Pengakuan: Eks Parasit Lajang (Kepustakaan Populer Gramedia, 2013) adalah autobiografi seksualitas dan spiritualitas Ayu Utami. Seperti Cerita Cinta Enrico, kisah nyata ini ditulis dalam bentuk novel, dengan tokoh A, seorang perempuan yang memutuskan untuk melepas keperawanannya di usia dua puluh tahun, untuk sekaligus menghapus konsep keperawanan yang baginya tidak adil. Selama tahun-tahun berikutnya, yang ia coba lakukan dalam hidup pribadinya adalah melawan nilai-nilai adat, agama, dan hukum negara yang patriarkal. Tapi, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa patriarki adalah fakta sejarah.
Justina Ayu Utami atau hanya Ayu Utami (lahir di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968) adalah aktivis jurnalis dan novelis Indonesia, ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Akhir 2001, ia meluncurkan novel Larung.
Setiap kali mengobrol dengan sekumpulan ibu-ibu di suatu acara keluarga, selalu muncul obrolan soal jodoh seseorang, pernikahan, anak, dan hal-hal lain sejenis. Seolah-olah pencapaian perempuan paling berhasil adalah menikah, dan punya anak lelaki dan perempuan. (Coba kalau anaknya perempuan semua, pasti masih ditanyain,”Nggak mau nambah jagoannya, nih?” Walaupun anaknya sudah tiga perempuan.) Pertanyaan kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah, cuma berakhir ketika kamu punya anak lelaki dan perempuan.
Lama-lama hal ini menjadi salah satu pertanyaan yang menjadi budaya perkenalan. Bukan hanya di kalangan keluarga, dari seseorang yang kamu baru kenal di bis antarkota pun muncul pertanyaan itu sesudah rentetan pertanyaan dan dijawab sudah punya anak satu. “Nggak nambah?” Ya ampun! Ini mau tahu aja atau mau tahu banget sih? Who are you anyway? Dan aku pun langsung ilfil malas melanjutkan percakapan.
Aku berterima kasih sekali pada Ibu Kartini yang terkenal sehingga membuat perempuan bisa melek ilmu pengetahuan, mendapatkan pengajaran yang sama dengan lelaki, sehingga bisa tetap menghidupi dirinya sendiri, walaupun lajang. Iya, menjadi lajang tidak ada salahnya kok. Selama punya achievement atau interest yang membuat ia menjadi dirinya sendiri, tidak ada yang salah dengan melajang. Prestasi seorang perempuan yang melajang sama hebatnya dengan ia yang memutuskan berumah tangga dan mengurus anak-anaknya.
Kalau dilihat dari cerita di buku ini, Ayu Utami tidak benar-benar 'lajang', ah. Ia hanya tidak menikah, namun memiliki kekasih yang siap menemaninya berbagi banyak hal seperti seseorang yang menikah juga. Bedanya hanya tidak tinggal bersama, sehingga tidak ada masalah-masalah bersama yang timbul seperti kalau orang hidup bersama baik sebagai suami istri maupun bukan suami istri.
Membaca kehidupan seksnya yang dahsyat itu, rasanya tidak benar kalau ia menyebut dirinya lajang. Ia hanya tidak menikah sah saja. Namun kalau membaca bahwa ia bebas menentukan keputusannya sendiri, tidak diatur-atur kekasihnya, benar juga. Ia lajang. Ia menjadikan dirinya sebagai subyek, bukan hanya sebagai objek pasangan laki-laki yang menjadi kekasihnya.
Melihat Ayu yang menentukan dengan siapa ia ingin bercinta ketika berusia 20-an, aku masih menganggap ini bukan anjuran untuk berhubungan seks pada usia dini, tapi melihat bahwa ini salah satu yang disimbolkan bahwa perempuan bisa memilih apa yang ia inginkan, bukan karena desakan keluarga atau dorongan hasrat atau karena kondisi teman-teman yang punya pasangan. Pilihan perempuan untuk menjadi perawan hingga ia menikah, ataupun menjadi tidak perawan. Pilihan itu harus bertanggung jawab, kan?
(walau demikian, aku akan mengijinkan anak perempuanku memilih apa saja asal bertanggung jawab ketika ia dewasa nanti, tapi soal keperawanan ini, aku menganjurkan sesuai ajaran agama saja)
Ada kalanya orang memutuskan untuk melajang karena banyak hal, misalnya : laki-laki memang menyebalkan, malas diatur-atur, ingin keliling dunia, tidak ingin punya anak, ingin bebas, tidak ingin menyandang nama suami, dan hal lain. Ini tentu di luar pilihan bahwa memang tidak ada laki-laki yang bersedia menjadi teman hidup, seperti halnya kedua bibi Ayu yang akhirnya tua menjadi pendengki dan sirik karena tidak menikah, terpengaruh hukuman sosial yang dijatuhkan masyarakat kepada mereka karena mereka tidak menikah. Apakah lebih baik memandang melajang itu sebagai sebuah pilihan, daripada nasib? (Itu juga kalau mentalmu cukup kuat untuk mengakuinya sebagai pilihan).
Padahal rasanya lucu juga, banyak orang di awal 20-an sudah memiliki impian untuk tidak melajang, tapi ketika mereka memasuki umur 30-an dan sedang mengasuh anak yang sedang lucu-lucunya, tapi membaca status teman-temannya di facebook (yang masih lajang) yang masih bisa jalan-jalan ke mana-mana, ikut kegiatan ini itu, lalu timbul komentar : iri deh, bisa ngapa-ngapain. Sementara si teman yang lajang mulai gerah dengan pertanyaan kiri kanan : kapan menikah dan berpikir, kapan nih punya pasangan??
Nah, jadi sebenarnya nggak ada yang perlu diiri-irikan, kan? Semua pada posisinya sama-sama ada enak dan nggak enaknya. Nggak semua perempuan punya pasangan menikah yang begitu pengertiannya sampai bisa tetap menjalankan kegiatan ala lajangnya itu ketika ia sudah menikah.
Tapi menurutku, perempuan harus punya sesuatu achievement yang membuat ia harus selalu dihargai, bukan hanya dihargai sebagai bagian dari ajaran moral dan agama, namun sesuatu yang benar-benar berarti, yang bisa menopang dirinya sendiri tidak tergantung pada ada tidaknya pasangan pada dirinya. Seperti ayam betina atau kucing betina atau betina lain yang tetap mencari makan untuk anak-anaknya sementara ia juga harus mengurusnya (dan ayam jantan tetap berkokok, serta kucing jantan tetap berburu tikus), sepertinya perempuan memang sudah seharusnya bisa melakukan segalanya, lajang atau tidak lajang. Tidaklah salah menjadi lajang, senikmat dengan mereka yang memutuskan menikah. Seperti juga menikah pun punya hal-hal positif yang diambil bukan sekadar tuntutan tradisi, dan membuat kondisi normal buat kebanyakan opini. Lalu kalau perempuan bisa segala hal, buat apa lelaki? #eh
"Tapi percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang lelaki dan perempuan. Yaitu bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari ini, aku tetap mengatakannya itu sungguh tidak benar dan tidak adil." h.151
Kalau seandainya saya menanggalkan pakaian saya, telanjang lalu memutuskan melepaskan keperawanan saya dengan pria yang saya cintai atas dasar saling suka dan dengan penuh tanggung jawab di luar mahligai pernikahan, apakah itu artinya saya masuk ke golongan sundal atau hal yg biasa saja, toh kami sudah cukup dewasa dan bisa bertanggung jawab?
Ayu memiliki dogma-dogma yang menurut saya terlalu berbelit-belit. Diceritakan dia dan kekasihnya termasuk penganut agama yg taat. Definisi ketaatan iman versi Ayu yang jujur ingin saya pertanyakan. Kalau menurut Ayu definisi iman dan taat artinya, maaf rajin ke gereja, baca alkitab, atau rajin sembahyang. Kok ya saya merasa janggal yah.. Sekelas Ayu dengan essaynya yg kritis ternyata pemahaman mengenai ketaatan iman terlalu sempit. Seandainya dia tidak berulang-ulang menyebut "taat beragama", saya mungkin akan lebih menikmati novel ini sebatas anomali kehidupan.
Ayu di novel ini juga seperti ingin mendapat affirmation dari pembacanya bahwa yang dia lakukan itu tidak benar-benar salah. Ayu di novel ini menjadi sangat labil. Buat saya pribadi, kedua hal tersebut sangat mengganggu. Dari tiga otobiography Ayu, mungkin cuma Cerita Cinta Enricco yang saya kategorikan bagus.
Pengakuan Eks Parasit Lajang adalah otobiografi seksualitas dan spiritualitas pertama di Indonesia. Kisah nyata ini ditulis lagi dalam bentuk novel dengan tokoh A , seorang perempuan yang melepaskan keperawanannya diusia dua puluh, untuk sekaligus menghapus konsep keperawanan yang baginya tidak adil. Selama tahun-tahun berikutnya, yang ia lakukan dalam hidup pribadi adalah melawan nilai-nilai adat, agama dan hukum yang patrilkal.
Dengan mengambil alur maju mundur, buku ini memperkenalkan A kecil dan A dewasa. Dimana kedua nya memiliki sistem sendiri yang sulit di tembus.
Cara bercerita penulis yang cukup baku dalam bahasanya , membuat buku ini mungkin akan terasa seperti buku pelajaran yang harus dibaca berulang-ulang 😂😂
Yang sangat aku sukai dari cerita ini merupakan konfliknya, konflik yang tersaji didalam cerita sangat berani dan mengambil isu yang sangat sensitif dan bertentangan dengan norma-norma yang ada.
Dan tokoh yang sangat aku sukai perkembangannya. Dari mulai Awal. pertengahan hingga eksekusi cerita, aku sangat menyukai perkembangan tokoh A. Yang keras kepala namun tetap tersentuh pada setiap keharusan.
Sayangnya aku belum membaca buku pertama, Parasit Lajang, dan buku kedua Cerita Cinta Enrico, dan aku jadi penasaran bagaimana cerita A disana.
Terakhir aku sukaaaa sekali cerita nya, ya, aku jatuh cinta sama apa yang ada didalam cerita, bagaimana sistem pada diri A membuat aku berfikir "Apa benar ada orang seperti A dikehidupan nyata?"
Setelah sekian lama, akhirnya aku membaca karya Ayu Utami lagi. Terakhir kali dulu aku membaca Saman dan Larung saat masih SMA, dan saat itu tak begitu mengerti ceritanya (mungkin nanti akan kubaca lagi). Setelah itu aku sempat membaca buku naskah teater Sidang Susila, dan sejujurnya tak bisa menikmatinya. Kedekatanku dengan buku-buku FLP dan novel-novel Islami membuatku menjauhi karya geng Sastra Wangi.
Aku kemudian tertarik membaca buku ini, karena ulasan salah seorang anggota di pertemuan Payung Literasi Malang di event Semesta Buku. Dia menceritakan bahwa Pengakuan: Eks Parasit Lajang ini adalah kisah nyata Ayu Utami yang akhirnya memutuskan nikah setelah sebelumnya memproklamirkan diri tidak akan menikah. Rasa penasaranku pun langsung terpantik.
Di kata pengantarnya, Ayu mengatakan bahwa ia menulis buku ini sebagai semacam penjelasan bagi para penggemarnya yang kecewa karena dirinya akhirnya menikah (meskipun hanya menikah secara agama).
Di sini diceritakan masa kecil Ayu yang polos. Dia adalah anak bungsu. Ayahnya adalah seorang jaksa dan ibunya mantan guru Matematika. Ia mengatakan ayahnya yang keras itu adalah keturunan monster, sedangkan ibunya yang lembut adalah keturunan bidadari. Dua kakak ayahnya yang Ayu panggil sebagai "Bibi Gemuk" dan "Bibi Kurus" tinggal bersama mereka. Dua bibi ini tidak pernah menikah dan Ayu mengatakan mereka tampaknya mendengki pada para wanita yang sudah menikah, termasuk ibunya. Kakak Ayu pernah mengatakan bahwa bibi mereka memfitnah ibu Ayu selingkuh sehingga sang ibu nyaris diusir oleh ayahnya. Namun, saat itu Ayu kecil dekat dengan para bibi karena mereka rajin mendongenginya dengan dongeng-dongeng maupun cerita hantu. Gara-gara mereka, Ayu jadi takut hantu saat kecil, dan ketakutan melihat tengkorak penampang di sekolahnya yang ia kira sebagai hantu jerangkong.
Masa kecil Ayu sempat agak tercemar karena dia sudah berkenalan dengan pornografi gara-gara adik kelasnya. Adik kelasnya memperlihatkan gambar seorang perempuan yang sedang melakukan seks oral terhadap lelaki. Saat itu Ayu masih tak terlalu mengerti. Dia bahkan sempat membuat pengakuan konyol pada pastor di sekolahnya.
