Jump to ratings and reviews
Rate this book

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya

Rate this book
Ada surat panjang yang terlambat sampai.
Tanpa nama pengirim, dan hampir basah oleh tempias hujan.
*
Sejak kecil kita berdua merasa diri kita adalah alien-alien yang tersesat ke Bumi.
Pria itu sudah melupakan seorang teman masa kecilnya saat sebundel amplop itu sampai di beranda rumah.
Kalau kau perlu tahu, aku hanya punya satu macam mimpi. Aku ingin tinggal di rumah sederhana dengan satu orang yang benar-benar tepat. Bila memang aku harus mencurahkan seluruh perhatianku, kepada satu orang itulah hal itu akan kulakukan.
Ia bahkan sudah melupakan mimpi-mimpi masa kecil mereka.
Berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan sejak kali pertama bertemu, aku telah memilihmu dalam setiap doaku. Sesuatu yang tak pernah kauketahui bahkan hingga hari ini. Dan bila kau suruh aku pergi begitu saja, di usiaku yang lebih dari empat puluh ini, aku mungkin telah terlambat untuk mencari penggantimu.
Dan ia tak tahu teman masa kecilnya itu masih mencintainya.
*
Surat-surat itu menarik pria itu ke masa lalu.
Hingga ia tahu, semuanya sudah terlambat.

240 pages, Paperback

First published June 1, 2013

44 people are currently reading
671 people want to read

About the author

Dewi Kharisma Michellia

12 books106 followers
Dewi Kharisma Michellia was born in Denpasar, 1991.

Her work, Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya (A Long Letter of Our Million Light-Years Distance) was published by Gramedia Pustaka Utama in 2013 after winning the 2012 Jakarta Art Council Novel Contest, which later short-listed as the 2013 Khatulistiwa Literary Award. In 2016, A Copy of My Mind, a film-to-novel adaptation, published by Grasindo. Still at the same publisher, in 2017, her first collection of short stories, Elegi (The Elegy), was published. In 2015, she received the Taruna Sastra award from the Language Development and Fostering Agency. In 2017, she spent writing residency in Orly and Paris, France funded by the National Book Committee. In 2018, she joins Ruang Perempuan dan Tulisan (Women Writers Room and Writings). Later in 2022, the collective published a book on forgotten women writers in Indonesia.

She has served as managing editor for various online publications since 2013, jakartabeat.net and jurnalruang.com, and literary criticism site tengara.id, also edits and translates fiction and nonfiction books. She is currently a member of the literary committee of the Jakarta Arts Council for the 2023-2026.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
127 (20%)
4 stars
186 (30%)
3 stars
232 (37%)
2 stars
57 (9%)
1 star
17 (2%)
Displaying 1 - 30 of 157 reviews
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
May 23, 2016
Saya penasaran baca buku ini juga gara-gara ikut polling pembaca di goodreads. dan perjuangan mendapatkan buku ini lumayan banget ya. berkali-kali nemu tapi sekalinya harganya cocok eh mahal di ongkir. sekalinya dekat, harganya warbiyasa mahal padahal buku bekas.

lalu, kemarin senin nemu yang jual murah di semarang. beli. transfer. habis transfer, iseng buka instagram klik #bukubekas
lalu, ada yang jual ini. 15 ribu saja kondisi di sampul lokasi di jakarta.

langsung nangis T_T

***
sebelumnya maaf kalau ini OOT
seperti halnya perjalanan rasa-fahd djibran, hidup sederhana-desi anwar, raksasa dari jogja-dwitasari, marmut merah jambu-raditya dika dan perahu kertas-dee lestari, surat panjang tentang jarak kita yang jutaan tahun cahaya adalah jenis buku yang pernah ingin saya tulis dan terbitkan sendiri di masa depan kelak.

bahkan saya sudah membuat tulisannya sendiri di diary.

