Aku menangis lagi. Begitu terus hingga hari ke delapan. Aku menelentangkan tubuh. Menghapus sisa air mata dan menatap langit-langit gelap. Hidungku mampat, kepalaku pusing, dan perutku lapar. Ah ... semua ratapan ini mulai terasa membosankan.
Semenjak Stine menolak dan menghindariku, kurasa itu akan menjadi pertemuan terakhir. Meski rasa rindu terus mengigit dan rasa sepi begitu hangat menyelimuti. Kuputuskan saja untuk tidak lagi mau menemuinya.
Lalu apa itu hidup? Sesekali boleh minggat, kan?
Dengan berbekal tas kumal berisi sedikit uang dan bekal seadanya. Tanpa ponsel, melainkan hanya sepada rongsok sebagai satu-satunya alat transportasi untuk beberapa bulan ke depan. Maka aku, Rubi Tuesday, siap mengarungi jalanan kehidupan yang kering dan panas.
Novel The Strawberry Suprise-nya (2013) difilmkan layar lebar dengan dua bintang utama Acha Septriasa (Aggi) dan Reza Rahadian (Timur) dengan judul Strawberry Surprise (2014).
Karya-karyanya yang pernah diterbitkan:
Novel:
Kutemukan Engkau di Setiap Tahajudku (Hikmah, 2007) * Terbit di Malaysia, 2008 * Diadaptasi ke FTV Religi oleh Starvision, 2010
Di Bawah Naungan Cahaya-Mu (Hikmah, 2008) * Terbit di Malaysia, 2009
Girl-ism (Gramedia, 2009)
Pukul Sebelas Malam (indie, 2012)
On a Journey (Bentang Pustaka, 2013)
The Strawberry Surprise (Bentang Pustaka, 2013) * Diadaptasi ke film layar lebar oleh Starvision, 2014 * Official trailer film Strawberry Surprise https://www.youtube.com/watch?v=0urlJ...
Jogja Jelang Senja (Grasindo, 9 Mei 2016)
Alang, (Republika Penerbit, Agustus 2016)
Membunuh Cupid (Falcon Publishing, Februari 2017)
Mimpi Kecil Tita (Republika Penerbit, Mei 2017)
Cerpen:
"La Vie" - Koran Tempo, 2011 Heute Herbst - Koran Tempo, 2011 Ayahmu Mati - Jawa Pos, 2011 CLOS E - Koran Tempo, 2012 Skarf - Koran Tempo, 2012 Gelas Kopi ke - 124 - Majalah Femina 2013 Mozarella - Jakarta Beat, 2014 Gembok - Media Indonesia, 2015 Pai Apel Musim Panas - Cerber Majalah Femina, 2015 Pemain Biola - Cerpen Majalah Femina, 2015 Di Tikungan Jalan - Suara Karya, 2015 Begitu Luka, Begitu Dini di Bromo - Suara NTB, 2015 Kopi Rena - Cerber Majalah Femina, 2015 Cireng Dua Juta - Majalah Kawanku, 2015 Janji di Perpustakaan - Minggu Pagi, 2015 Ros - Cerber Majalah Kartini, 2016 Nasi Kuning - Cerpen Majalah Horison, 2016 Duwet - Cerpen Minggu Pagi, 2017 Pertarungan Terakhir - Cerber Majalah Femina, 2017
Pentas dan menulis naskah Teater:
Pentas monolog naskah Sang Primadona - cerpen A. Mustofa Bisri, sebagai presentasi program beasiswa keaktoran Actor Studio 2, Teater Garasi. 2008.
TUK - naskah Bambang Widoyo SP, sebagai presentasi program beasiswa Actor Studio 2, Teater Garasi. Sutradara Gunawan Maryanto. 2008.
Tempat istirahat - naskah David Campton, sebagai presentasi program beasiswa Actor Studio 3, Teater Garasi. 2009.
Kura-kura Bekicot - naskah Eugene Ionesco. 2010.
Menulis naskah Menjaring Malaikat (adaptasi dari cerpen Danarto: Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat) untuk @JaringProject, tampil di Mimbar Teater Solo dan Festival Teater Jakarta - Dewan Kesenian Jakarta, 2016.
Membeli buku ini berniat untuk menjadi 'istri' mudik lebaran tahun ini. Jadi pas dengan judul novelnya "On A Journey" yang dibaca selama perjalanan Jogja-Blora. Tetapi ternyata gagal. Karena buku ini sudah rampung kubaca dengan aku senyam-senyum sendiri.