Saat kecil, adakalanya dia suka mendengar teman-teman di kelasnya menceritakan cerita-cerita cabul. Saat momen pengakuan dosa, dia pun berkata kepada pastornya bahwa ia sudah melakukan perbuatan cabul GUBRAK! Cara mengakunya error pula: "Tadinya saya cuma menonton teman-teman saya berbuat cabul, kemudian akhirnya saya ikut-ikutan."
BLAR!
Sang Pastor pun menghukumnya membaca doa rosario panjang tiga kali yang harus dia baca. Sampai semua temannya pulang pun dia tidak selesai. Akhirnya dia tidak menyelesaikan doa itu dan pulang karena merasa tidak adil, kenapa teman-temannya yang lebih banyak ngomong cabul bisa pulang lebih cepat darinya?
Perlu diingat bahwa saat itu dia berusia 9 tahun. Aku malah heran sang pastor nggak langsung menyelidiki apa benar anak-anak sekecil itu berbuat cabul di kelas XD Ayu lalu menceritakannya pada teman yang langsung menertawakan kebodohannya. Sang teman bilang bahwa berbuat cabul itu tidak sama dengan mendengarkan cerita cabul. Teman itu berkata bahwa perbuatan cabul adalah suatu aktivitas berciuman yang bisa membuat perempuan hamil. Ayu tak juga mengerti.
Ayu kemudian kuliah di UI dan bertemu pacar pertamanya, seorang muslim yang tak taat bernama Mat. Dengan Mat inilah Ayu kemudian melepaskan keperawanannya. Namun, dia kemudian tak berminat lagi pada Mat karena pacaran dengannya membuat lelaki itu jadi manja. Ayu sampai mengerjakan tugas-tugas kuliah Mat. Ayu kemudian beralih pada Nik, seorang muslim anak tentara yang selalu salat. Nik dulu sempat tertarik dengannya di masa orientasi kuliah. Tapi Nik mundur karena melihat Ayu kemudian memakai kalung salib di beberapa hari orientasi berikutnya. Ayu berkata bahwa Nik seperti vampir yang takut dengan salib.
Bersama Nik pula Ayu terus melakukan hubungan tanpa pernikahan. Ini benar-benar sangat kontras dengan Nik yang selalu digambarkan menjaga salatnya.
Buku ini seolah mengajakku menyelami kedangkalan cara pikir para umat beragama yang berusaha menjustifikasi dosanya. Bukannya aku sudah suci, tapi rasanya benar-benar terperangah membaca cara pikir orang-orang ini. Nik berkata bahwa hukuman buat orang yang membatalkan puasa karena makan dan minum lebih ringan daripada karena bersetubuh. Hah? Maka, di bulan Ramadan, ketika ia ingin bersetubuh dengan Ayu, dia meminta air untuk membatalkan puasanya lebih dulu. Sinting. Dia juga malu karena terus-terusan mandi junub habis bersetubuh dengan A (tampaknya mereka berzinah di rumah keluarga Ayu??? Dan ibu Ayu membiarkan? Hah?). Jadi akhirnya sebelum berzina dengan Ayu, dia salat dulu.
Astaga.
Ayu mengatakan bahwa dia sampai ingat doa-doa salat Nik karena melihat Nik salat dari atas ranjang. Dia bahkan menggambarkan dirinya seperti anjing Pavlov. Ritual salat yang Nik lakukan sebelum bersetubuh dengannya membangkitkan hasratnya.
HMPH.
Sejak melakukan hubungan di luar pernikahan itulah Ayu berhenti ke gereja. Selain karena menggugat kepatriarkian gereja, dia juga mengaku masih ingin menghormati agamanya. Dalam Katolik, setelah melakukan dosa, umatnya harus melakukan pengakuan dosa kepada pastor, dan Ayu pun bingung, masa dia harus menyajikan cerita porno tiap kali mengaku dosa setelah berzina (HAHAHAHA).
Namun, Ayu benar-benar melangkah terlalu jauh ketika dia akhirnya menjalin hubungan dengan beberapa lelaki beristri. Salah satu lelaki beristri yang dia pacari punya pandangan yang bermasalah soal poligami.
Lelaki bernama Dan kini menjadi kekasih rahasiaku. Ia memiliki seorang teman bernama Mas. Juga seorang wartawan. Juga seorang suami dan ayah. Orangnya kalem, hitam, dan berkacamata. Entah bagaimana suatu hari aku duduk berdua dengan Mas, dan kami bercakap-cakap. Entah bagaimana juga kami akhirnya ngobrol tentang perselingkuhan. Ia bercerita bahwa ia pernah jatuh cinta dengan seorang cewek. Mereka saling mencintai, saling birahi, dan pada akhirnya si cewek mengatakan bahwa ia bersedia tidur dengan Mas. Tapi Mas menolak.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Aku tidak mau menyakiti hati Tuhan," jawabnya. "Aku mau tidur dengan perempuan itu kalau ia menikah dulu denganku."
"Maksudnya?" tanyaku. Sungguh mati, waktu itu aku belum pernah bertemu orang yang secara terang-terangan mendukung poligami. Aku masih muda dan tidak berpengalaman. Agaknya dialah orang pertama yang kukenal.
Aku tak suka jawabannya. Aku merasa ada yang tidak adil dalam pikirannya. Kubilang padanya, "Tuhan kan sangat kuat. Sakit hatinya tak akan seberapa. Tapi kalau kamu menikah lagi, istri kamu yang kamu sakiti secara sah."
Kalau aku, aku lebih memilih menyakiti hati pihak yang kuat daripada menyakiti pihak yang lemah. Jika aku melukai yang lemah, itu berarti aku sewenang-wenang.
(hal. 76-77)
Pandangan Mas di sini sangat bermasalah. Tapi pandangan Ayu juga bermasalah. Seolah dia menyetujui Mas selingkuh saja dengan wanita itu. Padahal, poinnya bukan di situ. Mau Mas poligami atau tidak, jika dia berhubungan dengan wanita lain, istrinya tetap akan tersakiti. AH!
Kemudian dia kembali menggugat Mas. Gugatan yang menurutku sebenarnya sangat valid.
Aku kerap termenung sampai lama setelah percakapan itu. Dalam perbuatan, aku tahu aku salah. Aku telah mengkhianati orang. Tapi, dalam hal niat, menurutku Mas memiliki sejenis keserakahan. Ia bukannya tidak mau berkhianat. Ia mau saja menyakiti hati istrinya. Tapi ia mau pengkhianatannya itu punya kekuatan moral dan hukum. Tapi di situlah masalahnya: kau mau melegalkan dan membenarkan pengkhianatan?
Di situlah aku merasa, orang yang berpoligami dengan alasan agar tidak berdosa--ya, agar perbuatannya sah--justru menunjukkan derajat keserakahan. Ia mau kenikmatan, mau menyakiti hati istri pertamanya, sekaligus mau lepas dari beban moral dan dosa.
(hal. 77)
Ayu Utami juga menggugat soal bagaimana masyarakat menilai harga perempuan dari keperawanannya. Juga menggugat soal bagaimana martabat perempuan dinilai jika mereka sudah menikah. Di bab-bab bukunya, dia menceritakan soal dua bibinya yang perawan tua dan jadi dengki pada perempuan-perempuan yang sudah menikah. Mereka pernah memfitnah ibu Ayu selingkuh sehingga nyaris saja sang ibu diusir oleh ayahnya. Ayu juga menceritakan soal guru-guru perawan tuanya yang sikapnya tidak menyenangkan di sekolah.
Huh. Keperawanan yang ini ternyata bukan mahkota seorang perempuan yang terbuat dari logam mulia nan abadi. Keperawanan ada tanggal kedaluwarsanya. Haha! Keperawanan bisa basi. Seperti makanan kaleng.
(hal. 161)
Kesadaran itu tampaknya memengaruhi keputusan Ayu yang dulunya tidak ingin menikah. Bahkan tampaknya itu juga yang membuatnya untuk melepas keperawanannya sebelum menikah.
Mengenai kedua bibiku, aku sedih sebenarnya. Aku melihat bayang-bayang monster. Gen makhluk menakutkan yang tersisa dalam keluargaku. Kedua bibiku menjelma vaksin yang membuat sistem tubuhku membentuk antibodi. Antibodiku segera mendeteksi siapa musuhnya. Musuh yang telah menyebabkan luka dan kedengkian meruyak dalam tubuh kedua bibiku (dan tubuh banyak perempuan) lalu melahap habis mereka.
Tak lama kemudian antibodi di dalam diriku mulai bekerja. Ia telah mendeteksi musuh dan kini mulai bekerja untuk menghancurkan dua musuh utama itu. Satu, keperawanan. Dua, perkawinan.
Itulah dua konsep yang harus dihancurkan oleh sistemku agar perempuan bebas dari rasa sakit dan kedengkian yang telah menggerogoti sepasang bibiku (juga, guru-guru perawan tuaku). Aku tidak bicara tentang keperawanan Maria, Yesus, dan teman-temannya itu. Keperawanan mereka bersifat sakral, tidak dipersembahkan dan dikomodifiksikan bagi manusia. Aku bicara soal keperawanan yang "diperjualbelikan" dalam nilai tukar kawin-mawin. Keperawanan yang menjerat perempuan dalam sarang laba-laba selaput dara. Keperawanan yang membuat perempuan bisa dihina. Konsep ini harus kuhancurkan.
(hal. 162-163)
Ayu Utami juga menggugat soal toxic masculinity yang membuat lelaki selalu merasa harus di atas perempuan. Contohnya ketika pacarnya, Gus, memutuskannya gara-gara IQ-nya jauh lebih rendah daripada IQ Ayu.
Pada akhirnya aku dan Gus putus-nyambung bebreapa kali lagi. Tapi, percakapan hari itu memberiku pelajaran besar tentang laki-laki dan perempuan. Yaitu, bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nikai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari ini, aku tetap mengatakannya: itu sungguh tidak benar dan tidak adil.
(hal. 151-152)
Membaca buku ini membuatku merasa terombang-ambing. Di sisi lain aku jelas nggak sependapat dengan standar moral Ayu yang begitu abu-abu. Karena dia cerdas, dia menjustifikasi alasan-alasan perzinahan yang terus dia lakukan sebagai bentuk protes terhadap dunia patriarki, konsep keperawanan dan pernikahan yang membelenggu wanita. Di sisi lain, pada beberapa hal, aku merasa gugatannya terhadap bagaimana dunia patriarki bekerja memang sangat valid.
Nik sendiri adalah lelaki yang sangat patriarki meskipun dia selalu bersikap manis pada Ayu. Contohnya, Nik mengatakan bahwa dia tak mau bekerja di bawah bos perempuan. Dia juga beberapa kali mengajak Ayu untuk menikah dan pindah agama. Pada akhirnya Ayu meninggalkan Nik karena dia terpikat pada Rik, fotografer yang pernah dimintanya untuk membuat foto telanjangnya demi karyanya yang bercerita tentang menstruasi. Ayu terpikat pada Rik karena mereka bisa nyambung. Dalam hal prinsip, Rik tidak patriarkis dan dia punya beberapa prinsip yang tidak bisa dilanggar seperti dia selalu mencegah kehamilan di luar nikah dan menolak aborsi. Sedangkan Nik selama ini tak mengerti dunia Ayu. Dia tak bisa mengerti tulisan-tulisan Ayu di media massa. Dia juga tak bisa membaca fiksi.
Ketika Nik akhirnya bertemu Rik dan menyadari bahwa hati Ayu tak lagi bisa dia pertahankan, Nik berkata pada Ayu: "Yayang jangan nakal-nakal lagi, ya."
Meski begitu Ayu berjanji terus menemani Nik sampai lelaki itu mendapatkan pasangan sendiri. Benar-benar hubungan yang aneh. Dan Rik juga tidak keberatan.
Namun, setelah lama menjalin hubungan dengan Ri, Ayu lagi-lagi tertarik dengan lelaki lain bahkan berhubungan seks dengannya di Eropa saat liburan. Ayu berterus terang pada Rik dan lelaki itu langsung terluka. Gilanya lagi, lelaki itu ternyata saling mengenal dengan Rik. Astaga Ayu....
Jahatkah ia, membiarkan bidadari dirinya melenakan si lelaki dalam mimpi erotis dan estetis, tanpa peringatan bahwa seekor monster sesungguhnya senantiasa mengintai. Ia biarkan lelaki masuk ke dalam wilayah gelapnya yang penuh dongeng peri, sampai tiba-tiba terang terbit dan menertibkan fantasi.
Ia sedih bahwa ia menyakiti lelakinya. Tetapi kenapa ia tidak mau setia pada laki-laki? Ia tidak mau setia karena Istana Patriarki itu masih berkuasa. Istana Patriarki yang tidak adil pada perempuan itu masih menancapkan cakar di mana-mana.
