Sinetron itu tidak berkualitas, tidak mendidik, tidak logis, dan karenanya tidak humanis!
Itu yang selalu ditulis Seto dalam resensinya di taboid remaja Abege. Lalu takdir berkehendak lain ketika ia diberi kesempatan terjun dan masuk langsung ke dunia produksi sinetron. Naskah-naskahnya dilirik beberapa PH di Jakarta. Salah satunya PH besar yang sinetron produksinya kerap ia kritik keras di media.
Bisakah ia mempertahankan idealismenya? Ataukah ia terpaksa realistis dan menyerah terhadap tuntutan dunia bisnis broadcasting dan entertainment yang keras dan tak pandang bulu?
Seto tahu pilihan harus diambil. Begitu pula ketika ia harus menentukan siapa di antara dua sosok cantik yang akan menjadi teman hidupnya. Masalahnya, kedua wanita itu sama-sama tak terjangkau...
I was born on May 4, 1971, on a small village called Gedongan in Magelang County, the province of Central Java, Indonesia. Following the footsteps of my father who is a comicbook artist and cartoonist, I want to be a comicbook artist and a cartoonist too. Then, something happened that change my life completely. In 1985, I became a member of Perpustakaan Keliling or Mobile Library, a service provided by the Local Government Public Library Office of Semarang to urge young people to read. The Mobile Library comes in a small truck fully loaded by books, especially teenage romance novels, children storybook, and detective novels. It arrives in my neighborhood once a week every Wednesday at 3 PM. Through the Mobile Library I read books by Agatha Christie, Enid Blyton, and Indonesian legends such as Arswendo Atmowiloto and deeply impressed by them. Soon after, I switch my future dreams from comicbook and cartoon into literature and fiction. Then I swore myself to dedicate my life as a novelist like those big names. I started my writing career as a freelance writer at Cempaka Minggu Ini family tabloid in 1992. Five years later I became an editor at Dharma news tabloid and in Tren teens tabloid in 2001. My first big break on publishing world came exactly 20 years after I enrolled to become the member of the Mobile Library. In 2005, I published my first novel, Kok Jadi Gini?Kok Jadi Gini, literally means How Come It Could be Like This in English. To this day, I’ve written five novels which are all published by PT Elex Media Komputindo and 2 more which are published by Gramedia Pustaka Utama, both in Jakarta. Now I write novels and work as an editor at Gradasi teens magazine since August 2007.
Apakah kamu adalah penggemar sinetron? Atau malah pembenci sinetron dan suka mengkritik tayangan tersebut? Suka tidak suka, faktanya sinetron amat digandrungi oleh banyak orang. Meski sinetron acap kali dikritik karena dinilai tidak mendidik, mombodohi, menjual mimpi, hingga tidak humanis, tapi toh pihak Production House (PH) dan stasiun-stasiun TV tak pernah berhenti memproduksi dan menayangkan sinetron dengan cerita yang (katanya) begitu-begitu saja: amnesia, anak/sudara yang ketuker, tokoh baik yang selalu merana versus tokoh jahat yang kejamnya ngalah-ngalahin Lucifer.
Adalah Seto, tokoh utama dalam novel ini, yang sering mengkritik tayangan sinetron lewat resensi pada tabloid Abege, tempatnya bekerja sebagai editor bagian fiksi. Kritikannya yang tajam soal sinetron sering ia sampaikan tak hanya lewat majalah tapi juga lewat media blog. Ia dan rekan-rekan sejawatnya selalu menyempatkan diri untuk menonton sinetron yang tayang pada jam-jam prime time dengan teliti dan penuh perhatian. Tujuannya tak lain adalah untuk mencela sinetron tersebut.
Lalu, kesempatan besar datang menghampiri Seto. Naskah-nahkah cerita yang ditulisnya dilirik oleh dua Production House di Jakarta. PH pertama, adalah PH baru yang meski tidak besar, namun memiliki idealisme dan harapan yang sama dengan Seto, yaitu ingin membuat sinetron yang tak sekadar menjual mimpi dan kehidupan hedonisme demi sebuah rating, melainkan ingin membuat sinetron yang lebih berbobot dan humanis. PH kedua, adalah salah satu PH besar milik salah salah satu keluarga India yang mengusai jagad persinetronan Indonesia. Honor yang ditawarkan PH tersebut tak bisa dibilang kecil. Akan tetapi, mereka justru merombak total naskah cerita buatan Seto, sehingga ceritanya malah menjadi tak berbeda dengan sinetron-sinetron yang sering dikritik oleh Seto. Seto pun mengalami dilema, antara ingin mempertahankan idealismenya, atau menepisnya demi jumlah rupiah yang menggiurkan, bahkan bagi orang yang paling idealis sekalipun.
Di tengah kegundahannya, Seto masih harus dihadapkan pada masalah asmara. Mengingat usia Seto yang dipandang lebih dari sekadar layak untuk menikah, sang ibu ingin menjodohkan Seto dengan anak gadis dari teman baiknya. Sayang, pada pertemuan pertama saja, Seto sudah merasa tidak cocok dengan Dana. Banyak hal yang membuat seto merasa tak nyaman ketika sedang bersama gadis itu. Di lain pihak, ada perempuan lain yang mampu menarik perhatian Seto. Farah, gadis manis yang menjadi owner sebuah klub sepak bola di Magelang, masih muda namun sangat sukses, anak dari orang yang cukup terpandang dalam dunia politik dan pemerintahan Indonesia. Di luar semuanya itu, kepribadian Farahlah yang membuat dirinya mudah intuk disukai siapapun, tak terkecuali Seto. Bagi Seto, Farah lebih menarik dibanding Dana. Namun gadis yang disukainya itu tampaknya terlalu jauh untuk diraih...
