Jump to ratings and reviews
Rate this book

Katarsis

Rate this book
Tara Johandi, gadis berusia delapan belas tahun, menjadi satu-satunya saksi dalam perampokan tragis di rumah pamannya di Bandung. Ketika ditemukan dia disekap di dalam kotak perkakas kayu dalam kondisi syok berat. Polisi menduga pelakunya sepasang perampok yang sudah lama menjadi buronan. Tapi selama penyelidikan, satu demi satu petunjuk mulai menunjukkan keganjilan.

Sebagai psikiater, Alfons berusaha membantu Tara lepas dari traumanya. Meski dia tahu itu tidak mudah. Ada sesuatu dalam masa lalu Tara yang disembunyikan gadis itu dengan sangat rapat. Namun, sebelum hal itu terpecahkan, muncul Ello, pria teman masa kecil Tara yang mengusik usaha Alfons.

Dan bersamaan dengan kemunculan Ello, polisi dihadapkan dengan kasus pembunuhan berantai yang melibatkan kotak perkakas kayu seperti yang dipakai untuk menyekap Tara. Apakah Tara sesungguhnya hanya korban atau dia menyembunyikan jejak masa lalu yang kelam?

264 pages, Paperback

First published April 1, 2013

158 people are currently reading
1683 people want to read

About the author

Anastasia Aemilia

4 books32 followers
Anastasia Aemilia lahir di Jakarta, 9 Januari 1987. Setelah lulus dari Jurusan Bahasa Inggris FKIP Universitas Katolik Atmajaya, ia bekerja sebagai editor, penerjemah, dan pengarang di Gramedia Pustaka Utama.

Bercita-cita hidup nomaden, menjelajah dunia, dan menjadi travel writer, malah banting setir menulis novel psychology thriller.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
448 (18%)
4 stars
892 (37%)
3 stars
813 (34%)
2 stars
189 (7%)
1 star
40 (1%)
Displaying 1 - 30 of 621 reviews
Profile Image for Musrifah Arfiati.
83 reviews16 followers
September 10, 2016
Tergoda baca buku ini akibat review dan rating para Goodreaders. Antusiasme dan rating yang lumayan tinggi berhasil membentuk ekspektasi saya bahwa novel ini worth to read banget.

Ternyata, ekspektasi saya tidak terbukti! Entah apa yang membuat kebanyakan pembaca novel ini menyematkan bintang tiga sampai lima. Menurut saya, novel ini belum pantas mendapatkannya. Hanya karena novel ini bergenre psychological thriller, di mana belum banyak novel Indonesia yang berani pakai genre itu.

Lantas, akibat baca novel ini, saya jadi mempertanyakan kembali apa sesungguhnya genre psychological thriller? Apakah yang harus melulu banyak darah dan pisau? Atau yang harus memiliki tokoh utama psikopat? Saya kira, tidak sekaku itu, kayaknya.

Mengapa saya bilang novel ini belum pantas mendapatkan bintang tiga, apalagi bintang lima? Karena novel ini banyak bolong logikanya. Banyak! Sangaaatt banyak! Sampai saya geregetan sendiri ketika sudah membaca hampir setengahnya. Sebagai penikmat novel-novel psikologi, thriller, kriminal-detektif garis keras, tentu saya sangat familiar dengan cerita2 seperti ini. Menurut saya, jika dibandingkan novel2 sejenis yang pernah saya baca terdahulu, novel ini masih nggak ada apa-apanya. Sorry to say, saya harus bilang dari lubuk hati terdalam.

Pertama, saya sangat terganggu dengan kasus psikopatologi si Tara. Saya kira, karena ada alur mundurnya, bakal ada satu bagian yang menjelaskan latar belakang penyakit mental si Tara, tapi ternyata tidak. Hingga akhirnya, saya cuma berdecak kesal sambil menggumam: "gitu doang?". Menurut saya, Mba Anastasia ini kurang riset tentang kasus2 psikopatologi. Dia pakai premis psikopat ini seolah2 menjelaskan sebagai pembenaran dari tindakan pembunuhan yang dilakukan si Tara. Tidak ada penjelasan tentang mengapa Tara bisa jadi psycho girl kayak gitu. Semua penyakit mental, tentu punya asal muasalnya, misalnya trauma masa kecil. Tapi, di novel ini, seolah2 sakitnya si Tara timbul karena tiba2 ada. Aneh, menurut saya. Mungkin mba Anastasia Aemilia perlu banyak baca literatur Psikologi Klinis. Kalau dia cuma nyomot fakta dari film2 barat psikopat, tentu saja eksekusi buat ceritanya jadi shallow kayak gini.

Kedua, tipikal novel2 thriller, biasanya ada twist ending yang bikin pembaca geleng2 kepala. Semacam novel2 Agatha Christie yang sering menampilkan ending mengagetkan. Sayangnya, mba Anastasia ini kurang bisa mengajak pembaca untuk bertanya2 dan menebak2 sendiri. Yah, sayang sekali, padahal seninya genre thriller psikologis itu teka-teki yang perlahan terbuka hingga twist yang mengagetkan. Gara2 cara bercerita si penulis ini, bikin novel ini jadi membosankan. Kurang thrilling untuk sekelas novel thriller psikologis.

Ketiga, fakta yang bikin saya terganggu adalah peran si dokter Alfons dalam dunia kedokteran jiwa. Kalau dalam bahasa konseling psikologi, si Alfons ini kena semacam countertransference. Apa itu countertransference itu? Terlalu terhanyut dengan kehidupan klien atau pasiennya itu, sampai-sampai menimbulkan simpati dan empati berlebihan. Ya, kayak si dr. Alfons ini. Aneh aja, psikiater bawa pulang pasiennya cuma gara2 dia sebatang kara. Apalagi alasannya kalau engga merasa simpati dengan pasien. Padahal, countertransference kayak gitu haram hukumnya di dunia psikologi. Bikin dokter jadi bias memandang pasiennya, akhirnya analisisnya jadi dangkal. Apalagi, sampai bawa pulang pasien ke rumah, tinggal serumah, padahal ga nikah. Kalau cuma alasannya melindungi si Tara karena dia 'dikira' saksi kunci, kan bisa minta bantuan polisi. Hubungan dokter-pasien ya udah kelar kalau pasien udah dinyatakan sembuh. Jangan sampai pasien jadi ketergantungan berlebih sama dokter, apalagi untuk kasus2 kejiwaan. Kasihan dokternya juga.

Keempat, fakta tentang Alfons yang bikin saya terganggu juga adalah perannya di dunia kedokteran. Entahlah, agak ambigu di bagian Alfons telpon2an sama penyidik kepolisian dan sok2an memaparkan analisisnya tentang kasus pembunuhan berantai. Saya agak ambigu, sebenarnya peran si Alfons ini psikiater atau detektif merangkap psikolog forensik? Kalau misalnya dia disuruh membaca jalan pemikiran si pembunuh, harusnya kan pake profiling dulu, kerjasama sama polisi dan penyidik dulu.

Kelima, ah sampai saya capek nulisnya. Lama2 malah saya jadi ngasih spoiler. Sampe ga sadar hehe. Menurutku, novel ini kurang mendebarkan. Meskipun banyak darah dan bunuh2an, novel ini tidak berhasil membuat psikologis saya terguncang sebagaimana novel2 thriller favorit saya lakukan. Halah. Kenapa kurang mengguncang? Karena tebak2annya terlalu terburu2 buat dibuka. Endingnya juga kurang greget. Gitu deh... novel ini masih banyak kurangnya menurut saya.

Satu lagi, alur novel ini rada kurang jelas. Saya tidak masalah dengan pov yang berganti2. Tapi, saya bermasalah dengan penempatan waktunya. Malah ada beberapa yg ga sinkron. Saya malas nulis, tangan saya capek dan saya ga mau spoiler terlalu banyak.

Oke udah gitu aja... Overall saya kecewa berat sama novel ini. Jauh anjlok di bawah ekspektasi saya.

Oh iya, satu lagi, saya jadi bertanya-tanya, apa maksud si penulis memberi judul novel ini Katarsis. Bunuh-membunuh itu merupakan salah satu jalan katarsis kah? Sok psikologi banget. -_-
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
February 5, 2016
"Sudah cukup. Semuanya sudah berakhir, setidaknya untuk sementara."

Sempurna untuk sensasi membaca yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Indah. Indah dalam arti yang "salah".

Bagaimana menggambarkannya ya? Mungkin seperti kau mengelupasi bibirmu yang kering. Kau akan merasakan perih tapi kau akan terus melakukannya karena sensasinya yang berbeda. Atau seperti kau menggigiti kuku jari tanganmu hingga kroak bahkan jarimu berdarah.

Kini aku tahu kenapa buku ini diterjemahkan ke Bahasa Inggris, setidaknya asumsiku: dunia harus merasakan sensasi membaca karya psycho-thriller anak negeri ini.

Duh, ketika menulis ini aku bahkan sudah rindu sensasi membaca itu lagi. Apa sih namanya?! Bahaya, sungguh!

Ulasan ala-ala: http://bibliough.blogspot.co.id/2016/...
Profile Image for Han Asra.
60 reviews26 followers
September 29, 2013
Thriller sebagai genre memiliki usia yang cukup muda, walaupun begitu dia sudah memiliki cukup banyak sub-genre yang cukup berbeda. Satu tema yang sering ditemui di buku thriller terlepas dari sub-genre adalah melibatkan seorang korban yang tidak bersalah atau innocent, entah sebagai karakter utama atau sampingan, menghadapi berbagai cobaan gila, atau aneh. Namun thriller berkembang, tidak lagi hanya menempatkan seorang korban innocent sebagai karater utama atau perspektif narasi cerita. Clarice Starling dari Silence of the Lamb misalnya, tidak bisa disebut innocent apalagi “korban” apabila kita mengingat peran dan keterlibatan dirinya dalam cerita. Bahkan dalam Silence of the Lamb sudut pandang narasi senantiasa berpindah pada Buffalo Bill atau Hannibal Lecter, memberikan kita perspektif yang berbeda, dengan rasa menegangkan dan suspensi yang sama atau bahkan lebih daripada ketika kita melihat cerita dari perspektif narasi Clarice Starling.

Katarsis mencoba memberikan suatu premis yang berbeda dalam menghadirkan ceritanya. Dia tidak sekedar menggunakan sudut pandangan seorang korban, karena dia memberikan twist padanya sehingga bisa dikatakan kata innocent tidak lagi berlaku disini. Tentu saja ini merupakan suatu premis yang menarik dan menjanjikan, apalagi mengingat Katarsis merupakan cerita psychological thriller, berarti dengan sudut pandang seseorang yang sudah “rusak”, dia bisa memberikan serangkaian peristiwa nampak tidak semesti, memberi ruang bagi penggunaan tropes lain, memelintirnya, atau cukup memberi rasa baru.

Sayangnya ditengah premisnya yang sedemikian menjanjikan, eksekusi atas twist tersebut tidak berjalan dengan baik. Karakter yang saya maksud ini, Tara, hendak digambarkan sebagai sosok yang rusak, , dan psikopatik. Intinya, dia adalah bukan korban yang pantas dikasihani. Namun penulis justru melakukan apa yang menjadikan niatnya menciptakan karakter Tara ini sebagai seorang karakter yang non-simpatetik tidak tercapai dengan perkosaan yang menimpa dirinya. Pemerkosaan ini sesungguh tidak diperlukan apalagi setelah si penulis sedari awal sudah menekankan seberapa psikopatiknya Tara. Akhirnya pemerkosaan hanya seperti sebuah jalan pintas dan alasan bagi Tara untuk melakukan perbuatan kejam berikutnya.