(hal 245-246)
Karena tidak menemukan cela pada diri Rik, Ayu kemudian mengatakan bahwa ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Rik, dan lelaki itu setuju. Simak narasi Ayu saat menggambarkan prosesnya berbaikan dengan Rik.
Ia setuju ia sedang menghancurkan sebagian harga diri lelaki itu. Tapi tak bisa tidak, ia harus mengatakannya. Monster rasionalitas dalam dirinya telah lama bersumpah, untuk tidak akan menjaga ego lelaki. Ia tahu, bukan persetubuhan baru yang melukai Rik, tetapi alasan di balik itu. Rik sendiri seorang pemuda liar sebelum ini, yang takakan bisa ingat berapa perempuan yang telah tidur dengannya. Tapi dua tahun ini, ataukah tiga, A memberinya sesuatu yang lama tak ia harapkan dari perempuan: bahwa ia bukan hanya lelaki pemberi petualangan seks; ia juga lelaki yang pantas dicintai. Malam itu Rik menerima bahwa hubungan akan mereka perbaiki. Lelaki itu menunjukkan tangannya yang beringat dingin dan mereka berpegangan tangan dengan sedih dan pahit.
(...)
Sementara itu, A juga menghadapi kemarahan di dalam dirinya sendiri. Ia tak bisa mengenali lagi, manakah monster manakah bidadari. Mana sisi gelap mana sisi terangnya. Mereka bertukar-tukar wujud dan berkelindan.
(hal. 247-248)
Namun, sesuatu kemudian mengubah pemikiran Ayu soal pernikahan. Dan sesuatu itu sangat tidak terduga. Saat itu ia menyebutkan bahwa banyak oknum agama mayoritas yang menindas para penganut agama minoritas seperti Katolik. Misalnya, menolak perluasan pembangunan rumah sakit bersalin dengan alasan di seberangnya ada gereja. Ayu sama sekali menganggap hal ini tidak masuk akal. Dia ingin menunjukkan solidaritas dengan menunjukkan dirinya masih jadi bagian dalam umat Katolik. Maka dia pun akhirnya ingin melakukan sakramen pernikahan. Itu pun setelah pergelutan pemikiran yang sangat rumit sehabis berdiskusi dengan pastor.
Banyak pertanyaan kritis yang dia ajukan kepada pastor, misalnya apakah dalam Katolik posisi lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Sang pastor berkata bahwa di Katolik, posisi lelaki dan perempuan dalam pernikahan itu setara. Dia bahkan menyuruh Ayu mempelajarinya sendiri dengan membeli buku hukum pernikahan Katolik. Ayu melakukannya. Meski cara hidupnya jauh dari agama, dia tetap suka membaca Al-Kitab dan terus menggenggam cerita-cerita Al-Kitab dalam pemikirannya.
Ayu kemudian melakukan dialog batin, seperti bertanya mengapa Yesus itu lelaki, mengapa Yesus memanggil Tuhan dengan sebutan Bapa, dan mengapa Imam Katolik itu harus lelaki. Ayu menyebut otoritas gereja sebagai "Boys' Club" karena posisi-posisi puncaknya semua dipegang oleh lelaki.
Menarik membaca interpretasi Ayu soal semua itu. Soal bahwa Katolik sebenarnya tidak patriarkis. Yesus lelaki karena tradisi Yahudi mengharuskan imam harus lelaki. Yesus memanggil Tuhan dengan sebutan "Bapa" karena dia sudah memiliki ibu biologis. Bahwa dalam sejarah, sebenarnya dulu ada imam-imam perempuan dan imam-imam yang berkeluarga, tapi kemudian mereka tersingkir oleh para imam yang hidup selibat. Selain itu imam yang hidup selibat dianggap lebih praktis karena dia bisa fokus mengurusi umat dan konsentrasinya tidak terpecah dengan urusan keluarganya. Yang paling menarik adalah interpretasi Ayu bahwa ketika Yesus disalib, sebenarnya itu juga berarti menyalib kelelakian, ego lelaki. Hmmm....
Setelah merenung itulah akhirnya dia memutuskan untuk menikah secara agama dengan Rik. Dia tak menikah secara hukum karena menolak konsep kepala keluarga yang harus lelaki dalam kartu keluarga. Pernikahan pun diselenggarakan di kota kelahirannya, Bogor, di kapel sekolahnya yang terdahulu, Regina Pacis. Suasana pernikahan digambarkan begitu syahdu, apalagi setelah kibor yang seharusnya digunakan untuk mengiringi pernikahannya mendadak rusak ketika akan digunakan. Yang bisa digunakan ternyata malah organ kapel yang usianya sudah sangat lama dan dikira sudah rusak. Dulu saat masih kecil, Ayu sering penasaran dengan organ itu. Sayangnya para suster melarang organ itu untuk disentuh. Ayu menggambarkan bahwa organ itu seolah menunggunya untuk kembali setelah sekian puluh tahun berlalu.
Buku ini sebenarnya adalah trilogi. Setelah ini aku mau membaca buku keduanya, "Cerita Cinta Enrico" yang mengisahkan soal sudut pandang suaminya. Sedangkan buku pertamanya, "Si Parasit Lajang", akan kubaca nanti di Gramedia Digital. Ya, aku membacanya secara mundur. Haha.
Bukunya luar biasa isinya penuh dengan pelajaran untuk semua kaum perempuan agar bisa hidup mandiri serta tidak harus patuh dengan budaya patriarki yg selalu menilai sisi perempuan dengan negatif 😊❤️
Berangkat dari pengakuan di sampul belakang buku ini sendiri yang bersikeras menyatakan dirinya sebagai "novel," sebagai pembaca aku merasa "novel" otobiografi ini lebih dibangun dengan pondasi "minat-dakwah" ketimbang "minat-cerita" (dan aku pun baru saja melekatkan "nilai" pada dua hal). Barangkali kalau formatnya kumpulan esai, seperti buku pendahulunya ("Si Parasit Lajang"), aku bakal lebih suka.
P.S. Sebetulnya aku pingin sekali bikin komentar (baca: komentar, bukan review atau resensi) panjang-lebar tentang buku ini. Salah satunya, misalnya: aku kurang mengerti maksud-tujuan pergantian sudut pandang penceritaan pada babak III cerita. Sayangnya aku ini pemalas.
P.P.S. Aku penasaran: Andaikata Mbak A ini kelak bercerai dengan suaminya, apa doi bikin "novel pertanggungjawaban" lagi?
P.P.P.S. Tapi, sungguh pertanyaanku di atas itu bukan dengan sengiran buruk, loh. Aku cuma iseng-iseng penasaran. Tergeli dan tergelitik, tak ada salahnya, kan? (Kukira kepenasaranku tak akan mengusik sistem yang sudah susah-payah dibangun Mbak A.)
P.P.P.P.S. Sebetulnya, selain "andaikata bercerai" aku juga sempat penasaran dengan "andaikata hamil" (siapa tahu saja Mbak A suatu hari gegabah ketika berberahi, hihihi). Tapi, agaknya "andaikata bercerai" lebih etis daripada "andaikata hamil" (dan aku pun baru saja melekatkan "nilai" pada dua hal).
P.P.P.P.P.S. Kurasa aku harus minta maaf dengan Mimi, sebab novelnya bukan lagi novel pertama yang kukomentari di sini.
Bahwa Ayu Utami memiliki bakat dan kecerdasan dalam menulis, itu tak perlu diragukan lagi. Dengan kecerdasannya Ayu bisa menyihir dan menggugah pembaca untuk berpikir dan bisa saja membuat orang mengangguk-angguk setuju.
Mungkin itu yang Ayu berusaha paparkan dalam buku ini, justifikasinya mengapa dia begini begitu, dan dia menuturkan dengan cukup blakblakan masa lalunya.
Karena dituliskan dalam bentuk novel, aku akan menganggap kisah ini fiksi (walau berdasarkan kisah nyata).
Aku mendapati diriku banyak menggeleng membaca kisah tentang A. Bagiku ia terkesan sebagai gadis keras kepala yang keukeuh ingin melawan patriarki. Standar moralitasnya berbeda dengan yang aku anut, begitu pun nilai-nilai yang ia percayai. Begitu aku membaca bagian ia tidur bersama lelaki beristri, nah, sulit bagiku untuk bersimpati padanya. Pun dia sepertinya sulit sekali untuk setia. Meski ia menuturkan banyak alasan, bagiku terasa seolah ia berusaha membenarkan diri. Entahlah, mungkin memang itu yang ia percayai.
Meski penulisannya bagus, aku masih mendeteksi entah typo atau selingkung penerbit yang membuatku kurang nyaman. Nafas, misalnya. Lembab. Ini mengurangi kenikmatan membaca juga. Sayangnya aku tak benar-benar bisa menyukai karakternya, yang merupakan patokanku dalam menyukai sebuah buku atau tidak. Aku berikan dua bintang saja untuk buku ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Jika latar buku ini bukan Bogor, bukan Ragina Pacis, dan bukan Fakultas Sastra UI... Lalu tokohnya bukan Katolik dan bukan wartawan, mungkin saya akan lebih tertarik membacanya.
Saya menyelesaikan buku ini hanya demi menuntaskan pencarian saya sendiri. Kebetulan (mungkin karena banyaknya kesamaan tempat dan latar belakang sosial), saya juga menanyakan hal-hal yang sama dengan penulis buku ini. Saya ingin tahu apa jawaban yang dia temukan dan apakah jawaban itu dapat diterima oleh pikiran saya yang tentunya (meskipun banyak kesamaan tadi) tetap tidak sama dengan dia.
Saat membaca buku ini saya merasa menjadi pembaca yang bodoh. Ada banyak pengumpamaan dan penjelasan yang detail mengenai sistem serta peraturan permainan. Iya memang penjelasan yang diulang-ulang dan sangat detail itu bertujuan agar pembaca memahami jalan pikiran sang tokoh utama, tapi saya tidak nyaman membacanya. Saya jadi merasa seperti anak SD yang sedang mendengarkan seorang guru mendiktekan pelajaran yang sudah saya dapat di taman kanak-kanak.
Saya membaca buku dia sebelumnya, Parasit Lajang. Buku yang lebih tipis itu jauh lebih menarik dari buku ini.
Terakhir ketemu Ayu Utami adalah sewaktu sidang Kata Kata Wanita untuk majlis Persuratan Melayu Nusantara di Shah Alam. Kami berempat ditanya tentang feminisme. Buat si tukang tanya ingin saja aku serahkan naskah ini. Ia menjawab segalanya. Pengakuan: EKS Parasit Lajang dimulakan dengan proglog yang memikat dan langsung masuk bahagian yang mungkin difikirkan sebagai memoir perempuan yang mula menggenal diri yang sedang kembang (fizikal dan emosi). Segalanya dihamburkan secara terus terang, terutamanya perihal hubungan dengan manusia dan kepercayaan (agama dan adat). Di langsungkan lagi ke bagian yang ke 2 bersama metafora metafora yang menawan sewaktu penulis masih anak gadis. Ayu bijak, cermat dan punya humor tentunya tiap kali melihat ciptaan dunianya dan persoalan pada pohon pengetahuan. Isi kandung buku ini bagiku sangat penting untuk anak anak gadis yang mahu berfikiran. Proses penajaman bisa berlaku sebaik saja tamat membacanya. Ini sangat aku sarankan. Bagi mereka yang mencari erti nilai menjadi perempuan. Perempuan yang seringnya hidup tanpa pilihan, terkongkong budaya yang sudah tentu direka cipta oleh masyarakat sekeliling. Bagiku ini buku YANG BERANI meskipun tidak semua harus dipersetujui. Ayu Utami menggambil tanggungjawab mengupas segala hal hal perempuan di dalamnya. Pilihan metaforanya menghampiri sastera penuh cermat, tanpa perlu berteriak. My verdict? You have to read it sincrely. Bravo buatmu Ayu Utami.