Bagaimana Seto menyikapi persoalan idealisme dan asmaranya? Baca kisah lengkapnya dalam Fade In Fade Out karya Wiwien Wintarto.
***
Fade In Fade Out adalah salah satu dari sedikit novel metropop yang menampilkan laki-laki sebagai tokoh utama, di mana hal inilah yang menjadi salah satu pemicu rasa penasaran saya untuk membaca novel ini. Apalagi penulisnya juga adalah laki-laki, sehingga saya berharap bisa relate dengan tokoh utamanya.
Novel ini memberi banyak informasi menarik seputar proses produksi sinetron. Background penulis yang memiliki pengalaman dalam proses produksi sinetron adalah amunisi yang ampuh, sehingga hal-hal teknis yang dibagi kepada pembaca melalui berbagai adegan yang dialami sang tokoh utama, terasa meyakinkan. Sebagai pembaca buku yang jarang menonton televisi, saya merasa sangat beruntung membaca novel ini, sebab saya jadi tahu banyak hal tentang sinetron, tepatnya, hal-hal yang terjadi saat proses produksi sebuah sinetron. Misalnya: mengapa Production House sangat menjungjung tinggi rating, mengapa mereka lebih memilih membuat sinetron kejar tayang daripada membuat sinetron yang tayang mingguan, mengapa adegan-adegan tertentu sering diulang-ulang (atau dipanjang-panjangin), bagaimana seru-sekaligus-ribet-nya syuting sinetron kejar tayang, bagaimana sutradara memutar otak bila terjadi hal di luar dugaan (misalnya ketika tokoh utama mendadak sakit), atau bagaimana menyikapi artis yang mulai bersikap annoying, dan hal-hal lainnya. Oh ya, kalian yang suka menulis, mungkin bisa mempertimbangkan untuk menjadi penulis skenario. Honornya itu lho... "Lumayan juga. Sejauh yang saya tahu sebagai orang media, honornya antara tujuh setengah sampai sepuluh juta per episode, padahal tayang tiap hari. Jadi ya memang lumayan besar. " (hlm 24-25)
Mengenai gaya tulisan, saya cukup nyaman dengan gaya bercerita Mas Wiwien. Memang novel ini bukanlah novel pertamanya yang saya baca, jadi saya tak bisa membandingkan novel ini dengan novel-novelnya yang lain, akan tetapi alur cerita dalam novel ini mengalir dengan cukup baik. Yang membuat kening berkerut adalah banyaknya nama yang muncul. Saya tak menghitungnya, tapi sumpah, banyak banget! Setiap dua-tiga lembar, muncul nama baru. Sampai-sampai saya jadi bingung apakah nama tersebut pantas diingat atau tidak. Apakah nantinya tokoh yang disebutkan namanya akan menjadi bagian penting dari cerita atau tidak. Saya pikir, jangan-jangan nama-nama itu adalah milik teman-teman penulis, yang meminta nama mereka dimasukkan ke dalam novel. Hehehe.
Sebagian besar konflik dalam novel ini berpusat pada pertentangan batin Seto. Tentang bagaimana ia ingin tetap mempertahankan idealismenya. Begitupun dengan konflik asmaranya. Saya sebenarnya berharap lebih banyak drama dalam novel ini, terutama bagaian kisah asmara Seto-Dian-Farah. Tapi yang saya dapati hanyalah pertentangan bantin Seto, tentang bagaimana ia harus mengekang perasaan sukanya terdapat Farah, juga tentang seberapa tak suka dirinya terhadap Dana. Secara keseluruhan, konflik dalam novel ini cenderung datar-datar saja. Seharusnya penulis bisa mengeksplorasi lebih dalam konflik antar-tokoh dalam novel ini, jadi tak hanya konflik batin saja.
Masih terkait konflik, yang cukup menganggu, ialah penulis malah membuat konflik bagi tokoh pembantu/pendamping, demi kepentingan tokoh utama. Kasus #1: Kaburnya Nane (pacar Bayu, sepupunya Seto), hanya untuk membuat Seto dan Farah menjadi lebih dekat. Kasus #2: Kecelakaan yang menimpa ayah Nane (yang bukan siapa-siapa, apalagi tokoh utama) hanya untuk mempertemukan Seto dan Farah dalam keadaan yang (niatnya) dramatis. Dear author, kenapa harus memberi musibah bagi orang lain demi kepentingan tokoh utama? Kenapa musibahnya nggak dikasih ke tokoh utamanya saja? Mungkinkah penulis menganggap tokoh Seto adalah representasi dirinya, sehingga beliau amat menyayangi tokoh ini sampai-sampai tak ingin memberikan masalah lebih berat kepada Seto? Bisa jadi, sebab di bagian profil pengarang memang disebutkan bahwa kisah ini adalah kisah sungguhan yang dialami penulis. Padahal, menurut saya tak apa-apa menambahkan lebih banyak drama ke dalam novel, meski berangkat dari kisah nyata.
Terlepas dari konfliknya yang kurang menggigit, saya dapat menerima cara penulis mengakhiri novel ini. Memang kesannya agak terlalu mudah bagi Seto, mamun pilihan tersebut sepertinya satu-satunya cara yang aman untuk ditempuh siapapun yang berada pada posisi Seto. Kesimpulan yang bisa saya ambil setelah membaca novel ini adalah: Sekeras apapun usaha mengkritik sinetron yang (katanya) membodohi, semuanya sia-sia bila ternyata lebih banyak orang justru mau dibodohi dengan menonton sinetron tersebut.
