Penulis mencatat apa yang dialaminya sebagai sejarah kehidupan. Dan dengan itu ia tidak hanya mengubah hidup sendiri, tapi juga hidup orang lain.
Dalam buku ini, lima penulis mumpuni akan membagi cerita mengenai perjalanan karier mereka. Lima latar belakang berbeda, lima energi kreatif berbeda. Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan menyajikannya untuk kamu. Ya. Hanya untuk kamu.
Kamu butuh buku ini kalau:
- Mau jadi penulis tapi bingung cara mulainya - Kamu punya banyak cerita menarik dan ingin dibaca banyak orang - Suka baca buku dan mau akrab sama penulisnya - Ragu untuk memulai passion - Mau meyakinkan orang tua kamu tentang bakat menulismu - Sudah sering nulis tapi belum pernah diterbitkan
Setelah lulus SMA di tahun 2008, Haqi Achmad memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dan memilih mengejar cita-citanya menjadi penulis skenario.
Pada tahun 2011, Haqi Achmad menulis skenario film pertamanya, Poconggg Juga Pocong. Pada Festival Film Indonesia 2016, Haqi Achmad tercatat sebagai nomine Penulis Skenario Asli Terbaik lewat film Ada Cinta di SMA.
Sepanjang tahun 2011 s.d. 2020, Haqi Achmad telah menulis 21 skenario film. Haqi Achmad juga menulis 3 buku non-fiksi serta 1 novel adaptasi.
Saat ini Haqi Achmad bekerja sebagai Digital Banking Storyteller di Jenius BTPN dan sedang menyelesaikan novel pertamanya.
Bintang Pertama : buat desain covernya Bintang Kedua : buat desain isinya Bintang Ketiga : buat isi bukunya yang sama sekali nggak ngebosenin untuk dibaca dari awal sampe akhir Bintang Keempat : buat pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman 5 penulis yang ada di dalemnya Bintang Kelima : karena buku ini sukses bikin gue semangat lagi buat nulis hahaha :)
My Life as Writer adalah buku yang sudah aku tunggu-tunggu dari tahun lalu. Aku tau tentang rencana penulisan buku ini karena suka mantengin blognya Haqi Achmad dan kebetulan juga sedang magang/volunteer di Reading Lights, saat Haqi melakukan wawancara dengan Farida Susanty! :D
Bulan April lalu, disaat aku ngerasa kesel (read about it here), aku pergi ke Rumah Buku. Toko buku diskon langganan aku itu sedang diskon 30% untuk hampir semua buku. Aku asalnya cuma mau beli Roma: Con Amore yang cukup tebal dan siap membayar. Tapi entah kenapa (mungkin karena diskonnya oke banget), aku ngerasa aku harus beli satu buku lagi. Setelah milih-milih dan terus-terusan ragu, buku dengan warna dominan merah ini muncul dan menyegarkan pikiranku. Harganya agak mahal sih untuk buku yang bisa dibilang ‘tipis’. Tapi setelah ngitung-ngitung harga setelah diskon dan melirik isi dompet, aku langsung mantap membawa dua buku itu ke kasir hehehehe
Seperti buku-buku seri ‘My Life as’ lainnya, Haqi yang kali ini menulis bersama Ribka membahas tentang sebuah profesi dan seluk beluknya ke sumbernya langsung, tiada lain selain orang-orang yang nampang di sampul buku ini. Ada lima penulis yang mendapat kehormatan dan bersedia membagi cerita tentang profesi tulis menulis mereka, yaitu Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi ‘Dee’ Lestari, Farida Susanty dan Valiant Budi. Aku bisa saja belum pernah membaca karya mereka (kecuali Perahu Kertas - Dee) tapi mereka tetap menginspirasi dan menyemangati. Saking semangatnya aku ngeberesin buku ini hanya dalam 5 jam ;)
Salah satu cita-cita saya dulu adalah bisa menulis tentang apa saja, syukur-syukur bisa bermanfaat buat orang lain. Buku ini kembali menginspirasi dan memompa semangat bagi siapa saja yang ingin bisa menulis apalagi menjadi seorang penulis. Pengalaman-pengalaman beberapa penulis kawakan yang ada dibuku ini bisa dijadikan referensi dan panduan agar kita bisa memulai untuk tidak ragu menulis, yang pada akhirnya tulisan kita itu bermanfaat atau tidak nantinya. Yang penting mulailah...jangan berpikir mau jadi apa. Terima kasih buat para penulis yang mau berbagi cerita yang menginspirasi ini...
Kalau kamu pengin jadi penulis tapi nggak ada inspirasi, baca buku ini! Kalau kamu pengin jadi penulis tapi nggak punya motivasi, baca buku ini! Kalau kamu pengin tahu bagaimana pengalaman menulis Dee, Clara Ng, Alanda Kariza dll, baca buku ini!
Dijamin kamu akan semangat untuk mencoba menulis setelah membaca buku ini. Ada quote-quote keren tentang penulisan juga di buku ini :)
Akhirnya kesampean juga punya dan baca buku ini, wishlist sejak tahun lalu :D. Alasan kenapa ngebet banget pengen baca karena yang dibahas adalah para penulis yang tulisannya udah pernah saya lahap dan ada yang jadi favorit, selain itu dalam rangka mengumpulkan buku tentang tips menulis. Walau nggak full tentang kiat-kiat menulis yang baik dan benar, lebih ke berbagi pengalaman tentang profesi penulis, tetap saja ada pesan moral yang bisa di ambil dari pengalaman mereka. Awalnya saya ingin membaca serta menulis review setelah selesai dengan Draft 1 dan Creative Writing tapi malah selesai duluan. Dari kedua buku tersebut buku ini memang ringan banget, nggak membutuhkan banyak waktu untuk menyelesaikannya karena bukunya tipis, tulisanya besar-besar, ada beberapa foto dan full colour. Membacanya pun jadi asik.
Ada lima penulis yang dilirik oleh Haqi Achmad dan Ribka Anastasia untuk dijadikan sumber cerita; Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi 'Dee' Lestari, Farida Susanty dan Valian Budi Yogi. Saya pernah mencicipi karya mereka dan suka, makanya tertarik untuk membaca buku ini. Inti dari buku ini sendiri lebih ke perjalanan karier mereka dalam dunia tulis menulis, siapa mereka, bagaimana awalnya terjun ke dunia literati, beberapa tips yang bisa dibagi sampai penghargaan apa yang didapat. Dengan wawancara langsung ke nara sumber dan menggunakan bahasa yang cukup santai menjadikan buku ini mudah dipahami. Pertanyaanya seputar sejak kapan mulai nulis, apa arti nulis, apakah selalu suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia, apakah suka nulis buku diary, apakah ada waktu, tempat dan sountrack khusus dalam menulis, tanggapan keluarga, dan masih banyak lagi.
Berikut cuplikan cerita perjalanan karier penulis yang ada di buku ini:
Alanda Kariza: Happy Writer
Mengawali karier menulis dengan menerbitkan buku Mint Chocolate Chips di usia 14 tahun, selain itu dia juga aktif di berbagai organisasi seperti The Cure for Tomorrow sampai mendirikan organisasi sendiri bernama Indonesian Youth Conference. Bagi dia, salah satu cara melakukan perubahan adalah dengan menulis. Menulis dan organisasi adalah kesenangannya.
