesuatu yang 'khas' dari Mbak Yoana, tetapi bukan berasal dari gaya menulisnya. Melainkan penggambaran tempat dan suasana yang detail (mendekati terlalu di beberapa bagian). Saya lihat review di buku-bukunya yang lain, memang ada cukup banyak reviewer yang memuji risetnya. Well-researched lah. Thumbs up, saya sendiri belum tentu dapat seteliti itu dalam riset dan memarafrasekannya ke tulisan. Sayangnya, saya juga mendapati adanya kekurangan di sini, yaitu dialog yang terasa "sok tahu", saat tokoh menjelaskan sesuatu yang pikir Mbak Yoana pasti memberikan wawasan baru bagi pembaca. Saya merasa demikian karena parafrasenya kurang santai. I mean, it's in a dialogue, jadi penulisannya bisa lebih santai dan informal. Plus, saya lihatnya kok Callysta sering kali tidak mengacuhkan penjelasan-penjelasan itu, ya. Mungkin hanya perasaan saya saja :p
Lalu... apa lagi, ya? Ah, ini. Awalnya saya tidak begitu bersemangat membaca buku ini, karena di awal-awal cerita saja saya sudah menemui scene yang terasa klise. Callysta bertemu dengan orang-orang tak terduga di tempat yang sama di saat yang sama dan itu membuatnya terganggu. Wow banget buat saya, karena kemunculan orang-orang tak terduga itu sinetron banget, tak peduli seperti apa pun penjelasannya, haha. DAN SAYANGNYA, keklisean ini terulang di scene lain, dengan tempat yang berbeda, dan tidak hanya satu-dua kali. Saya rasa, ini sesuatu yang paling tidak bagus dari buku ini. Semua orang Indonesia bosan dengan "klise khas sinetron", eh buku ini punya. Ckck... *facepalm*
TAPI, semakin ke tengah, saya semakin terbawa cerita. I love that VesperXCally scenes, walaupun terasa agak lebay saat mereka mulai bermesraan seakan-akan hanya ada mereka berdua di dunia ini. Vesper itu... well, side swept bangs (setelah saya search gambarnya di Google, saya syok kemudian ngakak kemudian facepalm. Sudah saya duga kalau ini semacam poni lempar. Nama gaulnya kali, ya?) sudah tidak istimewa lagi di daerah tempat tinggal saya. Gaya rambut seperti itu sudah identik dengan cap gondhes (what's it? searching sendiri lah hahaha). Tapi Vesper bukan gondhes, kok. lol.
Untuk Mark... saya tidak sadar dia adalah seorang adik saat pertama kali bertemu dengan Callysta di restoran. Jadi saat ada kalimat yang mengatakan Callysta adalah kakaknya, saya agak syok, karena kesan awal Mark di kepala itu seperti seorang kakak laki-laki yang akan senantiasa melindungi. Oke, ini kesalahan saya mungkin, yang kurang teliti membaca. Tapi over all, karakterisasinya bagus. Ngena di kepala, semoga gak gampang terlupakan.
Sepertinya itu saja.
Oh, sudah jam 4 pagi. Saya akhiri saja :D
Sekian dan terima kasih.
ps: 4 bintang, lho! Intuisi saya yang mengaturnya, karena secara perasaan(?), saya suka buku ini :D
Full of drama, entah mengapa sangat sukar sekali bagi saya untuk menyukainya.
Dimulai dari karakter utama yang sama sekali nggak loveable banget. Plin-plan, cengeng, over-thinking. Aiiissshhh. Bukannya Callysta sudah lulus SMA, ya? Kenapa kelakuannya sampai akhir cerita begitu mulu? *frustasi*
Terus karakter pendukung yang... Apa, ya? Terlalu terpusat pada Callysta aja. Bosen bacanya. Harusnya dikasih selingan dikit tentang pacar adik tiri Callysta kek, kabar reguler sahabat-sahabat Callysta di Indonesia, apa aja, deh. Nggak terpusat sama si-mangkelin-Callysta ini.