Tell me, what pop into your mind when you heard about sinetron? Me: cheesy, nggak logis, sumber hina dina, kumpulan mata melotot dan ngedumel sendiri, artis remaja yang disulap jadi tua and so on and so son. Sinetron menjadi premis utama novel ini. Fade In Fade Out bercerita tentang Seto, seorang editor di Tabloid Abege—tabloid lokal di Semarang—yang sering menghina sinetron dalam setiap reviewnya. Sampai sinopsis dia yang berjudul Keluarga Kancil diterima oleh sebuah PH kecil. Dengan penuh tekad baja dan idealisme tinggi, Seto berangkat ke Jakarta demi mengubah pola persinetronan tanah air. Seakan belum cukup, sinopsis dia yang lain—berjudul Kafe Lima—juga diminati oleh PH besar. Kali ini, si PH besar itu—SineStar—malah merombak Kafe Lima jadi seperti sinetron yang ada sekarang. Seto gambling, take it or leave it? Selain itu, dia juga bingung karena merasa jatuh cinta sama Farah si anak konglomerat bos Magelang FC atau melanjutkan rencana perjodohan yang diatur oleg keluarganya dengan Dana, assistant creative director Winner Publishing. Top of all, ketika membaca novel ini gue serasa kembali digiring ke ruang kelas kuliah. Dengan Bang Ade Armando atau Mbak Nina Armando bercerita panjang lebar tentang kondisi pertelevisian Indonesia. Gue serasa bukan lagi baca novel, melainkan ada di kelas Sistem Komunikasi Indonesia. Time flies. Rasanya baru kemaren gue masih mengangguk-angguk paham atas penjelasan Bang Ade tentang dunia televisi Indonesia. Sekarang? Gue udah kerja aja bo. Ketika membaca novel ini, mau nggak mau gue ikut ngakak dengan komentar Seto. Well, komentarnya benar banget. Tentang sinetron sekarang yang makin nggak banget. Mau sok-sokan idealis mbok ya susah karena bawaan PH ya rating melulu *rating. Pembahasan penting selama empat tahun kuliah hahaha* Seto yang dengan penuh idealisme mau membuat sinetron seperti halnya Dawson Creek, Party Of Five, Friends, and others hanya bisa gigit jari saat skenarionya diobrak abrik. Ya mau gimana lagi? Saat ini memang keadaan pertelevisian nggak ramah sama mereka yang idealis. Ketika kuliah pun gue sering membahas hal ini—termasuk beberapa paper yang pernah gue kerjain. Nyatanya, saat kerja? Terjebak kapitalis. Realistis. Sigh! Overall, ceritanya seru—terlepas dari bayangan akan masa kuliah yang selalu melintas di benak gue. Tapi… ini buku Wiwien Wintarto pertama yang gue baca dan gue menyadari tokoh Farah ada kaitannya dengan novel sebelumnya, The Sweetest Kickoff. Arghh gue belum baca. There is a hole in this novel yang gue rasa bisa gue temukan di The Sweetest Kickoff. Jadi nyesel kan selama ini selalu menunda-nunda baca TSK? Pokoknya habis ini harus baca TSK. I love Mas Wiwien writing style. Berasa real. Membaca biografi singkat di belakang novel, nggak heran sih. Secara Mas Wiwien memang seornag wartawan yang pernah terjun ke dunia sinetron. Satu lagi dan ini yang paling penting. Ketika baca novel luar—tarohlah Lauren Weisberger karena gue baru selesai baca novel dia juga—penulisnya dengan santai mencatut nama tokoh asli, seperti artis-artis yang ada. Sedangkan di novel Indonesia gue jarang menemukannya. But I found it here. Yup, hal yang bikin novel ini lebih real adalah kehadiran tokoh-tokoh nyata macam Dana yang kenal sama Ricky Harun, Zainal Abidin Domba yang mau main di keluarga Kancil, ayah Farah yang pejabat Partai Demokrat dan pendukung SBY, lagi meeting dengan petinggi PSSI dan Menpora. Aaakkkk…. I like it. Ketika di novel Lauren, gue mempelajari, jika kehadirannya hanya sekadar pemanis dan nggak member efek negatif kepada si tokoh, so be it. Ketika seorang artis memegang peranan penting—seperti artis Layla Lawson di Last Night at Chateau Marmont yang kerjanya mengganggu Julian—dibuat nama bikinan. Kalau cuma selintas lalu, yowislah, pake nama asli. Di sini juga begitu. Surprise bo. Terus ya nama stasiun televisinya juga disebut yang beneran ada macam RCTI, SCTV, Indosiar deelel. Giliran kantor advertising Dana, mengingat porsinya banyak, ya dibuat sendiri. Finally ada juga novel yang kayak gini. Satu yang bikin gue gregetan, perubahan sikap tokoh Farah. Memang sih cukup dijelasin alasan dia berubah tapi ya gue merasa masih belum cukup. Berdasarkan info yang gue dapat, katanya Farah lumayan banyak nongol di The Sweetest Kickoff. Yuk mari mencari novel itu buat mengurangi penasaran. Terus yang lucu, penggambaran tokoh Dana. Gue selalu yakin kalau orang beneran tajir melintir itu nggak sombong malah bisa dibilang humble karena bagi dia duitnya ya udah, nothing special. Yang norak itu si tajir nanggung. Di novel ini juga gitu. Farah si tajir melintir biasa aja, justru Dana si tajir nanggung yang norak dan show off. Hahaha. At last, yang bikin gue ngakak adalah nama PH, NE dan SineStar. Merasa familiar? Gini deh, nama PH terbesar yang menguasai televisi saat ini apa? SinemArt dan MD Entertainment. SinemArt jadi SineStar. MD jadi NE (abjad setelah M ya N. setelah D ya E). Kreatif hahaha. So far I enjoy this novel. Buat mahasiswa Komunikasi, baca deh. Dijamin kalian akan kangen kuliah. Karena gue kangen duduk di kelas Sistem Komunikasi Indonesia atau Psikologi Komunikasi atau Komunikasi Global atau Kapita Selekta Jurnalisme atau Manajemen Media Massa deelel untuk membahas masalah sistem komunikasi kita bersama dosen-dosen gue yang keren-keren dan pintar-pintar itu, terutama Ade Armando—and yup, bahan kuliah tentang kejatuhan TVRI, Bhakti Investama, dan system pertelevisian dulu dan sekarang masih nyantol di otak gue hihihi.