Dari novel Eiffel, I'm in Love, Alanda tahu kalau novel yang menggunakan bahasa sehari-hari ternyata laku dipasaran, kemudian dia pun mengembangkan novelet Mint Chocolate Chips, menggunakan cara yang sama yang pernah dilakukan penulis Eiffel, I'm in Love dengan membagikan fotokopian novelnya tersebut sampai akhirnya mengirimkannya ke penerbit independen. Awalnya Alanda tidak tertarik dengan penerbit besar karena takut kalau karyanya akan banyak diedit, tapi lama kelamaan dengan banyak membaca dan mengembangkan kemampuannya dalam menulis, Alanda tahu pentingnya editing sehingga membuat karya selanjutnya lebih terstruktur dan lebih baik dari sebelumnya.
One bottom line yang bisa ditarik adalah menjadi penulis tidak boleh cepat puas atas karyanya sendiri, ya. Seperti yang dilakukan Alanda. Ketidakpuasannya itu akhirnya berbuah baik banget yaitu perkembangan skill menulis yang sangat terlihat di tiap buku dirilisnya.
Sebenarnya ketika kita menulis apa yang kita suka, secara langsung kita sudah memberi napas di buku itu.
Tips dari Alanda untuk meningkatkan kemampuan menulis:
Banyak tanya: jangan sungkan untuk tanya ke berbagai hal kepada penulis yang sudah pro, seperti Alanda pernah bertanya kepada Raditya Dika tentang managemen waktu, gimana bisa menulis di tengah kegiatan yang cukup padat, ke Windy Ariestanty yang sering memberi tips tentang editing. Banyak baca: semakin banyak buku yang kita baca, kita akan tahu mana yang bagus mana yang nggak.
Alanda menganalogikan profesi penulis dengan profesi koki atau juru masak. Ia berujar, seandainya seorang koki profesional tidak bisa membedakan makanan yang enak atau tidak, di luar resep pribadinya, tentu koki itu tidak bisa disebut sebagai seorang koki. Karena, Alanda bilang, pada dasarnya semua koki itu pasti suka makan. Semakin sering mencicipi suka makanan yang berbeda, semakin ia tahu mana makanan yang dimasak dengan baik dan mana yang tidak enak.
Karya Alanda yang belum pernah saya baca adalah novel pertamanya, karena sekarang udah sangat sulit di dapat. Tetapi lewat buku non fiksinya yang berjudul Dream Catcher, saya cukup terkesan, lewat bukunya tersebut dia membantu kita untuk merancang mimpi kita dan berusaha merealisasikannya dengan langkah-langkah yang mudah kita pahami. Cerita fiksinya juga menarik, saya suka dengan buku kumcer Vince Versa.
Clara Ng: (Bukan) Penulis
Bisa dibilang, Clara Ng adalah penulis lintas genre, penulis serbabisa, mulai dari buku anak, romance sampai fantasy pernah dibuatnya, karyanya sekarang sudah puluhan dan melalui karyanya tersebut dia membuktikan kualitasnya sebagai penulis (tiga kali meraih penghargaan Adikarya Ikapi lewat cerita anak yang ditulisnya serta terpilih sebagai nominasi di Khatulistiwa Literary Award 2011 lewat novel Jampi-Jampi Varaiya), bahkan dia juga menjadi tutor menulis.
"Kalau seseorang banyak membaca, aku rasa secara alamiah orang itu akan terdorong untuk menulis. Proses mendengar, berbicara, membaca, dan menulis itu berurutan seperti bayi belajar berbahasa."
Ada kisah panjang tentang perjalanan Clara sebagai penulis, bisa dibilang kecelakaan. Awalnya dia menulis fan fiction dan sempat bergabung dalam komunitas fan fiction di Amerika. Kemudian ketika Clara mengalami keguguran anak pertama, dia menyalurkan perasaanya ke dalam tulisan, berkat dukungan teman-temannya Clara berani menerbitkan buku Tujuh Tahun Semusim secara indie sampai dilirik oleh General Manager GPU, bahkan sempat dibawa ke rapat GPU karena buku tersebut laris diserbu pembaca dan sangat memukau. Clara dicari-cari penerbit besar Indonesia.
Clara sempat ingin menjadi anonim. Clara ingin orang-orang mengenal karyanya, bukan dirinya.
"Ada keinginan kuat dalam diriku untuk berbagi, untuk membantu orang, untuk mengajar menulis. Keinginan itu yang akhirnya membuatku berani."
Perjalanan Clara selanjutnya tidak langsung mudah, perlu kerja keras dan jalan berliku, bahkan dia sempat mengalami ketakutan untuk melempar sesuatu ke masyarakat karena malu. Sampai akhirnya ada dorongan terbesar agar dia berani.
Tips dari Clara kalau kamu ingin disebut sebagai penulis:
Temukan motif kenapa mau menulis, tujuan kamu menulis apa? Menerbitkan buku di penerbit besar, karena mereka menuntut kualitas. Minimal menerbitkan tiga buku agar bisa benar-benar disebut sebagai penulis.
"Aku mengibaratkan penulis itu seperti atlet. Semakin sering berlatih, seorang atlet nggak akan menunggu mood untuk mulai latihan. Begitu pula dengan menulis, jika seseorang semakin sering menulis ia nggak perlu menunggu mood dulu untuk mulai menulis."
Saya baru baca beberapa karya dari Clara Ng, walau tidak langsung menjadikan penulis favorit saya, suka dengan tulisannya yang cenderung blak-blakan dan sering sekali mengupas masalah keluarga dan perempuan. Saya suka pemikirannya, suka cara dia membuat cerita yang mainstream tapi disuguhkan dengan kemasan yang lain daripada yang lain.
Farida Susanty: Bittersweet Writer
Mengawali karir menulis di usia muda dan menerbitkan buku yang berbeda daripada lainnya, Dan Hujan Pun Berhenti ia tulis sejak kelas satu SMA dan terbit saat ia kelas tiga SMA, buku yang sangat gelap untuk ukuran teenlit, melalui karya pertamanya itu dia langsung menyabet penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk ketegori Best Young Writer. Farida lelah dengan cerita teenlit yang itu melulu, karakter utamanya suka basket dan harus ketua OSIS, ia ingin membuat cerita dari sisi yang berbeda
"Aku nggak kebayang aja kalau starting point-nya adalah ingin diterbitin. Untuk aku, starting point menulis itu memang senang dengan kegiatan menulisnya sendiri, bukan untuk diterbitin atau yang lain."
Perjalanan naskah pertamanya pun juga tidak mudah, setelah melewati tiga penerbit bukunya baru bisa diterima karena ceritanya tidak mainstream itu tadi, halamannya terlalu tebal untuk novel teenlit, sampai harus memangkas cerita dan mengubah plot, Farida tetap yakin dengan cerita yang dia buat dan akan mendapatkan tempat di hati pembaca. Awalnya Farida malu untuk menunjukkan tulisannya ke khalayak ramai, baru setelah boomingnya novel Dealova, Farida termotivasi ingin menerbitkan novelnya sendiri. Karyanya harus dimiliki oleh khalayak ramai.
Dan terbukti kan perjuangannya sekarang, novel pertamanya menghantarkan Farida mendapatkan penghargaan bergengsi, buku keduanya yang merupakan kumpulan cerpen berjudul Karena Kita Tidak Kenal telah diangkat menjadi beberapa judul film pendek. Tujuan Farida nggak muluk-muluk bahkan sampai mendapatkan pernghargaan atau sejenisnya, tujuannya murni ingin berbagi lewat tulisan. Bahkan, pernah ada seseorang yang ingin mencoba bunuh diri dan setelah membaca buku Dan Hujan Pun Berhenti dia tidak jadi melakukannya, itu menjadi penghargaan tersendiri untuk Farida.
