Wagimin bimbang antara mempertahankan layangan atau menukarnya dengan pil kina yang bisa menyembuhkan sakit emaknya. Namun, pil kina itu pemberian Jan, salah satu serdadu Belanda. Wagimin membenci Belanda, tapi Jan berbeda. Layangan membuka persahabatan kecil di tengah perang revolusi. Apakah Jan bisa dipercaya saat mengatakan bahwa ada mata-mata Belanda di antara para gerilyawan?
adalah seorang penulis buku Indonesia tahun 70 hingga 80-an. Dia dikenal sebagai penulis buku fiksi-ilmiah seperti seri Penjelajah Antariksa (Bencana di Planet Poa, Sekoci Penyelamat, Kunin Bergolak), Jatuh ke Matahari dan sekuelnya, Bintang Hitam. Selain menulis buku fiksi-ilmiah, Djokolelono juga dikenal sebagai penulis buku anak-anak, seperti seri Astrid, dan beberapa cerita wayang. Djokolelono juga adalah seorang penerjemah. Buku-buku yang ia terjemahkan antara lain Petualangan Tom Sawyer dan karya Mark Twain yang lain, seri Pilih Sendiri Petualanganmu, seri cergam Mimin, seri Mallory Towers dan buku-buku Enid Blyton yang lain, dan seri Rumah Kecil Laura Ingalls Wilder[1]. Karya-karyanya diterbitkan oleh Pustaka Jaya (PT Dunia Pustaka Jaya), Gramedia, dan BPK Gunung Mulia.
Satu lagi historical fiction karya Eyang Djokolelono yang keren. Novel ini berkisah tentang persahabatan Wagimin dengan seorang Tentara Belanda, yang akhirnya menempatkan keduanya ke banyak konflik yg cukup menegangkan. Dengan latar zaman peperangan, Eyang menggambarkan bagaimana anak-anak melihat 'perang'. Tapi keren, sih, meskipun diterbitkan di tahun 1977, dibaca sekarang pun masih seru. Sayang, cukup banyak typo-nya. Tapi, tetap seru dan tetap suka karya-karya Eyang Djokolelono!
Buku fiksi sejarah yang mengasyikkan dan dikemas dengan sedemikian sederhana. Bacanya nagih karena eyang Djoko membawaku berkelana melintasi waktu menuju sebuah daerah bernama yang digonjang-ganjing oleh perang.
Sebetulnya aku tidak terlalu berfokus pada persahabatannya Wagimin dan Jan yang tidak terlalu banyak disorot karena kisah ini hanyalah pemanis dalam buku ini. Namun taktik perang serta suasana perang inilah yang membuat ceritanya menjadi sangat menegangkan.
Btw, ceritanya memang cukup potensial hanya saja cara eyang Djoko menyelesaikan ceritanya sama sekali tidak menyenangkan, ibarat lagi dikejar deadline dan dibuat seakan sudah saatnya cerita ini selesai. Padahal masih ada beberapa pertanyaan yang belum dijawab yang sebenarnya masih perlu untuk dijelaskan.
Novel ini berlatarkan masa revolusi, ketika Belanda hendak kembali menjajah Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya. Tentara kerajaan Belanda pun diturunkan untuk menumpas para gerilyawan.
Tokoh utamanya Wagimin. Ia memiliki seorang kakak yang wakil komandan pasukan gerilya. Dalam usia belia (mungkin baru awal belasan tahun) Wagimin sudah paham tugas-tugasnya, baik dalam membantu perjuangan gerilya maupun urusan rumah tangga.
Bertemulah Wagimin dengan Jan van Dijkum atau--dalam lidah Jawa--Pandikem. Ia tentara kerajaan Belanda yang sedang ditugaskan berpatroli ke rumah-rumah warga, di antaranya rumah Wagimin.
Sejak awal kemunculannya, van Dijkum sudah ditampilkan dengan amat simpatik. Ia masih muda, bermata biru, dan tampan. Ia sudah dapat berbahasa Indonesia, namun belum sempurna. Kekakuannya dalam berbahasa Indonesia itu dinyatakan lewat dialog yang jadinya menimbulkan kesan lucu. Ia berusaha meyakinkan Wagimin bahwa Belanda datang dengan maksud baik, yang tentu saja ditampik dengan perlawanan sengit.
Namun, rupanya van Dijkum ini baik hati pula. Mengetahui bahwa ibu Wagimin tengah sakit, ia hendak memberikan obat. Namun Wagimin tidak mau menerima pemberian Belanda begitu saja secara cuma-cuma. Melihat bahwa Wagimin tengah membuat layang-layang sowangan yang menarik hati, van Dijkum menawarkan agar obat untuk ibu Wagimin ditukar dengan benda itu. Wagimin pun sepakat.
Demikian awal persahabatan keduanya, yang berlangsung sangat singkat. Mereka sempat main layang-layang dan mengail ikan bersama, hingga van Dijkum membocorkan rencana Belanda terhadap gerilyawan.