Tara merupakan seorang psikopat, yang penulis menggambarkan dirinya sebagai seorang psikopat introvert yang sudah memilikinya sedari lahir. Entah mengapa si penulis seolah menjadikan kondisi dirinya sebagai penyebab bagi Tara untuk membenci beberapa hal seperti namanya sendiri atau sebagai sumber alasan untuk melakukan hal-hal yang kejam. Kondisi piskopatiknya menjadi sebuah sumber, bukan sebuah hasil dari yang semestinya demikian seperti yang kita temukan pada orang-orang dengan latar belakang psikopat kebanyakan. Memang ada beberapa penelitian menarik yang mengatakan bahwa sangat mungkin seseorang lahir sebagai seorang psikopat walaupun dia tumbuh besar di keluarga yang baik-baik. Namun perlu diingat seseorang menjadi psikopat karena dia mempunyai cara pandang realitas yang berbeda dari orang kebanyakan. Seorang psikopat membutuhkan suatu nilai, apapun itu yang bisa berasal dari pengalaman hidupnya, sebelum memelintir hal tersebut dengan cara pandangnya dan menghasilkan perbuatan yang kita anggap sebagai psikopatik. Tapi tidak bagi Tara yang sudah psikopat dari lahir dan itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk membenci nama dan orang tuanya sendiri sebagaimana saya tidak menemukan dirinya mendapatkan suatu pengalaman dalam hidup untuk berbuat demikian. Padahal nilai tidak muncul dari kehampaan dan ini menjadikan karateristik psikopat Tara begitu cacat.

Untungnya setelah seratus halaman kecacatan karakter Tara, perspektif berganti dan memberikan angin segar. Disini penulis bisa memberikan suara karakter yang jauh lebih baik dan solid daripada Tara. Karakter ini juga psikopat, sebagaimana sesuai dengan foreshadowing yang diberikan, tapi yang jauh membedakan dirinya dengan Tara adalah dia mempunyai serangkaian alasan yang membuat karakteristik psikopatnya menjadi tidak cacat. Petunjuk samar disebarkan sepanjang cerita yang memberikan landasan yang lebih solid atas karateristik tersebut. Itu yang menjadikan dia terasa lebih baik sebagai karakter yang ditulis dengan baik.

Dari segi penulisan tidak ada yang dapat dikatakan istimewa selain dari penulisan beberapa suara karakter yang terasa sangat baik. Prosa yang ada biasa saja bahkan di beberapa titik terasa repetisinya. Terdapat kesalahan lain seperti detil tidak penting berlebih yang untungnya tidak diulangi. Tapi ada satu masalah penulisan yang cukup menganggu, yakni kurangnya rasa pelacakan waktu. Beberapa bagian cerita terasa menjadi membingungkan karena kurangnya penanda waktu, atau kapan hal tersebut terjadi. Ini menjadi masalah karena cerita menggunakan sudut pandang orang pertama, dan disitu seharusnya ada perbedaan antara suara seorang psikopat yang sudah dewasa dengan yang masih kecil.

Katarsis salah satu dari sedikit psychological thriller yang ditulis oleh penulis Indonesia, tapi itu serta menjadikan saya langsung puas dengannya. Dia mencoba membawa ide baru, yang sayangnya ambisi tersebut malah menjatuhkan dirinya sendiri karena eksekusinya yang kurang. Untungnya premis biasa itu dibawakan dan dieksekusi dengan sangat baik sehingga memberikan harapan pada saya bahwa penulis akan membawakan novel yang lebih kedepannya.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
June 29, 2016
** Books 165 - 2016 **

4,6 dari 5 bintang!

"Erangan Moses tak lama berubah menjadi seruan ketika melihatku mengayunkan gesper itu ke arahnya. Darah mulai mengalir. Awalnya hanya luka kecil, tapi aku tidak memberinya waktu sedetik pun untuk berpikir menangkis seranganku atau menghentikanku. Dan semakin sering kulayangkan ke kepalanya, aliran darah jadi semakin deras, semakin banyak yang merembes di seprai. Kali itu tidak ada genangan. Tapi noda di kasur itu kian melebar, berbentuk seperti amuba yang diperbesar sekian juta kali. Bunyi hantaman yang meremukkan tengkoraknya seperti timpani dalam orkestra besar yang membawakan simfoni di telingaku" - Tara Johandi (Halaman 57)


GILAAAAA!!! ASLIII INI BUKU SAKITTT!! *KETAWA SETAN MALAM2

Sudah lama sekali saya mencari-cari buku ini baik di toko besar selalu ludes tidak tersisa dan pas ketemu di Jakarta Digital Library ternyata masih antri saja buat minjemnya.. Akhirnya saya memutuskan melakukan donasi buku ini ke Ijak dan sekaligus menjadi pembaca pertamanya.. Gak Mau rugi dong meski yaa jeruk makan jeruk LMFAO . Setelah membaca buku ini astagaaaa!! saya sampai menahan napas karena perasaan saya dibuat campur aduk antara ngeri, penasaran, suka banget sama plot twist dan dark-angstnya, adegan gorenya yang kece badai Abaikan saya pecinta dark-angst story level akut sekali . Pokoknya semuanyaa dalam buku ini sayaa sukaa parah lo nihh sampe saya tidak bisa meletakkan buku ini sedetikpun dan langsung saya tuntaskan malam ini juga! :3

Tara Johandi ditemukan dirumah paman dan bibinya dalam kondisi terkurung didalam Kotak Perkakas kayu dalam kondisi shock hebat. Ia menjadi satu-satunya saksi dalam kasus perampokan didalam rumahnya. Tara yang tidak bisa berkata apa-apa akhirnya dirawat oleh Psikiater yang bernama Alfons. Meski hal itu tidak mudah ia curiga ada hal yang disembunyikan oleh gadis berusia delapan belas tahun itu dengan rapat. Petunjuk pembunuhan itu menunjukkan keganjilan yang tidak terungkap. Pada suatu saat, Tara bertemu dengan Ello pria yang pernah menolongnya di masa kecil. Tetapi siapa sangka semuanya menyibakkan tabir kegelapan yang sesungguhnya?

Hahahhaaa pokoknya baca sendiri ya buku ini teman-teman. Saya tidak mau banyak memberikan spoiler tentang buku ini. Recommended banget buat kalian yang pecinta buku psychological-thriller ala-ala Gone girl dan Sharp Object by Gillian Flynn yang bikin kita si pembaca meringis ngilu dan kesakitan! Hahahhaa.. *ketawa setan

Saya sendiri penasaran kenapa penulis memilih kata "katarsis" sebagai judul novel ini. Ada yang mengatakan pembersihan jiwa? Apa jiwa tara yang dibersihkan oleh adanya kehadiran psikiaternya, Alfons? Tetapi kenapa pengertiannya terasa janggal dan akhirnya saya menemukan padanan kata yang lebih tepat untuk menggambarkan apa arti kata Katarsis ini. Saya menemukannya didalam pendekatan psikologi untuk orang yang mengalami gangguan mental. Katarsis adalah metode terapeutik yang ditemukan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud yang dimana pasien diminta untuk mengingat kembali dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional.

Saya melarang keras jika kalian bukan pecinta adegan bloody dan gore yah karena disini adegannya sangat eksplisit sehingga bisa-bisa kalian mual membacanya. Hahhaa kalau saya memang suka sekali 'buku-buku yang sakit' seperti ini sejak dulu. Tepatnya sejak saya membaca komik-komik jepang yang serupa :3

Terimakasih iJak untuk peminjaman bukunya
Profile Image for Christian.
Author 32 books840 followers
April 11, 2013
awalnya, gue menikmati buku ini. menjanjikan banyak rahasia, petunjuk-petunjuk samar, dan sebagainya. tapi setelah ada sesi bertukar POV, gue mulai merasakan keganjilan. tokoh aku pertama dan tokoh aku kedua jelas adalah pribadi yang sama-sama berbeda, tapi voice and tone-nya sama. jadi, sulit menyadari ketika pindah POV.

anastasia ini jelas punya perbendaharaan kata yang oke. suasana thriller yang dia tampilkan cukup membuat tegang, meskipun, lagi-lagi ketiga pindah POV, gue merasakan ritme membaca gue tersandung-sandung beberapa kali. bukan itu saja, penulis terlalu asyik mengurusi emosi karakter-karakternya hingga kadang melupakan pembaca yang butuh diberi info: ini situasinya kapan, lampaukah atau kini? lokasinya di mana? rumahnya seperti apa (karena ada bagian yg gue kurang mengerti, misalnya, bagaimana cara si tara memasukkan potongan tubuh moses ke tangki air *model tangki air kita yang mayoritas plastik beda dengan di luar negeri soalnya, jadi gimana caranya kalau nggak bisa dipanjat*)? memang detail dan deskripsi kadang annoying buat penulis, tapi pembaca kan nggak berbagi otak dengan penulis. ya, mau nggak mau, penulis harus sedikit 'capek' demi menyamakan visi dan emosi dengan pembaca.

overall, katarsis bukan buku favorit gue. tapi anastasia aemilia wajib dikasih kesempatan kedua. nggak sabar membaca buku berikutnya.

xoxo,
christian simamora
Profile Image for Perpustakaan Dhila.
200 reviews12 followers
January 31, 2017
2.5 ⭐

"Mamaku bilang, kalau lagi sakit, kita harus pegang koin biar sakitnya berkurang."

Kisah ini bermula saat terjadi kasus mengerikan yang menimpa keluarga Johandi; tiga orang tewas, satu orang koma, dan satu orang ditemukan kritis di dalam kotak perkakas kayu.

Tara Johandi, gadis 'yang selamat' itu. Ia membenci namanya tanpa alasan yang jelas. Ia membenci orang tuanya--Tari dan Bara. Ia tak pernah punya teman. Baginya, tak ada seorang pun yang layak untuk menjadi temannya.

Sejak kecil, Tara terobsesi dengan koin lima sen yang diberikan oleh seorang bocah lelaki. Koin yang selanjutnya membawa pembaca pada kasus pembunuhan beruntun di dalam peti kayu.

Buku ini sebenarnya sudah sejak lama masuk wishlist untuk dibaca dan trims to iJak karena sudah menyediakan buku ini dalam rak perpustakaan digital-nya. Akhirnya kemarin saya membaca buku ini juga. Buat saya, buku ini memiliki ekspektasi tinggi sebab sejak dulu banyak teman-teman yang merekomendasikannya.

Nyatanya, sejak membaca halaman awal saya sudah dibuat bingung. hehe. Mulai dari judul dan isi berita Kompas yang dimasukkan ke dalam cerita. Pada judul disebutkan 'empat orang tewas', tetapi ternyata saat membaca isinya, hanya ada 3 korban tewas.

Kemudian pada halaman 37 disebutkan adegan saat Tara berusia 7 tahun, tapi paragraf selanjutnya disebutkan bahwa ia berumur lima tahun. Inkonsistensi soal umur nih.