Tips dari Farida:
Semua orang bisa menulis, kalau punya bakat nggak dikembangkan sama aja. Menulislah setiap hari, apa pun bentuknya, kalau perlu bawa note kemanapun kamu berada. Jangan hanya menunggu ide datang tetapi carilah.
"Aku ingin setiap orang yang ngambil bukuku di rak (toko) buku, siapa pun itu, tidak akan nyesel karena udah beli bukuku. Nggak perlu disebarin ke orang lain, cukup tidak perlu nyesel karena sudah memutuskan untuk beli bukuku."
Karyamu tidak pernah mengecewakan di mata saya, Farida. Sejak baca novel pertamamu, baca berulang-ulang tidak pernah bosan, tulisanmu ikut membawa jenis bacaan baru bagi saya, memperkenalkan saya pada tulisan yang pesimistis tapi tetap ada pesan moral yang bisa diambil. Kamu adalah salah satu penulis favorit saya, selalu ditunggu karya-karyanya :D.
Masih ada dua penulis lagi yang dibahas oleh Haqi dan Ribka, lebih baik dibaca sendiri aja ya :D
Saya suka banget dengan buku ini, bisa tahu sejarah mereka, perjalanan karir para penulis yang emang nggak semudah yang kita bayangkan, perlu kerja keras, ketekunan dan pantang menyerah dalam setiap karya yang mereka buat. Kekurangannya sendiri lebih ke masalah teknis yaitu masih banyaknya typo dan ada kesenjangan halaman di beberapa penulis. Misalnya saja bagian Dee lebih banyak dari yang lain dan bagian Farida yang paling sedikit, hiks. Saya emang ngebet banget pengen baca bagian Farida karena dia adalah penulis favorit saya. Ada minimal dua buku penulis yang dibahas cukup dalam tapi bagian Farida hanya novel pertamanya aja. Kalau melihat struktur wawancaranya, sebenarnya pertanyaan yang dilontarkan sebagian besar sama, emang ada penulis yang menjawab lebih panjang jadi mempengaruhi juga dan ada beberapa pertanyaan bisa berkempang luas menjadi pertanyaan baru berdasarkan jawaban, sayangnya nggak diterapkan ke semua nara sumber. Intinya sih, buku ini kurang tebel XD.
Saya berharap akan ada seri kedua, karena menarik sekali, dan saya pengen Sitta Karina menjadi nara sumber selanjutnya karena dia adalah penulis favorit saya juga :D.
Kalau kamu bercita-cita untuk jadi penulis dan menjadi penggemar para penulis yang ada di sampul buku ini, kamu wajib baca :D
"Seorang penulis harus menemukan keunikanya sendiri dan itu tidak akan didapat kalau dia tenggelam dalam permainan peran. Misalnya dia bilang dia pingin jadi JK Rowling. Akhirnya dia jadi imitator, tidak punya ciri khas sendiri." - Dee.
EDUCATIONAL! Kalau biasanya dalam buku-buku "tips menulis" kita disuguhi teknis serta beberapa motivasi bahwa kita pasti bisa menulis, buku ini justru menunjukkan bahwa menjadi penulis itu nggak mudah. Tapi di situlah menariknya. Duet penulis Haqi Achmad dan Ribka Anastasia berhasil menggali sisi lain dari dunia kepenulisan yang mungkin tidak terlalu disorot dalam hingar-bingar tren writerpreneurship. Itu karena kisah-kisah yang ada di dalamnya diambil dari pengalaman-pengalaman mendalam 5 penulis ternama yang sudah bersedia menjabarkan jatuh-bangunnya selama menekuni bidang ini.
Jujur awalnya aku tertarik beli karena ada Dee Lestari. Aku bahkan baru ngeh kalau penulis perempuan yang fotonya ada di sebelah kiri Dee itu Clara Ng! (penulis yang baru saja aku favoritkan habis selesai baca Pintu Harmonika). Tapi ternyata kelima kisah para penulis ini disajikan sama menariknya. Adil dan seimbanglah.
***
Dari Alanda Kariza aku belajar soal kerendahan hati di balik tingginya aktivitas di bidang kepenulisan dan organisasi. Alinda dengan wolesnya mengatakan bahwa menulis bukan ke bakat, tapi lebih ke cara paling nyaman bagi beberapa orang untuk berekspresi. Ia meletakkan profesi dan kegiatan menulis sejajar dengan profesi dan media berekspresi lain seperti musisi dengan musik, sineas dengan filmnya, pelukis dengan lukisannya, dan lain-lain.
Sekali lagi ia juga menekankan pentingnya kerendahan hati seorang penulis dengan mengizinkan karyanya diedit secara layak. Ia berkata buku pertamanya diterbitkan penerbit indie karena ia tak mau karyanya diutak-atik. Beberapa tahun kemudian sadarlah ia bahwa ternyata karya itu masih dianggap jelek menurut standarnya. Karena itu ketika menerbitkan buku keduanya ia justru membiarkan bukunya diedit secara penuh.
Kecintaannya pada pelajaran bahasa Indonesialah yang membuat Alanda jadi mengenal jenis-jenis creative writing. Dia mengatakan selalu memberikan usaha lebih dalam pelajaran bahasa Indonesia, terutama pelajaran mengarang. Jadinya hasil tulisannya untuk tugas lebih panjang dan rapi. Menariknya dia mengatakan hal ini: "Mungkin aku nggak lebih pinter (dari teman-teman) tapi lebih niat." (halaman 18) Ah, suatu saat aku ingin bisa mengucapkan hal seperti ini! Viva consistency!!!
Imutnya, ternyata saat masa sekolah, Alanda jadi menekuni dunia jurnalistik dan mading karena terinspirasi dengan film Ada Apa Dengan Cinta. Menarik, yah! Film bisa menginspirasi orang sedemikian rupa untuk menemukan passionnya sejak dini.
Alanda juga berpesan bahwa penulis tidak boleh cepat puas atas karyanya sendiri. Dengan begitu skill menulisnya bisa berkembang setiap kali merilis buku baru. Dia mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan menulis adalah dengan bicara pada editor. (Baiklah, bismillah, kuketuk lagi pintumu editorku!) Dia juga sering bertanya pada penulis yang lebih pro dan membaca tips-tips kepenulisan dari penulis seperti Dee Lestari via blog.
Bagi mereka yang ingin menulis tapi masih ditentang oleh orangtuanya, Alanda berkata bahwa selama kita bisa memberikan argumen yang baik dan membuktikan bahwa kita bisa berkarya di bidang yang disetujui, harusnya tak apa. Jadi tunjukkan saja kemampuan pada orangtua.
***
Dari Clara NG aku belajar tentang disiplin diri dan standar tinggi yang perlu diterapkan bagi diri sendiri jika memang ingin menjadi penulis. Clara Ng mengatakan bahwa agar bisa menyebut dirinya sebagai penulis (author), seseorang harus menerbitkan setidaknya 3 buku. Dan harus di penerbit besar sebagai patokan uji kualitas. Dari artikel ini aku baru nyadar ternyata ada perbedaan antara "author" dan "writer". Kalau "writer" bisa nulis apa saja. Sampai nulis artikel, blog, dan script iklan. Tapi kalau "author" berarti memang harus menerbitkan karya.
Awal mula Clara NG terjun ke dunia kepenulisan ternyata sangat mengharukan. Clara NG saat itu baru saja keguguran dan untuk menyembuhkan kesedihannya beliau menulis 7 Musim Setahun. Saat dikirim ke GPU, naskah ini menimbulkan kehebohan di kantor redaksi. Gila. Sampai General Manager-nya GPU sendiri pingin ketemu dan scouting, loh! Tapi Clara NG ini mungkin antara cuek dan ceroboh, karena kartu nama sang GM ternyata malah DIILANGIN! WARGH!