Saya senang menghubungkan Ayu Utama dengan sesuatu yang esoterik sejak saya membaca Saman dan banyak buku karyanya lainnya. Yang paling menggugah saya adalah Manjali dan Cakrabirawa kemudian dilanjutkan dengan Lalita. Ada kesan Ayu Utami menarik lingkaran esoteriknya lebih besar, keluar, menjangkau ke Eropa. Terbukti bahwa cover Manjali dan Cakrabirawa memiliki sebuah gambar semacam piramida yang belum selesai [Masonic?] yang kelihatannya juga mirip piramida-piramida yang terdapat di Amerika, bukannya di Mesir. Jadi ketika saya melihat harganya Rp. 60.000, otomatis saya langsung terhubung dengan konsep Mason, betapa pentingnya angka 6 itu. 600, 60, 6=666. Tapi ini hanya spekulasi, seseorang bisa menulis sesuatu diluar kesadarannya akan konsep sebuab angka dan inisial. Atu apakah Ayu Utami sama halnya Dan Brown, yang “suka” pada konsep-konsep esoterik Masonik? Siapa yang tahu? Dan ini tentu tidak salah, bukan berhala dan sesat. Ini hanya konsep untuk membangun dunia yang lebih baik, terlepas dari konspirasi yang beredar di luar sana. Saya sering mengkeramatkan buku karya Ayu Utami sejak saya membaca Saman pada tahun 2007. Dan itu berlaku pula pada Pengakuan Eks Parasit Lajang. Jadi saya tidak terburu-buru membuka-buka lebarnya tapi melihat-lihat covernya dulu. Cover yang menarik dengan bingkai putih yang belum pernah tampil pada cover buku Ayu sebelumnya. Gambar pada cover depan langsung mengingatkan saya pada tampilan ikon Maria di Guadalupe [orang Katolik pasti langsung engeh]. Namun bagi saya agak menyeramkan karena wajah Ayu tidak diwarnai secara jelas seperti dalam foto-foto. Lalu semacam magma/lava yang membingkai tubuh Ayu tanpa lengan dan kaki. Pita bertulisan yang menutupi payudara dan areal di bawah perutnya sangat artistik dan menggelitik, namun juga mengingatkan saya akan karya seni jadul yang menggunakan tali berpita ini [sekarang jarang sekali digunakan, dianggap sudah kuno, seperti halnya teknik mencuci foto yang dikatakan Lalita]. “Saya teringat pita yang dicengkeram Burung Garuda, bertuliskan Bhineka Tunggal Ika. Juga pita bertulisan pada lambing sekolah Horgwarts” Kekasih saya hanya tersenyum. Ada tujuh bintang di sekeliling Ayu. Jika dibandingkan ikon Maria di Guadalupe, telah banyak variasi untuk ikon ini, namun jumlah bintangnya jauh lebih banyak [ada yang 50 buah] dan kaki Maria seperti menginjak bulan sabit atau sebuah tatakan yang kelihatan seperti tanduk banteng, yang dipikul oleh seorang malaikat kecil [cupid?].
Kemudian sebagian besar cover depan didominasi oleh warna suram yang menurut saya seperti pola-pola ukiran bunga tak beraturan pada sebuah dinding batu. Mengingatkan saya akan kisah Lalita mengenai pahatan pada tingkatan Borobudur. Cover belakangnya sendiri tidak mengejutkan karena di beberapa buku lainnya pun Ayu memasang fotonya dengan pose [sensual, menurut DB] demikian. “Buku ini hebat!” Belum membaca saja saya sudah bilang begitu. Bukan karena saya terlalu menyanjung Ayu, tapi karena saya menganggap semua buku yang menyeratakan pembatas buku adalah buku hebat. Kenapa? Alasannya sederhana: penulisnya sangat memperhatikan pembacanya dan kelangsungan buku itu sendiri. Tanpa pembatas buku, orang akan melipat halaman dan membuat buku itu berpeluang sobek. Dan Ayu menyertakan pembatas buku di semua buku karyanya. [Saya lupa, apakah Bilangan Fu dan Lajang Parasit punya pembatas buku]. “Wah, benar-benar menarik!” “Apanya yang menarik?” “Dimana pembatas buku itu bisa ditemukan.” “Maksudnya?” “Buka sendiri.” Pada halaman 87 dengan judul bab: Dosa Asal. Apakah Ayu hendak menggiring pembacanya dari konsep Dosa Asal ini? Semuanya berasalah dari Dosa Asal? Tuhan menciptakan manusia [majemuk, laki dan perempuan, sesuai gambaran Tuhan] lalu menempatkan mereka di taman yang di Eden [bukan taman bernama Eden] tapi ular, binatang yang paling cerdik dari antara semua binatang [apakah ular ini adalah penis laki-laki?] menggoda salah satu manusia, Hawa/Eva/Perempuan dan ia memberikan buah itu [kuldi/apel/apel emas/buah dada?] kepada manusia yang lain, Adam/Lelaki dan terbukalah mata mereka, menjadi berpengetahuan seperti Tuhan tapi mereka menjadi malu karena mereka telanjang dan bersembunyi. Ketika Tuhan mengunjungi kebun itu, manusia-manusia itu bersembunyi dan Tuhan tahu mereka telah melanggar peraturan. Mereka pun diusir keluar dari taman itu, Tuhan menempatkan sepasang kerub [malaikat bersayap/manusia dengan pedang api/semburan gunung berapi/sepasang naga?] untuk menutup jalan masuk menuju taman di Eden. Manusia dibuang ke tanah tandus dan mereka harus mengusahakan kehidupan sendiri, bekerja, membuat rumah, dan menghasilkan keturunan. “Pelanggaran Adam dan Hawa itulah yang kemudian dikonsepkan menjadi Dosa Asal, dosa yang melekat kepada semua keturunan manusia [dikhususkan kepada orang Yahudi dan Kristen?].” “Tidak bisa hilang?” “Bisa hilang dengan Pembaptisan versi Yesus?” “Dan perbuatan baik?” “Ya.” Selain itu, pemikiran yang kemudian berkembang adalah Dosa Asal itu bukan semata-mata pelanggaran aturan di taman di Eden, kepalabatunya sepasang manusia itu, atau memakan buah dari pohon pengetahuan, tapi lebih khusus menyangkut ketelanjangan sepasang manusia itu dan apa yang kemudian diakibatkan oleh pengetahuan itu: hubungan seks [seks bebas?]. Karena buku ini tentang seksualitas dan spiritualitas, bisa jadi Ayu ingin memberikan cara pandang yang agak berbeda dengan cara pandang umum tentang Dosa Asal dan hubungan seks [seks sebelum/di luar pernikahan resmi secara agama].
Gadis ini berlatar belakang keluarga dengan ayah yang keras dan ibu yang lembut. Sejak kecil memang sudah terlihat banyak mempertanyakan hal-hal yang kecil maupun yang besar. Sifatnya yang kritis serta keras kepala sepertinya diwariskan oleh sang ayah. Ia sendiri suka menyebut garis keluarga ayahnya sebagai keluarga monster.
Jadi ketika ia mencapai usia 20 tahun, sampailah ia pada keputusan untuk melepas masa keperawanannya. Masalahnya adalah siapa laki-laki yang akan menjadi partner seksualnya untuk pertama kali. Lalu bertemulah ia dengan Nik, laki-laki tampan teman kampusnya di UI, yang awalnya tertarik dengannya tapi lalu menghindarinya dengan cepat setelah melihat ia berkalung salib. Setelah Nik lalu ada Mat, yang ini lengket padanya dan segera jadi pacarnya. Tapi dengan Mat kah ia menyerahkan keperawanannya? Ternyata bukan.
Bertahun-tahun menjadi pacar laki-laki itu (yang berarti berpuluh-puluh kali ia melakukan seks dengannya) tidak membuatnya berpikir untuk menikah. Buat apa menikah jika wanita pada akhirnya berada di bawah kekuasaan suami? Tidak ada kesetaraan, yang ada hanya tunduk manut pada laki-laki yang disebut kepala keluarga? Kenapa bukan wanita saja yang jadi kepala keluarga?
Lalu bertemulah ia dengan pria lain yang lebih pintar bicara, punya banyak wawasan, namun suami orang. Hatinya jadi lebih tertarik dengan pria baru ini, dan resmilah ia menjadi peselingkuh. Peselingkuh yang punya aturan katanya. Agar fair dengan si istri dari pria selingkuhannya.
Kemudian di sepanjang hidupnya dia bertemu lagi dengan dua pria baru. Dua pria ini lah yang kelak akan mengubah sudut pandangnya atas pernikahan.
Cover

Saya suka sekali dengan disain cover buku ini. Ternyata disain e-book maupun buku fisiknya sama ya. Warna-warni yang cerah seolah-olah mewakili gairah remaja yang penuh kegembiraan. Tampak pula siluet tubuh wanita yang terekspos jelas lekuk-lekuknya. Pas dengan judul dan isi bukunya yang blak-blakan membicarakan sensualitas seorang perempuan.
Tokoh dan Karakter
Tokoh utama, aku atau A, adalah perempuan yang diceritakan dari masa kecil hingga dewasanya di buku ini. Ia cerdas, berani, kritis, pandai menulis, dan cantik. Dalam hidupnya ia banyak mempertanyakan tentang seksual, gender, pernikahan, wanita dan karir, urusan kemanusiaan, serta agama. Gara-gara sifat-sifatnya itulah hidupnya jadi banyak lika-likunya.
Tokoh lain yg punya peranan penting adalah Nik dan Rik, dua pria dalam hidup A, Nik lelaki pertamanya yang sebenarnya kuat agamanya tapi tetap tak kuasa menolak godaan birahi. Lalu Rik, si fotografer yang hidup bebas namun akhirnya ingin mengikatkan diri pada A. Mereka dua orang dengan karakter yang berbeda. Masing-masing punya prinsip hidup yang berbeda pula.
Nah, kalau saya sampai bisa menyebutkan dengan jelas karakter-karakter tokoh, berarti Ayu Utami piawai ya dalam menulis cerita.
Alur dan Setting
Buku ini punya alur yang mundur lalu maju. Awalnya menceritakan A yang berusia 20, lalu mundur ke masa kecil, kemudian maju hingga A selesai kuliah dan bekerja. Kadang tiba-tiba kita diajak berbicara tentang masa lalu, tapi tak banyak menghabiskan bagian cerita sehingga tidak saya masukkan ke dalam bagian alur. Bikin pusing ngga? Menurut saya sih tidak. Justru membuat pembaca nyaman karena biasanya itu dilakukan penulis untuk menjelaskan alasan suatu peristiwa terjadi akibat sesuatu hal di masa lampau.
Kisah buku ini menggambil latar yang cukup bervariasi. Mulai dari rumah, kamar, kampus, suatu tempat di Jakarta, Bogor, dan lain-lain. Deskripsi latarnya cukup untuk kita yang membaca bisa mengimajinasikannya dalam pikiran, namun tak cukup detail hingga kita bisa mendefinisikan latarnya secara pasti. Ga asyik dong? Ah, menurut saya cukup, sebab tidak merusak kualitas cerita, dengan gayanya Ayu Utami, model deskripsi latar begini justru seolah sengaja diberikan agar pembaca bebas berimajinasi selama membaca cerita.
Pilihan Kalimat
Ada sebab mengapa Ayu Utami dikenal sebagai penulis yang spesial. Saya kira itu karena keberaniannya dalam mengangkat topik cerita yang tidak biasa untuk novelnya, termasuk novel yang sedang saya baca ini. "Pengakuan Eks Parasit Lajang", judul macam apa itu. Saya saja jadi bertanya-tanya seperti apa isinya kalau judulnya ada parasit-parasitnya segala.
Belum lagi judul bab-babnya yang ga kalah "unik" nya, contohnya "Seorang Gadis yang Melepas Keperawanannya dan Jadi Peselingkuh", serta ,"Bocah yang Kehilangan Imannya". Tentu membaca judul tersebut membuat pikiran mau tak mau mengarah pada hal-hal yang negatif.
Tapi, justru karena pilihan kalimat seperti itu lah yang membuat saya tertarik dan penasaran untuk membaca buku-buku Ayu Utami, di samping Gramedia sendiri memang memasukkan buku-buku Ayu sebagai salah satu buku yang direkomendasikan bagi pembaca dewasa.
Keberanian Ayu dalam mengangkat topik gender, agama, strata sosial, karir, cinta, nafsu, dan seksual tertuang dengan gamblangnya melalui kalinat-kalimat yang ia pilih dalam bukunya. Bahkan menyebutkan nama alat kelamin pun tak sungkan ia tuliskan.
Sungguh lancang bukan. Tapi kelancangannya jadi terkesan jujur, jika saja pembaca bisa melihatnya dari sudut pandang si A, situasi, dan bertindak sebagai penilai yang objektif. Lagipula, gadis macam A, Nik, Mat, dan Rik banyak berseliweran di muka bumi. Mau diingkari bgaimanapun juga, mereka nyatanya ada.
Meski perbincangan serupa kontemplasi ini menarik untuk disimak, tapi kadang juga membuat saya merasa lelah. Pertentangan nurani A yang ia sebut sebagai sistem komputer itu, agaknya sedikit menjemukan karena berputar-putar dan (maafkan) bertele-tele.
A pun masuk ke dalam komputer otaknya. Sebuah sistem "pemeriksaan batin" yang bekerja dengan prinsip-prinsip konsistensi. Sistem ini akan memindai adalah "inkonsistensi internal" atau dan menelusuri adakah "kesalahan ontologis".