Secara subjektif, saya nggak bisa menyukai Vesper meskipun di sini, dia bener-bener dikagumin sampai mati sama Callysta. Meskipun di sini, yang saya dapati dari sebab-akibat paling masuk akal dari perilaku seorang tokoh adalah si Vespernya. Adegan romantis mereka terlalu... Drama, fan-fiction(Kalau kamu pembaca fan-fiction pasti ngerti, deh, gimana perbandingannya). Mungkin juga karena udah nggak suka dari start awal cerita ini kali, ya.
Gaya penceritaannya juga nggak nyantol bagi pencari inspirasi macam saya. Pada beberapa bab, penulis memakai sudut pandang orang-1 sedangkan sisanya menggunakan sudut pandang orang-3 tanpa tedeng aleng-aleng. Tanpa pemberitahuan kalau sudut pandang berganti. Nggak sreg aja. Aneh menurut saya. Nggak konsisten.
Meskipun riset latarnya bener-bener dalem(two thumbs for it!), entah mengapa di beberapa part deskripsi riset terlalu maksa hingga berkesan 'tempelan'. Nggak terlalu ngaruh ke cerita. Apalagi deskripsi baju yang para tokoh pakai seolah-olah hal tersebut adalah wajib adanya. In case kalau ini novel tentang fashion, sih, nggak papa. Tapi nyatanya? Sisi positifnya, saya ngerti dikit-dikit istilah begituan.
Dan yang paling annoying adalah waktu adegan romantis yang kepaksa seperti putusnya tali sandal Callysta tiba-tiba padahal dia pake barang-barang milik sang Ibunda tiri yang notabene kaya abis. Terus adegan super-duper klise macem sinetron Indonesia jama sekarang kayak jebakan getah pohon oak waktu mereka nginep dimana gitu, lupa. Dan lain-lain, seingat saya banyak, deh, tapi nggak saya ingat karena mengingat kelemahan orang lain memang bukan hal yang pantas untuk dilakukan, bukan? Cuma mau bilang kalo adegan yang beginian nggak ngefek ke saya. Flat. Nggak ada yang berkesan.
*Sorry to say, tapi emang itu yang aku rasain sebagai pembaca. Sampai nggak semangat ngelarin buku ini dalam sekali baca.*
By the way, saya kira Last Minute in Manhattan maksudnya detik-detik terakhir di Manhattan, lho. Jadi salah satu tokohnya meninggal gitu. Eh, ternyata enggak.
Tapi seburuk-buruknya penulis, kita harus tetap mengapresiasi mereka karena sudah berhasil menghasilkan novel yang kini beredar di masyarakat luas. Saya tahu, kok, nulis itu nggak gampang. Dan nulis cerita berlatar luar negeri mungkin harus dipersiapkan dengan riset lebih. Jadi, teuteup. Thumbs up, deh, buat Kak Yoana udah berhasil ngentasin novelnya yang kesekian ini.
saya beli buku ini soalnya covernya bagus. saya belinya udah lama banget tapi sampai sekarang saya belum selesai2 bacanya dan gak tau bakalan selesai atau engga. menurut saya pribadi novel ini ngebosenin. dan saya kurang suka sama si callysta. bete aja, si vesper yang mati-matian nyelametin dia dari kuda malah gak di anggap sama callysta gara-gara topi rajut buatan neneknya rusak. oke, mungkin saya juga bakalan marah kalau kejadian itu nimpa saya. tapi kalau saya jadi callysta, saya bakalan pikir, oh, yaudalah, toh dia juga nyelamatin saya. toh dia gak sengaja ngerusak topi rajut saya. gak sekeras kepala callysta. saya jujur gemes sama si callysta. trus saya sebel juga sama mantannya callysta. kenapa masih ngejar2 callysta? trus sama mantannya vesper, ngapain juga masih gangguin vesper? trus kasian aja sama sodara tiri callysta, dia kok perannya baik banget sih? kayanya agak unfair gitu. soalnya gak ada cerita yang nguntungin gitu buat dia. ah, gatau deh bakalan ngelanjutin novel ini apa engga -.-
Okay, here I go, posting my first book rant! I finished this book while waiting in the park in the ever-changing weather...