Dari segi cerita, Katarsis menggunakan alur maju-mundur dan menggunakan sudut pandang orang pertama dengan dua pencerita: Tara dan Ello. Bagi saya, penggunaan dua pencerita ini agak mengganggu. Apalagi saat perpindahan PoV. Saya kadang tidak bisa membedakan saat siapa yang berbicara: voice Tara dan Ello terasa sama saja. Belum lagi penanda waktu yang tidak jelas. Jadi saat pergantian PoV, selain tidak tahu siapa yang bercerita, saya juga bingung soal waktunya. Apakah itu terjadi saat ini, masa lampau, atau saat umur tokoh berapa?

Novel ini bergenre psikologi-thriller, mengambil isu soal psikopat. Hal yang membingungkan saya juga dan jadi pertanyaan adalah hubungan Alfons sebagai psikiater dengan Tara sebagai pasiennya. Saya amat awam soal ini, makanya saya sedikit bingung. Apakah boleh seorang psikiater melakukan hal-hal yang dilakukan oleh Alfons? Seperti membawa Tara ke rumahnya dan menjaganya sedemikian rupa, padahal hubungan mereka hanya antara dokter dan pasien? Sedangkan Tara juga merupakan korban sekaligus saksi dalam peristiwa tragis di rumahnya.

Selain itu, tidak ada alasan jelas mengapa Tara dan Ello menjadi seperti 'itu'. Tahu-tahu saja Tara lahir, membenci kedua orangtuanya, tak memanggil mereka dengan sebutan 'ayah dan ibu', mempunyai emosi yang datar, dan seperti itu. Ya begitulah saya bingung sendiri. :(

Belum lagi banyak kesalahan pengetikan lho di dalam novel ini. Ending yang diberikan juga sedikit mengecewakan. Saya pikir penulis akan memberikan kejutan saat ending. Ternyata 'yaaahh, kok gini?'. :(((
Profile Image for Lola.
182 reviews8 followers
July 11, 2023
Katarsis, berpusat di karakter protagonis, di mana tidak diungkapkan saat mereka menjalani perjalanan pertumbuhan dan penyembuhan pribadi. Narasinya mengungkapkan serangkaian gambaran yang saling berhubungan satu sama lain. Tiap gambaran menampilkan adegan-adegan penting dalam kehidupan karakter protagonis.

Di sepanjang cerita, protagonis bergulat dengan trauma masa lalu, emosinya bergejolak, sembari pencarian penemuan diri. Di sinilah, kita akan dibawa ke rollercoaster emosional pasang surut, yang mencerminkan kompleksitas pengalaman manusia.

Terus terang, aku kurang suka dengan gaya penulisannya yang liris serta puitis. Namun, teknik menulis seperti ini akan menenggelamkan kita ke dunia protagonis itu sendiri. Kita akan merasakan emosi yang begitu mendalam. Setiap kalimat dibuat dengan jelas dan hati-hati. Tentunya, pengalaman membacaku menjadi imersif dan menggugah secara visual.

Sementara, semua karakternya rumit serta menunjukkan emosi yg mendalam, khususnya protagonis. Karakternya kompleks dan relatable. Protagonis berjuang dengan setan batin mereka, penyesalan, dan pencarian penebusan. Melalui perjalanan introspektif mereka, kita akan diajak untuk merenungkan kehidupan mereka sendiri, kerentanan serta potensi pertumbuhan dan penyembuhan.

Yang kusuka dalam novel ini adalah penulis menggali pengalaman universal manusia. Mulai dari, kehilangan, cinta, penerimaan diri, hingga dinamika hubungan yang rumit. Kita diajak untuk mempertimbangkan potensi penyembuhan dengan cara menghadapi dan melepaskan emosi yang tertekan.
Profile Image for bakanekonomama.
573 reviews85 followers
September 16, 2017
Pinjem di iPusnas karena di iJak antreannya lebih panjang daripada antre beli bakpia Kurnia Sari (efek abis ke Jogja).

Sejujurnya saya nggak suka sama cerita-cerita yang terlalu mengekspos suatu tema tertentu tanpa adanya benang merah yang jelas. Misalnya cerita-cerita yang terlalu mengekspos tragedi yang bertujuan untuk menguras air mata pembacanya (saja), tapi secara plot dan logika banyak yang bolong. Juga seperti buku ini, yang hanya mengumbar kesadisan dan kegilaan tokoh-tokohnya yang psikopat, tapi banyak hal yang ditolak oleh logika saya.

Sebenarnya saya nggak banyak membaca novel di genre ini, karena ini nggak terlalu cocok sama selera saya. Tapi ada dua anime bagus yang saya tonton di tahun ini, yang berasal dari genre yang sama, yang kata orang-orang termasuk genre psychology thriller. Yang pertama adalah "Boku Dake ga Inai Machi" dan yang kedua adalah "Subete ga F ni Naru". Kedua anime itu sanggup membuat saya ketakutan setengah mati (khususnya yang pertama), juga membuat saya ngeri-ngeri ngilu dengan jalan ceritanya. Kalau film dari genre yang sama, saya suka dengan "Battle Royale" yang menurut saya akan tetap jadi legenda (meski saya belum baca versi komik atau novelnya). Untuk dorama, ada dorama karya Higashino Keigo yang benar-benar menguras emosi sekaligus menimbulkan perasaan mencekam ke penontonnya.

Hehehe, maaf ya, referensi saya Jejepangan semua. Bukan bermaksud jadi weeaboo atau apa, cuma karena saya dulu belajarnya di prodi Jepang dan sekarang kerjaan saya juga berhubungan sama orang Jepang, saya jadi banyak nonton Jejepangan. Alasannya sederhana, supaya bisa sambil latihan sehingga nggak lupa sama bahasa Jepang. Oh iya, saya ingat! Kalau di drama Korea ada juga "I Can Hear Your Voice" yang bisa mengaduk-aduk perasaan dan menimbulkan ketakutan. Cuma buat saya, hal-hal yang kayak gitu masih lebih jagoan Jepang, sih. Soalnya cerita Jepang itu, kalau udah gelap beneran gelap banget. Kayak bisa menyentuh sisi terburuk manusia yang paling busuk, yang sering kita anggap nggak ada karena tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari kita.

Saya nggak punya referensi dari barat karena saya nggak suka genre beginian. Paling saya hanya baca Sherlock Holmes, yang itupun menurut saya tidak terlalu sadis dan rinci dalam menggambarkan suatu kasus pembunuhan. Agatha Christie hanya beberapa saja yang saya baca. Sedangkan karya-karya Hollywood yang thriller, sebagian besar saya nggak suka, karena terlalu banyak darah berceceran dan anggota tubuh yang terburai di mana-mana, tapi jalan ceritanya nggak jelas. Tapi saya pernah baca satu buku bagus karya Dennis Lehane berjudul "Mystic River", yang saya rasa masuk ke genre ini dan membuat saya ketakutan juga.

Jadi, kembali ke "Katarsis". Buat saya, buku ini nggak bisa membangkitkan rasa takut dan cemas saya. Buku ini hanya mengekspos kesadisan dan kegilaan para pelakunya, tapi ada banyak hal membingungkan yang nggak terjawab (mungkin saya miss bacanya karena nggak tahan sama detail-detail sadisnya). Nah, review selanjutnya mungkin mengandung spoiler (tapi saya berusaha buat nggak spoiler-spoiler amat)....

Beberapa hal membingungkan itu misalnya, bagaimana cara omnya Tara kabur dari RS setelah bangun dari koma? Kok dia nggak dicariin polisi sebagai saksi kunci? Kenapa si psikopat tua nggak memastikan semuanya mati sebelum membiarkan polisi menemukan keluarga itu? Kenapa dia membiarkan yang satu koma dan yang satunya hidup? Meski yang hidup ada di luar perkiraan dia, tapi seorang psikopat bukan biasanya memastikan bagaimana akhir korbannya? Lalu, kok bisa si Tara yang lagi di bawah bahaya teror pembunuhan, nerima begitu aja minuman dari mas-mas ganteng yang hapal banget dia lari lima putaran GBK tanpa curiga sedikit pun?

Hal-hal di atas membuat saya bertanya-tanya dan jadi nggak bisa menikmati jalan ceritanya. Hal lainnya, sisi psikologis tokoh utama kurang dikupas sampai dalam, bikin kisah psychology thriller ini jadi nanggung. Jadi, apanya yang mengaduk-aduk perasaan? Kayaknya cuma mengaduk rasa takut dan tegang aja, itupun karena tokoh-tokohnya gila. Katanya ada teori yang mengatakan kalau ada anak yang psikopat dari lahir. Tapi buat saya, saya tetap percaya kalau anak terlahir bagaikan kertas putih yang bersih dan orang tuanyalah yang menentukan si anak itu akan menjadi apa. Manusia itu seperti dua sisi mata uang, setiap orang punya potensi kebaikan dan keburukan. Jadi sesungguhnya saya merasa sangat terganggu jika seorang anak digambarkan membenci kedua orang tuanya sejak bayi tanpa alasan yang jelas. Hhmm, sebenarnya ada sih alasan yang samar, tapi sayangnya nggak diperdalam oleh penulisnya. Makanya, saya bilang nanggung dan hanya mengekspos kekejaman dan kesadisan saja.

Jadi, saya setuju dengan review salah seorang Goodreaders yang mengatakan kalau tokoh psikopat B lebih memiliki karakter dengan penggalian masa lalunya yang lebih mendalam. Kalau si A dan C itu digambarkan sebagai psikopat dari lahir, maka si B jadi psikopat karena pengalaman masa lalunya. Banyak yah psikopatnya, saya sendiri sampe bingung gimana mau kasih reviewnya tanpa memberikan spoiler.

Jadi, sebelum saya mengeluarkan hal-hal yang seharusnya tidak dikeluarkan, biarkanlah review absurd ini berhenti sampai di sini. Biarlah ia menjadi rahasia, hingga saatnya tiba (waktu Anda baca sendiri). Buat saya, cukup dua bintang saja karena cerita ini nggak sesuai dengan selera saya.

*Review pertama: 21 September 2016
**Edisi revisi (halah): 16 September 2017
Profile Image for Syaihan Syafiq.
Author 14 books137 followers
August 17, 2013
KATARSIS ditakrifkan sebagai

1. kelegaan emosi (perasaan), kelega­an drpd ketegangan dan pergolakan batin;
2. (Ubat) proses pengubatan yg digunakan utk meluahkan perasaan pesakit berhubungan dgn pengalaman buruk yg terpendam dgn mengulangi pengalaman itu melalui pertuturan atau perbuatan.
[PRPM DBP]


merupakan merupakan novel ke-41 terbitan Buku Fixi yang diterjemahkan daripada Bahasa Indonesia ke Bahasa Malaysia. Anastasia Aemilia selaku penulis asalnya dengan judul yang serupa. Terjemahannya pula dilakukan oleh novelis sensasi, Julie Anne yang terkenal dengan novel duet beliau bersama Sham Hashim yang berjudul LICIK.

Aku berpeluang untuk membaca naskah awal Katarsis yang siap diterjemahkan oleh Julie Anne dan apa yang aku boleh simpulkan adalah novel setebal 261 halaman ini berjaya membuat aku sakit kepala dan berasa sedikit mual apabila membaca beberapa bahagian ngeri yang dijelaskan secara agak explicit di dalam novel ini. Melihat kepada kulit novelnya saja sudah cukup untuk membuat pembaca mencetuskan spekulasi tersendiri. Apa perkaitan kotak perkakasan yang berkunci itu dan tangan siapakah yang kelihatan menyelinap di celahan bukaan kotak perkakasan itu?