Untungnya Clara tetap berjodoh dengan penerbit ini. Penerimaan dari pembaca pun sangat baik. Rupanya Clara NG sudah terbiasa menulis artikel untuk komunitas gerejanya. Bahkan saat menjabat sebagai HRD, ia membuat kehebohan di kantornya dengan merombak format memo bagi pegawai. Yang harusnya serius dan ringkas, jadi penuh dengan kisah motivasi.
Clara Ng mengaku dalam buku ini bahwa kecerdasan bahasanya saat ditesnya sendiri hasilnya masih di tengah-tengah. Yang tinggi adalah kecerdasan spasial: kemampuan menempatkan diri di tempat yang harus dibayangkan dalam ruang, memindahkan diri dari ruang sekarang ke ruang yang lain dalam bentuk imajinasi dan berpikir. Namun, justru kecerdasan spasialnya yang membawanya ke titik yang sekarang.
Clara Ng sendiri punya pandangan yang nggak lazim terhadap buku harian. Buat dia buku itu ya harus diterbitkan. Kalau disimpan sendiri seperti buku harian itu namanya aneh. Walah. Padahal, penulis multigenre ini sendiri tetap memelihara sifat introvertnya bahkan walaupun buku pertamanya berhasil tembus di GPU, plus berhasil memulai serial baru yang digemari baik staf editing maupun pembaca. Clara Ng menyatakan bahwa hal yang membuat ia berhasil mendobrak benteng dirinya sendiri itu adalah saat Gina S. Noer mengajaknya menjadi pengajar kelas menulis di PlotPoint (angkat aku jadi murid, Suhu!)
Ia berprinsip menulis tidak sekedar menulis, tapi menyampaikan kegelisahan, kepedulian, dan semangat membawa perubahan positif dan solutif bagi berbagai permasalahan yang ada di lingkungan. Dia sendiri menaruh minat khusus terhadap dunia anak dan keluarga. Sehingga dua kata kunci itulah yang jadi benang merah karya-karyanya yang sudah puluhan.
Menariknya, Clara Ng ternyata awalnya sangat takut untuk mempublish buku pertamanya ke toko buku: 7 Musim Setahun. Itu karena dia adalah seorang yang pemalu. Dia sampai mengobrol hingga menangis dengan editornya yang berusaha meyakinkannya agar buku karyanya dirilis ke publik. Editornya saat itu adalah Saut Situmorang. Bahkan ketika bukunya diterbitkan ulang oleh GPU dan meraih kesuksesan, ketakutan itu tidak juga berkurang. Dia sempat tak mau diwawancara terkait bukunya. Juga tidak mencantumkan foto pengarang. Dia ingin orang mengenal bukunya, bukan dirinya.
Karena itu Clara Ng ingin pembaca mengenalnya bukan sebagai sosok penulis, tapi sebagai sosok dirinya sebagai manusia dan teman.
"...sebisa mungkin aku tidak perlu tahu bahwa mereka membaca bukuku. Aku nggak mau mereka mendiskusikan bukuku dengan aku. Hubunganku dengan pembaca agak sulit karena aku sendiri resistan untuk dekat dengan mereka sebagai penulis. Aku ingin dekat dengan mereka sebagai teman (hal. 66)
Aku jadi mulai agak lebih paham bahwa gejolak hati tiap penulis itu unik. Bahkan penulis yang udah debut dengan sukses sekalipun. Mungkin itulah yang membuat mereka bisa jadi penulis. Gejolak-gejolak hati yang demikian. (Karena biasanya orang kan mikirnya simple, kalau udah berhasil debut, buku terbit di penerbit besar, apalagi sampai laris dan tenar, harusnya so pasti nikmatin dan bahagia, dong).
Uniknya, Clara Ng memiliki passion untuk menjadi guru. Itulah yang membuat dirinya akhirnya berani tampil menjadi mentor di kelas-kelas kepenulisan. Berawal dari mengiyakan ajakan Gina S. Noer untuk mengajar di Plot Point.
Sebagai seorang ibu, ia membuat banyak penyesuaian soal jadwal menulisnya begitu sudah memiliki anak. Yang tadinya menulis di malam hari, jadi menulis di pagi hari ketika anak-anaknya sudah berangkat ke sekolah. Ia jadi bisa terbiasa menulis kapan saja. Meskipun, tetap saja ia lebih suka menulis di malam hari. Hal itu baru akan ia lakukan lagi di masa liburan sekolah anak-anaknya.
Ia juga punya pandangan yang unik serta inspiratif soal sekolah. Baginya sekolah tak sekedar mencari ilmu. Karena nyatanya ilmu bisa didapat dari mana saja walau tanpa bersekolah. Esensi dari bersekolah adalah komitmen terhadap diri sendiri untuk menyelesaikan sesuatu hingga tuntas, tanggung jawab, dan menggali pengalaman dari menjalin hubungan dengan teman dan guru serta dosen. WOW. Sungguh pandangan yang menyegarkan.
***
Dari Dee Lestari aku belajar soal persistensi, sekali lagi soal kerendahan hati dan disiplin diri, juga struktur yang rapi. Ia mengaku aslinya tak begitu senang membaca. Ia hanya merasa cukup membaca satu-dua bacaan yang efeknya menimbulkan motivasi berkarya yang panjang untuknya. Misalnya komik Candy-Candy. Dalam keluarganya, sebenarnya para kakaknya juga senang menulis. Sampai sekarang Dee sendiri merasa minder jika membandingkan tulisannya dengan tulisan para kakaknya. Tapi dibanding kakak-kakaknya Dee jauh lebih persisten sehingga dia sendiri yang berhasil menyandang gelar penulis hingga kini.
Proses menerbitkan Supernova pertama ternyata lumayan menegangkan. Ceritanya Dee punya target akan menerbitkan buku sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-25. Karena ragu bukunya bakal ditolak penerbit, ataupun kalau diterima prosesnya akan sangat panjang sehingga targetnya jadi lewat, Dee nekat menerbitkan bukunya sendiri. Cetakan awal berjumlah 5000. Dan itu pun karena insiden beda format word, ia terpaksa harus mencetak 2000 eksemplar lagi. Hebatnya 7000 buku itu ludes dalam waktu dua minggu, sehingga ia harus mencari donatur untuk mencetak bukunya lagi. Salah Triawan Munaf (ayah dari Sherina) kemudian membiayai cetakan keduanya.
Meskipun sudah menyandang gelar penulis sukses, Dee tetap melakukan komparasi tulisan dengan hasil karya penulis lain. Misalnya Saman, karya Ayu Utami. Dari situ dia jadi tahu bahwa dia pun masih harus banyak belajar. Dee juga mengingatkan bahwa jangan terburu-buru menjadi penulis padahal belum matang. Jangan terburu-buru menerbitkan karya sendiri jika belum matang. Prinsipnya adalah mengendapkan karya sambil terus memperbaiki dan menunggu waktu yang tepat. Perahu Kertas memakan waktu sampai 6-7 tahun sebelum akhirnya berhasil diterbitkan di Bentang. Dan Dee langsung menandatangani kontrak untuk adaptasi ke film karena sebenarnya dia dari awal sudah membayangkan kisah itu dalam media layar kaca. Ternyata jadinya malah layar bioskop. Dee pun harus belajar dari awal ketika menulis skenario untuk Perahu Kertas. Anggapan bahwa penulis seharusnya bisa menulis apa saja itu keliru. Ketika mereka mau menulis untuk media maupun genre yang berbeda, ya jadinya tetap harus belajar lagi dari awal.