...
A' : Di mana batas lelaki dan manusia?
Komputer menjawab
A'' : Batasnya, ada manusia yang bukan lelaki. Ada manusia yang perempuan. Dan mungkin saja kelak ditemukan jenis lain. Manusia lebih luas daripada lelaki. Lelaki lebih sempit daripada manusia.
A' : Hmm. Kalau begitu, di mana batas antara kelelakian dan kemanusiaan?
A'' : Batas pertama adalah adanya sperma. Tapi, jika demikian maka "anak lelaki" yang belum memproduksi sperma bukanlah lelaki. Dan "lelaki" yang gagal memproduksi sperma juga bukan lelaki. Batas pertama agaknya terlalu sempit. maka batas kedua, yang sedikit luas, adalah adanya sistem yang berpotensi memproduksi sperma. Wujud gamblangnya dari sistem itu adalah penampakan penis dan aparatnya.
A': Jadi, kalau begitu, jika ada sosok yang mirip lelaki tetapi tidak punya penis dan bola-bola, apakah dia bukan lelaki?
(Halaman 252)
Namun tetap saja, gaya penulisan seperti di atas tidak umum ya. Dan yg paling mempesona dari tulisan Ayu Utami justru di kekuatannya dalam berdebat, mono-debat tepatnya, karena ini terjadi dalam pikiran satu orang saja. Hati-hati, saya tidak terkejut jika ada pembaca yang akhirnya berubah prinsip dan cara pandang gara-gara membaca buku ini. Kenapa? Itu karena bahasa dan gaya Ayu Utami yang sangat persuasif dan argumentatif. Luar biasa.
Aku hanya berkecimpung sebentar saja di dunia model. Aku merasa tak cocok dengan pergaulan di sana. Tak lama setelah itu, aku menjadi wartawsn. pekerjaan ini lebih mendekatkan aku pada dunia pemikiran. Di dunia baru ini orang menertawakan mereka yang tolol dan miskin pengetahuan. tapi pengalamanku yang sebentar di dunia model itu dan perpindahanku ke dunia tulis-menulis memberiku pelajaran berharga.
Aku jadi tahu bahwa setiap lingkungan memiliki nilai-nilainya sendiri. Di dunia peragawati manusia dipuja berdasarkan panjang kaki yang dimiliki. Di dunia tulis menulis berdasarkan berapa banyak buku yang dibaca atau ditulis. Di tempat lain dengan kriteria lain. Setiap nilai memiliki pemenang dan pecundangnya masing-masing.
Di situlah aku berpikir bahwa, demi keadilan bagi setiap manusia, memang sebaiknya ada banyak sistem nilai. Sehingga orang yang terpinggirkan di satu sistem nilai bisa mendapatkan tempat di sistem nilai yang lain. Setidaknya, memperkecil kemungkinan orang terpinggirkan.
Tak ada manusia yang ingin terpinggirakan. dan jangan kita mencoba mencari totalitas nilai. Jangan kita membikin hirarki kesempurnaan. Dari pengalaman inilah aku sungguh-sungguh percaya bahwa keberagaman itu perlu, demi keadilan dan kemanusiaan.
(Halaman 62)
Ada satu halaman khusus yang saya tandai di buku ini. Paragraf tersebut saya catat lebih disebabkan karena kali ini saya sependapat dengan yang diutarakan.
Aku memang senang mentraktir Nik kalau aku mau. Tapi aku tidak bisa terima jika ia yang minta dibelikan sesuatu olehku. Bahkan sekalipun itu hanya sebatang coklat. Untuk yang melibatkan uang, lelaki hanya boleh memberi. Ia memang boleh menerima dan berterimakasih, tapi pasti ia tidak boleh meminta. Aku tidak bisa mentolerir lelaki yang meminta.
(halaman 52)
Sekilas Tentang Buku dan Penulisnya
Pada hakikatnya, ini cerita tentang perjalanan seorang wanita bernama A dalam mencari jati diri, prinsip-prinsip, dan makna kehidupannya. Teman-teman harus membaca buku ini sampai habis, agar bisa mengambil kesimpulan yang tepat. Akankah A kembali ke norma-norma masyarakat pada umumnya? Itu hanya akan terjawab di bab-bab akhir.
Khusus untuk ending, saya puji Ayu Utami karena berhasil menutup kisahnya dengan satu adegan dan satu kalimat yang sederhana namun mengena. Bravo!
Pujian yang pantas mengingat Ayu Utami adalah novelis yang telah mendapatkan banyak penghargaan di dalam dan luar negeri. Novel pertamanya "Saman" terjual 55ribu eksemplar dan mendapat penghargaan Prince Clause Award 2000.
Buku Si Parasit Lajang juga terbit di tahun yang sama dengan Pengakuan Eks Parasit Lajang. Tampaknya buku-buku ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Mengingat Ayu Utami adalah aktivis jurnalis yang concern pada feminism, saya menduga kisah di beberapa novelnya erat kaitannya dengan kehidupan dirinya sendiri. Dan khusus buku Pengakuan Eks Parasit Lajang, buku ini memang autobiografi Ayu Utami.
Rekomendasi
Hanya pembaca dewasa! Atau pembaca yang telah memiliki kematangan dalam cara berpikir. Saya rekomendasikan novel ini untuk kalian yang suka dengan tema tak biasa (gender, nilai moral, norma dalam masyarakat, seksual, agama, dll), serta menikmati gaya bahasa yang "nyeleneh" serta "blak-blakan", juga yang senang pada jenis novel yang mengajak pembaca untuk berpikir dan merenung.
"Risiko tidak boleh membuat orang tidak melakukan sesuatu dan ketakutan harus dihadapi."
Sulin sebelum menyelesaikan trilogi ini dan Sulin yang sekarang benar-benar orang yang berbeda sama sekali. Kontemplasi bertahun-tahun dan kisah hidup dari seorang Ayu Utami bisa saya pahami dengan hanya membaca 3 buku saja. Betapa beruntungnya? Hemat 30 tahun untuk mengerti ini semua, untung mbak Ayu menuliskannya (dan untung buku ini tidak dibredel). Saya membaca buku pertama trilogi ini di tepat di ulang tahun saya yang ke-21 (kado dari seseorang) dan selesai semua 6 bulan. Saya merasa banyak hal yang baru saya sadari sebagai perempuan, oh god damn it Ayu! Dasar racun tikus wkwkwk!
Sejatinya saya tidak mudah terpengaruh sesuatu kecuali hal itu benar menurut ideologi dasar kepunyaan saya. Dan mbak Ayu sinting ini, entah mengapa seperti sebagian diri saya. Dulu saya pikir, saya aneh karena alam bawah sadar saya selalu ingin bebas dan mendobrak sistem. Tenyata saya tidak aneh, saya cuma jarang bertemu dengan orang-orang dengan visi yang sama (karena orang dengan mental jenis itu biasanya hidup bebas dan keren dan berdikari, Amin ahahaaaiiiii~).
Inti dari buku ini sebenarnya sudut pandang Ayu mengenai spiritualitas (nilai masyarakat mengenai seksualitas dan agama Katolik <- ini topik yang paling saya hindari tapi selalu dapet buku yang bernuansa Katolik, huh asem) dan seksualitas (kesetaraan gender, perkawinan, dan keperawanan). Disajikan dengan alur campuran, dituangkan dalam bahasa yang sebagian nyaman dibaca karena bentuknya mirip biografi, sisanya yaoloh bujubunneng mirip buku-bukunya Paulo Coelho yang pakai bahasa langit, sukses bikin otak saya ngadat dan bikin pengen bobok padahal bukan jam untuk bobok. Tapi toh selesai juga sodara-sodara!
Okeh, saya akan mulai membicarakan spiritualitas apa yang dibahas Ayu disini dan menarik buat saya:
1. Segala tatanan hidup dan hampir semua hal di dunia ini memiliki bentuk. Bentuk itu selalu berisiko, karena segala hal yg berbentuk punya bayang. Setiap kepala akan menafsirkan bayang itu dengan cara yang berbeda-beda.
2. Kita tidak boleh serta merta melekatkan atau memberi nilai pada sesuatu. Ketika sesuatu itu memiliki nilai, dia akan bisa diukur. Sesuatu yang terukur, bisa ditukar-tukar satu sama lain. Dalam kehidupan nyata yang sering kita kasih nilai seenaknya adalah manusia. Misal ketika kita berteman dengan si A, kita merasa dia lebih banyak benefitnya buat kita daripada dengan si B. Terus kita lebih demen main dengan si A. Itu gak bener sama sekali. Berarti kita belum memanusiakan manusia. Cara bersosial sebenarnya bukan seperti itu :( tapi dengan menganggap manusia ya manusia. Selama dia tidak bikin salah atau ngapa-ngapain ke kita. Kita gak boleh menyubsitusi atau men"cap" seseorang dengan nilai fana yang kita ciptakan sendiri. Membanding-bandingkan terus mengurutkan hal yang sebenernya adalah daya khayal kita sendiri. Disini harus bisa membedakan prefentif dan kebiasaan buruk (judgemental).
3. Mengapa hampir semua orang takut pada kemelekatan? Pas banget saya pas baca bagian ini pas nonton Tales from Earthseanya Ghibli tentang kehidupan. Lhaiya dalam ajaran Hindu ada kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Meninggalkan kemelekatan (arupadatu) adalah puncak tertinggi manusia dalam menakhlukan egonya. Kenapa orang takut banget mati? Kenapa orang tidak rela harta bendanya hilang itu toh tidak selamanya ada dengan kita? Dari buku ini saya belajar selaw ae dah, tapi karena saya bakal mati itu saya akan menjalani hidup saya seapik mungkin. Ada kata-kata yang saya ingat, kita bukan tubuh bernyawa, tapi kita itu adalah arwah yang dikasih tubuh.
4. Ada banyak orang di bumi ini kawanku, mereka sinis pada segala jenis agama di dalam hatinya, tapi memiliki rasa keadilan dan kemurnian melebihi orang yang beragama.
5. Mengapa hampir semua agama didominasi laki-laki, tapi disini saya akan membahas Katolik. Struktur gereja Katolik kayak boys club dimpimpin Paus dan diteruskan oleh imam-imam dan semua cowok. Tapi setidaknya Katolik tidak membikin istilah bahwa darah mens itu menjjijikkan/darah kotor dan tetap memperbolehkan wanita haid untuk berdoa. Menurutku juga jahat kalau dibilang darah kotor dan najis, bau sih iya bau besi. Itu bersih lho, dinding rahim yang luruh karena gada bayi yang bersemayam disitu, itu darah yang bakal ngasih makan bayi kelak, darah untuk kehidupan. Masa dibilang najong -_- Landasannya aku ga ngerti kenapa, apalagi cewek-cewek yang ngerasa hina banget kalau tembus. Santai ae kalik.
Seksualitas 1. Mengapa banyak orang menganggap bahwa perkawinan adalah sebuah tahapan hidup yang mesti dilalui? Seolah kawin adalah sebuah pencapaian a.k.a milestone setelah lulus kuliah dan mendapat kerja? Saya orang yang tidak setuju. Kawin atau tidak itu bebas, manusia berhak menentukan dia mau ngapain. Kenapa sih orang-orang selalu membikin standardisasi bahkan dalam tahapan hidup. Hidup ini ketika dipikir ngebosenin juga kalau caranya gitu, semacam kita lagi ngisi borang yang sama dengan orang lain tapi ngisinya cepet-cepetan. Hadeeeeeh. Pake dinilai lagi sama masyarakat. Mbok kayak Jepang, terserah mereka mau ngapain. Kalau ngerasa nikah malah nambahin beban ya ga usah nikah. Nikah disini makin lama kuliat niatnya cuma buat ngewe halal doang.
2. Wanita itu subjek juga bukan objek. He! Wanita kalian itu mbok ya sadar. Tapi terserah seh itu tergantung masing-masing orang. Kenapa kebanyakan orang mikir kalau wanita itu cuma pelengkap saja? Seperti istilah "di balik lelaki sukses, ada istri yang blablabla" kenapa gada istilah "di balik lelaki sukses, ada istri yang sukses juga dan mereka kaya dan bahagia bersama menurut hidup yang mereka sukai dan bebas aman makmur tanpa kewajiban alat anti-hamil terpasang pada istri saja tapi suami yang dengan kesadaran juga memakai kondom." Mengapa wanita tidak bisa menjadi kepala keluarga? Oke, kalau memang dari tradisi seperti itu. Tapi semoga para wanita sadar, kalaupun lelaki kepala, wanita itu leher. Leherlah yang menggerakkan kepala! Kampai para cabe! Bersatulah!