Novel ini memperkenalkan pembaca kepada Tara Johandi, gadis genit yang membenci namanya sendiri (atas sebab-sebab misterius yang ditempatkan dibawah pengawasan seorang doktor psikiatris bernama Alfons. Plot KATARSIS agak mengelirukan, lebih-lebih lagi apabila sampai ke separuh pembacaan apabila naratif penceritaan berubah kepada Ello, seorang lelaki bertubuh sasa yang muncul dalam hidup Tara. Jadi aku sarankan agar pembaca cuba untuk habiskan pembacaan dalam hanya sekali duduk sahaja. Alah, lagipun novel ini tidaklah setebal mana. Aku sendiri habis baca dalam dua malam sahaja. Apa-apapun, aku harus angkat topi kepada Julie Anne kerana berjaya membuat satu terjemahan yang baik ke atas novel berbahasa Indonesia ini. Laras bahasanya segar dan mudah difahami, masih berbaur lenggok Indonesia, namun tidaklah sesukar membaca SUAMI, novel terjemahan Buku Fixi yang terdahulu.

Anastasia Aemilia berjaya menimbulkan nuansa suspens, kengerian dan kekeliruan dari halaman pertama hinggalah ke klimaks dan peleraian KATARSIS. Sampai sudah pembaca akan bermain teka-teki berkontemplasi mahu jebak apa yang bakal berlaku seterusnya. Penulis nyata bijak bermain dengan kata-kata dalam membentuk watak-watak dalam KATARSIS, menggunakan naratif first person point of view agar mereka tampak believable dan hingga ke pengakhiran ceritanya, pembaca terus akan tertanya-tanya (dan seperti aku, rancak berdiskusi tentang novel ini bersama penterjemahnya, iaitu Julie Anne).

Nyata memo ringkas penerbit Buku Fixi dan juga penterjemahnya kepada aku akan kebarangkalian aku bakal menyukai novel ini adalah kerana faktor ada beberapa hal di dalam novel ini yang mirip dengan novelku yang berjudul BISIK; ada adegan bersama kucing. Enggan aku jelaskan dengan lebih lanjut, kerana aku tidak mahu menghilangkan unsur kejutan bagi sesiapa yang belum mendapatkan dan membaca BISIK dan kepada sesiapa yang berkeinginan untuk mendapatkan novel KATARSIS. Genre psychological thriller yang menjadi tunjang utama kepada KATARSIS cocok benar dengan novel debut penulis berbakat besar ini.

Ada beberapa hal yang dipersembahan dalam KATARSIS sepertinya tidak dijelaskan secara terperinci, bagaikan penulis sengaja membiarkan hal itu tergantung sebegitu sahaja kerana aku kira mungkin ini sedikit-sebanyak membuka ruang untuk beliau menulis sambungan kepada novel ini. Dan, seperti yang aku jelaskan tadi, naratifnya yang berubah-ubah daripada Tara kepada Ello terkadang membuat aku sedikit keliru antara keduanya kerana 'suara' kedua-dua watak ini hampir mirip kalau tidak dibaca dengan teliti. Naratif Ello apabila diperhatikan, kurang maskulin dan terkadang dibaca mirip seperti naratif Tara, menjadikan terkadang aku keliru antara kedua-duanya. Namun aku mengandaikan penulis sengaja menulis KATARSIS sebegitu rupa agar secara bawah sedarnya memperkukuhkan lagi kecelaruan latarbelakang dan latar tempat yang dipersembahkan.

Seperkara lagi, aku kira novel ini agak tipis, ringan dan banyak hal yang tidak dieksplorasi dengan sejelasnya. Sekali lagi, ini mungkin sekali disengajakan oleh penulis sendiri untuk tidak mendedahkan segala-galanya agar beliau punya ruang dan peluang untuk mengembangkan lagi kompleksiti watak Tara dalam sekuel yang berikutnya.

Ya, dengar itu wahai Anastasia Aemilia; KATARSIS wajar disambung lagi! Hehehehe...

Apa-apapun, penyudahnya aku kira benar-benar suatu hal yang tidak diduga, dan menimbulkan lebih banyak tanda-tanya di hati pembaca. KATARSIS wajar dibaca bagi penggemar psycho-thriller yang santai namun memerlukan daya imaginasi yang agak tinggi. Satu lagi novel wajib dimiliki oleh peminat Buku Fixi.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for hans.
1,156 reviews152 followers
February 3, 2023
Aku suka covernya. Simple dan suspicious. Melihat saja sudah boleh diagak jalan ceritanya bakal suspen dan penuh darah. Berkonsep psychological thriller, jalan cerita Katarsis agak menarik dan misterius. Amat tragis sekali kasus berantainya dengan komposisi pembunuhan yang rumit dan aneh.

Pengaruh tokoh utama di buku ini amat kuat. Dari kisahnya di waktu kecil hingga ke usia belasan tahun- sifatnya yang membenci keluarga kandung sendiri buat aku tertanya-tanya psikopat jenis apa ini. Membaca bahagian sewaktu Tara membalas dendam kepada Moses membuat aku sedikit jijik. Tapi menjadi Tara yang sedia maklum sudah punya masalah jiwa (namun tidak dinyatakan sakit jiwa jenis apa), aku sama-sama hanyut dan merasa sedih untuk Tara. Aku juga jadi mahu membunuh orang yang memperkosa aku kalau aku di tempat Tara, namun mungkin tidak sekejam Tara yang mengerat-ngerat sosok badan Moses dengan bagian-bagiannya yang dibuang berasingan (ada bahagian yang dibuang ke dalam tangki air dan kedua pamannya enak saja meneguk air minum walau tahu rasa air putihnya lain benar euww).

Sikap benci Tara kepada ayahnya, Bara Johandi sedikit membuat aku keliru tentang hal apa. Sepanjang membaca dari awal ke akhir, aku tidak menemukan alasan kukuh mengapa Tara membenci ayahnya sendiri. Aku sedikit kecewa dengan penulis- hal keluarganya tergantung dan samar.

Bacaan aku menjadi sedikit bingung sewaktu Ello mula muncul. Penulis bercerita tentang hal kedua-dua tokoh ini- Tara dan Ello dengan narasi yang hampir sama sehingga aku kalut sendiri dan terpaksa membaca perenggan bab sekali lagi untuk memastikan kisah itu dari sudut pandangan Tara atau si Ello.

Jika mengambil kira konsepnya yang psychological thriller, penulis berhasil mencipta plot dan setting yang intens dan penuh debaran. Kisahnya nyata lain dan disturbing. Cumanya aku sedikit frust dengan hal-hal tergantung seperti bayangan monsters yang Tara selalu nampak, tentang penyakit Tara sebetulnya apa, tentang hubungkait antara Heru dan Arif malah tentang watak Martin Silado dan Andita Pramani yang tidak tahu fungsi perkenalannya untuk apa. Kecewa juga dengan kecelakaan yang menimpa Dr. Alfons (frustrasi- ingatkan Dr. Alfons bakal jadi heronya, ternyata dugaan aku salah).

Overall- buku yang okay, aku menyukainya (minus persoalan dan adegan-adegan yang kurang penjelasan). 4 bintang untuk novel debut ini.
Profile Image for Shafira Indika.
303 reviews231 followers
March 6, 2023
3.5/5

Jujuur ini bukan genre yang biasa kubaca daan jujur (lagi) aku gamau baca ini untuk yang kedua kalinya WKWKWK AKU KIRA GAAKAN SENGERI INI taunya bener2 berdarah-darah seperti covernya😭😭😭😭

Aku gamau banyak komen teknisnya sihh karena aku liat di goodreads dah banyak yang ngomongin soal ketidakjelasan pergantian POV. Bukan ga jelas sihh lebih ke narasi mereka tu mirip jadi mesti beneran konsentrasi untuk memahami ini POVnya Tara atau Ello. Lalu ada juga yang mempertanyakan apakah yang dilakukan Alfons terhadap Tara—membawa Tara ke rumahnya dan melindunginya—diperbolehkan dalam kode etik psikiater. Aku juga rada bingung disini sihh ya.

Menurutku atmosfir ngerinya dapet banget. Narasi mengenai kesadisan Tara serta Ello tu dijelaskan dengan rinci. Aku sarankan jangan baca sambil makan sih hehe. Buku ini cukup page turner juga sihh buatku. Alasan utamanya karena narasinya enak banget dibaca. Kalimatnya lugas dan mengalir. Alasan lainnya adalah aku penasaran banget bakalan berakhir gimana dan menurutku endingnya oke sihh. Memuaskan. Buku ini diakhiri dengan tepat, menurutku.

Novel ini lumayan mengingatkan aku pada 'Notes on an Execution'. Hal yang aku sayangkan adalah di 'Katarsis', latar belakang Tara dan Ello tu gak begitu dieksplor lagi. Seakan-akan yaa yaudah sifat mereka ini muncul dengan sendirinya. Terutama Tara sih ya. Aku ga mendapat penjelasan kenapa Tara segitu bencinya sama nama dia dan penjelasan lain mengenai 'keanehan' dia. Saat baca ini aku hanya tau mereka psycho aja.

Satu hal yang aku tau, buku ini akan membekas di ingatanku karena kengeriannya. Sejujurnya aku penasaran sama seriesnya juga (udah bisa ditonton di Vidio, tayang tiap hari Kamis). Tapi aku gak yakin bisa menghadapi kengerian 'Katarsis' yang lebih nyata. Kalo kalian suka genre psychology thriller, buku dan tontonan ini cocok buat kalian nikmati👍🏻
Profile Image for Nadya Kurnia.
23 reviews3 followers
June 13, 2013
Oke, ini buku thriller indonesia pertama yg pernah saya baca. This book is good, overall. Mulai dari gaya penulisan, alur cerita yang maju mundur, dan ending yang tidak disangka-sangka. Tapi jadi kurang maksimal 'sakit'nya karena penulis nggak menceritakan detail si tokoh utama, which is : Tara. Nggak ada penjelasan yg detail dan cukup berasa tentang kondisi kejiwaan Tara. How could she be a sociopath since she was young? Justru yg diceritain dengan detail yg pas itu masa lalu Heru, si pembunuh berantai yg terinspirasi melakukan metode pembunuhan karena kejadian yg dia lihat/alami waktu kecil. Dan diteruskan oleh si Ello. It was quite clear. But not with Tara. Di sini dia tau-tau berkelakuan omen dari kecil. Mulai dari dia batita, she hates her parent for what reason? her name? why does she hate her name while she was so litte* (*usia 3 tahun benci namanya? I don't think so. That is not how childern think. Kecuali kalo Tara beneran omen di sini). Bener-bener nggak ada clue kenapa Tara segitu bencinya sama keluarganya, penyampaian konflik masa lalu Tara terlalu ringan, sementara gambaran kondisi psikis Tara di sini gawat banget. It's bothering me. Mungkin karena saya anak psikologi, jadi ngeliat gambaran Tara yg segitu gawatnya, tapi dengan gambaran masa lalu yg kurang detail dan pas, jadi berasa kurang 'ngena'. Well, riwayat pasien jiwa itu panjang, dan detail. But all I have is simplicity here. Simplicity isn't wrong. Malah gaya bahasa simpel si penulis di sini bagus, apalagi buat menarasikan cerita thriller begini. Cukup simpel dan tepat sasaran. Yang kurang cuma karakter Tara ini aja, sih. But, you can always enjoy this book. Cheers! :)
Profile Image for Deago.
248 reviews21 followers
April 21, 2019
“Tiga Tewas Dalam Perampokan Sadis”

Seluruh keluarganya tewas dalam kondisi mengenaskan dan tidak manusiawi. Salah satu saksi hidup ditemukan dalam kotak perkakas dengan kondisi mental yang masih terguncang. Tara Johandi, gadis yang selamat.

description


Sampul cetakan terbaru versi Bahasa Indonesia ini sangat menawan, satu tipe dengan sampul novel-novel detektif karya Agatha Christie. Akhirnya, dengan ilmu cocoklogi pribadi, saya menyimpulkan bahwa mungkin Katarsis adalah novel detektif versi lokal, barangkali satu genre dengan karya Agatha Christie. Baiklah saya akan coba.
.
.
.
Setelah menutup halaman akhir novel, saya terguncang.