...and went home with a terrible headache because I forgot to bring a pencil with me.
Eh? What does a novel and a pencil have to do with headache, you ask?
Simple--it's my new hobby-turned-habit. I would usually have pencils on the ready in case I find some misspellings, sentences I don't really get, punctuation, and words which have better synonyms in my native language. (I write my rants in English, but yeah, I just feel like writing rants in this language than Indonesian!)
Since the first few pages--5 or so, didn't remember... damn me for forgetting such an essential thing--QUESTION MARK! The main character's father asked her and there was a full stop after the sentence instead of the physiological (?) question mark.
Poof.
Reminds me of a previous novel by the same author I read for reference while writing a draft --> Till We Meet Again. It was full of my markings here and there, and this novel only survived because I didn't bring my freaking pencil.
Next item: the oh-so-detailed fashion description. I have to plead guilty that I am VERY prone to technobabble when I write something (practically anything, but I usually use technobabble in music, closely followed by science), so I had to bear with this one. Consider that Madame Butterscotch is tasting her own medicine, in some other form.
Then, of course, the conflict. I'm no good with conflicts either, especially since I mostly venture into slice of life (Thanks, ヨコハマ買い出し紀行 1 Yokohama Kaidashi Kikou 1 !), but... am I pathological for thinking that the love triangle, plus the surrounding situation too... cliche?
Okay, forget it. I am pathological when it comes to romance.
Anyway, I conclude that... it was OK. Might have given three stars if it didn't survive my furious pencil-marking and circling and note-scribbling.
Status goodreads ketika pertama kali membaca novel ini, "Aku suka Manhattan,, aku suka covernya, sketsa Manhattan dan jembatan gantung yang terkenal itu, apa ya namanya,, aku suka bentuk bukunya yang sudut2nya rounded,, aku suka sketsa yang ada halaman2 buku ini beserta quote yang tertulis di atasnya,, aku suka bonus postcard bergambar Manhattan,, dan semoga cerita yang ada dalam buku ini juga menyenangkan,,"
Iya, kesan pertama untuk novel ini adalah cantik, sesuai dengan kota Manhattan. Setiap chapter diawali dengan sketsa hitam putih dan kutipan lirik lagu J-Pop. Yeah J-pop, gak sesuai dengan novel yang bertemakan Manhattan ini.
Saya gak benar-benar masuk ke dalam novel ini. Cerita dan konfliknya klise. Ya, ada masanya saya menganggap hal yang dialami oleh Cally ini adalah masalah serius. Tapi sekarang, oh come on girl, life must go on. Emang udah gak pantas baca teenlit kayaknya, hahahaha.
Tapi saya suka dengan cara penulis mendeskripsikan kota-kota di novel ini. Sangat detail. Pemilihan diksinya juga bagus. Saya seolah bisa merasakan keindahan sunset di tepi pantai California dengan deburan ombak dan hembusan angin yang membuat suasana menjadi romantis. Apalagi ditemani dengan Vasper yang secara fisik ga kalah ma Edward Cullen. Hahaha. Too good to be true lah.
Gak merasa tertipu sih, karena sejak awal saya membeli novel ini untuk sketsa-sketsa yang cantik itu. Bukan karena ceritanya. Well, don't judge the book by it's cover. ;)
Buku ke-2 yang saya baca dari proyek "Setiap Tempat Punya Cerita". Jalan ceritanya sederhana "sebenernya", dari Callysta yg punya pacar yang ternyata play behind lalu ibu kandungnya yang bersikap tidak selayaknya ibu kandung. Callysta yg depresi berat sepertinya, menemukan dunia baru di Manhattan. Dia ikut Sophie, mamah barunya dan Mark, adik tirinya yang sangat baik dan ganteng xoxo
Di masa move-on dan memperbaiki hati, Callysta bertemu Sky, teman Mark yang jatuh cinta dengan Callysta. Sebagian besar novel ini menceritakan segala keruwetan percintaan yang ada di anak muda lulus SMA zaman sekarang.. Dari cemburu, event saat halloween, prom, dan camp! Banyak adegan-adegan romantis yang bikin Callysta dan tentunya pembaca melting dan kadang risih juga.