Setelah menjadi seorang ibu dengan dua anak otomatis banyak yang berubah dari rutinitas menulis Dee. Ia yang tadinya hanya bisa menulis di malam hari akhirnya belajar untuk bisa menulis di segala kondisi bahkan ketika anaknya sedang berteriak-teriak. Buat Dee, writer's block itu harus dilawan. Bukan dibiarkan. Padahal, tadinya ia mengira setelah berkeluarga dan punya anak, karir menulisnya akan kandas dan baru akan bisa ia lanjutkan begitu anak-anaknya sudah besar. Untungnya tidak karena akhirnya dia bisa beradaptasi. Ia bahkan mengelompokkan bukunya menjadi dua: buku yang ditulis di siang hari dan buku yang ditulis di malam hari. Baginya ternyata hasilnya berbeda.
***
Berikutnya adalah Farida Susanty. Aku hanya pernah dengar dan liat review novelnya yang berjudul Dan Hujan Pun Berhenti. Ternyata dia seorang jilbaber.
Ia yang tadinya malu untuk menerbitkan novelnya jadi terinspirasi untuk mengirimkan ke penerbit setelah membaca Dealova. Novel Dan Hujan Pun Berhenti ternyata awalnya ditulis sebagai genre komedi, lho. Susah dipercaya kalau baca dari review orang-orang. Proses penerbitannya pun tak kalah berliku dari ketiga penulis yang sudah dibahas sebelumnya. Ia awalnya bosan dengan format teenlit yang selalu saja gadis SMA naksir ketua OSIS yang jago basket (WAHAHAHAHAHA). Naskah draft pun jadi sebanyak 350 halaman. Dua penerbit sebelumnya menolak karena bukunya dianggap terlalu tebal untuk naskah teenlit. Di penerbit kedua malah dia berusaha keras memangkas ceritanya tapi tetap saja tak jadi terbit dan itu sangat menyakitkan.
Di Grasindo awalnya dia ditanya apakah naskahnya ini tentang gadis SMA yang naksir ketua OSIS yang jago basket. Begitu dijawab tidak, baru editor bersedia membaca naskahnya lebih lanjut. Ternyata kemudian goal, dan langsung masuk nominasi KLA untuk Best Young and Talented Writer. Tak hanya jadi nominator, dia bahkan menang juara pertama.
Namun, menariknya Farida berkata daripada menang KLA, dia lebih memilih penghargaan berupa ketika bukunya membuat seorang pembaca batal bunuh diri! WOW.
***
Berikutnya adalah tentang Vabyo atau Valiant Budi Prayogo. Dia satu-satunya pejantan dalam buku ini. Hahaha... Bagian penutup ini sangat menarik. Karena menekankan pentingnya kolaborasi antara penulis dan editor. Buku pertamanya, Joker: Ada Lelucon di Setiap Duka, sayangnya tak mendapat tanggapan publik yang baik. Dia mengaku lima tahun kemudian saat membaca ulang bukunya, baru sadar bahwa saran-saran editor yang ia tolak ternyata ada benarnya.
Vabyo learnt in a hard way gara-gara kejadian itu. Menariknya sendiri, dia kemudian jadi editor penerbit ternama. Dan jadi makin lebih memahami lagi beratnya kerja editor yang harus mendampingi para penulis tanpa mengubah gaya bahasa mereka yang khas.
Dia bilang seperti ini: lebih baik naskahmu lama keluar atau tertahan di penerbit daripada dipaksa keluar dan dihujat setelah terbit. Rasanya lebih sakit. (halaman 177)
Dia juga memberikan tips agar karya dilirik editor. Antara lain memberikan sampul naskah dengan warna-warna cerah yang mencolok, dan menulis halaman-halaman awal yang sangat menarik sehingga bisa membuat para pembacanya langsung membaur di dalam kisah. Ia mencontohkan, saat dikejar deadline ia membaca Partikel dan buku itu membuatnya keasyikan sampai lupa kalau ada deadline! *WAH kalau yang ini jangan ditiru! XD
Dia bilang bahwa masalah pertama penulis pemula adalah biasanya tulisannya baru "bernyawa" di halaman tengah. Sedangkan awal naskahnya tidak menarik. Akibatnya editor akan merasa bosan dan naskah dianggap tidak baik.
Vabyo juga punya anggapan yang sangat menarik terkait keraguan dalam menilai ide sendiri. Maksudnya ketika seorang penulis menganggap idenya tadinya sangat bagus, tapi kemudian jadi ragu sendiri karena menilainya biasa-biasa saja. Buat Vabyo itu lebih baik daripada overpede, mengira ide-idenya pasti spektakuler. Karena nanti begitu ide si penulis itu tidak menjual dan bukunya tidak best-seller, bisa-bisa dia langsung berhenti jadi penulis.
Kata penulis buku Kedai 1001 Mimpi ini, justru dengan perasaan ragu itulah, si penulis harus memberikan draft tulisan itu kepada orang lain untuk mendapatkan penilaian soal bagus-tidaknya. Kalau bisa malah diberikan ke teman yang tidak terlalu dekat agar penilaiannya lebih objektif. Sepertinya platform penulisan zaman sekarang bisa mengatasi hal ini dengan lebih mudah, yah. Karena bisa dapat saran dari pembaca yang tadinya benar-benar orang asing.
***
Ini buku yang sangat inspiratif. Sajiannya sama sekali enggak membosankan. Layoutnya cerah tapi enggak norak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para pengarang sangat menarik. Salut buat duet penulis yang berhasil menjalankan tugasnya sebagai jurnalis yang sangat baik di sini. Dari buku ini kita enggak belajar teknis menulis, tapi lebih ke teknik manajemen diri. Dan justru itulah yang terpenting bagi seorang penulis. Yang jelas enggak rugi diiming-imingi buku ini di halaman iklan setiap beli buku-buku PlotPoint. Huhuhu... Akhirnya berjodoh juga dengan buku ini. ARGH!
Buku ini saya beli online bersama buku “Antologi Cerpen” yang diterbitkan oleh Plot Point bersama Klub Buku Indonesia (sebuah komunitas yang saya sempat ikut menjadi penggiatnya). Saat melihat judulnya saya tertarik untuk membeli mengingat kesenangan saya menulis dan juga kegilaan saya pada buku sehingga saya mengenal penulis-penulis tersebut meskipun bukan pengagum berat mereka.
Pada dasarnya saya bukan penyuka buku-buku motivasi. Menurut saya buku-buku seperti itu sangat naif. Setiap orang memiliki pengalaman hidupnya sendiri dan tumbuh dna besar serta harus menghadapi tantangan yang berbeda. Tidak ada dua manusia yang benar-benar memiliki latar belakang, kehidupan dan tantangan yang semuanya benar-benar sama persis. Sehingga kehadiran buku motivasi itu saya rasa hanya akan mengena pada mereka yang benar2 merasa bahwa buku tersebut memang cukup merepresentasikan apa yang tengah dihadapi atau pernah dialaminya.
Sejujurnya buku ini tampak ditulis demi mendukung orang-orang yang memiliki impian untuk menjadi penulis. Semacam buku motivasi. Namun karena gaya bahasanya yang lebih “gaul” maka buku ini sangat mudah untuk ditamatkan. Layout bukunya sendiri menarik, berwarna, dan font hurufnya sangat ramah di mata. Pemilihan penulisnya pun menurut saya sudah cukup baik karena diambil dari berbagai genre.