Cerita dibuka dengan penemuan "Gadis yang Selamat", ditemukan dalam kotak perkakas dengan kondisi yang sama sekali tidak menyenangkan. Tara Johandi kehilangan segalanya dalam usia yang masih sangat muda. Gadis dengan beban seberat ini tentunya akan mudah menarik empati pembaca, tapi sepertinya penulis punya unpopular-opinionnya sendiri.

Dengan awal yang menyedihkan bagi Tara, penulis sepertinya tidak ingin memberi ruang empati pada Tara dan dengan gamblang membeberkan masa lalu Tara yang kelam. Tak banyak yang diceritakan memang, tapi di paruh awal cerita saya hampir saja kehilangan rasa simpati pada sosok Tara, hingga akhirnya sosok Ello dan koin lima rupiah hadir mencerahkan hari-hari Tara yang kelam.

Namun, siapa sesungguhnya sosok dibalik pembunuhan keluarga Johandi?

Seorang psikiater, dokter Alfons mencoba mencari fakta di balik memori Tara, pekerjaan yang membutuhkan waktu dan kesabaran sementara di sisi lain, pelaku sepertinya tidak memilikinya.

Ka.tar.sis: n (Psi) cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas; (Sas) kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis.


Penulis menggambarkan setiap kejadian dengan detail yang mampu menyalurkan rasa ngilu yang sudah lama tidak saya rasakan sejak membaca kisah tentang Amy, istri kesayangan pembaca dalam Gone Girl. Dengan perasaan ngilu, penulis menggiring kita bukan untuk menebak siapa pelakunya tetapi lebih kepada apa yang akan terjadi. Saya secara tak sadar terus membuka halaman dengan rasa penasaran “mau dibawa kemana tokoh-tokoh kesayangan kita ini?”

Ruang untuk membangun karaktek setiap tokoh dalam Katarsis memang terasa kurang menurut saya pribadi, mungkin karena digantikan dengan sisi thriller yang sangat kental, dengan karakter yang terhubung tentunya akan memberkan emotional impact yang lebih mendalam dan berkesan. Akhir yang diberikan penulis cukup memuaskan dengan memberikan sedikit kebebasan pada pembaca dan tokoh utama. Sepertinya Katarsis memang bacaan wajib bagi pencinta thriller.

Salah satu thriller lokal yang tak kalah sadis dan nyeri dari novel-novel thriller di luar sana.
Profile Image for Aravena.
675 reviews36 followers
September 17, 2017
Some are born to sweet delight, some are born to endless night. -William Blake

Seperti sesama horor psikologis lokal Napas Mayat, buku ini juga 'memaksa' saya masuk ke dalam kandang psikopat dan mendengarkan ocehan mereka. Bedanya, yang ini lebih gamblang dan tidak begitu filosofis.

Katarsis dimulai dengan adegan pembuka yang sangat efektif. Saking efektifnya, itu jadi bagian paling berkesan buat saya. Selanjutnya, cerita menampilkan rangkaian misteri pembunuhan... yang mungkin kurang tepat disebut 'misteri', karena pembaca langsung diberi tahu jawabannya melalui sudut pandang si pembunuh. Cukup menarik dan mencekam, walau kadang penulisnya masih terjebak dalam beberapa 'stereotip-psikopat-di-cerita-fiktif' (terobsesi melihat darah, gaya bicara sinis bin nyinyir, halusinasi berupa makhluk jadi-jadian berwujud hewan aneh....)

Pada awalnya saya suka gaya penuturan buku ini yang tajam menusuk tetapi tidak bertele-tele..... sayang, dari pertengahan hingga akhir buku jadi makin tidak enak dibaca. Terlalu sering gonta-ganti sudut pandang seperti pengemudi galau yang bolak-balik antara sisi kiri dan kanan jalan tanpa alasan jelas. Sebenarnya permainan sudut pandang itu menarik, jadi awalnya saya menoleransi hal ini karena saya pikir penulisnya punya alasan kuat (misalnya dalam rangka membuat kejutan). Namun setelah selesai membaca, saya tidak menemukan justifikasi atas gonta-ganti sudut pandang yang bikin saya sampai 'mabuk baca' ini (asli beberapa bab terakhir itu sudah berasa final kejuaraan pingpong antar galaksi). Karena babnya yang banyak dan pendek-pendek, transisi adegan juga seringkali kurang enak dan menyebabkan disorientasi. Sekarang lokasinya di mana? Giliran siapa yang cerita? Kronologi waktunya bagaimana?

Penyelesaian ceritanya sebenarnya lumayan, tapi terasa seperti thriller konvensional yang emosi dan atmosfernya kurang kuat. Mungkin karena makin ke belakang, deskripsi makin minim & fokusnya lebih ke soal menggerakkan plot dari titik A ke titik B ke titik C ke garis finis yang sudah terlihat dari beberapa kilometer jauhnya. Bagaimanapun, ada beberapa hal yang saya suka dari buku ini dan konsepnya. Saya susah untuk peduli pada tokoh-tokoh naratornya (walau mereka memang bukan dibuat sebagai tokoh simpatik), tapi saya suka penggunaan motif/pola benda mati yang menghubungkan mereka: koin lima rupiah, kotak perkakas, dan wangi mint. Ada repetisi yang bagus.

Okelah, saya senang direkomendasikan buku ini oleh teman saya, paling tidak jadi tambahan referensi juga buat saya (*semoga kamu cukup puas dengan 'hadiah' ini ya, Gus!).
Profile Image for Shelly.
Author 2 books44 followers
December 11, 2016

Sinting! Sinting! Sinting!

Kata itulah yang ada di benak saya selama membaca novel ini. Berhubung waktu itu saya lagi gak bisa tidur dan seorang teman merekomendasikan novel ini untuk saya, akhirnya saya ‘lahap’ Katarsis melalui iPusnas (terima kasih, iPusnas :D) dan voila! saya langsung baca sampai tamat.

Pada dasarnya saya penyuka cerita berbau gore, sih. Malah menurut saya cerita gore lebih baik daripada cerita horor (aku kan penakut, qaqa) dan novel ini sangat memuaskan dahaga saya terhadap cerita gore. HAHAHAHAHA #abaikan

Dasar wanita bodoh! Dia tidak tahu sekop itu masih di tanganku.

Warna merah itu begitu cantik. Dan tetesan yang jatuh dari jemari wanita itu begitu berseni

- Hlm 31


Isu perampokan. Penyiksaan. Pembunuhan. Sakit Jiwa. Ini novel kurang sinting apa coba? xD Oya, mari saya luruskan. Sinting yang saya maksud ini dalam arti positif, ya (lho?) tentu saja ini berlaku dalam konteks literasi loh, ya, imo. Bukan yang lain Hahahahahaha.

Kedua, cerita ini diramu dan dikemas secara cerdas. Rasanya seperti membaca cerita dengan misteri berlapis. Untuk penikmat genre psychology-thriller pasti akan jatuh cinta dengan novel ini. Plot twist? Jangan tanya. Ada beberapa, malah. Saya sendiri bahkan beberapa kali salah tebak. Haha.

Untuk karakter, saya sepertinya harus mengakui bahwa saya (awalnya) membenci karakter Tara. Ia begitu membenci orangtuanya dan selalu memanggil orangtua dengan nama. Tara adalah sosok yang pintar dan genius, sayangnya memiliki empati yang begitu minim. Barulah sejak konflik antara Tara dan Moses muncul, saya mulai kagum pada Tara. Salut!

Hm, seandainya tidak ada masalah sudut pandang, saya akan memberikan peringkat 5/5. Memang sih, awalnya perpindahan sudut pandang dalam novel ini konsisten. Bagian pertama terbagi dalam beberapa bab dengan sudut pandang Tara, bagian selanjutnya adalah bab-bab dalam sudut pandang Ello. Sayangnya, semakin mendekati akhir cerita, konsistensi sudut pandang jadi hilang. Malah bercampur-campur dengan sudut pandang ketiga (bagian percakapan telepon Tara-Alfons). Iya gak, sih? Agak disayangkan sebenarnya…

Selebihnya oke banget! Endingnya pun sama sekali nggak ketebak! Soal diksi apalagi. Salut banget karena kosakata yang digunakan simpel, tapi cukup bervariasi dan jauh dari kesan membosankan. Saya juga setuju dengan pengambilan judul ‘Katarsis’ karena yah, saya cukup mengerti kenapa novel itu diberi judul tersebut. Begitu juga dengan cover yang mendukung. Hehe.

Oya, bagian yang paling saya suka adalah bagian ‘tangki air’ –ketawa setan- xD Kalau kamu?

Profile Image for distressedbutterfly.
8 reviews
August 10, 2014
Dear Anastasia Aemilia,

Sebelumnya, saya ingin minta maaf karena review ini mengandung spoiler. Saya terpukau dengan diksi, majas, alur, penokohan dan plot yang anda tawarkan. Namun sayang ceritanya tidak menarik. Mengapa?

1.Tidak dijelaskan mengapa Tara terlahir dengan kelainan mental dan menolak dipanggil Tara sejak kecil. Saya percaya teori sebab-akibat dan saya memuja eksistensi sebuah motif. Tidak ada kejahatan tanpa motif, benar?
2.Tidak dijelaskan mengapa dia membunuh ibunya.
3.Tidak dijelaskan mengapa Ello mau membunuh orang dan senang mengiris tangannya.
4.Tidak dijelaskan mengapa ayahnya mau mengurung Tara dalam kotak kayu.
5.Tidak dijelaskan mengapa Alfons mau merawat Tara secara khusus.
6.Di tiap pergantian bab cerita, sudut pandangnya juga berganti. Masalahnya tidak dijelaskan siapa yang sedang berbicara. Saya tahu ini memberi kesan misterius, namun pada saat yang bersama ini menyebalkan.
7.Penulis tidak fokus pada perasaan tokoh. Padahal area ini sangat bagus jika dieksplorasi.
8.Eksekusi cerita terlalu cepat, saya kesulitan menikmati.
9.Yang paling parah, di bagian klimaks, pada saat Ello hendak membunuh Tara, tidak dijelaskan. Penulis langsung pada bagian akhir dimana Tara selamat. Ello meninggal. Is that a miracle? Wow! I’m so impressed! I guess it must be easy to beat a smart psychopath, huh?