Novel ini juga banyak ilmunya buat beberapa orang tentang astronominya, love it!! Penjambaran tempat baguus dan jelas banget, seakan membawa pembaca berada disana. Tapi untuk penggambaran pada pakaian, terlalu detail, jadi bosan. Kan Callysta dan lain-lain sering kali bepergian dan sesering itu juga pakaian dijelaskan dengan detail.
Cover dan layout noveel bagus banget, ya sama lah dengan novel proyek "Setiap Tempat Punya Cerita" yag lain. gambar tiap bab-nya membuat semakin menarik untuk dibaca.
Btw, gak semua sekolah di Indonesia merayakan kelulusannya dengan piloks. SMA-SMA di beberapa daerah masih merayakan kelulusan dengan formal dan khidmat :)
jadi Callysta melarikan diri dari masalahnya ke California-rumah mama dan adik tirinya. ceritanya dia mau move on gitu, dan hellooo masalahnya? pacarnya ketauan selingkuh. iya udah gitu aja kok. Baru pacar selingkuh, belum ditinggal nikah, belum diputusin pake alesan yang nonsense, ga nyalahin ide pengarangnya, cuma gregetan aja kalau beneran ada sosok kaya gitu di dunia nyata.
Terlalu banyak eksposisi, karakter-karakternya tiba-tiba jadi kayak wikipedia (ngomongin data random), plotlinenya simple tapi gaada karakter yang likeable, author juga suka masukin topik-topik berat tapi dihandle dengan cara konyol & enteng. I.E: (SPOILERS) Eating disorders, abortions, PERNIKAHAN DINI. Mending baca buku lain.
This entire review has been hidden because of spoilers.
ahhh sukaaaa sama segala yang ada di novel ini mulai dari judul yang 'sesuatu' cover dan desain novelnya yang memikat... kat... kat *oke lebay* dan ceritanya yang ughhhh love story nya itu... baca aja yah pastinya romantis bikin meleleh >< i love this book so much!!!
i’ve read this one in middle school and i really like how the writer described the scenes in manhattan, felt like i was really on set with the characters.
Nemu buku ini di rak kayaknya sih punya temen yg ketinggalan. Setelah baca ini langsung mikir apa ini novel emang sengaja ditinggal ya? Berharap bakal jelasin dengan detail kehidupan orang di manhattan. Malah ini adanya dibagian akhir akhir doang. Ga klimaks aja sih ga menggambarkan kehidupan disana gtu. Pengen tau gtu gimana kehidupan pelajar disana terus hiruk pikuknya para pekerja. Ini beneran last minute dan sekilas banget gak menjelaskan banyak hal.
Maaf ya kali ini aku ga suka sama isi ceritanya yang terlalu klise dan terlalu banyak kebetulan. Penggambaran Vesper juga terlalu sempurna. Ga realistis aja sih ada cowok se-baik dan se-sempurna itu. Se-sayang sayangnya cowok pasti tetep pake logikanya buat berfikir. Karakter dia juga ga mendeskripsikan gentleman sih menurut aku. Kalo gentleman mah ya dia minta maaf aja, tapi dia janji bakal buatin itu topi buat dia. Daripada di rahasiain terus bikin salah paham sana sini kayaknya itu bukan gentleman deh.
Abram?? Yakin sih dia ga cakep cakep amat cuma menang title kapten basket aja.
Mark?? Sebagai adik justru dia yg lebih bijak dari callysta. Satu satunya karakter yang aku suka disini. Keliatan pembawaan dia yg tenang dan pas dia jelasin gimana sedihnya pas ayahnya meninggal keliatan dia bisa nerima keadaan. Bahkan pas mau punya ayah baru dia bener bener keliatan bisa menerima semua itu dengan lapang dada. Seharusnya sih Callysta bisa belajar ya dari dia. Sayangnya dia terlalu egois.
Callysta?? Hmm dia merasa yg paling menderita kah? Kok gak ada empatinya gtu ya? I dont think she is as beautiful as a beauty queen. Terlalu anak kecil buat pemikiran orang usia 18 tahun. Gara gara topi rajut dia ngambek. Teflon juga kayaknya ga cuma alat masak buat di amerika deh. Soal pecandu sumpah ini paling absurd (maaf ya) dia tau ga sih klo suntik itu bukan di ujung jari? Emangnya mau cek gula darah.