Lima penulis yang di”kulik” ceritanya adalah: · Alanda Kariza · Farida · Clara Ng · Dewi “Dee” Lestari · Vabyo Hanya 3 penulis yang benar-benar familiar namanya oleh saya. Hal ini biasanya karena menurut saya buku (pertama mereka yang saya baca) mereka cukup berkesan sehingga saya punya ketertarikan untuk membaca karya-karya mereka yang lain.
Dari segi isi, buku ini telah membuat garis besar pertanyaan yang kurang lebih sama untuk kelima penulis tersebut. Seperti “apakah dulu mereka menyukai pelajaran Bahasa Indonesia?”, atau “bagaimana mereka memandang profesi penulis dan apa syarat hingga seorang disebut penulis?”.
Namun yang menarik buku ini benar-benar menjabarkan beragam jawaban dengan sudut pandang yang berbeda dari masing-masing penulis. Ada yang cukup tegas dalam memandang profesi penulis dan ada pula yang lebih simple dalam menentukan seseorang bisa disebut penulis atau tidak. Namun membaca buku ini akan semakin membangun pengetahuan kita tentang dunia tulis-menulis dan penerbitan buku. Jadi buku ini memang layak untuk dibaca bagi mereka yang senang menulis, terlebih mereka yang memiliki impian untuk menemukan namanya terpampang di sampul buku sebagai penulis buku tersebut.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian. -- Umar Kayam
Penulis mencatat apa yang dialaminya sebagai sejarah kehidupan. Dan dengan itu ia tidak hanya mengubah hidup diri sendiri, tapi juga hidup orang lain. Buku non fiksi karya Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan ini berisi cerita perjalanan karir lima penulis, dimana salah satunya adalah Dee, penulis favorit saya.
Buku full colour yang terdiri dari 193 halaman ini memuat pengalaman Alanda Kariza, Farida, Clara Ng, Vabyo, dan Dewi Lestari, dikemas dalam bentuk wawancara tentang berbagai hal seputar karir mereka sebagai penulis muda. Cocok banget sebagai buku motivasi untuk para narablog yang hobi nulis tapi belum berani unjuk gigi menerbitkan buku sendiri.
Cerita tentang kegagalan, kesuksesan, ketekunan, ditolak penerbit, editing berkali-kali, ah pokoknya lengkap deh suka duka jadi penulis dipaparkan di sini. Bahasanya santai, gak muluk-muluk karena memang seperti percakapan biasa, dan ada juga tips-tips seputar kepenulisan.
Secara keseluruhan bagus sih isinya, informatif sekali. Tapi kok saya ngerasanya, Dee di sini hanya semacam penarik pembeli saja ya? Hehe, maaf lho mas Haqi dan mbak Ribka. Tapi emang sih tadinya saya membeli buku ini gara-gara ada foto Dee-nya di halaman cover.
Ternyata ya.. penulis itu punya cara2 unik menjaga motivasi menulisnya. tapi yang paling kusuka adalah: penulis itu bukan bakat...tapi bekerja keras. Saya jadi optimis...bisa jadi penulis suatu saat nanti. Amiin..
Diatara 5 tokoh disini yang paling kusuka tentang clara ng. Sepertinya dia tipikal penulis yang perfectsionis. katanya...jadi penulis itu harus menulis beberapa buku, trus...klo mau tau kualitas tulisan kita bagus ya..harus nembus penerbit besar.
widiih...berat yaa? tapi saya setuju...
Meski suka sama biografinya clara ng, tapi kalau karya, aku suka baca karya Dewi lestari...hehe...
Di buku ini 5 penulis ternama Indonesia membagikan lika-liku perjalanan mereka dalam menggeluti dunia kepenulisan. Banyak pelajaran yang bisa saya dapat dari buku ini. Selain itu juga motivasi dan tips menulis juga dibagikan untuk pembacanya.
Saya suka semua cerita pengalaman 5 penulis ini. Tapi, nggak tau kenapa akhir-akhir ini rada sensi dengan yang namanya typo dan buku ini memuat banyak sekali typo, jadi saya sebagai pembacanya cukup terganggu.
Dan yang disesalkan, kenapa di bagian ibu suri Dee fotonya cuma satu? -____-
Pertama liat covernya udah jatuh cinta duluan,apalagi tau yang nulis Haqi Achmad, jatuh cinta dua kali deh,hee Singkat, padat dan ngena, kesan yang timbul setelah baca hanya dengan dua kali duduk. Cocok buat kamu-kamu yang hobi nulis dan akan menulis fiksi atau non-fiksi.
"Lebih baik naskahmu lama keluar atau tertahan di penerbit daripada dipaksa keluar dan dihujat setelah terbit. Rasanya lebih sakit." - Valiant Budi Yogi
Lima penulis hebat dengan segala jenis proses sampai menerbitkan karya. Siapa sih yang tidak bangga dengan karya yang diterbitkan lalu menjadi bestseller? Pasti semua bangga dong. Tapi sebelum menjadi buku bestseller pasti punya momen di mana ia harus bolak-balik penerbit karena ditolak. Menunggu lama karena antrian editing dari editor.
Dari lima penulis yang ada di buku ini, saya pribadi, belum kenal mereka loh. Namanya saja asing ditelinga saya. Apa karena terlalu terobsesi dengan buku dari penulis luar. Atau mungkin saya terlalu fokus dengan buku-buku terbaru. Sampai lupa bahwa penulis terdahulu punya cerita lebih lebih dan lebih menarik dalam menulis dan proses penerbitannya. Apalagi jaman dulu belum seperti sekarang, internet dan wadah untuk menulis tersebar luas di mediasosial.
Saya tidak bisa memilih di antara mereka yang mana lebih saya sukai, tapi dari semua saya salut dalam proses dan kegigihan untuk menulis. Seolah-olah membaca cerita mereka membuat saya menjadi ingin kembali duduk di depan laptop berjam-jam dan mengkhayal lalu memulai menuliskan kata tiap kata hingga menjadi satu naskah utuh.
Buku ini memang terbitan lama, tapi menurut saya, buku ini berhasil mengubah mood penulis muda (termasuk saya) atau orang yang ingin jadi penulis hanya sebatas niat. Di buku ini juga selalu disisipkan kalimat motivasi untuk tidak menjadi write's block. Dan tentunya bisa mengambil pengalaman mereka untuk menitik bakat yang terpendam selama ini. Pokoknya kamu harus baca ya. Gak rugi loh. :)
Melalui buku ini, kamu yang berprofesi atau bercita-cita menjadi penulis bisa belajar melalui pengalaman Alanda Kariza, Farida, Clara Ng, Vabyo, dan Dewi Lestari. Dari mulai penulis yang multitalent sampai penulis produktif, semua ada dalam buku ini. Pengalaman dan kisah sukses mereka yang berbeda-beda membuat buku ini menarik dan menginspirasi. Banyak hal yang dapat kita pelajari di dalamnya.
Selain pengalaman menulis, kelima tokoh di atas juga menceritakan tentang arti pembaca untuk mereka, pentingnya sekolah, dukungan keluarga, sampai tips menulis. Pokoknya segala hal yang berkaitan dengan dunia menulis akan kamu temukan di sini.
Kalau ada hal yang membuat saya kurang nyaman adalah format buku ini yang ditulis seperti metode wawancara, dimana ada sedikit deskripsi, pertanyaan yang diajukan, lalu jawaban. Selain gaya bahasanya jadi dialog sekali, kemasannya pun jadi terasa kurang runut dan padat. Benang merahnya hilang. Seolah membaca artikel-artikel yang terlepas. Menurut saya, sayang sekali. Dengan profil para penulis yang sudah terkenal dan topik-topik seru yang diangkat, buku ini sebenarnya bisa menyajikan fakta dan cerita dengan lebih runut dan menarik lagi.