PS: Gue suka covernya. Setelah lihat siapa yang bikin, ternyata eMTe, pantesss bagus. Setelah dilihat-lihat lagi, iya sih penggambaran Seto dan Farah mirip ilustrasi eMTe di majalah yang selama ini gue lihat.
Akhirnya selesai setelah sekian lama. Ceritanya sih tipe yang saya suka banget, dengan segala kerealistisannya yang membuat saya sangat mudah relate. Temanya juga menarik. Tapi gaya penulisannya agak terlalu kaku (meskipun saya tahu setting novel ini pastilah sebelum tahun 2010). Dan kedetailannya terkadang menyebalkan. Alurnya lambat karena ini benar-benar seperti membaca sepotong kehidupan orang. Konfliknya juga nggak terlalu dalam. Lebih banyak cerita aja tentang kehidupan si Seto.
PS: Saya belum pernah membaca buku-buku lain dari penulis
fiuuuhhh....akhirnya selesai juga baca buku ini.
Alasan saya beli buku ini karena waktu itu lihat di akun @fiksimetropop bahwa penulis buku ini adalah salah satu penulis favoritnya. Kalau penulis favorit berarti tulisannya bagus kan? Dan karena ini dari mas Ijul (orang di balik akun tersebut), saya percaya seleranya. Berbekal hal tersebut, pergilah saya ke toko buku dan tanpa ragu alias tanpa membaca dulu sinopsis di belakangnya, saya langsung memasukkan buku tersebut ke tas belanja. Nah, pas mau mulai membaca saya baru baca sinopsisnya. Dan agak kecewa karena ada typo yang saya temukan. Awalnya agak drop sih, kalau di sinopsisnya aja typo jangan-jangan di isinya akan banyak typo. Tapi alhamdulillah, sepanjang saya baca sih hanya ada sedikit saja typo.
Untuk ceritanya sendiri sih buku ini tentang Seto, seorang jurnalis dan editor sebuah tabloid yang sangat kritis mengkritik sinetron-sinetron yang isinya hanya membodohi penontonnya saja. Ia ingin mengubah itu semua. Lalu datanglah kesempatan itu. Tapi bagaimana jika produser yang tertarik dengan ide cerita Seto menyuruhnya untuk membuat skenario yang tidak jauh beda dengan sinetron-sinetron terdahulu? Haruskah ia menurutinya dengan imbalan sejumlah uang yang menggiurkan? Selain harus berurusan dengan idealismenya tersebut, ia juga dipusingkan dengan urusan cintanya. Ia harus memilih antara Dana, gadis dengan kehidupan ala wanita urban yang dijodohkan dengannya ataukah Farah, anak salah satu pejabat terkenal di Indonesia.
Jujur aja, setelah sampai di sepertiga buku ini saya bertanya-tanya, ini novel atau daftar hadir? Soalnya banyak banget nama-nama tokohnya. Di mana tokoh-tokoh tersebut tidak pengting dan kehadirannya pun banyak yang hanya sekali. Apalagi saya tipe orang yang tidak suka dengan sebuah buku yang terlalu banyak tokoh dikarenakan agak sulit dalam hal mengingat. Saking banyaknya nama-nama di buku ini, ketika sampai di halaman 193 "Seto tak langsung menyahut karena ada SMS masuk, Bona.", saya bingung Bona tuh yang mana ya, dia siapa sih?
Selain masalah nama tokoh, saya agak terganggu juga dengan beberapa logika cerita di dalamnya. Pertama, Farah yang membuka kios pulsa di rumahnya. Ini aneh banget sumpah. Untuk seorang Farah yang termasuk dalam golongan menengah atas, kalau memang ingin memutar uangnya dalam sebuah bisnis kenapa harus kios pulsa yang nggak seberapa itu, di rumahnya pula? Kenapa nggak buka restoran, butik atau apalah bisnis yang lebih besar? Kedua, tentang Seto yang tak memiliki laptop. Ini sih perasaan saya aja sih, kok ya rasanya aneh di mana harga laptop sudah murah mengapa Seto tidak memilikinya? Apalagi laptop ini kan sangat mendukung pekerjaannya yang selalu berkaitan dengan menulis dan mengetik. Memang sih di flatnya dia punya komputer, tapi apa nggak lebih enak diganti sama laptop yang bisa dibawa ke mana pun? Ketiga, coba baca kalimat bercetak miring di paragraf sebelumnya. Anda tahu si Bona-Bona itu sms apa? Sms yang menanyakan kenapa Seto tidak meng-update status facebook. Alih-alih ketawa, saya malah mengerutkan alis. Apa nggak ada yang lebih masuk akal? Keempat, saat Seto mau mewawancarai Cassa dan dia lupa bawa bolpoin, kemudian bela-belain beli pulpen dulu. Kenapa sih nggak pakai hape aja? Toh Seto punya hape ini.