Menurut saya, jika penulis mengkhawatirkan jumlah kata sehingga berusaha merangkum semua misteri dalam satu novel, kenapa tidak membaginya menjadi trilogi atau tetralogi saja? Saya mengerti penulis sibuk dan tentunya menguras tenaga sebesar tiga atau empat kali lipat dalam membuat sekuel. Namun bagi saya lebih baik menunda penyelesaian cerita sampai ceritanya benar-benar matang untuk diterbitkan. Even if it take times, I personally think it will be worth it.

That’s all I have to say to you, dear.

xoxo,
distressedbutterfly.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Muhajjah Saratini.
289 reviews9 followers
May 9, 2016
"Rasa sakit itu ada untuk melindungi dan mengajarimu banyak hal."--p. 183

*ada spoiler*
Saya pernah nonton 2 film yang tokoh utamanya anak-anak yang kejam. (lupa judulnya semua)
Yang pertama, alasannya adalah dia memang anak iblis.
Yang kedua, alasannya adalah dia memang psikopat sejak lahir.

Buku ini... nanggung. Mungkin maksudnya sama dengan yang kedua, tapi nanggung.
Sejak lahir, Tara membenci orang tuanya (kenapa? Oke, sejak lahir benci aja gitu.)
Tapi, dia damai-damai aja, berusaha berdamai, hingga nama yang dipilih orang tuanya (Tari dan Bara) untuknya adalah Tara, gabungan nama kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, dia semakin benci dengan orang tuanya.

Film kedua yang saya tonton, yang alasannya memang psiko sejak lahir, lebih nyaman diikuti daripada buku ini. Karena anak itu total sebagai psiko. *alasan macam apa ini* Sementara Tara nanggung.

Begitulah, bagi saya, buku ini nanggung.


Profile Image for Fey.
226 reviews12 followers
January 28, 2024
"𝙃𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙞𝙨𝙩𝙚𝙧𝙞, 𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙣? 𝙆𝙖𝙪 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙪𝙙𝙪𝙩 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙥𝙖𝙩."

Leganya bila aku dah habis baca novel yang satu ini. First of all, aku beli novel ini pun sebab terpengaruh dengan Booktok and I was expecting too much from it. Tapi expectations aku hancur begitu je. Hampa gila.

Bagi aku, novel ni meleret. Banyak benda yang tak logik and tak executed well. Banyak parts yang aku rasa penulis boleh padukan lagi, but yeah... dah jadi naskhah dah pun. Banyak sangat persoalan yang ditinggalkan tak terjawab.

Sejujurnya, penggerak utama buku ni pada pendapat akulah ialah Ello. Bila dia muncul balik, baru plot and storyline bergerak. Before watak dia muncul, memang meleret habis. Awalnya, cakap pasal Tara yang ditemui dalam kotak perkakas kayu tu and suddenly tetiba meleret ke flashback dia. I mean, flashback is nice but too much flashback tu buat aku rasa geram. Jadi, sepanjang pembacaan aku tu aku dah menggerutu seorang diri bila nak sampai ke penghujung?

Lepas itu, relationship antara Tara dan Dr. Alfons tu aku cukup tak gemar. Bukan apa, aku rasa benda tu macam tak profesional lah. (⚠️: Boleh ke psikiatris bawa balik patient dia balik rumah sebab nak jaga? Like seriously???)

Lagi satu, since misteri dia memang dah terungkai sebab watak-watak dalam buku ni yang expose sendiri, aku dah agak dah apa jadi kat endingnya.

Tapi ending dia tu aku tak puas langsung. Tu je berlaku??? Seriuslah???

Rekomen tak? Hmm nope. But if you still want to read it and feel very curious about it, go ahead.

Rate: 2.7🌟
Profile Image for Kezia Nadira.
59 reviews6 followers
August 23, 2022
Buku kali ini merupakan bacaan psychological thriller yang memang dark dan meresahkan. Cukup membuat saya agak bergidik membaca bagian-bagian yang 'psycho' dan penjelasan keadaan korban pembunuhan yang begitu gamblang.

Tapi, saya kurang menyukai buku ini. Banyak sekali yang membuat saya bertanya-tanya, dan membacanya tidak membuat saya dapat menikmati ceritanya.

Selagi saya kupas, saya mau kasih disclaimer kalau review ini mungkin mengandung spoiler.

Pertama, cerita di sini menggunakan sudut pandang orang pertama. Berarti, dijelaskan dari sudut pandang 'aku'. Nah, ternyata ada 2 'aku' di sini, dan pembagiannya lompat-lompat tidak teratur. Terkadang, chapter ini menceritakan tokoh 'aku' yang ini, chapter berikutnya bisa menceritakan tokoh 'aku' yang lain. Saya jadi harus menebak-nebak, ini 'aku' yang mana? Ya, walau, setelah membaca 1-2 paragraf kita bisa tahu, sih, 'aku' mana yang dimaksud. Tapi, otak saya lelah membacanya.

Kedua, alur cerita lompat-lompat. Sebenarnya saya tidak masalah, tapi ketidaklinear-an cerita ini membuat otak saya penat. Banyak kejadian yang terjadi dan hanya dinarasikan saja dalam 1-2 kalimat, padahal menurut saya kalau kejadian itu ditunjukkan dalam cerita akan sangat menarik. Contohnya, penyiksaan Alfons - kenapa cuma ditunjukkan lewat dialog Ello saja? Atau di surat Alfons? Akan sangat menarik kalau penulis bisa menunjukkan dialog Alfons dan Ello, contohnya mungkin reaksi Alfons ketika tahu Ello - pasiennya - adalah si pembunuh berantai. Lalu, bagaimana Tara mengalahkan Ello, juga menggantung begitu saja. Atau, bagaimana Tara mengenalkan Ello pada Alfons? Kenapa cuma dijelaskan lewat 1-2 kalimat narasi saja? Saya mengerti konsep yang ingin ditanamkan penulis adalah psychological thriller, atau mystery, tapi tidak usah terlalu 'tertutup' seperti ini. Karena kurangnya adegan yang nyata, hanya dialog-dialog semu, terlalu banyak narasi....saya jadi kurang berempati pada Tara, Alfons, atau karakter lainnya.

Ketiga, saya sudah sempat sebutkan dengan singkat di atas, novel ini 80% narasi deskriptif 20% dialog. Belum lagi ditambah pilihan kata-kata yang agak berat, membuat saya menguap dan mengedipkan mata berkali-kali saat membaca ini. Sudah ceritanya bikin tidak nyaman, secara redaksional juga saya tidak nyaman dan cepat-cepat ingin menamatkan buku ini. Seandainya saja penulis lebih mau 'aktif' dalam menggambarkan ceritanya lewat dialog, lebih sedikit narasi, mungkin akan lebih menarik. Saya mengerti, sih, mungkin dibuat lebih banyak narasi deskriptif agar kita mengerti penyakit Tara dan Ello yang mendekati psikopat/sosiopat ini. Tapi, jadinya...saya malah tidak merasakan karakter-karakternya hidup.

Keempat, penokohan juga tidak jelas. Kenapa Tara bisa jadi sosiopat? Kenapa Ello bisa jadi psikopat? Kenapa Tara bisa tiba-tiba sembuh? Lalu, monster yang dilihat Tara itu siapa? Apakah sisi gelap dirinya, sisi psikopatnya, yang selalu mengganggunya saat dia sembuh? Bagaimana Tara, dari yang super sosiopat, bisa tiba-tiba sembuh mendekati orang normal hingga merasakan jatuh cinta? Sangat kontradiktif, dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Padahal, penokohan itu penting. Walau masa lalu Tara diceritakan, tapi tidak jelas mengapa Tara dan Ello bisa tumbuh seperti itu. Untuk Ello, apakah karena ayahnya adalah psikopat juga? Entahlah. Seperti yang saya bilang, terlalu banyak pertanyaan.

Kelima, mungkin membaca buku ini separuh pertama kita akan dijemukan dengan narasi deskriptif yang membosankan. Kita gak tau penulis mau bawa ke mana cerita ini. Tapi saya boleh akui, 50 halaman terakhir memang cukup seru, sih. Tapi ya, jangan kecewa kalau endingnya begitu saja.

Saya benar-benar tidak merasakan apapun saat membaca ini. Perkembangan karakter Ello menjadi seorang psikopat cuma ditunjukkan saat ada perempuan yang mengajaknya ke apartemen. Seandainya saja korban-korban pembunuhan berantai itu lebih didekatkan ceritanya ke pembaca, ditambah kengerian Tara akan teror-teror terhadapnya, pasti kita bisa lebih bersimpati pada Tara dan merasakan kekejian Ello. Buku ini seperti setengah-setengah. Setengah-setengah dalam menjadikan Ello psikopat, dan Tara sebagai karakter utama yang memiliki riwayat sosiopat + korban.

Saya juga tidak paham, sampai sekarang, kenapa Ello begitu terobsesi dengan Tara? Bagi saya agak tidak masuk akal, seseorang bisa mengingat dengan jelas seseorang yg diketemuinya saat berumur kurang dari 10 tahun. Bertemu lho, tidak sampai 10 menit interaksinya, tapi bisa ingat hingga bertahun-tahun! Sampai bisa terobsesi, lagi. Saya mengerti sih Ello dan Tara itu tidak seperti orang kebanyakan...tapi menurut saya elemen ini tidak cukup layak dijadikan motivasi dan latar belakang obsesi Ello terhadap Tara...

Dialog juga terasa kaku. Padahal latar belakang tahun 2011-an. Tidak masuk akal masih ada yang menggunakan 'kau' dan frasa-frasa baku lainnya.

Sebenarnya, masalah yang dijelaskan di blurb novel bukanlah masalah utama di novel ini. Malah, jadinya gantung begitu saja tanpa penyelesaian yang berarti. Masalah lainnya justru bukan itu, dan karakter yang terlibat justru juga bukan yang kita kira. Blurb yang menyesatkan.

Mohon maaf kalau review ini agak menyudutkan dan terkesan berlebihan, tapi saya benar-benar kesal saat membacanya. Jujur, saya berekspetasi lebih.....Maaf, ya, mbak Anastasia Aemilia.
Profile Image for Gus.
605 reviews62 followers
August 4, 2017
--- Katarsis ---
Plot: Ok.
Penokohan: ...Ok.
Gaya bercerita: Bagus sekali sekaligus tidak begitu saya sukai (haha).

Pinjaman dari iPusNas^^ ; judul baru-terakhir yang saya baca di akhir tahun.
Baiklah, pertama kalimatnya bagus sekali! Saya sama sekali tidak mengada-ada, saya suka penulisannya. Gaya bercerita terasa pas dan unik. Sebagai cerita thriller, gaya berceritanya memang bisa bikin bergidik.... paling tidak di awal buku saya terperangah dengan cara penceritaannya dan nuansa ngerinya.