3. Kenapa perawan tua digunjing dan dianggap tidak laku, bagaimana kalau mereka lebih enjoy begitu? Di lain sisi kenapa kumpul kebaw digunjing juga? Intinya semakin menguatkan bahwa motivasi mayoritas orang di Indonesia nikah itu semata-mata hanya untuk ngewe halal. Dan untuk mayoritas pria, supaya mereka jadi nggak jorok dan bisa dilayani nyamnyam hmmm. Beberapa punya pikiran bahwa cowok jorok adalah hal yang wajar. Ew hell nah. Calon suami saya yang manis, semoga kamu bersihan ya sayang dan mau diajak kooperatif melakukan berbagai pekerjaan rumah karena saya bukan babuw <3.
4. Kenapa selaput dara diagungkan sekali, ga adil banget buat cewe yang pernah diperkosa dsb. Cowok mah keperjakaannya ga bisa diukur. Bangcyat kalo ada sekolah yg pake tes keperawanan. Mana tau kan dia extreme sport, itu juga bisa nyobek selaput dara. Selaput dara itu tempat sel yang dorman karena emang ga pernah dipake kebanyakan orang sebelum mereka menikah, beda kayak mata, mulut yang dari lahir langsung kepake. Bisa-bisanya dijadikan tolok ukur moral. PLIZ.
Itu aja sih yang sampai sekarang membekas dan masih membuat saya berpikir... Apakah saya pendobrak sistem? Mungkin. Apakah saya feminis? Mungkin, tapi saya bukan feminis konyol yang minta kesetaraan gaji dan beban kerja karena badan kita juga ga bakal mampu, girls. + Apakah saya vegan? Ya sedikit, karena saya alergi daging wkwkwk.
Semoga tidak membangkitkan amarah pihak manapun, kalau tersinggung mohon mangap, kan tidak semua orang harus jadi kayak Anda jangan merong-merong meskipun dalam hati. Anda harus belajar memaklumi kemajemukan, dan santai saya ga bakal mempengaruhi Anda-Anda yang tidak setuju. Setiap kepala punya kebebasan landasan pikir masing-masing. Dan bersyukurlah wahai para pembaca sastra wangi dan memoar, karena para pecinta sweeping dan pembredel itu tidak suka membaca.
Buku ini saya beli sekitar Agustus lalu di Gramedia Teras Kota, dan merupakan buku Ayu Utami yang pertama saya beli. Setelah tahu jika buku ini merupakan buku ketiga dari trilogi Si Parasit Lajang, akhirnya saya memutuskan untuk menahan diri untuk tidak membacanya dulu dan membeli Si Parasit Lajang (buku pertama) dan Cerita Cinta Enrico (buku kedua) terlebih dahulu, semata-mata karena saya lebih suka membaca secara berurutan agar mengerti benar keseluruhan isi dan makna yang ingin disampaikan oleh penulis (bukan berarti jika kalian suka baca buku tidak secara kronologis berarti maknanya tidak sampai, hanya saja saya lebih memilih berurut).
Dari ketiga buku yang ada di dalam seri ini, jujur saya paling suka Cerita Cinta Enrico, diikuti Si Parasit Lajang kemudian Pengakuan: Eks Parasit Lajang. Di dalam Cerita Cinta Enrico, banyak bagian-bagian yang menyadarkan saya akan hal-hal baru. Saya belajar banyak dari sosok Enrico dan keluarganya. Di buku Si Parasit Lajang, saya menemukan banyak argumen-argumen pendukung bagi pendirian saya yang (saat ini) tidak ingin menikah. Saya semacam menemukan diri saya beberapa tahun ke depan dalam diri A di Si Parasit Lajang.
Kemudian di dalam buku ini, A akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Rik. Saya bisa membayangkan dengan jelas A dan Rik dalam imajinasi saya karena kebetulan dua minggu lalu saya bertemu langsung dengan mereka. Saya tidak meyalahkan keputusan A untuk menikah di sini, karena bisa saja saya yang sok tidak ingin menikah sekarang tiba-tiba ingin menikah besok. Hanya saja rasanya ada bagian yang cukup berbelit dan berputar-putar di saat A menimbang-nimbang alasan untuk menikah atau tidak.
Namun secara keseluruhan, tentu masih banyak pandangan Ayu Utami yang saya setujui seperti perihal keperawanan dan pernikahan. Saya juga suka kutipan "... Bahwa setiap lingkungan memiliki nilai-nilainya sendiri ... Dan jangan kita mencoba mencari totalitas nilai. Jangan kita membikin hirarki kesempurnaan."
Bagi yang ingin membaca, saya sarankan untuk baca ketiganya. Well done, Mbak Ayu.
Satu buku inilah yang mengawali saya menjadi fans penulisnya. Saya membaca seri buku ini secara terbalik: pengakun eks parasit lajang-cerita cinta enrico-si parasit lajang. Bagi saya buku ini KEREN SANGAT. Maaf jika terlalu menggebu-gebu dalam menggambarkannya. Setiap halaman buku ini berisikan penuh dengan pemikiran-pemikiran mendalam seorang perempuan yang independen. Seorang perempuan yang jika melakukan sesuatu atas dasar kehendak dirinya sendiri dan telah memiliki alasan untuk melakukannya. Sesosok yang memiliki alasan di setiap keputusannya. Secara personal, buku ini yang mengantarkan saya menjadi seorang feminis. Secara general, buku ini menyentil kesadaran saya bahwa betapa sempitnya pandangan-pandangan kita selama ini dalam menilai sesuatu. Bahwa banyak pandangan kita yang di konsepkan oleh masyarakat luas sehingga tak jarang kehidupan kita pun berjalan-atau harus berjalan sesuai dengan yang telah di konsepkan oleh masyarakat. Bukankah kita berhak memiliki konsep kebahagiaan kita sendiri? Buku ini telah menyadarkan saya bahwa perempuan pun berhak untuk memiliki konsepnya sendiri mengenai kebahagiaan. Bahwa perempuan berhak untuk berdaulat atas tubuh, pikiran, dan kehidupannya sendiri. Dan pada akhirnya, melalui buku ini pulalah awal saya menjadi orang yang sangat 'ngefans' dengan sang penulis. Terima kasih telah membantu membuka pikiran saya yang terlalu sempit ini mba Ayu :)
awalan yang menarik tentang masa kecil A yang polos. tapi A yang beranjak dewasa dan mulai banyak bicara tentang seks jadi agak membosankan. entahlah, lebih terasa seperti rant sih. terutama mengenai justifikasinya pada lelaki dan pernikahan. tapi ya, setidaknya, saya bisa tahu isi kepala A yang telah melahirkan sejumlah novel favorit saya.
"Lagi baca apa, mba Vit? ohh Sastra Wangi" ujar Arum, teman kosan.
"Sastra Wangi? apaan tuh? nggak wangi juga sih bukunya"
Yak, ketauan, anak sastra yang baru tahu sastra wangi. Jadi, ternyata buku Ayu Utami ini masuk kategori sastra wangi. Sastra wangi umumnya diwarnai dengan tema seks yang bahkan sedikit vulgar, namun ada semangat feminisme, dengan setting dengan latar belakang yang menggambarkan kehidupan mereka sehari-hari (terutama kelas ekonomi atas) dibarengi dengan tumbuhnya individualisme dan ego yang tinggi. (https://nasional.kompas.com/read/2010...)
Saya "berkenalan" dengan Ayu Utami lewat buku ini. Awalnya saya berpikir ia adalah feminis mentok garis keras. Entah saya yang selama ini salah memahami bagaimana prinsip orang-orang feminis, atau memang Ayu kurang konsisten menjalankan nilai yang ia buat sendiri.
Di awal buku, Ayu mengaku menulis buku ini untuk para pembacanya yang telah membaca dua diantara triloginya. Sejujurnya saya belum baca dua buku itu, tapi ia mengatakan dalam dua bukunya untuk tidak menikah. Dari pengakuan itu, saya tetap saja merasa Ayu kurang konsisten dengan nilai yang ia yakini, meski ia telah menjelaskan beragam alasan mengapa akhirnya ia menikah.
Terlepas dari hal itu, saya suka bagaimana ia memaparkan nilai yang selama ini ia yakini, soal kedudukan ideal perempuan. Saya sengaja menandai bagian-bagian penting dalam bukunya.
Dalam bab nilai, ia menyampaikan pendapatnya mengenai kontes kecantikan perempuan. Ia kontra dengan itu. Menurutnya tidak adil ketika manusia diterapkan dalam skala kesempurnaan. Itu sama saja menempatkan manusia dalam hirarki kesempurnaan.
Kontes kecantikan terlalu menilai manusia secara akumulatif, baik penampilan fisik, perilaku, maupun intelektualitasnya. Mereka yang rupawan, elegan, cerdas, dan mungkin berbudi akan dinobatkan sebagai pemenang. Sebaliknya, mereka yang buruk rupa, tolol, cacat, tidak terpelajar, kikuk, secara tidak langsung dianggap pecundang. Kontes itu seolah-olah dibuat untuk merayakan ketidakadilan. Padahal, keunggulan setiap manusia tidak sama. Ada yang cantik tapi tolol, ada yang pintar tapi kurang berbudi, dan sebagainya.
Masih di bab yang sama, meski ia sendiri menolak kontes kecantikan, namun bagaimanapun ia sempat menjajal kecemplung di dunia model. Tak lama, ia merasa tidak cocok dengan pergaulan di sana, dan beralih menjadi wartawan, dunia yang dekat dengan pemikiran.
Dari perpindahan karier itu, Ayu menyadari bahwa standar penilaian di setiap tempat itu berbeda-beda. Bila dunia model menilai manusia dari sisi rupa, panjang kaki, budi, dan intelektualitas, di dunia wartawan seseorang akan dihargai dengan pengetahuan, berapa banyak buku yang telah dibaca atau ditulis. Di dunia itu, orang-orang yang tolol dan miskin pengetahuan akan ditertawakan.
Memang sebaiknya begitu, harus ada banyak sistem nilai, demi keadilan manusia. Sehingga, orang yang terpinggirkan dalam satu sistem nilai, bisa mendapatkan tempat di sistem nilai yang lain. Setidaknya, memperkecil kemungkinan orang terpinggirkan. Tentu, tidak akan ada manusia yang ingin terpinggirkan. Juga sebaiknya, jangan mencoba mencari akumulasi nilai dan hirarki kesempurnaan. Dari situlah, keberagaman diperlukan, demi keadilan dan kemanusiaan.
Pada bab mitos, ia memilih untuk mengambil jarak dari agama. Menurutnya, semua agama itu problematis, terutama menyangkut perlakuan pada perempuan. Ia lalu mulai menyusun nilai-nilainya sendiri. Jadi, agamalah yang akan menyesuaikan sistem nilainya dengan miliknya.
Bab lainnya, yaitu game. Ia menganalogikan kedudukan perempuan melalui sebuah game. Ia menulis 7 game. Diantaranya ada yang bahasannya cukup vulgar. Namun, ada juga beberapa bagian game yang saya suka, selebihnya sepertinya saya agak kurang mudeng memvisualisasikannya wkwk.
Ada pola umum yang ia kemukakan, yaitu mengenai jender dan kelas yang menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pola itu mengakibatkan perempuan pada umumnya mencari laki-laki dari kelas yang setidaknya sama atau bahkan lebih tinggi darinya. Sebaliknya, lelaki merasa aman dengan kelas yang sama atau lebih rendah darinya.
Dalam kehidupan manusia, ada hal yang sangat melekat, yaitu status. Status jasmani dan status rohani. Status jasmani misalnya kekayaan, kekuasaan, rupa. Status rohani misalnya kesucian, ketakwaan, kesalehan. Status dapat dilekatkan dengan apapun. Tapi, bentuk yang paling canggih menurut Ayu adalah pelekatan nilai.
"Jika sesuatu telah dilekatkan nilai, tak lama kemudian sesuatu itu dapat diukur. Jika sesuatu sudah dapat diukur, sesuatu akan dapat ditukar."
Ada satu paragraf yang kusuka, tentang dongeng si lelaki biru dan candi-candi di negerinya, tentang proses. Manusia melewati tiga proses yang digambarkan sebagai tiga tingkat candi. Tingkat pertama, kamadatu, bhurloka, dunia nafsu, dorongan perut dan kelamin. Tingkat kedua rupadatu, bhuwarloka, dunia tubuh dan jiwa, akalbudi, dorongan etis. Tingkat tertinggi, arupadatu, swarloka, dunia tanpa kemelekatan yang tidak dapat dibayangkan secara teoritis.