Nah, dari kasus kedua dan keempat yang ada di atas, saya jadi bingung. Dengan latar waktu di tahun 2012 (gimana saya bisa tahu, karena penulis mencantumkan bahwa Roy Suryo sebagai Menpora), di saat teknologi udah canggih dan jelas kalau Seto ini bukan tipe orang yang gagap teknologi, tapi kenapa di dua kasus itu malah kebalikannya? hhhh....
Yang terakhir, untuk nama-nama artis yang dimasukkan ke dalam buku, semuanya dicatut plek persis aslinya. Tapi ada satu nama yang nggak, yaitu Dude Harlanda. Itu maksudnya Dude Herlino kan? Iya kaaaan? Kenapa dia dibedakan? Sebagai fans Dude saya kecewa. hiks
Untung saja, dalam buku terdapat pembahasan bagaimana proses sinetron stripping dan kenapa ceritanya sangat tidak masuk akal. Dan juga pembahasan tentang jurnalistik yang diselipkan. Sehingga saya bisa memberikan dua bintang untuk buku ini.
Oiya, saya baru tahu kalau penulisnya itu adalah laki-laki setelah selesai baca buku ini. Haduh. *toyor-toyor kepala sendiri*
Fade In Fade Out menceritakan tentang seorang editor tabloid Abege di Semarang bernama Seto. Bersama teman-teman sekantornya, Seto senang sekali mengkritik kualitas sinetron primetime. Cerita yang diperlihatkan sinetron tersebut tidak realistis dan hanya menunjukkan konflik, emosi ataupun fisik, yang tidak penting. Jika diberikan kesempatan, Seto ingin sekali merombak ulang dan menjadikan sinetron menjadi tontonan yang lebih baik dan mendidik. Tepat saat itu, dua sinopsis karyanya dilirik dua PH di Jakarta, salah satunya SineStar yang biasa memproduksi sinetron primetime. Cerita Seto itu dipermak abis oleh produser dan jadinya tidak jauh beda dengan sinetron yang biasa Seto kritik. Seto jadi ragu untuk menerima tawaran tersebut, tapi dia tahu uang yang akan dihasilkan tidak sedikit. Saat itu pula Seto dipusingkan oleh urusan perjodohan. Dana, anak sahabat ibunya, itu terbilang cantik dan sempurna. Kedua keluarga besar sangat mendukung. Tapi kenapa Seto lebih tertarik kepada Farah, tetangga sepupunya di Jakarta?
Fade In Fade Out menceritakan kisah yang menarik. Tidak hanya persoalan dunia persinetronan yang hidup demi rating, tapi juga tentang pencarian calon pendamping hidup yang cocok. Kedua hal itu mungkin akan terdengar klise jika diceritakan dari sudut pandang seorang cewek serba ada. Tapi sang pencerita disini adalah seorang cowok sederhana tapi pekerja keras di akhir 20-an. Ceritanya jadi terkesan berbeda. Lebih nyata, apa adanya dan tidak lebay, apalagi jika soal cinta. Walaupun berasal dari cowok, aku setuju dengan komentar-komentar Seto soal dunia pesinetronan di Indonesia. Dia muak, apalagi aku. Pengalamannya mengunjungi lokasi syuting juga sangat mengejutkan. Skenario dibagikan 15 menit sebelum take. Para aktor tidak perlu susah-susah menghafalkan, mereka tinggal mengatakan intinya saja. Sesudah take selesai, adegan itu langsung dikirim untuk diedit dan langsung tayang dua hari kemudian. Aku bingung kenapa masih aja ada yang mau nonton. Kalo tontonan yang tersisa cuma sinetron kayak gitu, aku mending matiin TV dan tidur aja. Dan apakah para artis juga tidak punya power sama sekali? Mereka nurut aja disuruh akting kayak gitu. Pernah kah mereka pegel saat disuruh melotot dan marah-marah mulu? Apakah yang harus disalahkan disini adalah produsernya? Mereka mikir apa sih selain uang dan rating? Hah, jadi kesel sendiri nih :p
Selain menjabarkan dunia sinetron yang bikin geleng-geleng kepala, Fade In Fade Out juga menawarkan cerita Seto yang mencari tempat berlabuh. Dengan latar belakang keluarga yang begitu tradisional, pernikahan menjadi sebuah tuntutan yang harus segera dipenuhi ketika hidup sudah mapan. Tapi Seto tidak mau salah pilih. Dia ingin menghabiskan hidup dengan seseorang yang cocok dengannya, tidak harus sempurna luar dalam, hanya ingin cocok. Karena dari kecocokan itu, semua masalah ataupun perbedaan bisa diatasi :)
Pertama liat ini novel di Gramedia bareng temen, trus baca sinopsisnya, langsung menimbulkan keinginan kuat untuk membaca. Tapi karena saya jenis ornag yang tidak pernah membeli buku kecuali saya sudah membaca buku itu dan tahu bahwa buku itu bagus sehingga berniat untuk memilikinya, maka saya lebih mengandalkan taman bacaan yang cuma memerlukan setidaknya goceng untuk meminjam satu buku. Cuma butuh 4 jam buat namatin 320 halaman novel ini. Bukan sesuatu yang luar biasa juga sih mengingat saya emang pembaca cepat. Itu emang rekor standar dalam membaca novel bagi saya. Setelah membaca, kesampingkan dulu semua masalah tekhnis, saya cuma mau bilang, Mas Wiwien Wintarto, I adore you so much!!! Your writing is really... MY STYLE!!! Kayaknya otak kita punya