First thing first, ini buku lama sih. 2012 gitu hahaha. Baru baca karena kebetulan sedang merasa kehilangan jati diri bahkan sekadar menulis untuk blog sendiri. Huft.
Gak bercita-cita jadi penulis buku (kalau tugas akhir bisa dikatakan buku, ya wajib dong ya!), dan kupikir at least dengan baca ini bisa lebih paham (dan sabar dan tekun dan terus mencoba) nulis, sebobrok apapun jadinya. Benazio pernah bilang, "tulisan pertama nggak selalu sempurna", dan itulah kenapa butuh polesan biar muluussssshhhhh. Tapi untuk dapat yang sempurna, kadangkala jatohnya malah jadi menunggu hidayah datang. Yang sempurna itu nggak ada padahal, selain Allah Yang Maha Esa dan segala ciptaan-Nya.
Maka dari itu, apakah ku mendapat ilham dari buku ini? Ada, tapi nggak banyak. Ditambah maafkan karena tidak kenal Farida Susanty itu siapa, Vabyo agak mending meski belum sempat baca bukunya yang hitsss itu (Kedai 1001 Mimpi, etc), tapi namanya pernah lintas selewat waktu aku masih rajin twitteran (sekaligus akun @asysyifaahs masih ada). Jadi yah, ditambah pertanyaan template yang kesannya si dua penulis ini nulis buku berisi jawaban pertanyaan wawancara dengan penulis narasumber. Nggg, gimana ya (?)
Btw buku ini masih jadi hak milik @book arter.id ya.
Sooo Indonesian language typical advice. The advice from these people is so basic and so everyday-life advice. But that basic advice it's what makes them today, eh?
Memiliki buku ini adalah sebuah kebetulan yang sangat tak terduga. Saya memang beberapa kali melihat sampul buku ini bertengger manis di rak toko buku, tapi tidak pernah terpikir untuk membelinya. Iya, saya memang menjadi sedikit paranoid ketika hendak memilih buku, takut dikecewakan (ini perkara milih buku atau apa sih?). Sampai suatu hari saya mendapati sebuah paket–berbalut kertas kado kucing pink–tiba di rumah saya. Dan kebetulan salah satu isi paket tersebut adalah buku ini. Jadi, terima kasih (lagi dan lagi) untuk sang pemberi buku (lirik orangnya, itupun kalau yang bersangkutan kebetulan baca :p).
Pertama kali membukanya, komentar yang keluar dari mulut saya adalah “meriah”. Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada para staf produksi. Mereka sukses melahirkan desain sampul, layout, serta seni grafis yang memikat mata. Buku setebal 193 halaman ini dibuat full colour dengan permainan warna yang atraktif. Komposisi tulisan, foto, dan berbagai kutipan pun terasa semarak namun tetap seimbang. Estetika visual yang disajikan buku ini membuat mata pembaca tidak lekas lelah.
Dari segi penulisan, tema yang diambil boleh dibilang cukup menjual. Dengan semakin besarnya minat kaum muda dalam bidang penulisan, buku ini seolah menjadi jawaban untuk mereka yang berniat merintis karier sebagai penulis profesional. Lima penulis andal dihadirkan untuk berbagi cerita mengenai kehidupan mereka: Alanda Kariza, Farida, Clara Ng, Dewi Lestari, dan Vabyo. Buku terbitan PlotPoint ini benar-benar menggambarkan kehidupan seorang penulis. Mulai dari asal muasal berkecimpung di dunia penulisan hingga suka duka menjalani karier. Lupakan tentang tips trik menulis yang dipaparkan secara gamblang dalam buku ini. Karena, sesuai judulnya, this book (only) tells a writer’s life. Pembaca harus lebih jeli untuk dapat menangkap insight yang dituturkan para penulis secara implisit.
Gaya bahasa yang digunakan oleh duet Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan ini terbilang ringkas dan nge-pop. Oleh karena itu, buku ini tepat dijadikan bacaan ringan yang dapat dilahap pada waktu senggang. Kalimat-kalimat yang disusun sudah cukup rapi dan sesuai kaidah ejaan yang disempurnakan. Hanya ada satu hal yang terasa mengganggu ketika membaca buku ini. Di beberapa tempat, terdapat banyak sekali majas repetisi yang menjemukan. Penyebutan subjek tulisan pun selalu diulang menggunakan nama, alih-alih mencari varian kata ganti orang ketiga. Secara keseluruhan, buku ini memiliki eksekusi akhir yang apik.
Ohya, satu lagi yang sangat menyita perhatian saya. Foto Mbak Dee cantik sekali disini! X)
Cerita dibalik hidup para penulis populer Indonesia
Seri my life as menghadirkan inspirasi bagi anak-anak muda Indonesia, bayangkan kita yang masih remaja hingga pemuda dengan segala keingintahuan dan masih mencari-cari passion ku itu di hal apa dengan cepat bisa membaca, belajar tentang kehidupan orang-orang hebat di masing-masing bidang kreatif, misal dibidang sutradara film dan klip musik, aktor, Seri ini mengangkat pengalaman Alanda Kariza, Farida, Clara Ng, Vabyo dan Dewi Lestari dalam menjalani profesi penulis. Buku My Life as Writer ini sangat menarik bagi saya yang ingin tahu gimana dibalik cerita penulis yang lagi naik daun di Indonesia. Rasa penasaran akan latar belakang, pemikiran para penulis yang mendorong saya untuk mencerna buku ini dengan lahap. Ternyata tidak seperti yang dibayangkan pada banyak orang, bahwa penulis mesti sosok yang "cerdas" melebihi orang rata-rata dengan kacamata minus tebal, harus lebih fasih dalam merangkai kata daripada orang kebanyakan, dan kalau belum menuliskan buku sarat kata-kata yang sukar dicerna maka belum dianggap penulis hebat. Di buku ini kesan seperti itu tidak nampak, sosok para penulis yang diangkat itu orangnya asyik, masih muda dan terus belajar buat berbagi makna kehidupan lewat tulisan. Mereka disini berbagi banyak hal dalam dunia penulisan, mulai dari awal mereka terjun menjadi penulis hingga tips-tips menarik yang fresh from the oven. Banyak hal dalam buku ini memberikan saya pelajaran, misalnya dari mbak Dee bila kamu ingin menjadi penulis harus dare to fail, dare to success, menjadi pengamat yang baik, dan jujur terhadap diri sendiri. Clara NG juga mengajarkan saya buat belajar berkomitmen. Beliau bercerita dari kampus dia belajar untuk berkomitmen, sampai saat ini lewat kontribusi karya-karyanya yang dapat dibaca. That's true, komitmen itu salah satu hal yang biasanya kita anggap remeh, namun harus dilatih dari hal-hal kecil. Dari Vabyo kita jadi tahu kalo dunia menulis akan mengantarkan kita kepada hal-hal yang baru, orang baru yang kita temui di kehidupan, pembaca setia karya kita salah satunya. Terus writer dan author itu memiliki pengertian yang berbeda, dan masih banyak lagi yang bisa dikupas dari kelima penulis di buku ini. Menghabiskan buku ini memuaskan dahaga kita akan benak, pikiran kita. seperti apa sih dunia seorang penulis, apakah bisa hidup dengan nafkah seorang penulis, bagaimana kiat-kiat menjadi penulis best seller Indonesia, apa sih yang bisa dipelajarin buat nerbitin buku atau naskah kita. Buku My Life as Writer direkomendasikan buat semua orang yang senang baca buku, ingin tahu dunia seorang penulis atau kamu yang diam-diam pengen jadi seorang penulis.