Sophie?? Ibu tiri yang baaaaaiik banget. Dia berusaha banget gimana caranya biar diterima sama anak tirinya. Dari ngurusin si callysta kayak milihin baju yang pas, ngajak dia potong rambut buat dapetin style yg pas biar rambut dia bisa ditata rapih. Harusnya sih dia mikir ya ibu tirinya baik gtu tapi dia malah mikirin kesedihan dia sendiri. Seru kan kalo misalnya ada satu part gtu yg bahas antara Sophie sama Callysta ngomong heart to heart. Tapi sayang ini gak ada.
Intinya aku ga suka sama novel ini. Aku baca sampe habis juga bukan karna suka. Cuma mau tau aja jalan ceritanya gimana dan memahami karakter mereka disini.
Ada beberapa hal yang membuat saya jatuh cinta kepada novel yang baru sempat saya baca di tahun ini. Sebuah kisah romanse klassik dengan tema kehidupan remaja pada masanya (perkiraan 7-8 tahun yang lalu), dibalut latar tempat yang digambarkan secara mendetail oleh penulis dengan melibatkan dua benua, benua Asia dan benua America, serta unsur ekstrinsik yang tidak kalah menariknya dari novel-novel yang pernah saya baca sebelumnya. Mungkin saya terlambat untuk menyatakan ketertarikan saya kepada tulisan yang diciptakan oleh Mba Yoana ini, sehingga saya harus mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada sahabat saya yang telah mengenalkan saya kepada novel ini dan berhasil membuat saya belajar banyak tentang kehidupan dari beberapa kutipan-kutipan yang ada.
"Tuhan mempertemukanmu dengan orang-orang bukannya tanpa alasan. Dia tahu kebutuhanmu. Dan, begitulah yang terjadi padaku, Callysta." Sophie melanjutkan. Hal.153
Kutipan tersebut membuat saya bergetar ketika membacanya, membuat saya hening sejenak untuk mengartikan maknanya dan tentunya membutuhkan waktu untuk memahaminya, sehingga saya tersadar dengan sendirinya bahwa kuasa Tuhan atas setiap situasi yang kita hadapi tentunya terjadi kerena ada campur tangan dari-Nya dan ada makna yang tersirat di dalamnya, meskipun kita tidak dapat memahaminya secara langsung. Saya suka bagaimana penulis menyelipkan kutipan-kutipan dalam setiap dialog maupun paragrap yang ada pada novel ini, meskipun beberapa lainnya terdengar familiar di telinga saya.
Sejujurnya saya kurang menikmati karakter pada masing-masing tokoh, entah mengapa saya tidak mampu menikmatinya secara mendalam. Namun tidak menuntup kemungkinan bahwa Callysta adalah sosok perempuan yang sama seperti perempuan lain pada umumnya (termasuk saya pribadi), seseorang yang mencoba untuk melupakan masa lalu meskipun sulit untuk dilupakan, lalu mencoba untuk menyelesaikan masalah dengan cara menghindar walaupun dia tahu bahwa menghindar tidak akan menyelesaikannya tetapi setidaknya dengan carai itu kita dapat memiliki waktu untuk mengrilekskan pikirannya sejenak sebelum mendapatkan pencerahan atas masalah yang telah dihadapi. Latar tempat yang digambarkan dalam buku ini adalah salah satu nilai tambahan yang membuat buku ini menarik untuk di baca. Seperti nama pada judulnya yang mengambil dari salah satu tempat terindah di kota New York, Manhattan, novel ini berhasil membawa kita ke tempat-tempat lain yang tak kalah indah dan menarik untuk dikunjungi meskipun hanya dalam sebuah buku. Saya teringat akan satu kutipan yang berbunyi "Buku adalah jendela dunia", dan saya rasa memang itu terjadi pada banyak buku yang telah saya, anda ataupun banyak orang telah membacanya, termasuk buku yang menarik ini.