chemistry deh, Mas. Beneran. Semua kata yg mau saya tuangin tentang sinetron Indonesia udh Mas babat habis semua ampe saya dibikin speechless pas baca. Kisah cintanya oke punya, manis, g berlebihan, sesuai logika, biasa tapi ngena. Sederhana. Saya selalu suka yg sederhana. Nulisnya pake bahasa gaul, tp saya g keberatan. Yg penting isinya itu, loh. Berbobot. G ecek2 ky puluhan novel yang saya baca akhir2 ini. Bener banget segala hal yang aada di novel ini, idealisme itu hanya sebatas di omongan doang, pd akhirnya kita tetap diobok2 oleh 'idealisme' laknat org2 di 'atas'. Masuk ke dunia resmi penerbitan, bikin saya belajar banyak. Saya tersenyum miris di bagian fakta bahwa orang-orang yang mengkritik negara sendiri itu tidak punya rasa nasionalisme. Dibilang mengagung2kan negara lain tanpa mereka tahu bahwa seperti itulah cara kita menunjukkan cinta. Dengan cara memarahi, memberi contoh yg lbh baik. Seperti kata Mas di novel, ky orang tua yg sesekali jewer telinga anaknya biar ngerti n belajar ke arah yg lbh baik. Kl cuma diam dan nggak emnasihati, itu artinya nggak peduli. Kalo hancur ya hancurlah sendiri. Baca novel Mas bikin saya... apa, ya? Tersentil, ngeliat ke diri sendiri dan tau itu jg terjadi. Mas dgn PH-PH bodoh n saya dengan... yah, tidak perlu disebutkan. Memang, masih banyak kekurangan. Saya rada-rada terganggu sama pemakaian beberapa tanda baca, typo, dan penggunaan kata. Tapi pas saya cek emang nggak ada editornya, ya? Mungkin karena pengarangnya sendiri adalah seorang editor. Trus juga ada beberapa scene yang mengganggu, saya nggak terlalu ingat, tapi yang jelas saya nganggep kurang masuk akal aja tentang si cewek kaya yang buka konter HP di rumah. Aneh aja kesannya. Tapi ya sudahlah, balik lagi ke fakta bahwa nggak ada yang sempurna. Klise emang, tapi tetap saja fakta. HIGHLY RECOMMENDED, buat org2 yang pengen bacaan berkualitas, yang bisa menyentil, bukan sekedar cerita romantis yang lama-kelamaan mengambil wujud sinetron dalam bentuk cetak.
Ini pertama kalinya aku membaca karya penulis dan aku cukup menikmati gaya berceritanya yang mengalir lancar, walau awalnya aku sempat bosan tapi perlahan-lahan aku bisa juga menikmati kisah ini hingga akhir.
Novel ini mengisahkan tentang Seto, seorang editor tabloid ABEGE di Semarang, yang memang khusus untuk meresensi sinetron dan film, dan dia cukup kritis dengan dunia sinetron Indonesia yang "tidak mendidik", yang hanya mengandalkan rating tanpa mau berusaha untuk punya ciri khas sendiri, adegan demi adegan di sinetron hanya itu...itu saja, mulai dari amnesia, rumah sakit, pertengkaran, dan semua satu type, copy-paste cerita saja, yang membedakan hanya tokohnya saja.
Hingga suatu hari, Seto diberi kesempatan untuk turut ikut ambil bagian dalam dunia sinetron yang selama ini dikritisinya, sinopsis cerita yang dia buat dilirik oleh 2 PH di Jakarta, yang satunya masih memberikan Seto kesempatan untuk mengembangkan idealismenya, sedangkan yang satunya lagi malah mengikuti trend sinetron yang ada, sinopsis cerita Seto malah diobrak-abrik dan harus mengikuti selera penonton saat ini demi sebuah kata "RATING".
Tidak hanya dalam pekerjaan, Seto pun mulai dilema dengan kisah percintaannya. 2 orang wanita yang masuk dalam kehidupannya, satunya Dana karena perjodohan keluarga dan yang satunya lagi, Farah pemilik club sepakbola "Magelang FC", tetangga sepupunya Bayu di Jakarta. Dua-duanya gadis yang cantik, menarik, dan punya kelas sosial yang tidak sama dengannya, tapi punya kepribadian yang berbeda.
Bersama Dana, wanita yang dijodohkan dengannya, Seto tidak merasakan kenyamanan seperti bersama Farah, tapi Seto masih tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Bersama Farah, Seto merasakan kenyamanan dan kecocokan dan hubungan mereka berjalan layaknya jalan tol, tanpa hambatan yang berarti.
Bagaimana akhir kisah Seto? Siapakah wanita pilihan hatinya? Bagaimana nasib naskah ceritanya yang akan diproduksi?
Novel ini sebenarnya biasa banget dari segi cerita, tapi penulis mampu meramu menjadi sebuah cerita yang tidak biasa-biasa saja, sedikit berbeda penulis mencoba mengambil sudut pandang "cowok", kita jadi bisa menyelami pikiran Seto dengan segala problematika kehidupannya mulai dari pekerjaan hingga urusan percintaannya. Cuma memang, novel ini minim konflik, sehingga membuat novel ini jadi "kurang bumbu",tapi aku lumayan menikmatinya. Sebuah perkenalan yang cukup manis dengan karya penulis dan tidak ragu untuk membaca karya penulis lainnya ^^
Pertama baca karya mas Wiwien dan suka. Meskipun agak lama juga bacanya karena kesalip drakor yang harus aku tuntasin sampai episode terakhir.