Udah baca dong, buku Ayu Utami yang Pengakuan Eks Parasit Lajang. Heheee... agak telat ya, (sebagai yang mengaku pengagum karya Ayu Utami, hihihiii... ^_^)
Menurut guwehh, heheee.... Secara teknik penulisan, seperti biasa, tak ada yang bisa dikeluhkan. Membaca karya-karya Ayu Utami dari awal mula hingga terkini, rasanya ia semakin mantap dan canggih (mannn!!!) Dari waktu ke waktu, saya tetap mengatakan bahwa Ayu Utami adalah salah satu dari penulis Indonesia yang (seharusnya) menjadi anutan bagi penulis lainnya. Tentu saja saiah obyektif, karena terbukti ia telah mendunia dengan karya dan kiprah kepenulisannya. Sebuah tolok ukur yang tak terbantahkan. Barangkali itu satu alasan mengapa saiah begitu mengidolakannya. Gaya tulisannya yang selalu berkembang tapi juga selalu orisinil.
Dan seperti biasa, dalam setiap karya, Ayu Utami selalu menawarkan sebuah konsep idealisme atau pemikirannya. Yeahh... barangkali ini yang agak berat, ya... Dan mungkin ini menyebabkan karya-karya Ayu Utami kebanyakan tak bisa dinikmati bak kita menikmati sinetron Korea, hehee...
Pengakuan Eks Parasit Lajang ini mungkin bisa jadi adalah semacam biografi perjalanan (kesadaran???) Ayu Utami sendiri -- yang kemudian semakin menguatkan dugaan saya bahwa sebenarnya (setiap) karya-karyanya (dari awal mula hingga terkini) adalah menceritakan perihal kisah hidupnya, banyak atau sedikit, selain juga pemikiran-pemikirannya. Barangkali inilah keuntungan menjadi pengarang, bahwa mereka memiliki kesempatan untuk menciptakan sendiri ruang yang eksklusif untuk (sedikit) narsis, hehee... Tapi, hal itu memang sesuatu hal yang tak bisa dianggap jelek, karena bagaimanapun, yang lebih mengenal diri sendiri adalah diri itu sendiri, dan menceritakan tentang diri sendiri adalah sebuah upaya untuk menjauhkan diri dari kebohongan (well... betul tidak, sich...). Mungkin lantaran ini pula maka acapkali ada yang menyebut bahwa menulis adalah semacam kegiatan untuk terapi diri, mencoba menyentuh diri sendiri dengan lebih 'manusiawi' --- (well, kata 'manusiawi yang saiah pakai ini meminjam istilah yang banyak dipakai Ayu Utami dalam Pengakuan Eks Parasit Lajang (PEPL).
Yah, ia memang mengangkat tema tentang 'manusiawi' (bukan semata tentang manusia secara fisik dan atribut yang menyertainya, tetapi bagaimana MENJADI manusia yang memiliki muatan-muatan kualitas) dalam lingkup permasalahannya. Bagi Ayu Utami, ia menganggap bahwa permasalahan besar adalah bertahtanya tirani sistem patrialkal dalam berbagai tataran manusia, (nilai, norma, tradisi, dan sejarah). Kekritisannya mengantarkan ia membentuk sebuah idealisme untuk mendobrak istana patrialkal yang selama ini begitu mengakar dan mengurat nadi, terutama dalam sosial masyarakat. Bentuk konkritnya adalah melalui sesumbarnya bahwa ia tidak akan menikah. Ayu Utami, melalui PEPL menyatakan bahwa itu adalah sebagai bentuk solidaritasnya pada mereka yang tidak menikah dengan berbagai alasan tanpa terkecuali. Sebagai empati yang menguatkan bahwa meski tidak/belum menikah, (seharusnya) perempuan (masih) bisa baik-baik saja. Tapi menurut saya pribadi, pilihan Ayu Utami (dengan idealismenya) masih menjadi subyektivitas, karena bagaimanapun, manusia (barangkali) tak bisa diseragamkan. Tak setiap perempuan mengalami pencapaian seperti yang ia capai, dan ia pun barangkali tak mengalami pencapaian seperti yang perempuan lain capai. Kondisi dan lingkungan, selain karakter individu lah yang membedakan orientasi tujuan dan kebahagiaan masing-masing manusia (termasuk perempuan sekalipun). Sebenarnya ada yang sedikit lucu dari PEPL ini. Di sini, Ayu Utami begitu mengagungkan orisinalitas individu, di mana tak selayaknya manusia dibedapersamakan atau 'dinilai' atas kualitas yang dipunyai. Sepertinya saya setuju dan mengamini sepenuhnya mengenai hal ini, karena bagaimanapun, manusia adalah mahluk individu yang masing-masing membawa keunikan, kelebihan, dan kekurangannya sendiri. Adalah sebuah kejahatan ketika kita mengklasifikasikan manusia, dan mereka yang mendapat ranking terendah akan terpinggirkan secara sosial. Bagi saya, ini (pun) adalah sebuah kejahatan moral, yang ironisnya kita sendiri tak bisa mengelaknya hanya lantaran kita sebagai bagian dari sosial dan masyarakat yang lebih luas. Saya hanya kurang sreg dengan pernyataan sikap Ayu atas pilihannya, yang kemudian membuat dirinya seolah-olah sebagai representasi (suara, pemberontakan, atau pemenangan...?) dari mereka yang tidak/belum menikah. Artinya, secara tidak langsung ia membuat persamaan (suara) dari para perempuan-perempuan itu. Dan sepertinya ini adalah semacam hal yang kontradiktif antara sikap dan idealismenya. Namun barangkali ia pun menyadari, bahwa bagaimanapun, nilai sosial kekuatan besar yang tak bisa dicerabut begitu saja. Ini terselip dalam adegan pembantahannya pada bibi gemuknya perihal mengapa ia tidak menikah. Di sini, tampak jelas bahwa terdapat perbedaan tujuan dan idealisme antara A (si tokoh) dengan bibi gemuk. Bibi Gemuk adalah representasi perempuan yang mengidamkan pernikahan sebagai bentuk idealisme, dan menganggap bahwa pemenuhan terhadap tuntutan sistem patrialkal adalah sebuah kepuasan pribadi, terlepas dari apakah ini pengaruh dari kebiasaan atau memang pilihan yang sadar.
Barangkali PEPL ini pun bisa jadi semacam ruang (pembelaan???) bagi Ayu Utami yang pada awalnya bersesumbar untuk tidak menikah, namun akhir-akhir ini toh kita tahu bahwa ternyata pada akhirnya ia menikah juga... Namun PEPL adalah sebuah pembelaan elegan yang mendedahkan proses panjang atas sebuah pemikiran dan kesadaran, bagaimana seorang parasit lajang justru mengantarkan dirinya pada sebuah kapel yang membuatnya berikrar untuk mengikat diri pada lelaki, atau menikah. Eits.. mungkin kalau saiah menggunakan kata 'mengikat diri', Ayu akan sewot, hehee... Tapi bagaimanapun, saya senang karena menurut saya, ini adalah sebuah cerita yang manis. Saya senang pada akhirnya Ayu Utami menikah. Semoga keputusannya adalah langkah akhir yang membahagiakan dari kegelisahannya sebagai parasit lajang. Well... mereka yang menuntaskan kegelisahannya hingga kenyang, akan lahir sebagai manusia dengan kesadaran yang matang. :))
Hal lain yang membuat saiah kurang sreg adalah cara Ayu dalam menyampaikan (opini???) yang menyangkut tentang kepatrialkalan. Ia menggunakan dialog antara tokoh A dengan komputer. Tentu saja ini metafora belaka, yang sebenarnya adalah gambaran proses pemetaan dirinya melalui apa yang ia namakan 'pemeriksaan batin'. Namun saya rasa ia menggunakan analogi yang kurang pas, karena menurut saya, komputer adalah benda mati, yang setidaknya itu mewakili obyektifitas (atau barangkali saya yang kurang pengetahuan...?). Saya katakan demikian karena pada beberapa bagian, ia menyatakan hal-hal yang menurut saya sifatnya persepsi subyektif, namun berkat 'komputer', hal itu ditempatkan seolah-olah sebagai sesuatu yang obyektif, seolah-olah adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan. Berangkat dari latar belakangnya sebagai pemeluk Katolik, maka Ayu pun menggunakan pendekatan pengetahuan keagamaan (terutama Katolik) dalam memulai dan membedah beberapa kegelisahannya (terhadap sistem patrialkal). Dalam hati, saya agak bertanya-tanya, apakah memang betul Isa AS ingin membangun kapel di atas bukit Bolgota, bukit tengkorak, adalah sebuah pernyataan tersirat bahwa Ia ingin mengenyahkan pengaruh patrialkal? Ini hanya salah satu contoh yang terdapat di PEPL. Tapi well... saya memang kurang pengetahuan mengenai hal itu karena saya bukan katolik. Namun saya juga memiliki keraguan, apakah itu adalah sebuah fakta sejarah yang memiliki bukti konkrit atau hanya sebatas persepsi untuk mendamaikan kegelisahan saja? Bagaimanapun, saya mengetahui bahwa manusia pun memiliki kecenderungan untuk mencari kedamaian, entah itu melalui kompromi, pembenaran diri, atau apatisme. Jika benar itu hanyalah sebatas persepsi, menurut saya kok agak sedikit kurang elok jika disampaikan melalui analogi 'komputer', yang notabene adalah representasi dari obyektifitas.
Terlepas dari hal-hal diatas, saya rasa novel (atau biografi???) PEPL ini menarik, indah, dan kaya. Buktinya, saya hanya menyelesaikan satu hari saja untuk buku setebal 307 halaman. Jika tidak menarik, tentu tidak akan begitu, kan?
Tajuknya sahaja telah meletakkan kekata "Pengakuan" oleh Ayu Utami. Maka, ini ialah naskhah yang berupa pengakuan oleh seseorang. Yang membuat pengakuan itu ialah seorang tokoh yang dinamakan A. A ini selalu diduga sebagai initial untuk penulisnya, Ayu yang ejaannya berpangkalkan huruf A. Apabila dibaca, tidak keterlaluan apabila naskhah ini merupakan manifestasi kejujuran penulisnya.
Narasi yang digunakan oleh Ayu Utami untuk novelnya ini ialah, dia memecahkan novelnya ini kepada tiga bahagian.
Pada bahagian 1, ia berkisar tentang seorang watak yang bernama A. A merupakan seorang gadis yang berkira-kira untuk melepaskan perawannya kepada siapa? Soal perawan seorang anak gadis merupakan sesuatu yang dilayan sebagai taboo oleh majoriti kelompok masyarakat Timur. Mengekalkan keperawanan ialah suatu "ritual suci" yang harus dipertahankan oleh anak gadis. Anak gadis yang gagal mempertahankan keperawanannya sehingga ke malam pertama akan seolah-olah telah mennjerumuskan keseluruhan hidupnya ke dalam gaung yang maha dalam! Namun begitu, nilai yang terhukum kepada anak gadis ini tidaklah pula turut sama terhukum kepada para pria. Tiada sesiapa yang akan mempersoalkan sama ada si pria yang akan menjalani malam pertama dengan isteri yang baru dikahwininya masih mengekalkan "virginity"nya. Nilai yang sebegini telah menimbulkan pertanyaan dalam diri A, dari mana datangnya nilai ini?
Suatu yang pada aku boleh diberi perhatian yang khusus ialah tentang perselingkuhan yang dilakukan oleh A. Tadi aku telah membuat kesimpulan awal iaitu A ini ialah initial kepada Ayu, si penulis naskhah ini. Jadi, apabila seorang wanita yang menulis dan membuat pengakuan tentang perselingkuhan, ia sesuatu yang di luar lingkungan dan agak "pelik". Ia akan menjadi berbeza sekiranya yang membuat pengakuan itu ialah seorang lelaki. Secara sosiologis masyarakat Timur, bebanan sakral yang harus dipikul oleh para wanita adalah lebih berat di bahu mereka jika hendak dibandingkan dengan bebanan sakral yang harus dipikul oleh bahu lelaki.
Pada bahagian 1 ini juga A seperti tercari-cari bagaimana segala yang melingkungi masyarakatnya terbentuk. A telah membuat satu kesimpulan simplistik, puncanya ialah agama. Agamalah yang membina segala apa yang menjadi tembok budaya sedemikian. Agama seolah-olah tidak ramah terhadap perempuan.
Bahagian 2 naskhah ini, Ayu Utami membawa pembaca ke zaman anak-anaknya. Suatu yang agak menonjol yang diceritakan oleh A ialah tentang sebuah taman yang indah. Taman ini diceritakan secara berulang-ulang. Pada bahagian awal, ada diceritakan tentang "paradise" yang diambil daripada Kitab Perjanjian Lama. Ia menceritakan bagaimana Adam dan Hawa yang memakan "buah pengetahuan". Perlakuan yang dibuat oleh Adam dan Hawa itu ialah suatu dosa yang menyebabkan mereka berdua terhukum. Tetapi bagi A, dia ingin menukarkan terma "dosa" itu kepada "kesedihan". Adam dan Hawa dilihat oleh A sebagai presentasi kepada manusia. Semasa berada di syurga (paradise) semuanya sudah cukup lengkap. Tetapi hanya disebabkan memakan "buah pengetahuan", ia telah menjadi suatu dosa sehingga terlucut segala kesempurnaan yang telah sedia ada. Bagi A itu ialah kesedihan kerana segala kesempurnaan terpaksa diluputkan secara paksa.
