In the twentieth century, many countries around the globe experienced rapid and often traumatic political transformations. From East Germany and Northern Ireland to Argentina, Chile and Zimbabwe, political transition has been momentous and has had a deep impact on the individual culture of each society. This collection explores these periods of political transition and the impact that they have had through an analysis of memory, identity, space/place and voice. Concentrating in particular on post-colonial and post-oppressive regimes in Europe, Southern Africa and Latin America, the contributors assess how individuals come to terms with rapid political change, and the enduring legacies of the past in the present. They examine how political transformations affect people's memories and identities, reworking spaces/places and voices, and how both offical and unofficial mechanisms set up to cope with these changes impact on these issues. Juxtaposing different country and regional experiences and different historical eras, this is a comprehensive guide to the vast range of issues involved in political transition that will appeal to a multidisciplinary audience.
langsung naik ke rak currently reading. Kudu dibalikin cepet soalnya. Dipinjem juga karena kalimatnya mengalir dan quotable. Identitas nasional di negeri pasca-rejim otoriter adalah persoalan pelik. Bagaimana menentukan "kekitaan" dan itu jelas terkait dengan persoalan masa lalu (collective memories) dan juga bagaimana merajut masa depan (buku teks kok jadi rada lebay romeo teu pararuguh di tangan gue yaks? :D)
Di bagian Introduction dari Greadyyang mengutip Ignatieff (1996, hlm. 116) yang menarik dalam menyoal identitas bangsa dalam masa transisi politik: " nations... do not have a single identity...National identity is a site of conflict and argument, not a silent shrine for collective worship"
Karena buku ini adalah reading yang artinya kumpulan naskah terpisah dalam satu tema, maka.. bacanya bisa lompat-lompat. Ada 16 bab (termasuk Introduction) dalam buku ini. Hasil kajiannya dibagi menjadi empat bagian besar: Politics of Memory, Identities, Re-Making Space, dan Testimony and Voices. Kasusnya diambil dari negara-negara Eropa (Jerman, Irlandia, Spanyol), Afrika (Afrika Selatan, Zimbabwe), Amerika Latin (Chili di pasca-Pinochet).
Lepas Introduction saya mau langsung ke bab 6 yang berjudul Continuity and Discontinuity of East German Identity Following the Fall of the Berlin Wall: A Case Study. Kalimat yang menyitir Nietzsche (dikutip dari McFalls 1995: 143) pertamanya menarik: It is typically German to ask what is to be German. Sekaligus mengigatkan film Good Bye Lennin dan film The Lives of Others. Yang pertama cerita bagaimana keruntuhan Tembok Berlin dapat dicerna sebagai sesuatu hal yang berbeda dari satu keluarga yang beda generasi. Film kedua adalah perdamaian yang indah antara mantan Stasi dan seorang aktor yang diintainya. Film ini keren kalimat terakhirnya. Di toko buku, si mantan agen membeli buku yang ditulis oleh si aktor. Ketika ditanya oleh Kasir saat membayar, "apakah perlu saya membungkusnya?" Si agen menjawab, "tidak perlu. itu untuk saya sendiri." Dan memang benar, di halaman awal buku itu tertulis si aktor mendedikasikan karyanya untuk si mantan agen yang pernah membantunya dengan cara yang indah.
Kalimat awal yang catchy dan ingatan yang menggoda bisa jadi menambah semangat untuk menamatkan babnya!*