Tapi ketidakcocokan terbesar antara saya dan buku ini adalah... tokohnya.
Saya tidak suka Tara. Saya juga tidak begitu suka Alfons maupun tokoh lainnya. Tapi memang dibanding tokoh yang lain, cuma Tara yang membuat saya merasa... Duh, dasarnya ini anak bagaimana sebenarnya?
Tentu saja itu bukan karena saya tidak bisa menerima tokoh seperti ini. Katanya-- dari novel Agatha Christie-- yang saya cek kebenarannya dari kakak saya tapi saya juga sudah lupa apa jawabannya-- memang ada kecenderungan sifat jahat yang bisa dilihat saat masih kecil. Eh tapi saya tidak sepenuhnya sependapat. Saya masih sama seperti dulu; mempertanyakan kebenaran hal ini. Tapi mari tidak usah bahas lebih lanjut, intinya saya menerima sifat tokoh seperti ini. Tapi tidak untuk Tara. Saya mengharapkan adanya penjelasan, dan bukan cuma pribadi yang terlalu dewasa di masa kanaknya. Sebenarnya ketidaksukaan saya dengan tokoh Alfons juga cukup menyerempet karena Tara.

Eehh tunggu, masih ada lagi. Panjang juga ya...
Lalu saya kurang sreg dengan pergantian POV-nya. Ya. Itu. POV.
Saya rasanya mau remas rambut dan guling-guling karena hal ini. Biasanya saya menerima pergantian POV, toh karya saya juga terhitung (sangat) sering ganti POV. Tapi disini, saya merasa mungkin bisa lebih lama lagi ganti POV-nya ya? Soalnya-- saya merasa ada ping-pong yang terjadi //pingpongituapa? //entahlah //lho.

Lanjut lagi mengenai twist-nya.
Pertama, wuuuiiihhh!! Saya beneran bergidik di bagian tangan itu ^^.
Tapi kedua, ketiga, nyaris tamat dan pas tamat... kesannya ada penurunan drastis. Tertebak. Eh tunggu. Tapi bisa saja ini karena saya makin pintar baca cerita begini berkat Akiyoshi Rikako sensei dan Agatha Christie, kan?

Eh? Apa kalian yang membacanya juga mampu menebak?
Kalau begitu... mungkin "hint" yang diberikan penulis kurang subtle ya?

Katarsis. Rasanya rating ini akan berubah, tergantung pendapat kakak saya jika dia membacanya. Tapi untuk cerita, 3 bintang. Untuk nilai subjektif dari saya... 2.5 bintang dibulatkan kebawah.
[7.2/10].
Profile Image for fayza R.
227 reviews56 followers
February 6, 2017
kalo kata orang-orang yang udah baca sebelumnya, katarsis tuh feelingnya ngilu, tapi buat Faizah mah feeling after read nya mual (dan selama baca sih). Saat baca bagian2 detail ttg penyiksaan gak ada rasa ngilunyaa, cuma mualnya banget banget (sampe kepikiran kalo lagi makan).

suspense-thriller nya dapet banget. Di awal baca pengen tahu kelanjutan nasib Tara, ditengah2 dibikin penasaran sama siapa pelaku pembunuhan berantai itu (which is menyingkirkan opsi Tara sebagai pelaku), mendekati akhir pengen tahu nasib Tara lagi

Sebenernya ya, sederhana gak sederhana sih masalahnya, tentang cemburu, bentuk perhatian yang diinginkan, dll. terkesan klise, tapi dibungkus sama bentuk cerita yang gak biasa, psiko-thriller yg bikin page turner. Potongan cerita per bab nya juga pas, gak terlalu banyak or terlalu sedikit.

endingnya lumayan kaget sih, meskipun ga dijelasin kenapa bisa kebalik kek gitu, penasaraaaan wqwq
Profile Image for Akaigita.
Author 6 books237 followers
May 16, 2021
A badass page-turner.

Bab-bab dan kalimat-kalimat yang pendek bikin ketagihan baca sampai halaman terakhir. Meskipun perpindahan POV terasa agak membingungkan di pertiga akhir, but that's okay. No room to take a breath.
Profile Image for Rose Gold Unicorn.
Author 1 book143 followers
July 2, 2013
Speechless!

Seandainya 5 bintang sudah cukup untuk mendeskripsikan bagaimana kerennya buku ini. Sayang saja, sepertinya kalian masih akan menuntutku untuk bercerita apa kerennya buku ini.

Judul Buku: Katarsis
Penulis: Anastasia Aemilia
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2013
Tebal: 264 halaman
Genre: Psychology Thriller
Rate: 5 of 5

Aduh saya sebenarnya bingung mau mulai mereview dari mana. Buku ini bagusnya gila-gilaan! *tuhkan belum apa-apa, udah lebai* -_-“ Tapi aseli saya bingung mau nulis apa.

Buku ini perfect di mata saya. Mulai dari desain kaver sampai ke jeroan-jeroannya. Percaya atau nggak, awalnya saya sama sekali nggak tertarik buat baca buku ini. Bahkan waktu salah seorang teman mengadakan giveaway buku ini di blognya, saya seratus persen nggak ada minat buat ikutan. Karena apa coba? Karena saya pikir “Katarsis” itu semacam istilah kimia. Tapi dodol bin dudul, yang istilah kimia itu adalah Katalis bukan Katarsis. Hahahaha… *headbang*

Kemudian karena penasaran dengan arti kata Katarsis, layaknya manusia modern masa kini *sedap*, saya googling. Inilah yang saya temukan:
Katarsis: merujuk pada upaya pembersihan atau penyucian diri, pembaharuan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan. - wikipedia

Saatnya untuk bilang WOW!

Bukan. Bukan untuk arti kata katarsis itu sendiri. Melainkan karena saya syok akan kemiskinan perbendaharaan kata saya yang nggak tahu apa itu katarsis -_-“

Haha. Oke lanjut. Hmmm, agak njelimet yah untuk memahami arti kata Kataris menurut Wikipedia. Menurut bahasa popular, katarsis bisa juga berarti “curhat”. Hehe, more simple. Btw, correct me if I am wrong about this simple definition yah! ^,^

Nah, pas baca arti kata katarsis, barulah saya penasaran (dan sadar bahwa ini bukan buku tentang kimia!!!). saya mulai membaca beberapa reviewnya di Goodreads. Dan emejing. Rata-rata pembaca berkomentar:

- Buku ini gila! Sakiiittt!
- Ah sakit banget penulisnya!
- Keren!
- Dll

Membaca hal tersebut, bagaikan kucing melihat whiskas *ceritanya kan kucing masa kini* saya kayak ber AHA! INI DIA BUKU YANG SAYA MAU! *drooling*. Iyep! Saya memang penyuka cerita-cerita yang menyangkut kejiwaan seperti buku ini. Apalagi di review yang say abaca sebelumnya dikatakan bahwa buku bergenre psycho-thriller. Makin bergairahlah saya. Ahey! ^,^

Maka saya pun berkeliling mencari *pinjaman* buku ini. Hehehehe…
Buku ini adalah teman yang baik. Kenapa begitu? Karena sepanjang membaca buku ini, saya nggak pengen buru-buru menyelesaikannya kendati saya penasaran dengan endingnya. Tapi toh akhirnya, saya menghabiskan waktu kurang dari 5 jam untuk menamatkan buku ini. Ah…

Membaca buku ini seperti mendapat angin segar di saat saya kehilangan mood membaca saya. Di tengah badai novel-novel romance yang semakin menggila, kehadiran buku bergenre ini seperti oase di padang pasir. Ah tuhkan bahasa saya mulai terpengaruh nih sama novel-novel romance yang saya baca. Huakakaka!

Terdiri dari dua tokoh utama. Tara Johandi dan Marcello. Kebetulan keduanya memiliki problem kejiwaan yang sama.

Tara, perempuan berumur 18 tahun, adalah satu-satunya korban yang selamat dalam sebuah kasus pembantaian sebuah keluarga di Bandung. Ia ditemukan meringkuk dalam sebuah kotak perkakas kayu dengan tubuh yang mengenaskan dan nyaris mati. Berita itu begitu booming dan menoreh “sejarah” tersendiri bagi warga Bandung. Misteri pembantaian itu belum juga terkuak sampai detik ini. Sampai usianya menginjak 25 tahun, Tara masih menjalani terapi kejiwaan guna memulihkan kondisi psikologisnya yang terguncang. Dibantu Alfons, sang psikiater, Tara mulai berani terbuka menceritakan apa saja yang dialaminya saat peristiwa itu terjadi. Sayangnya, kehadiran sosok Ello yang juga mantan pasien Alfons agak sedikit mengganggu proses kesembuhan Tara.

Siapa sebenarnya Ello dan apa tujuannya mendekati Tara? Adakah itu berhubungan dengan masa lalu Tara dan dirinya? Bagaimana dokter Alfons menghadapi kedua “orang gila” itu dan mampukah ia mengungkap semua misteri yang dipendam Tara selama ini? Kenapa si pembunuh tidak sekalian saja membunuh Tara alih-alih menyekapnya dalam kotak perkakas kayu yang sempit? Apa motif sebenarnya?

Kata kuncinya adalah: kotak perkakas kayu dan aroma mint.

Begitu banyak pertanyaan pastinya. Yah namanya juga misteri. Saya rasa itulah yang membuat pembaca betah untuk keep reading buku ini sampai habis tanpa rela disela urusan apapun. Penulis dengan cerdas menjaring pembacanya untuk tetap mengikuti satu demi satu rahasia yang mulai perlahan-lahan terbuka. Brilliant!

Saya juga suka dengan gaya penulisan dan pilihan kata yang apik. Mantap deh pokoknya. Tapi nggak membuat pembaca jadi kesulitan memahami artinya. Pas saya lihat di bagian credit di belakang kaver depannya, ternyata editornya adalah editor senior kenamaan Gramedia yaitu Mbak Hetih Rusli *tepuk tangan bergemuruh* jadi wajar saja kalau debut pertama Aanastasia ini sudah bisa membuat pembacanya seperti dimanjakan dengan alunan kisah yang amat menarik. Saya sendiri jadi penasaran dengan buku karya Anas selanjutnya.

Mengenai POV, agak membingungkan. Karena kedua tokoh utama ternyata memiliki pengalaman hidup yang hamper mirip, nah di sinilah pembaca dituntut untuk sedikit berpikir. Namanya juga novel misteri, nggak seru kalau nggak mikir kan? Hehehe…

Buku ini berisi prolog, 66 bab isi, dan epilog. Eits jangan kaget melihat ada 66 bab dalam buku ini karena setiap bab ditulis tidak terlalu panjang dan tidak bertele-tele kok. Saya justru suka dengan penulisan bab yang banyak namun pendek berisi seperti ini. Tidak membuat pembaca jenuh karena bisa sering-sering tarik napas buat istirahat. Hehe.

Saya juga suka dengan kaver buku ini. Simple, anggun, luwes. Dengan tulisan embed glossy tipis warna ungu dan gambar seorang anak kecil yang sedang bermain boneka. Namun, ada yang ganjil dengan boneka yang dia mainkan. Yaitu kepalanya putus. Hiy, terasa sekali bukan nuansa ngerinya?

Btw, pernah dengar seorang penulis horror sex jaman dulu bernama Abdullah Harahap? Nah sepertinya Anastasia ini sedikit banyak berguru pada beliau. Soalnya saya melihat namanya tercantum dalam ucapan terima kasih dari si penulis. Well, kalau iya hal itu benar, maka pantas saja tulisan Anastasia bisa sehidup ini. Mengingat Abdullah Harahap adalah penulis cerita misteri yang begitu terkenal pada jamannya (bahkan sampai sekarang karya-karyanya juga masih banyak diburu).