Novel ini menceritakan kisah Seto, seorang editor tabloid Abege Semarang yang mendapat kesempatan untuk menulis skenario di dua PH sekaligus setelah sinopsis cerita yang dia tulis dilirik dua PH. Idealisme Seto yang selalu mengkritisi sinetron lewat resensi di tabloid Abege dipertaruhkan saat ide ceritanya yang berjudul Kafe Lima dipatok dengan harga tinggi tapi harus dirombak habis-habisan bahkan sampai judulnya harus diganti. Di tengah-tengah proses kerjasamanya dengan dua PH tersebut, Seto bertemu Farah. Manajer klub sepakbola Magelang FC plus anak tokoh besar yang tetanggaan dengan sepupunya Bayu. Dari awal mereka langsung cocok. Tapi Seto juga harus berjumpa dengan Dana, anak kerabat keluarganya di Magelang yang berusaha dijodohkan dengannya. Gaya hidup Dana yang maunya segala sesuatu yang lux membuat Seto berpikir dua kali untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius. Seto pun dilanda dilema dengan perasaannya kepada Farah. Dia merasa dirinya dan Farah bagaikan langit dan bumi. Dan saat Farah juga sepertinya ada kans untuk membalas perasaannya, Seto justru merasa semuanya seperti terlalu mudah.
Gaya menulis mas Wiwien mengingatkan aku pada Dewie Sekar dan Retni SB. Indonesia banget. Saat baca novel ini aku sering cekikikan di part-part dimana para tokoh yang ada dalam cerita mulai membahas sinetron dalam negeri. Sama banget gitu loooh dengan tanggapan aku sama sinetron-sinetron sekarang. Dari novel ini juga aku dapat bayangan bagaimana dunia kerja di sebuah production house dimana ternyata emang rating yang bicara. Kualitas cerita nomor sekian, yang penting rating. Gak heran sinetron-sinetron sekarang pada nggak bermutu. Cuma jual tampang pemain aja. Aku juga suka chemistry para tokohnya. Paling suka sih dengan karakter Farah. Paris Hilton versi Indonesia yang akhirnya jenuh dengan segala Clubbing activity dan hunting berbagai macam merek fashion luar negeri hanya demi gengsi-gengsian. Yang matanya terbuka lebar setelah jadi manajer klub sepak bola dimana dia jadi melihat berbagai macam kehidupan diluar rumah dan gaya hidupnya yang super mewah. Yang demi rasa sukanya pada seorang Seto, rela melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya termasuk naik bus ekonomi dari Semarang menuju Magelang.
Fuih, bulan ini memang progress buat baca sangat menurun. Ditambah kerjaan yang lagi hectic. So here Im, mbahas novel yang baru kelar baca setelah dibeli tepat di akhir Maret.
Fade in Fade out, awalnya nggak ngerti apaan yah ini. What is the meaning of..."Fade in fade out". Baru kali ini baca metropop karya pengarang pria, meskipun pernah baca juga sekilas karya andrei a. Kalau biasanya cerita menonjol dari segi perempuan, atau tokoh utamanya perempuan, karena kebanyakan author metropop adalah perempuan (meskipun ada part POV tokoh laki dan POV perempuannya). Ngerasa beda aja, tapi jelas sisi maskulinnya masih ada, nggak lembek.
fade in fade out mengisahkan tentang Seto, editor sebuah majalah remaja, dengan segala cita-cita dan idealismenya yang sudah mendarah daging di dunia Jurnalistik. Semuanya menjadi titik balik kehidupannya ketika dia mendapat kesempatan untuk membuat sekenario sebuah sinetron, dan tidak sengaja di Jakarta bertemu dengan seorang yang Seto kira sangat pantas sebagai soulmate dia. Cerita ini begitu sederhana dan lebih menggambarkan realita. Tidak seperti metropop yang biasanya ada sisi hidh class yang sangat ditonjolkan. Meskipun di sini masih ada sentuhan itu, tapi seakan semuanya tertutupi oleh part simplenya. Nmun pengarang memang secara total membawa pembaca untuk melihat gambaran dunia di balik layar, dan fakta-fakta tentang dunia persinetronan Indonesia. Hal ini sedkit banyak membuka wawasan kita sbg pembaca, dan menyimpulkan secara individu tentang kualitas sinetron masa kini. Seto segabai seorang jurnalistik yang selalu mengkritisi sinetron yang tidak berkualitas dihadapkan pada kenyataan apakah dia harus menjadi begian dari kekonyolan itu??/ mencapai cita-cita apalagi merubah keadaan dan budaya memang tidak mudah. Seperti yang ada di dalam buku perahu kertas, kit terkadang harus menjadi orang lain dulu untuk meraih cita-cita kita
Novel ini pertama kali gue baca cuma depan 4 lembar dan epilog. Setelah itu bagi gue gak menarik. Akhirnya novel ini gue taruh kembali ke rak disebuah toko buku dibilangan matraman. *bahasa gue boo..*
Hingga tadi, lagi-lagi mas mimin membuat gue penasaran tentang ini novel. Padahal dia sendiri belum baca. Terlebih lagi gue ingat, kalau penulisnya ini tak pernah menampilkan sosok tokoh yang jahat atau apa pun yang berbau jahat gitu. *sinetron kali del*
Nah, berhubung sinetron yang dibahas di novel ini, Gue jadi melek sinetron dan benar yang dikatakan disini. Pasti ada adegan rumah sakit, amnesia, mati, tokoh jahat sampai kebanyakkan dialog diri sendiri. Gue ngakak bacanya. Terlebih membayangkan adegan mata melotot. Sampai gue kepengin tanya sama tokoh antagonis itu. "Apa gak takut copot matanya, karena melotot terus?" Hihihihi :))
Sebenarnya ide ceritanya bagus dan mengalir lancar tanpa hambatan. Tetapi kok ya berasa ada lempengnya,ya.
Entah karena gue merasa kok gak ada konfliknya. Padahal konfliknya itu seto yg terlalu berfikir, 'apa benar farah bisa hidup dengan dia?'