Aku hanya komentar, bukan review buku.
Banyak novel yang memulai dengan adegan-adegan yang luar biasa. (saya sebutkan beberapa novel yang baru-baru ini kurampungkan). Haruki Murakami memulai adegan dalam novel Norwegian Wood dengan suasana bandara dan lantunan lagu Norwegian Wood. Dalam 1Q84 pun dimulai dengan lantunan musik Sinfonietta dari Janacek dari radio FM saat perjalanan taksi. Lalu Oka Rusmini memulai Tarian Bumi dengan adegan Luh Sari yang pulang sekolah dan bertemu dengan Luh Telaga. Dan novel ini "On A Journey" memulai dengan sebuah bab pertama novel yang ditulis oleh tokoh utama dalam novel ini Rubi Tuesday. Awalan yang unik menurutku. Awalan menjadi sangat menarik karena dari bab inilah kisah sebenarnya akan dimulai.
Rubi Tuesday (penulis, suka menyendiri ke perpus, suka dengan koran bekas, kopi, menyukai telur setengah matang -pun aku lebih suka melting egg-yolk yang masih mencari saat dimulut, dan yang pasti suka berkelana).
Rasa patah hati karena ditolak Stine membuat dia memutuskan untuk berkelana dengan sepeda ke daerah Diavabre (Mungkin aku harus lebih sering membaca peta, aku tidak tahu ini di daerah mana). Kisah bermula....
Dia naik bus. Bus mogok, lalu dilanjutkan naik sepeda. Lalu bertemu Dave. Menginap Ma'am. Sepeda dicuri oleh Billi. Membantu persalinan Sofi.
Dalam perjalanan itulah, Rubi mendapatkan solusi-solusi yang selama ini dicarinya. Untuk bagian ini aku teringat khusus sebuah ayat dalam alquran surat Arrum 42, yang berisi perintah melakukan perjalanan hingga kita akan mendapatkan kebijaksanaan dari aneka adegan yang kita temui. Yess!!!!
Beberapa adegan saat aku sukai, terutama adegan Rubi bersama Ma'am. Adegan ini secara khusus menceritakan bagaimana baik hati dan rasa mawas seorang wanita tua Ma'am. Dan baru aku tahu, bagi backpacker sepertinya emang harus memiliki surat catatan kelakuan baik dari polisi (dari polisi kita berlaku tidak untuk di luar negeri?).
Kenuikan novel ini juga adalah bahasanya yang jernih dan tidak banyak menggunakan bunga-bunga yang tidak penting. Meski kadang-kadang aku tidak terlalu suka dengan penyomotan lirik lagu (ini personal) dalam narasi.
Satu pertanyaan yang saya belum temukan, mengapa saat mempersiapkan sepedanya tidak ada persiapan peralatan standar seorang yang akan naik sepeda? obeng, pompa angin, minyak rantai, atau kampas rem? Setahuku itu perkakas standar yang sebaiknya dibawa dalam perjalanan naik sepeda.
Sebagai teman, saya lalu bertanya-tanya. Apakah Rubi Tuesday adalah nama pena dari Desi Puspitasari, sebagaimana Randu Wangi? Rubi memulai kisahnya dengan bab 1 novelnya. Apakah ini adalah bab 1 dari kisah perjalanan Desi Puspitasari?? Mari lekas menulis pesan menanyakan siapakah Dave itu??
Ada dua hal yang setidaknya membedakan novel On a Journey dengan novel populer lainnya. Pertama jalan cerita. Dan yang kedua, gaya penulisan. Jika umumnya sebuah novel populer biasanya akan memiliki unsur-unsur berupa jalan cerita yang klise dan cenderung mudah ditebak, tema yang romantis, narasi yang manis plus dialog yang dekat dengan keseharian kita. Maka dalam On a Journey, kita akan sulit menemukan hal-hal tersebut. Dialog-dialog dalam novel ini cenderung formal, dan pilihan narasinya bisa dibilang berbeda dari novel populer pada umumnya.
Meski begitu, bagi saya, di sinilah letak kekuatan dari novel ini. Meski dialognya terkesan formal dan berat, namun narasi yang dipilih Desi sangat nyaman diikuti. Tak berbelit-belit dan lebih terasa membumi, membuat pembaca bisa turut merasakan apa yang dialami Rubi Tuesday. Kalimat berikut misalnya, hanya dengan membacanya saya bisa turut merasakan kemarahan yang ada di hati Rubi:
Perutku berkeruyuk lapar. Ada kedai kumuh di bagian dalam terminal. Namun, aku tidak mau makan di sana. Aku tidak mau bertemu sopir bus dogol itu! Maka dengan menguat-nguatkan hati, aku membenamkan topi hingga garis batas mata untuk menghindari silau matahari, kakiku memancal pedal.