So, untuk alasan apalagi saya tidak memberi 5 bintang? Tidak ada. Maka, nikmatilah buku ini sekarang juga dan rasakan sensasi yang akan membuat merinding bulu kuduk anda. ^,^


Aku sendiri bingung harus menulis apa. Mungkin karena terlalu terpukau dengan cerita dalam buku ini.

Yang jelas, bagi pencinta psychology thriller, kamu wajib baca buku ini. Top!
Profile Image for AHMAD FARHAN.
66 reviews2 followers
March 24, 2022
Katarsis adalah buku psychology thriller yang menceritakan tentang tara yang ditemukan di dalam kotak perkakas kayu, 3 keluarganya meninggal dan 1 kritis. Polisi menduga ini ulah perampok tapi apakah benar ini ulah perampok?

Buku ini buku yang sangat unik, saya rasa kalian tidak akan menyesal jika membacanya. Diceritakan dengan alur maju mundur membuat kita merasa penasaran dengan lanjutan cerita.

Di sepanjang cerita kita dibuat bergidik ngeri dengan adegan-adegan yang terasa nyata sampai-sampai saya hampir menganggap bahwa cerita ini adalah kisah nyata.

Kelebihan buku ini ada pada narasi penulis yang menarik. Sedangkan kekurangannya ada pada sudut pandang tokoh-tokohnya yang masih sulit saya bedakan.

Plot twistnya bikin shock banget!! Kayak ngerasa sih tara keren sekaligus menakutkan. 😆

Buku ini mungkin menjadi buku thriller terbaik untukku tahun ini.

WARNING!
[BUKU INI MENGANDUNG EFEK CANDU, HATI-HATI KECANDUAN].

Rate :
5/5⭐
Profile Image for Khai Adeen.
73 reviews5 followers
April 26, 2021
Ada apa dengan Tara Johandi? Dikurung dalam sebuah kotak perkakasan, dituduh membunuh keluarga Johandi, diselamatkan oleh seorang doktor etc.

Apakah signifikan duit syiling yang diberikan seseorang kepada Tara?

Awas. Ini bukan saja kisah Tara tapi juga kisah tentang kotak perkakasan. Bagaimana ia boleh muncul. Siapa pembuatnya? Kenapa harus ada kotak sedemikian?

Harus baca kalau mahu tahu 👍
Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
October 10, 2022
Pada dasanya premisnya bagus banget, tulisannya mengalir. Hanya saja ada beberapa plothole yang mungkin bisa dijelaskan lebih dalam andai saja buku ini lebih tebal. Misalnya saja kenapa Tara sejak lahir psycho gt. Meski dijelaskan sedikit karena dia trauma lihat kekerasan yang dilayangkan ayahnya kepada ibunya, menurut saya ini kurang menjelaskan lebih dalam terutama kalau ditinjau dari sudut psikopatologi. Harus ada trauma mendalam atau sejenisnya kali ya. Dan tokoh si penjahat yang senior itu bikin saya ingat salah satu pembunuh berantai dalam serial Dexter, kalau nggak salah namanya Arthur Mitchell walau motif dan kebiasaannya berbeda. Akhirnya bikin saya puas karena berasa nonton film2 thriller Hollywood. Cuma ya bagian awalnya aja yang susah dan pergantian sudut pandangnya yang ga jauh berbeda.
Profile Image for Nuri Dhea S.
3 reviews11 followers
April 20, 2013
Katarsis sebagai Psychology Thriller? Dapet banget. Membaca bab demi bab dalam Katarsis membuat saya dicekam kengerian yang makin meningkat juga intens.

POV? Saat penulis menuliskan POV 1 sebagai Ello, saya merasakan Ello kurang maskulin. Saya hanya mengetahui perbedaan Ello dan Tara hanya dari ungkapan isi hati dan peristiwa yang dinarasikan saja.

Ending yang selesai tapi masih menyisakan misteri, khasnya thriller masih membuat saya sebagai pembaca, belum puas. Karena seyogyanya novel thriller apapun walau menyisakan misteri seharusnya tetap membuat pembaca menjadi jelas (CLEAR) mengenai latar belakang psikologis tokoh-tokohnya. Tentang Tara yang memiliki sifat psikologis seperti yang digambarkan bab per bab kurang dieksplorasi. Adanya kehadiran monster yang terus mengganggu Tara makin membuat saya bertanya-tanya penyakit psikologis seperti apa yang diderita Tara? Kelainan kromosom kah? Schizophrenia? Paranoid? Tadinya saya mengharapkan tokoh psikiater (Alfons) menjelaskan konklusi atas terapi yang dilakukannya pada Tara.

Tentang Ello, penjelasan Congenital Insensitivity to Pain pada hal 182, cukup membuat saya mengerti tentang penyakit psikologis pada Ello. Tara? Tidak dijelaskan secara gamblang. Interpretasi saya, Tara dan Ello adalah sosiopat, itu saja.

Saya kecewa karena ternyata psikiater malah mati, jadi korban, sebelum diagnosisnya beres terhadap Tara. Dan penulis malah fokus pada kisah cinta segitiga antara Tara, Alfons, dan Ello.

Jika kita biasa membaca thriller psikologis seperti pada novel-novel Agatha Christie, kita akan puas pada hasil konklusi atas apa bagaimana dan kenapa para tokoh melakukan hal seperti yang telah terjadi. Tapi saya tak menemukannya pada Katarsis.

Secara keseluruhan, Thriller 'aseli' Indonesia ini patut diacungi jempol karena berhasil menggebrak dunia persilatan novel Indonesia. Apalagi ini karya perdana. Saya pasti menunggu karya-karya selanjutnya Anastasia Aemilia. Katarsis membuat saya menjadikan penulisnya penulis favorit saya. Bravo. Bintang 4 layak buat Katarsis.
Profile Image for Tia Ayu Sulistyana (tiareadsbooks).
265 reviews71 followers
March 8, 2024
•recently read•
3.5/5⭐️


⚠️TW: MURDER, VIOLENCE, DOMESTIC ABUSE, RAPE, SEXUAL ASSAULT, SELF-HARM, MENTAL ILLNESS⚠️

Katarsis bercerita tentang Tara Johandi yang ditemukan tersekap di kotak perkakas kayu dalam kondisi terluka dan trauma berat. Seluruh keluarganya tewas mengenaskan dalam pembantaian tragis. Alfons, seorang psikiater pun mencoba menolong Tara. Lalu, muncul Ello, sosok dari masa lalu Tara.

Sebenernya, buku ini memiliki premis cerita yang menarik. Apalagi prolog yang begitu kuat dan memicu rasa penasaran. Gaya penulisannya pun mengalir dan enak dibaca, juga amat kaya kosakata. Aku suka penggunaan POV orang pertama yang gamblang mengungkapkan isi hati dan pikiran Tara.🤯

Sayang, plotnya belum tersusun rapi, jadi banyak plot hole. Apalagi minim keterangan waktu padahal buku ini memilik alur maju mundur. Asli ya, aku menutup buku ini dengan kebingungan dan tanda tanya. Sebelum baca bukunya, aku tuh udah nonton serial adaptasinya. Berharap dapet kejelasan pas baca bukunya, eh taunya sama aja~😪

Aku masih penasaran dengan apa yang melatarbelakangi kelainan mental yang dialami Tara, juga Ello. Penjelasannya kurang digali lebih detail gitu.

Meskipun begitu, aku suka cara penulis membangun unsur misteri yang intens dan kental. Berhasil banget memperlihatkan sisi baik dan kelam manusia melalui sosok Tara. Karena nyatanya, setiap manusia memiliki area abu-abu di dalam dirinya, bukan hanya putih dan hitam saja.

All in all, klo kalian penggemar novel psycho-thriller, you should give this book a try!🙌🏼 Penggambaran scene pembunuhannya lumayan brutal dan berdarah-darah, bikin bergidik. Yang gak kuat pasti ngeri dan mual. Buatku sendiri masih aman dan tolerable kok~😉

P.S. Aku nemuin beberapa typo di bagian awal buku nih. Terus ada inkonsistensi usia Tara juga di bab 8. Semoga bisa diperbaiki di cetakan berikutnya ya!🫶🏼

#tiareadsbooks #tiawritesreviews
Profile Image for fica.
23 reviews1 follower
July 17, 2013
Beruntung sekali aku menemukan Katarsis dan dapat membaca novel karangan Anastasi Aemilia ini, salah seorang editor dan penerjemah di Gramedia Pustaka Utama . Novel ini betul-betul menghanyutkan. Aku suka cover dan juga alur ceritanya. Kupikir aku akan bosan karena aku tidak terlalu menyukai genre psychological thriller tapi ternyata aku salah. Aku ketagihan. Apalagi dengan diksi dari penulis yang mengalir lancar,simpel, dan mengandung pembendaharaan kata yang kaya.

Dari segi karakter aku mengacungi jempol pada karakternya. Tara, Ello, maupun Alfons. Mereka bertiga merupakan kombinasi karakter yang pas dalam menghidupkan novel ini melalui penggambaran kehidupan masing-masing. Tara yang hidup dengan rasa 'sakit' yang dibawanya,kemunculan Ello dengan congenital insensitivity to pain nya yang membuat siapapun bergidik, ditambah Alfons yang tetap jadi psikiater cool meskipun kasus yang ditanganinya membuatnya pusing tujuh keliling. Apalagi makin ketengah, novel ini yang semula menyajikan thriller menegangkan mulai menyisipkan bagian romance ketiganya meski masih tetap dalam atmosfer yang sama tapi (sayang) dengan kadar sepersepuluh dari keseluruhan cerita. (sabar aja ya bagi penikmat romance).hehe.

Ya, biarpun begitu, secara keseluruhan novel ini masih tetap mempesona dengan caranya sendiri. Sangat Recommended bagi penikmat novel thriller, yang ingin merasakan sensasi yang berbeda dari novel kebanyakan, tapi jangan coba-coba bagi yang tidak suka adegan berdarah-darah karena novel ini akan menyajikan lebih dari itu dan no filter. hehehehe
Profile Image for Autmn Reader.
879 reviews91 followers
December 12, 2020
Baca di GD

Aku kecewa endingnya bgini krena kerasa plot armor banget. Dri pas baca aku udah mikir "jangan dia yang mati karena klo dia yg mati, berasa kentang baget dan sesuai yg dibayangkan" eh mlah bneran dia yg mati.

Hal yg bikin aku suka psychological thriller itu karena tensinya dalm cerita dan twist-nya. Tapi aku nggak dapetin dari cerita ini. Critanya kerasa lebih datar karena ya gitu aja. Setengah awal emang kerasa tensinya, pnasaran ama apa yang bakalan terjadi, tapi mkin sini malah datar dan bikin aku enggak bisa simpati sama tokohnya.

Aku cuman simpati sama satu orang aja sih, itu pun enggak yg gimana2.

Belum lagi background knpa Tara jdi kayak gtu juga enggak jelas. Di sini yang motivasinya kuat ya cuman Ello, yang lainnya ya nihil. Tara benci nama dan benci ortunya juga enggak dibikin paham. Emang segala sesuatu enggak perlu alasan, tapi ya buat cerita itu harus ada alasannya gity. Sebab-akibat.

Tapi walaupun ceritanya datar, aku tetep enjoy aja sih. Bagian gore di awal juga lmyan bikin mual, istipah harta karun juga unik.
Displaying 1 - 30 of 621 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.