Gue merasa itu doang konflik geregetnya. Selebih itu konflik sepupu seto, bayu dan pacarnya. Bahkan koonflik seto - dana. Lempeng aja.
Ceritanya mulus sih. Etapi kalau banyak konflik nanti kayak sinetron lagi. *melotot bengis* *ngikik*
5 jam menyelesaikan satu novel. Please, gue gak mau menjadi police typo. Jadi gue gak liat apakah ada typo di novel ini.
3,5 bintang buat novel ini. Akhirnya gue pun suka dengan cara bercerita mas wiwin.
pertama baca buku ini gak selesai karena sempat bosen dengan cerita awalnya. dan pas baca kedua kalinya akhirnya selesai. cerita dinovel ini agak beda dari novel2 lain yang saya baca, dan ini juga buku pertama dari penulis yang saya baca. ceritanya sepertinya tidak terlalu banyak menghayal tentang kehidupan dan romansa dunia percintaan.. tapi seperti kehidupan sehari-hari yang kita alami (mungkin sosok seto dalam cerita ini seperti menunjukan sosok penulis sebenarnya karena novel ini beda dengan yang lain, dan seto dengan semua cita-citanya teentang perfilman). banyak hal yang dapat dipelajari dari buku ini dan saya sependapat dengan penulis tentang sinetron2 yang ditayangkan di tv yang tidak mendidik dan sebagainya dan semua yang dibaca dibuku ini dapat membuat kita mempunyai pandangan berbeda tentang hidup terutama tentang makna kebahagiaan yang bukan hanya karna harta dan kedudukan tapi bagaimana sikap kita terhadap apa yang ada disekitar kita.. walaupun bosen bacanya tapi ya selesai juga, dan ambil saja positifnya..
Sebenernya sih ya, tema buku ini unik. Membahas tentang sinetron. Jadi ceritanya tentang Seto, seorang editor tabloid yang suka mengkritik habis sinetron Indonesia. Dia juga sering buat naskah sitkom gitu hingga suatu saat dia dapat kesempatan buat jadiin naskahnya itu sinetron beneran.. Tapiiii ternyata naskah dia toh sama aja endingnya diobrak-arik juga sama produser. Endingnya ga diceritain apakah Seto berhasil mengubah kebiasaan sinetron Indonesia. Ini salah satu yang disayangkan. Padahal di sinopsis dan temanya sendiri tentang sinetron ini. Menurut saya, terlalu banyak hal2 ganjil di ceritanya. Tentang bagaimana akhirnya naskah Seto bisa sampai ke tangan produser, kok kayanya terlalu banyak kebetulan. Dan lagi, terlalu banyak tokoh yang disebut dan namanya cuma muncul sekali doang. Baca novel ini lumayan lama, bukan karena gada waktu, tapi gada semangat atau ceritanya sama sekali ga bikin penasaran buat terus baca nih buku. Yang jelas novel ini belum bisa saya kasih 3 bintang juga.
Yah,nanggung bgt ini, Mas, ending ceritanya! >< Asli, saya malah dibikin penasaran gimana kelanjutan dari sinetronnya Seto, setelah itu apa lagi, dst, dst. Jadi berharap FIFO bakal ada lanjutannya, buat ngeliat apa Seto berhasil menanamkan apa yg selama ini diyakininya di dunia persinetronan Indonesia. Walau pada kenyataannya belum ada sinetron yg berani tampil beda dari apa yg selama ini disuguhkan, setidaknya kita bisa melihatnya dan dipuaskan dalam dunia novel. Dan setelah baca novel ini, saya jadi berharap bakal ada penulis-penulis skenario yg berani membuat cerita yg berbeda, lebih berisi, dan, masuk akal. Juga PH-PH yg tidak hanya (melulu) memikirkan rating & stripping. Kalo negara lain saja bisa bikin serial/drama yg tayang sekali atau dua kali seminggu tapi tetap memiliki rating yg tinggi, masa Indonesia ga bisa?
Dibaca persis setelah The Sweetest Kickoff. Baguslah, nggak ada percakapan pervert yg dih-apaan-sih-ini kayak di TSK. Chemistry para tokohnya oke sehingga saya ikut merasa "asyiknya" (awal) pertemanan Farrah-Seto-Bayu. Printilan yg agak maksa masih bisa dimaafkan, misalnya bagian konglomerat yang bisnis pulsa atau semesta yg tidak mendukung perjalanan Semarang-Jogja (kehabisan bus Joglosemar & mendadak ada demo taksi, pfftt). Overall, much much better than the prequel :)
This entire review has been hidden because of spoilers.
Sejujurnya aku nggak selesai sama novel ini. Eh, kerasa kurang nyedot pake banget. Jadinya, adegan2 di tengah itu kerasa hambar. Nggak ada yang bikin aku tertarik buat terus. Huft, Padahal temanya bagus. Tentang wartawan wajalah Abege yang punya pandangan 'mengerikan' sama sinetron-sinetron yang sekarang sering tayang di layar kaca. Sebuah opini yang aku setujui. Tapi, nggak sama alur ceritanya. Udah gitu aja. Karena aku nggak baca sampai selesai, nggak mau komentar banyak :(
Baca metropop ini memberikan pengetahuan saya tentang dunia sinetron. Tapi ada beberapa bagian yang bikin annoying, dan itu gak cuma satu atau 2. Well, metropop ini kayangnya udah mentok di rating 3 bintang. Udah gitu doang! :D
Lebih "berisi" daripada The Supper Club. Suka dengan cerita-cerita yang berbau-bau majalah/tabloid dan acara televisi. Hanya saja kisah cinta Seto sepertinya kok jalannya terlalu mulus, ya. hehehe *sirik*