Saya kira itu saja yang dapat saya sampaikan mengenai novel ini. Saya masih banyak belajar untuk dapat memberikan review atas buku-buku yang saya baca. Bintang 4 cukup untuk mewakilkan kepuasan saya atas pelajaran yang saya dapatkan dari novel "Last minute in Manhattan". Mungkin di lain kesempatan saya akan mencoba untuk membaca karya-karya lain dari Mba Yoana. Sekian dan terima kasih.
Aku tau Yoana Dianika dari bukunya yang Till We Meet Again. Aku pertama kali baca waktu SMP. Dulu kupikir bukunya keren, karena plotnya sederhana tapi deskripsi Wina-nya bagus dan detail banget. Setelah itu aku beberapa kali baca ulang, dan sekarang pun kalau baca lagi aku masih suka. It holds a special place in my heart.
Jadi aku semangat waktu ketemu buku ini di iPusnas. Aku udah dari lama banget mau bacain semua buku di seri STPC, dan Last Minute in Manhattan selalu menarik perhatianku.
Dan aku nggak meragukan deskripsi Yoana tentang setting buku ini (yang kukira bakal full di New York City, tapi ternyata lebih dari setengah buku dihabiskan di east coast, California). Aku masih menemukan deskripsi dan narasi detail yang aku cari, tapi beberapa bagian saking detailnya aku jadi merasa terkekang karena merasa didikte (dan beberapa part malah sebetulnya kayak berasa tempelan yang kalau di-skim nggak bakalan mengubah cerita juga). Aku enggak punya ruangan cukup untuk mengimajinasikan sendiri, jadi bosan. Mana buku ini lumayan tebal ya.
Plotnya sederhana dan di beberapa tempat agak klise, tapi yang bikin aku kasih bintang satu adalah; aku enggak suka karakter utamanya. Mungkin aku udah bukan target pasar buku ini lagi, tapi rasanya susah banget simpati sama Callysta yang dari awal sampai akhir enggak terasa berubah. Maggie dan Rachel saking ngeselinnya jadi berasa kayak karikatur dari villain banget. Tapi lucu juga sih bayangin Vesper dengan gayanya yang 2010s banget dengan poni lemparnya itu.
All in all, I really want to like this book. Unfortunately though, it is definitely not for me.
I'm someone who really likes new york sooooooo much makanya ketika aku liat buku ini diobral aku langsung oke-aku-akan-beli-buku-ini.
catatan putih aku untuk cerita ini; aku suka banget sama cara penulis untuk menjabarkan latar tempat di california ((bintang 5 untuk risetnya!! ⭐⭐⭐⭐⭐)), illustrasi yang memanjakan mata di setiap bab-bab nya.
catatan hitam untuk cerita ini; yang paling fatal adalah judul dan isi cerita yang kurang match:( judulnya last minute in manhattan dan ternyata latar manhattannya bener bener di LAST MINUTE CERITAA (50 lembar terakhir) yaampuuun itupun kayaknya nggak nyampe 10 lembar? huhu *kecewa*, itupun latar new york dipakai hanya untuk penjelasan atas konflik dibuku ini yang cuma perkara topi rajut? omg WKWKWK. karakter cally yang aku bencii bgt yaampun kamu ini cewek lembek banget.
aku butuh waktu nyaris seminggu untuk menyelesaikan novelnya karena aku bosaaan. hampir dnf tapi aku tipe orang yang nggak bisa meninggalkan buku kalau belum selesai dibaca. huffftt.
2⭐ untuk penulisnya yang sudah menyelesaikan buku ini dan risetnya yang —kupikir— cukup dalam. good job 🫶🫶
This entire review has been hidden because of spoilers.
Cerita tentang Callysta yang pindah ke Amerika Serikat karena ayahnya menikah dengan Sophie, alasan lainnya ingin move on dari mantannya yang selingkuh. Cally dikenalkan oleh adik tirinya, Mark, dengan sahabatnya bernama Vesper. Cally Vesper jatuh cinta tapi banyak konflik imut remaja yang menghiasi cerita ini, serta juga disuguhi setting lokasi di Hermosa, Sillicon Valley dan tempat lainnya. Konflik mereka seperti dugaan Cally bahwa Vesper tukang main cewe dan junkies membuat Cally meragukannya. Namun akhirnya mereka bersatu dan ingin menikah.