A sememangnya dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang patuh akan agama (Katholik). Sewaktu kecilnya, dia sering ke gereja, membaca al-Kitab, malah dia juga bersekolah di sekolah Katholik. Tapi apabila A semakin meningkat usianya, dia mula mempersoalkan sesuatu yang menjadi landas agama yang melingkunginya. A tertanya-tanya apa keperluannya apabila setiap manusia harus memikul dosa warisan saban waktu? Walaupun A ini digambarkan sebagai seorang yang manusiawi, iaitu mempunyai rasa kasih sayang, ehsan kepada orang lain, menghargai persaudaraan, dan sebagainya, itu semua ialah hasil didikan daripada agama juga. Cuma yang menjadi tanda tanya kepada A ialah layanan yang harus diterima oleh kebanyakan perempuan. Misalnya dalam perkahwinan. Perempuan selalu dianggap sebagai tokok sekunder manakala yang lelakinya akan sentiasa menjadi tokoh primer. Perempuan tak mungkin akan menjadi kepala dalam mana-mana institusi keluarga dan ini berbeza dengan peranan yang dimainkan oleh golongan lelaki.
Persoalan-persoalan yang kononnya dibawa oleh agama ini selalu bermain-main dalam fikiran A secara konsisten. Dari usianya yang masih anak-anak sehinggalah usianya memasuki 20-an, perkara sebegini selalu difikirkan oleh A. Pada usia 10 tahun A telah mempersoalkan tentang "Adakah keadilan itu wujud?". Jika keadilan itu wujud, kenapa tuhan menjadikan orang gila? Tidakkah tuhan berasa belas ehsan kepada manusia apabila keupayaan mentalnya telah dicabut oleh tuhan sendiri?
Sebetulnya, A tidak pernah mempersoalkan tentang tugas tuhan dalam melimpahkan keadilan. A berfikir, keadilan tuhan itu tidak berlaku kerana disebabkan oleh kebebasan yang diberikan kepada manusia. Manusialah yang tidak berlaku adil. Misalnya, kebebasan yang diberikan kepada Adam dan Hawa itulah yang menyebabkan mereka memakan buah yang dilarang tuhan.
Pada bahagian 3 Pengakuan Eks Parasit Lajang ini, A mula membuka fikirannya kepada beberapa pemikiran atau gagasan yang baharu. Mungkin hasil daripada kematangan berfikir dan renungannya terhadap apa yang ada di sekelilingnya, A cuba mengemukakan gagasan baharu yang selama ini menjadi "taboo" dalam masyarakatnya. Misalnya, dia berangan-angan membina suatu sistem masyarakat yang tidak lagi menjadikan perbezaan gender sebagai subjek yang memisahkan status dan peranan masing-masing. A ingin membina masyarakat yang kaum perempuannya adalah sama peranan dan kedudukannya dengan kaum lelaki.
Sebagai kesimpulannya, kenapa Ayu Utami memilih perkataan "pengakuan" dalam tajuk naskhah ini. Bagi aku, ya, memang terdapat beberapa pengakuan yang dibuat oleh Ayu Utami lewat watak A. Misalnya, pada awalnya dia tidak percaya akan perkahwinan. Namun akhirnya, dia telah disatukan dengan seorang lelaki secara sakral perkahwinan. Bagi aku, ini ialah pengakuan jujur yang dibuat oleh Ayu bahawa dia akhirnya mengaku bahawa sakral keagamaan perlu ada dalam kehidupan. Kebebasan tidak selamanya harus dipertahankan. Hukum tuhan harus dihormati dan diikut oleh setiap hamba tuhan.
Pemgakuan Eks Parasit Lajang ini bagi aku ialah sebuah naskhah semi autobiografi Ayu Utami tanpa menafikan adanya unsur falsafah dalam naskhah ini. Pertembungan antara aqli dan naqli sangat ketara dalam naskhah ini. Pada awalnya Ayu seperti ingin menegakkan keupayaan akal dalam menangapi perkara-perkara yang menjadi persoalan yang sentiasa melingkari dirinya. Hal ini terutamanya tentang persamaan taraf antara lelaki dan perempuan yang pada tanggapan Ayu kerana disebabkan dogma agama. Langaran itulah Ayu melalui watak A mempertahankan tubuhnya ialah hak mutlak dirinya dan dia boleh memperlakukan apa sahaja terhadap tubuhnya tanpa ada sebarang sanksi dan sekatan. Ini termasuklah dia berhak untuk membuat hubungan seks sesuka hatinya tanpa diikat oleh sakral perkahwinan. Bahkan A juga tidak percaya dan mahu akan ikatan perkahwinan. Namun, yang pada akhirnya A telah melangsungkan perkahwinan menunjukkan bahawa dia akhirnya akur akan keperluan sebuah agama dalam kehidupan.
Sesungguhnya agama itu adalah penting dalam kehidupan untuk umat manusia.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Judul: Pengakuan eks parasit lajang Penulis: Ayu Utami Penerbit: KPG Dimensi: x+306 hlm, 13.5 x 20 cm, cetakan pertama Februari 2013 ISBN: 9789799105370
#Buku ini adalah buku terakhir dari #trilogi (si parasit lajang & cerita cinta enrico) yang dikatakan sebuah #otobiografi seksualitas dan spiritualitas pertama di Indonesia. Bagi saya yang tidak mengikuti urutan baca triloginya, membaca buku ini lebih dulu tak membingungkan. Sebab katanya ini adalah kisah di mana tokoh A di #parasitlajang dan tokoh Ric di #cerita #cinta enrico bertemu dan akhirnya menikah.
Sejujurnya, dari segi #bahasa saya suka sekali. Diksinya kaya, banyak kata yang jarang digunakan dipakai dengan pas. Namun pemikiran tentang isu #feminisme yang mengakar bagi tokoh A tentang #keperawanan dan pernikahan, pada akhirnya ia khianati sendiri. Di pertengahan buku pun, mulai terasa membosankan sebab mengulang-ulang dan bagi saya terlihat sekali menggantung.
Terutama ketika penjabaran tentang feminisme di mana #wanita selalu menjadi rakyat kelas dua, dibahas hanya permukaan. Tapi wajar, sih. Kan beda keyakinan. Sempat terasa seperti #pencarian Tuhan dan #agama yang benar layaknya #novel dee, namun pada akhirnya ia membuat #etika dan sistemnya sendiri. Paparan teori aneka macam itu masihlah dangkal dan kurang riset menurut saya hehe.
Sebaiknya imbangi dengan mendengar penjelasan tentang wanita dalam islam serta mengapa hak waris wanita 1, saat #membaca buku ini. Kalau tidak, bisa tersesat. Tokoh A nya galau sekali, #agnostik tapi tetap #berdoa bila cemas.
"Ya, meskipun aku sedang sebal pada agama, kecemasan memaksaku tetap berdoa." (H.57)
"Aku tahu aku bukan orang baik-baik dalam ukuran moralku. Maka aku menyusun etikaku dalam menjalani permainan ini. Ketika aku tak punya moral, setidaknya aku punya kode etik." (H.82)
"Membanding-bandingkan manusia adalah hal yang tidak manusiawi." (H.251)
i've given up sleep to finish this book and i'll tell you what it is about. This book follows the not-so-linear life realization process of a character named A from when she is in her early 20s to 40-something years old. When she was younger, A refused to get married as she is a feminist who opposes patriarchy. She eventually got married in her childhood church to show solidarity towards her Catholic community.
Her journey is honest and raw, mentioning 'taboo' topics such as adultery, pre-marital intercourse, lust, and masturbation. Most importantly, she bluntly states how the marriage and virginity concepts often fail women and should be abolished. This societal system cripples most unmarried women to the point of bitterness, which is shown through the jealousy of A's unmarried aunts towards her own mother.
Spinster, which in Bahasa means 'perawan tua', does not necessarily mean a woman who is old and still a virgin. A states how the word spinster itself relates to the belittlement of older women who are still unmarried, made by societal values. Thus, people who are constantly degraded cannot feel not hurt. And hurt people cannot not be aggressive, unless they have a strong will.
The character A also brazenly tells the story about her affairs in a somewhat neutral tone - she only shows regret in the beginning of her adultery anecdotes. She realizes that she has become a person whom her younger self would never imagine her to be. A acknowledges that she's not a good person. Just like how i am aware that i'm far from good, but then again, life does not revolve around me.
This is my third Ayu Utami's book and i thoroughly enjoy reading it - she writes in a such concise manner. (spoiler alert) It's a bit sad in the end, as it involves the death of a character that we have been familiarized with.
"...Bahwa setiap lingkungan memiliki nilai-nilainya sendiri ... Dan jangan kita mencoba mencari totalitas nilai. Jangan kita membikin hirarki kesempurnaan." ---- Sejak kecil A sudah berpikiran kritis dan berbeda dari orang kebanyakan. Ia dibesarkan oleh ibu yang lembut dan ayah yang keras. ---- A selalu mempertanyakan hierarki yang berlaku di masyarakat. Ia tak habis pikir mengapa laki-laki yang harus jadi kepala keluarga, dan mengapa perempuan harus tunduk pada laki-laki. Secara gamblang A menceritakan laki-laki yang pernah mampir di hidupnya, juga bagaimana ia memilih laki-laki yang akan mengambil (maaf) keperawanannya. Atau bagaimana ketika ia berselingkuh dengan pria beristri. ---- Diceritakan dalam bentuk novel, aku sampai lupa bahwa ini adalah autobiografi yang berarti benar-benar terjadi. Aku juga hampir lupa bahwa Aku atau A yang bercerita dalam buku ini adalaj Ayu Utami sendiri. Secara keseluruhan aku menyukai penulisan Ayu Utami yang lugas seperti biasa. Walaupun nilai-nilai yang kuanut berbeda dengan nilai A, aku tetap bisa menikmati buku ini. Karena di luar sana, memang ada orang-orang yang berpikiran seperti A atau laki-laki yang pernah singgah di kehidupannya. Yang pasti buku ini harus dibaca dengan pikiran terbuka. ---- #AboutAuthor Ayu Utami adalah salah satu penulis wanita Indonesia yang mendunia. Novel pertamanya, "Saman" telah terjual puluhan ribu eks dan diterjemahkan ke beberapa bahasa. Ia juga menerima "Prince Clause Award" untuk buku yang sama. ---- Tulisannya cenderung berani dan feminis, seperti khas sastra wangi yang dibentuknya. Sebelum aku baca buku biografi ini, aku sudah berkenalan dengan tulisan Ayu Utami lewat "Bilangan Fu" & "Lalita" yang juga recommended.
Memang Mbak Ayu Utami ini luar biasa. Sekian kali sudah saya dibuat tercengang saat membaca autobiografi yang rupanya terbitan ketiga dari triloginya ini. Saya tidak baca yang sebelum-sebelumnya. Akan tetapi, saya putuskan menyelesaikan buku ini: sebab bagian pembukanya yang langsung menghipnotis—mengajak bermain ke dalam “lubang” tempat reka ulang eksplorasi masa mudanya yang cukup ganas itu dipertontonkan kembali. Ada bagian dari dirinya masa itu yang terasa seperti diri saya di masa sekarang. Dan mungkin juga—samar-samar—jutaan perempuan Indonesia lainnya. Meski sebagian besar tidak sejauh itu. Namun, bahwa rasa timpang dan tidak adil akibat dominasi nilai-nilai patriarkis terlalu nyata untuk dirasakan.
Alurnya maju-mundur. Di bagian penutup, Mbak Ayu juga menyebut bahwa ia sengaja tidak mencantumkan tanggal dengan beberapa alasan. Tidak semua bagian memuat peristiwa; banyak juga yang berisi buah pikiran—misalnya soal spiritualitas dan religiunitas—yang sejak awal buku sudah disinggung. Sayang, penyampaiannya terasa cukup berliku (seperti di penghujung bagian). Mungkin karena saya memang tidak terlalu familiar dengan agama yang diceritakan. Jika dibilang seperti upaya mencari pembenaran atas apa yang ia lakukan, jujur saja: memang kesannya begitu. Saya melihat Mbak Ayu masih mengupayakan untuk bisa memijakkan kedua kakinya sekaligus pada hal-hal yang kerap dikenali berseberangan.
Ps: 200 halaman terakhir baca sekali duduk di Perpus Jakarta Cikini!! Susah banget nemu buku fisik ini dimana-mana. Versi minjem di gramedia digital tuh bisa, tapi UX nya hmm....