Cerita ini tidak berfokus hanya pada hubungan persahabatan Wagimin dan van Dijkum. Mereka sekadar perwakilan dari pihak-pihak sebenarnya yang tengah berkonflik, yaitu gerilyawan versus Belanda. Maka ditunjukkan pula situasi-situasi ketika para pemimpin masing-masing pihak tengah berembuk merancang strategi untuk menggempur satu sama lain. Strategi tersebut berubah-ubah, bergantung pada masuknya informasi terbaru.
Cerita bertambah seru ketika terungkap bahwa ada agen ganda di antara mereka. Tokoh ini telah muncul berkali-kali sejak awal namun hanya sepintas lalu, sehingga tak disangka bahwa dia ternyata diam-diam menjalankan peran penting yang menentukan jalannya pertempuran.
Cerita pun berjalan mengikuti alur dramatis. Melewati pertengahan cerita, timbul adegan-adegan menegangkan yang mengandung aksi lagi mengancam nyawa. Meskipun novel pendek ini kemungkinan ditujukan bagi anak-anak, bolehlah ada sedikit kekerasan. Lagipula ini menyangkut urusan penting, yaitu mempertahankan kedaulatan negara!
Wagimin pun dapat lolos dari maut dan mengungsi bersama keluarganya, sementara kakaknya terus berjuang bersama para gerilyawan. Berkat informasi dari Wagimin--yang dibeberkan oleh van Dijkum--mereka berhasil mengatasi Belanda. Sebuah jembatan--jembatan Beru--dihancurkan untuk memutus masuknya perbekalan bagi Belanda.
Rupanya Belanda masih dapat menerima pasokan dari langit melalui pesawat-pesawat. Namun perang akhirnya disudahi setelah tercapai kesepakatan lewat jalur diplomasi.
Nasib Pandikem selanjutnya tidak diketahui, padahal Belanda telah mengetahui bahwa lagi-lagi dia membocorkan strategi pihak mereka.
Di situ saya merasa kecewa.
Tahu-tahu saja sudah dua puluh kemudian, ketika Wagimin kakak beradik sudah pada jadi "orang". Good for them, tapi van Dijkum pun tidak kalah berjasa. Terlebih, karakterisasinya telah dibangun sedemikian simpatik. Lebih daripada sekadar informan dadakan, dia pun sesungguhnya pencinta damai. Dia menjadi tentara karena terpaksa. Ayahnya sendiri (kalau enggak salah) tentara yang terbunuh saat Jerman menjajah Belanda. Dia bukan penyanyi maupun gitaris yang berbakat, kerap diejek rekannya, pembual, ceroboh, dan mengalami homesick. Sungguh sayang apabila ujungnya dia mati begitu saja dalam usia muda, entahkah dari pihaknya sendiri sebagai hukuman atas keceplas-ceplosannya ataukah dari pihak gerilyawan yang tidak sempat mengenali bentuk rupanya sebagai informan yang telah berjasa bagi perjuangan mereka.
Cerita yang terasa demikian bagus dan seru, baik dari segi karakterisasi, deskripsi latar, hingga alur, belum lagi humornya, tiba-tiba saja diakhiri, seperti yang terburu-buru, dan menimbulkan ketidakpuasan bagi pembaca--saya, maksudnya.
Dalam ketidakpuasan itu, teringatlah saya pada sosok Princen (1925-2002). Ia juga tentara Belanda yang kemudian membelot ke pihak gerilyawan. Ia dicap pengkhianat oleh negaranya namun seterusnya menjadi pahlawan kemanusiaan bagi bangsa Indonesia. Ia dikaruniai umur yang cukup panjang walau dalam keadaan sakit-sakitan. Yah, mungkin saja karakter van Dijkum terinspirasi dari tokoh ini dan begitu pula dengan nasib dia selanjutnya yang tidak diceritakan dalam novel ini. Kalau memang begitu, sepertinya tidak buruk amat (*menghibur diri).
This entire review has been hidden because of spoilers.
buku history fiction yang cukup ribet tapi bisa dikemas dalam jumlah halaman yang sedikit. adegan paling seru jelas waktu pembaca tau siapa pengkhianat di antara mereka. walau pengkhianat ini rasa-rasanya ga terlalu banyak diceritain tapi tetep aja ngagetin. yang seru tuh karena kita sebagai pembaca ga dikasih tebak-tebakan dan curiga ke salah satu orang misal karena pendapat atau tingkahnya. ga ada clue siapa pengkhianatnya, jadi seru. walau ada adegan di mana pembaca mungkin sadar sih, ini orang (pengkhianatnya) ngapain nguping dan diem-diem segala.
kekurangannya ada di saat jelasin strategi yang menurutku ribet dan toh sebagai pembaca aku ga akan inget strategi mereka (sampe nama-nama tim dan jalur yang mereka tempuh, dsb). tapi masih oke sih, ga bikin buku ini kekurangan nilai seru.