Perjalanan ini harus segera dimulai!
Aku patah hati dan kena tipu, brengsek!
Sepeda meluncur menjauh. (hal. 46)
Penggunaan narasi yang tak biasa juga turut mempengaruhi “rasa” dari novel ini, dan ini tentunya tak lepas dari referensi bacaan dari penulisnya. Sisi baiknya, melalui novelnya ini Desi Puspitasari berpeluang untuk memperkenalkan sebuah gaya baru dalam penulisan novel populer di Indonesia. Tak harus manis. Tak harus romantis. Namun tetap nyaman dibaca dan memberikan inspirasi.
Jikalau ada sedikit catatan saya atas novel ini, mungkin pada setting lokasi cerita yang kurang kuat. Dari pilihan kota yang akan ditujunya -Diavabre-, maka saya bisa simpulkan kalau setting novel ini adalah di luar negeri. Namun entah mengapa di beberapa bagian saya masih merasakan sedikit rasa Indonesia dalam penggambarannya.
Sebagai penutup, ijinkan saya mengutip salah satu kalimat favorit saya di novel ini:
Apa itu sepi? Ketika seseorang membutuhkan kehadiran orang lain di sisinya. Bukan untuk megobrol. Hanya untuk menemani. Bahkan, keberadaannya saja sudah terasa begitu hangat. (98-99)
Ketika membaca novel ini, berulang kali aku melirik covernya untuk membaca nama si penulis. Kenapa? Karena narasinya terasa seperti novel terjemahan luar negri. Dengan sudut pandang orang pertama, gaya berbicara tokoh aku benar-benar sangat lugas dan blak-blakan. Secara gamblang dia menceritakan kisah perjalanannya ke suatu tempat bernama Diavabre. Di perjalanan dia menemui berbagai hal dan beragam manusia. Dia juga mengalami berbagai kejadian luar biasa, dari mulai ditipu sopir bus, tidur di halaman kantor atau di bangku taman, bekerja di suatu warung makan dan mendapat tumpangan dari salah satu pegawainya, sampai kecurian sepeda dan dijual ke tempat penjualan besi rombeng. Dia bahkan sampai kena tonjok! Tak ketinggalan dia juga membantu seorang wanita melahirkan. Yang tak disangka ternyata pacar wanita yang ia bantu melahirkan ini adalah orang yang telah mencuri sepedanya dan menjualnya ke pengepul besi bekas demi memperoleh uang untuk si wanita ini melahirkan. Menarik bukan? Namun, dari berbagai hal yang dialaminya selama melakukan perjalanan—yang lebih cocok disebut petualangan tanpa rencana—akhirnya Rubi Tuesday sadar bahwa perkara patah hatinya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan masalah orang-orang yang dia temui dan berinteraksi selama perjalanan. Rubi benar-benar bertransformasi menjadi wanita tangguh dan independen. "Laki-laki itu masih mengharap akan bertemu Rubi yang seperti beberapa tahun lalu. Namun, aku telah berkembang begitu pesat." "Setidaknya, aku jauh lebih baik daripada laki-laki itu. Tidak menghindar dan secara kesatria mengucapkan selamat tinggal."
*melirik rating di Goodreads; dua komah sekian :O *
Ruby Tuesday, seorang penulis yang patah hati akibat ditolak oleh sahabatnya sendiri, Stine, melakukan perjalanan seorang diri untuk minggat dari kehidupannya. Ia ingin menghindari Stine. Tidak seperti traveler lainnya, dia "melancong" dengan mengendarai sepeda. Ya, kendaran roda dua yang mesti dikayuh agar bisa bergerak.
Di dalam pelariannya, Ruby bertemu dengan banyak orang asing. Dari interaksi-interaksinya dengan orang yang sebelumnya tidak pernah ia kenal itulah Ruby mendapat banyak pelajaran hidup sekaligus tamparan keras baginya untuk tidak kabur hanya karena patah hati.
Bagaimana cerita selengkapnya? Baca saja novel ini. Btw, saya sudah spoiler mengenai ceritanya lho! :D
***
+ Gaya berceritanya runut, asyik, dan nyaman. + Penuh inspirasi dan motivasi. + Plotnya unik dan diceritakan dengan gaya yang khas Desi Puspitasari, setengah pop setengah nyastra baku.