1-2 SMP saya membuat catatan tulisan sok bijak dan perenungan hidup yang menghabiskan 3 eks buku kiky 58 lembar. 1 tahun kemudian perjalanan rasanya fahd djibran terbit.

kelas 3 saya sedang patah hati yang cukup parah. saya nulis, dapat 2 eks buku. saat menjelang kelulusan, teman saya meminjamkan marmut merah jambu raditya dika. saya nangis karena isinya atau beberapa pemikiran radit di buku itu persis seperti apa yang saya tulis.

sejak kecil saya suka nulis di selembar kertas dan setelah selesai, akan saya ubah menjadi pesawat kertas kalau misal sedang musim panas dan saya ubah jadi perahu kertas kalau sedang musim hujan. itu membantu saya melepaskan masalah saya.

waktu masuk SMA, saya berkenalan dengan teman baru. dan ia meminjamkan perahu kertas milik Dee. saya nyaris nangis karena kebiasaan kugy yang suka membuat perahu kertas juga. meskipun ceritanya dengan kisah saya nggak hanpir sama, tapi saya pernah membuat cerpen 4 paragraf yang juga berisi kebiasaan seorang gadis menenggelamkan perahu kertas.

semester 2 kelas 1, saya baca raksasa dari jogja. saya nangis karena ada banyak sekali pemikiran saya yang sama seperti dwitasari di buku ini. bahkan saya pernah membuat buku serupa juga berjudul Santa Claus dari jogja yang saya tulis dari 17-26 desember 2013an.

dan terakhir kemarin, saat saya selesai membaca buku ini. saya nangis kejer. bukan karena isi cerita di buku ini bagus. tapi karena ide seperti ini-surat di bukukan untuk seorang 'cinta yang tak terbalas' juga pernah saya buat.

saya pernah membaca sebuah kutipan,

''kalau kamu punya ide apapun itu, segera realisasikan. sebelum orang lain melakukan itu dan kamu hanya bisa menyesal''

saya pernah ingin menjadi penulis dan menerbitkan sebuah buku. sebenarnya saya juga sudah menulis banyak buku sih meski rata-rata isi bukunya persis kayak buku fahd djibran dan desi anwar yang saya sebutkan di atas. untuk cerpen sendiri paling hanya ada 1-2 cerita.
saya pernah berkeinginan membuat buku kumpulan catatan dan kumpulan surat. tapi saya selalu malas memulai untuk menyatukannya. hanya saya simpan sendiri di tas ransel SD saya.

dan orang lain lah yang sudah melakukan itu.

ya pokoknya gitu, saya jadi sedih pas semua jenis buku yang ingin saya terbitkan udah ada di pasaran semua. saya memiliki semacam ketakutan dituduh plagiat kalau seandainya tulisan saya mungkin bertema sama dengan mereka. padahal saya tau nggak ada yang original di dunia ini, ya gitu deh :'(

***

review beneran.

waktu membaca buku ini, saya seperti sedang berbicara dan membaca buku diary milik saya sendiri-bukan surat. karena bahasa di diary saya pun juga begitu ''kepada tuan penjual air, kepada tuan pemain counter strike'' dan masih banyak lagi kepada tuan yang sering saya gunakan sebagai pembuka isi diary saya,

kisah hidup tokoh utama di buku ini pun 11-12 seperti saya. keluarga terpecah belah, tinggal sendiri, ditinggal teman menikah.
tapi kalau saya (alhamdulillah dan semoga) tidak penyakitan, belum kuliah, dan ditinggal nikahnya oleh mantan.

waktu membaca surat ke 2 sampai ke 5 di buku ini saat penulis menyinggung sedang membayangkan bagaimana pernikahan dan kehidupan teman yang ia cintai itu, saya merasa tersentil dan tersindir. sebab saat patah hati dulu saya juga sempat melakukan demikian.

membayangkan seperti apa pernikahan mereka, bulan madu, kehidupan berkeluarganya dsb dst dll.

saya memang merasa seperti membaca diary milik saya sendiri, tapi jujur, saya tidak menemukan atau merasakan emosi apapun saat membaca buku ini. mungkin bila kemarin saya membaca buku ini dulu baru baca restart0nya nina ardianti, lain ceritanya. mungkin saya langsung akan membuat surat panjang juga untuk mantan saya wq.

yang jelas, ketika selesai membaca ini, saya juga merasakan kelegaan seperti saat membaca restart. semacam seperti

''yaudahlah ya, gausah sedih mlulu. masih banyak yang harus dilakukan daripada membayangkan dia sedang apa dimana dan sedang berbuat apa''

tapi mungkin bila suatu hari nanti saya membaca ulang buku ini mungkin saya akan menangis atau semacam itu.