Kisah cinta remaja yang terlalu imut untuk dijadikan novel menurutku, dan yang aku tekankan disini adalah plis stop jangan membuat orang bingung jika emang bener-bener suka, dan stop menduga hal-hal yang tidak kita ketahui tanpa minta clarify dari orangnya langsung. jujur baca novel agak cape menguras energi karna masalahnya terlalu imut untuk dijadikan konflik cerita.
This entire review has been hidden because of spoilers.
this is a head versus heart review here. my head said it's just a three star read while my heart said it's a four star read
the first time i read this, i love this book so much. i was still 15 years old and full with hope, and i hope i can have the perfect life like the main female character. but now, years later, i realized her life is too perfect to be true and how very cliche this love story was (maybe because this is the 4th time i read it) but yeah, as i get older, this book seems more cheesy and kind of like another cinderella story (and i dont have as much hope as 15 yo me, but at least more sense lol)
the thing i really hate about this book is the female character. she is a coward, so childish and naive, like a damsel in distress while the author made the male character too perfect (i assure you, you will never find a guy this good in real life)
well i love it, pertama-tama buku fisiknya cantik sekali karena punya banyak ilustrasi yang buat tidak bosan dan eksplore lagi persoalan latar tempat dalam ceritanya. sebenarnya buku ini memang di sarankan untuk pembaca remaja karena jujur plot nya hanya lurus dan kebanyakan tokohnya klise (i agree with the others review about that).
ini memang menceritakan callysta yang patah hati karena diselingkuhi dan pindah di dekat pantai California, Amerika Serikat. jujur saja perjalanan ceritanya menurutku bagus walaupun karakter nya sebenarnya (lebih cocok masuk ke kategori teenlit) ala-ala anak SMA begitu.
karena setelah baca dua kali bukunya pun aku merasa berbeda. waktu pertama kali baca kelas 8 dan ya ahahahaha suka sekali bukunya, tapi setelah baca dua kali, (sekarang sudah mau beranjak kepala dua) memang terasa tidak realistis.
Bukunya sangat page turner sekali, tidak menyangka akan menyelesaikan 400 halaman dalam satu hari. Yang aku suka dari buku ini, selain kisah romansanya, juga penggambaran mengenai kehidupan dan budaya yang ada di California dan tempat lainnya yang diceritakan di buku ini, berasa nonton film luar negeri gitu deh haha. Ceritanya ringan, cuma emang cenderung lambat sih alurnya, gregetan juga sama Sky yang seolah tidak bisa cepat mengambil tindakan, dan endingnya... wow, tidak menyangka, dan agak kecewa gitu ya, karena yang mendasari si Sky nikah ini karena ayahnya mengizinkan dia buat bergelut di bidang astronomi....
aku kurang merasa feel buku ini, cuma konstan aja, karena udah males dengan segala keplinplanan Callysta. tapi ceritanya bagus kok, tipikal kehidupan remaja US terlebih sosok Mark serta segala ilustrasi di buku ini menjadi point plus! Ohiya, sosok Vesper bikin aku mau minta maaf berulang kali karena udah cap dia red flag abis dengan hanya penggalan prolog di buku ini :")
Ini adalah novel seri STPC ke-6 yang sudah kubaca. Menurutku mungkin novel ini bisa diperingkas lagi. Dengan novel 407 hlm aku sedikit lumayan bosan. Ya, cerita khas remaja sih tapi konfliknya agak nanggung juga lebay. Asal judge dan ngga mau bertanya dulu. Jadinya miskom antar tokoh. Lumayan bertele-tele.
Baru baca kalimat pertama di bab 1 rasanya ugh pengen unyel2 ni buku:" karakter utamanya juga nyebalin batsss adjshshshs gasanggup mau baca keseluruhan buku ini, selesai baca bab 1, sekianlah sudah. Ah bikin bad mood banget:"( give my money backkk