Judul: My Life as Writer Penulis: Haqi Achmad, Ribka Anastasia Penerbit: PlotPoint Halaman: 200 halaman Terbitan: Maret 2013
Penulis mencatat apa yang dialaminya sebagai sejarah kehidupan. Dan dengan itu ia tidak hanya mengubah hidup sendiri, tapi juga hidup orang lain.
Dalam buku ini, lima penulis mumpuni akan membagi cerita mengenai perjalanan karier mereka. Lima latar belakang berbeda, lima energi kreatif berbeda. Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan menyajikannya untuk kamu. Ya. Hanya untuk kamu.
Review
"My Life as Writer" adalah buku yang membahas 5 orang penulis. Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi "Dee" Lestari, Farida Susanty, dan Valiant Budi. Dari 5 nama tersebut, hanya 4 yang pernah saya dengar namanya dan kebetulan baru 3 yang sudah saya baca bukunya.
Berbeda dengan buku non-fiksi lain yang hitam-putih dan terkesan "kering", buku ini diramu dengan penuh warna. Penuh warna karena isinya memang full-colour. Penuh warna karena kelima penulis yang ada di sini memang memiliki gaya yang berbeda dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang serupa.
Ada yang rutin menulis setiap hari, ada juga yang hanya menulis ketika sedang mengerjakan proyek saja. Ada yang suka mendengar lagu saat menulis, ada yang yang tidak suka karena terlalu peka pada suara. Ada yang menulisnya harus berpindah-pindah tempat agar tulisannya lancar, ada juga yang menulis di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Pokoknnya macam-macam dan sangat memperlihatkan kepribadian si penulis.
Bukunya asyik buat saya. Isinya menarik untuk dibaca dan formatnya, yang dibuat mirip majalah semacam 'Intisari' atau 'Reader's Digest', enak untuk dibaca.
Sayang masih ada beberapa typo di buku ini yang agak mengganggu kenyamanan membaca. Walau begitu, secara keseluruhan, bukunya bagus dan menarik.
Melalui buku ini, pembaca diajak mendalami mengenal proses kreatif penulis yang menjadi ikon di Indonesia. Haki dan Ribka memwawancarai 5 penulis dengan beberapa gendre diantaranya Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi Lestari, Farida Susanty dan Valiant Budi Yogi. Beberapa nama masih asing buat saya, tapi ketika baca proses kreatif dan semangat menulisnya, membuat saya mau gigit cokelat. Baca buku ini seolah diajak berbincang langsung dengan para penulisnya dan ikut seminar proses kreatif menulis.
Buku ini menarik untuk dimiliki oleh siapapun yang ingin belajar dan konsisten menulis. Ketika percikan-percikan malas dan visi menulis mulai memudar, buku ini bisa menjadi vitamin dan media reflektif. Karena penulis berhasi menggali nara sumber membagi lika liku “kegelisan” mereka dalam berproses. Setiap lembarnya memuat proses kreatif 5 orang penulis ini, memberi banyak motivasi dan strategi menulis.
Tampilan tiap lembar dari buku ini tidak monoton, ada beberapa lembar full color seolah memberi hentakan bagi setiap pembaca. Rasanya hampir semua penulis memberi tips menulis yang membuat kita ingin berlari dan terus menerus di depan alat tulis kita. Menulis dan terus berkarya.
Isi bukunya bermanfaat untuk para penulis pemula atau calon penulis sebagai cerminan dan juga motivasi. Kisah tiap-tiap penulis dengan perjuangan dan kerja kerasnya pasti akan menginspirasi atau setidaknya memberi semangat bagi para (calon) penulis untuk tidak pantang menyerah dan selalu ulet.
Desain cover dan isi buku sangat khas anak muda, sesuai dengan sasaran pembacanya. Di sana-sini banyak kutipan para penulis bestseller yang menjadi narasumber dikutip dan diperbesar dengan desain yang 'eye catching'.
Catatan untuk penulisnya, masih terdapat beberapa kalimat yang penulisannya rancu dan persis seperti wawancara verbal. Semestinya bisa diedit terlebih dahulu demi kenyamanan pembaca dan keefektifan kalimat.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Membaca empat penulis top dari berbagai usia. Alanda Kariza: penulis multitalenta; Clara Ng: penulis produktif; Dewi Lestari: penulis serbabisa; Farida Susanty: penulis yang senang berbagi.
Menulis adalah salah satu cara yang dapat seorang lakukan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan menulis seseorang mencatat apa yang dialaminya sebagai sejarah kehidupannya. Dengan menulis seseorang belajar untuk mengekspresikan dirinya, menyampaikan suaranya, dan mengeluarkan aspirasinya. Dengan menulis seseorang akan merunutkan logika berpikirnya. Dengan menulis seseorang tidak hanya dapat mengubah hidupnya sendiri tapi juga mengubah hidup orang lain. (hal.3)
Bagi mereka yang memang bercita-cita ingin jadi penulis, rasanya buku ini tepat dijadikan sebagai referensi kalian. Isi buku ini benar-benar menginspirasi dan memotivasi, dan mampu memberikan stimulus bagi kita untuk menulis. Penggunaan bahasa yang ringan dan bersahabat, penulisan isi yang testruktur rapi disertai halaman yang full color dan eye catching, cover yang menjual dengan menampilkan 5 wajah penulis populer. Meskipun tipis namun isi buku ini tetap berbobot, ga bakal rugi bagi pembaca yang ingin mengembangkan potensinya sebagai penulis.
Pertama2 mau ngomentarin judul bukunya dulu. Kalau dari segi tata bahasa sih setahu saya yang bener adalah My Life as a Writer. Judul salah ini lumayan mengganggu -,-
Untuk isinya sih oke. Baca pengalaman para penulis begitu selalu menyenangkan dan mencerahkan, meski sebenarnya faktor kedekatan saya terhadap para penulis yang dibahas kurang :p Dari 5 penulis cuma 3 penulis yang karyanya pernah saya baca. Berdasarkan selera saya, dari 3 penulis itu 1 suka, 1 biasa aja, 1 nggak suka, hehehe.
**ngetik di mesin pencari my life as an author**dongdeeet**
seru juga baca ragam kisah penulis, dengan khas, sudut pandang masing-masing tentang dunia kepenulisan. juga ragam jawaban yang keluar dari penulis menyoal tulis menulis yang perlu diseriusi dan dihayati.
gak heran kalau di bagian ibu suri tuh jawabannya tegas, tapi yaa bisa diterima. clara ng juga, punya patokan akan siapa yang bisa dibilang sebagai "penulis".
Sebagai penggemar Dee, saya puas baca buku ini karena jadi bisa kenal Dee lebih dekat. Kisah 4 penulis lainnya juga bagus-bagus. Cocok jadi suplemen untuk membangkitkan semangat menulis. Sebab, kita lagi-lagi diingatkan bahwa profesi penulis itu tidak mudah, sehingga butuh konsistensi dan effort yang tinggi untuk bisa bertahan, kalau memang ingin menjadikan menulis sebagai profesi.
Ternyata, tiap penulis memiliki kultur kepenulisan yang berbeda. Perjalanan hidup serta prinsip yang dianut tiap penulis pun memperngaruhi kultur kepenulisan lima penulis yang diceritakan dalam buku ini. Saya, sebagai anak gahul visual pun menikmati desain dari buku ini!
Dari orang lain, kita bisa banyak belajar. Sebab pengalaman-pengalaman mereka dalam menggapai keberhasilan adalah guru yang terlalu berharga untuk diabaikan.
Suka menulis dan ingin menerbitkan buku? Baca deh buku ini!