Sekolah dibubarkan saja! Jika pernyataan tersebut membuat para pembaca marah, tidak setuju, dan bahkan memaki-maki, maka penulis buku ini berhasil membuat dan memancing orang-orang untuk mendiskusikan berbagai persoalan sekolah di negeri kita ini.
Buku ini adalah rekam pengalaman penulis masa sekolah di Ranah Minang, Sumatera Barat, tempat kelahirannya, dan masa menjadi aktivis kesehatan dan reproduksi di PKBI Sumbar. Membongkar ulang cara pikir dominan bahwa sekolah sebagai satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Padahal tak selamanya dan tidak senyatanya demikian.
✨🌟 8 out of 10 stars 🌟✨ Keywords: nonfiction, essay, opini, pendidikan, kritik sosial
Sekolah Dibubarkan Saja! membahas persoalan-persoalan mengenai dunia pendidikan Indonesia dengan contoh-contoh kasus di Sumatera Barat. Banyak sekali masalah di dunia pendidikan dan ini terkait satu dengan yang lainnya dengan masalah-masalah lain seperti kemiskinan, tidak meratanya pembangunan, korupsi, dan lain sebagainya.
Kritik-kritik pada buku ini dapat membuka pandangan kita mengenai kondisi pendidikan di Indonesia. Beberapa orang mungkin seperti saya terlahir privileged sehingga tidak aware terhadap isu-isu tersebut. Ada sedikit opini yang kupertanyakan dan sedikit bertentangan dengan pendapatku tapi selain itu kritik di buku ini cukup mengena.
Secara penulisan sendiri bahasa yang digunakan mudah dipahami. Bacaan pendek yang cukup bermanfaat.
Secara umum buku ini menyorot berbagai problema pendidikan di Indonesia yang seolah tidak mau beranjak dari kubangan kesalahan. Kurikulum yang berganti setiap saat sehingga menyulitkan sekolah-sekolah di daerah yang memang tidak punya infrastruktur bagus kembang-kempis mengejar kereta. Kurikulum disusun entah berdasarkan apa, biasanya ganti Menteri, ganti kebijakan, ganti pula sistemnya, dan tidak ada benang merah dalam kebijakan itu yang ujung-ujungnya proses pendidikan tidak juga menuju perbaikan. Pendek kata, pergantian sistem dan kurikulum lebih kepada gaya-gayaan agar terlihat turut berperan, namun tujuan dari semua itu belum nampak di lapangan. Terjadinya banyak kepura-puraan dalam proses pendidikan kita merupakan masalah akut yang terus saja di wariskan kepada generasi sesudahnya. Lihatlah, ketika Ujian Nasional berlangsung, sekolah berlomba mengajarkan kecurangan agar seluruh muridnya lulus 100 persen, atau saat proses Akreditasi oleh BAN, sekolah berbenah agar terlihat lebih mulus dan kinclong, mati-matian menyediakan bukti fisik supaya mendapat pengakuan sekolah bagus. Dan tidak ada cara lain untuk mendapatkan itu selain berbohong dan bersilat lidah. Pada intinya, pendidikan menjadi awal mula suatu anak manusia berkembang dan berproses sesuai bidang kemampuannya untuk bekalnya pada masa depan, jika pendidikan di sekolah saja secara terang-terangan mengajarkan kecurangan, patutlah bangsa kita kekurangan orang jujur dewasa ini. Pendidikan bukan di desain untuk pengembangan karakter, dan sekolah hadir bukan untuk menciptakan manusia yang unggul sesuai minat dan bakat siswa. Coba ketik di mesin pencarian internet, tentang negara-negara dengan sistem pendidikan baik, seperti apa cara mereka belajar? Saya sangat sering kebingungan jika menilik fakta ini, bagaimana sistem belajarnya yang sebentar, tidak banyak tugas dan PR, bahkan meniadakan ujian untuk pelajar usia dini, lebih berhasil menciptakan SDM yang unggul ketimbang kita yang menganjurkan siswa belajar dari pagi sampai sore dengan tuntutan tinggi, dan para siswanya setiap hari berangkat membawa tas yang beratnya sama dengan gas LPG di dapur anda.
Buku ini menjelaskan secara konteks judul propaganda yang dibawanya namun tidak memberikan jalan keluar yang cukup konkrit pada pendidikan kita. Hal itu diakui sendiri oleh penulisnya bahwa disini banyak terdapat kritik namun tidak sepaket dengan solusinya. Hal itu cukup untuk sebuah buku yang menyasar keprihatinan kita terhadap kondisi pendidikan Indonesia secara umum.
Beberapa hal yang terasa mengganjal terletak pada chapter yang kepanjangan seolah mengemis kepada pembaca berdasarkan satu dua contoh dari pengalaman penulis. Walaupun prihatin saya tidak merasa cukup tertarik dengan pembahasan itu karena kalau perjuangan untuk pintar memang berat, kenapa judulnya harus sekolah dibubarkan saja.
Pendidikan sedang berbenah. Beberapa hal berkembang dan lainya belum. Siap yang berani bergerak untuk keadaan ini?
Sekolah dibubarkan saja! Mengapa harus dibubarkan? Apakah memang seperlu itu?
Judul yang provokatif membuat aku membaca karya Fadillah Chudiel yang diterbitkan pertama kali sekitar sepuluh tahun lalu. Terlebih sebagai pendidik, karya ini membuat pandanganku lebih terbuka lebar terkait pendidikan. Tapi, banyak juga hal-hal yang membuatku menarik napas lebih panjang karena merasa tidak sependapat dengan penulis terkhusus pada bab "Pabrik itu Bernama 'Sekolah'". Mungkin salah satu alasannya karena perbedaan keadaan pendidikan saat itu dengan masa kini serta kurangnya pengetahuanku terkait pendidikan di daerah. Dan yang menarik, penulis berhasil membuatku untuk mendiskusikan berbagai persoalan sekolah di Indonesia.
Di penghujung tahun 2019, saya merayakan malam tahun baru seraya menikmati buku ini. Buku karya Afdillah Chudiel ini mengulas berbagai polemik mengenai pendidikan yang terjadi di Indonesia terkhusus di daerah Sumatera Utara pada rentang waktu kurang lebih sepuluh tahun lalu. Secara khusus, buku ini menceritakan tentang dark-side, stereotype atau pelabelan yang ada pada sistem pendidikan di Indonesia. Dibuka oleh kisah Rio, anak sekolah dasar yang berniat untuk putus sekolah karena menurutnya ada pekerjaan yang lebih realistis dan menjanjikan.