- Setting tempatnya kurang jelas. Kurang dekat dengan pembaca karena tidak dijelaskan dengan rinci atau sulit dikenali. Apakah di Amerika Utara? Atau di sepanjang garis pegunungan di barat Amerika Selatan? - Ada kelebaian di kalimat yang menjelaskan bahwa Ruby sudah mengayuh sepeda sejauh puluhan ribu kilometer hanya dalam beberapa minggu. Hello? Dia bahkan jarang dibantu pengendara lain yang membantunya mendorong atau mengangkut sepedanya. Puluhan ribu kilometer itu jauh, Bung! Keliling Jawa aja butuh beberapa bulan dengan sepeda dan tidak berhenti di sembarang tempat seperti yang dilakukan Ruby. Lagi pula, puluhan ribu kilometer untuk pulang dengan bus hanya butuh dua hari kurang? Sumatra ke Jawa aja berapa hari padahal cuma ribuan kilometer.
This entire review has been hidden because of spoilers.
As usual, mbak desi menjadikan luar negeri sebagai lokasi di novel, dan aku menduga-duga bagaimana mba desi bisa menulis itu semua ckck. Seperti yang disukai Dave, aku juga suka penuturan mengenai apa-apa yang Rubi lihat. Rubi itu misterius, dan susah tertawa, tapi entah kenapa kalau bersama Stine bisa bercanda juga. Terus ending yang aku kira tadinya bakal balik sama Stine, tapi yg kuharapkan sebenernya memang bersama Dave. Cerita perjalanannya serasa kuikuti hari demi hari, nggak ada yang lepas, jadi aku merasa perjalanannya nggak sampai 1 bulan, tapi katanya perjalanan Rubi 2-3 bulan. Hampir nggak ada typo. Kata-katanya lugas, dan nggak menye-menye. Seperti tulisan mbak desi sebelumnya, dengan gaya bahasa baku seperti novel terjemahan, misal : Oh, ayolah. Begitu :D
this is it, @puspitadesi ! Jarang2 ak ngasih bintang 4 ke novel2 yg ak baca. knapa harus utk On a Journey? 1. Novel ini taste nya luar negeri banget 2. novel ini pov nya orang pertama (pov yg sebenernya ak gk trlalu suka. tp di novel ini ak gak bisa gak suka!) 3. novel ini bukan full romance.. ini novel inspiratif, sarat pesan moral tp tetep keren n menyentuh 4. endingnya egak kayak sinetron, egak cengeng 5. novel ini antimainstream! Banyak nilai yg bisa dipetik dr novel inii (jarang2 loh menghibur skaligus sarat nilai) really like it, mb desi ツ
Bisa jadi karena saya kurang menyukai travelling jadi saya kurang menikmati dalam mebaca novel ini. Padahal kalau menurut saya, ceritanya bagus. Cuman mungkin bahasanya mirip novel terjemahan (faktor yang bikin saya kurang nyaman juga). Kemudian ada beberapa bagian konflik yang muncul secara tiba-tiba. Jadi ga mengembangkan konflik yang ada (map ya kalo salah. Saya bukan pakar nulis soalnya. Hehehe) kalo saya sih berasanya kaya maksa aja gitu. Cumin ga salah lahhhh. So, ini adalah saatnya saya yang menulis. Fighting!
Selesai membaca novel ini, aku berpikir dalam-dalam, cukup dalam. Meresapi setiap kisah, kejadian yang dialami Rubi selama perjalanannya. Pemikiran-pemikirannya. Hubungannya dengan Stine.
Aku suka proses yang terjadi dalam diri Rubi. Hanya saja, di beberapa bagian terasa terburu-buru atau kurang mulus. Tetap saja ini novel yang bagus.
Kalau aku tidak membaca nama penulisnya, aku pasti akan mengira ini adalah novel terjemahan :) Gaya penulisan dan bahasanya yang bikin novel ini jadi berbeda dengan novel-novel biasa.... Suka ama novel ini. Keren...
2.5 bintang sebenarnya, tapi tidak saya genapkan ke atas karena saya masih tidak bisa mengerti bagian akhirnya. Bacaan roman yang menarik, penuh dengan pejalaran soal kehidupan. Review lengkap di sini.
3.5 stars They should put up different cover, so readers would understood that this is not a young-adult material. Anyways, despite the rather uncommon style, I still fall for Puspitasari's writing :)