kelebihannya adalah penulisan yang ga belibet, to the point, dan ada beberapa kali ngambil sudut pandang yang beda. walau tokoh utama di cerita ini adalah wagimin, tapi pembaca juga dikasih sudut pandang dari tokoh lain bahkan dari belanda sendiri (yang mana akan memudahkan pembaca buat paham kenapa nanti sahabat belandanya wagimin ditangkap). sayangnya, sahabat belanda wagimin yang aku lupa namanya itu, ga diceritain gimana akhir hidupnya. meninggal? kabur? atau apa? karena wagimin bisa berperan hancurin jembatan itu dan tau siapa pengkhianat di antara pasukan gerilya kan karena dia. artinya jasa dia cukup besar dan penting, tapi seingetku ga ada penjelasan akhirnya dia ke mana.
Waktu masih imuts, saya belum pernah membaca buku ini. makanya begitu cetul dengam versi beda, langsung beli.
Kisahnya kurang lebih berkisar pada zaman perang kemerdekaan. Sebuah keluarga sedang bersedih karena sang ibu menderita sakit, diduga terkena malaria. Ketika kampung mereka sedang digeledeh untuk mencari pejuang yang diduga bersembunyi.
Sungguh kebetulan! salah seorang prajurit datang justru memberikan obat. Wagimin yang berada dirumah awalnya ragu,ia sangat membenci Belanda, tapi kesembuhan ibunya lebih penting. Plus, prajurit yang memberikan obat sepertinya berbeda. Akhirnya keduanya seoakat untuk melakukan barter.
Belakangan keduanya malah menjadi sahabat. Terlihat pada kover juga bukan? Melalui prajutit tersebut juga Wagimin mendapat informasi tentang kegiatan Belanda yanflg ia laporkan pada kakaknya, si pejuang.
Ternyata, semuanya tidak semudah yang terlihat. Ada mata-mata diantara para gerilyawan, ada yang memanfaatkan kebaikan dan kemurnian jiwa prajutit Belanda sahabat Wagimin.
Pembaca akan menemukan banyak narasi terkait perjuangan para gerilyawan. Serta bagaimana taktik yang disusun kedua belah pihak selama pertempuran.
Buku ini dapat memicu rasa nasionalisme pada anak-anak yang membacanya. Mereka beruntung karena tidak mengalami masa saat perjuangan. Belalui buku ini, mereka akan menemukan banyak narasi terkait perjuangan para gerilyawan. Serta bagaimana taktik yang disusun kedua belah pihak selama pertempuran.
Pada akhirnya,kisah ini ditutup dengan indah. Wagimin sudah menjadi dewasa, demikian juga dengan kedua kakaknya.
Oh ya,lokasi kisah dalam buku ini adalah desa kelahiran Eyang lho.
Buku ini amat potensial dibaca pembaca muda, apalagi kalau momennya bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan. Meski kompleks yang bukan cuma soal persahabatan dua anak Indonesia-Belanda tapi juga strategi militer, ceritanya berhasil membuat pembaca muda merasakan tegangnya masa-masa perjuangan.
Di tengah jauhnya keseharian anak zaman sekarang dari kisah kemerdekaan, buku seperti ini bisa jadi jembatan emosional yang penting. Apalagi ada adegan pengkhianatan yang bisa jadi bahan obrolan soal nilai moral bersama anak-anak.
Masuk dalam Seri Klasik Semasa Kecil, plus gambar sampul yang luar biasa ciamik, membuat buku ini terasa spesial.
Satu hal saja yang cukup mengganggu: saltik-nya yang wallahi. Padahal biasanya saya lumayan santai soal hal-hal manusiawi beginian.
⭐4,3 Cerpen hisfic yang berlatar tempat di Beru ini bisa dihabiskan dalam sekali duduk karena halamannya yang under 100. Pengambil latar waktu pada masa penjajahan Belanda × Gerilyawan dan tidak hanya terfokus pada perlawanannya saja namun juga kehangatan hubungan yang terjalin (utamanya), jadi hal yang bikin aku 'sembuh' dari reading slum di tahun 2025 ini. Konfliknya ringan juga eksekusi klimaks ceritanya bagus (dan cukup plot twist buatku). Hisfic hangat yang dikemas dengan sederhana sekaliii!!
Baca di ipusnas. Kisah pendek tentang pejuang gerilya melawan tentara Belanda. Melalui intrik, rekayasa, dan pengkhianatan, kita diajak untuk ikut tegang dan waswas mengenai siapa yang nantinya akan berhasil memerangkap siapa.
Seru yang ini. Cerita di jaman revolusi kemerdekaan. Seorang anak kampung bersahabat dengan tentara Belanda yang lugu. Yang (mengaku) pintar main layang-layang dan memancing. Ternyata dia juga bisa rakus makan jemblem. Tapi gimana ya nasib Pandikem itu. Moga-moga dia baik-baik saja T_T.