3 bintang saya berikan untuk judul dan sampulnya yang berhasil bikin penasaran
3 bintang saya berikan untuk ide jenis buku yang berbentuk surat seperti ini
3 bintang saya berikan karena kekecewaan saya karena sepertinya saat si tokoh utamanya sakit rasanya cepat sekali. di bagian dia tau2 di operasi saya sempat bingung dan gak konsen.

meskipun begitu, ini masuk ke daftar buku terbaik yang saya baca.

dan yah, maaf ya kalau review nya OOT banget wq :'(
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Rise.
104 reviews55 followers
June 22, 2013
Saya merasa tertipu mentah-mentah oleh beberapa hal dari novel ini, yaitu;

1) Judulnya yang menarik.
2) Lalu "sneak peak" di belakang buku yang menarik.
3) Pernyataan di sampul depan buku "Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012" yang juga menarik saya untuk membeli dan membaca buku ini.

Pertama membaca buku ini, saya terganggu dengan pembuka berjudul "Tulisan di Kartu Pos, 31 Agustus 2012." Judulnya aja udah tulisan di kartu pos, kenapa sampai dua halaman begitu? Emang kartu posnya segede apaan? Segede ukuran A4? Bahkan di kartu pos yang terbesar yang saya terima dan dengan tulisan kecil-kecil ceker ayam aja, rasanya dua halaman "Tulisan di Kartu Pos" yang ada tiga kali P.S. itu ga bakal muat deh. Tapi, ya sudah, mari dimaafkan.

Lalu bagian kedua yang berjudul "Rekaman Suara dalam Keping CD." Errr..sebut saya norak atau bego, tapi saya ga paham sih maksud dari bagian ini, kecuali paragraf terakhirnya =____=a

Dari dua pembuka tersebut, masuklah ke "Surat ke-1" yang disusul surat-surat selanjutnya. Jadi, ceritanya si tokoh utama, yang ga ada namanya itu, adalah wanita lajang usia 40an yang tinggal sendiri di sebuah apartemen di Jakarta. Ia jatuh cinta pada teman masa kecilnya yang ga ada namanya juga tapi dia sebut sebagai Tuan Alien. Si Tuan Alien dan si Mbaknya (sebut saja tokoh utama sebagai Mbaknya daripada saya bingung) itu bersahabat akraaab sekali sampai pada akhirnya ketika kuliah mereka sibuk sendiri-sendiri dan akhirnya pun semacam film 5cm/second, mereka pun terpisah dan menjalani hidup masing-masing. Tapi, si Mbaknya ini sebenarnya ga bisa sepenuhnya menjalani hidupnya sendiri karena dia masih mencintai dan juga penasaran dengan si Tuan Alien (sampe ngepo sosmednya segala gitu). Sampai pada akhirnya tibalah hari di mana Tuan Alien menghubunginya dan si Mbaknya pun mencoba menuliskan perasaaannya pada Tuan Alien melalui surat-suratnya

Di surat-surat awal saya cukup menikmati ceritanya, tapi makin ke tengah saya makin males bacanya :| Ini si Mbaknya bener udah 40an? Kok galaunya lebih mirip galau wanita usia 20an macam saya yang juga jatuh hati dengan sahabat sendiri dan juga tinggal sendirian di Jakarta, eaaa curhat :p Si Mbaknya kalau nulis surat bahasannya ke mana-mana, sampai saya bingung sendiri ini Mbaknya lagi nulis memoar apa gimana? Sebenarnya The Perks of Being a Wallflower punya gaya yang kurang lebih sama sih, yaitu bercerita dengan gaya menulis surat. TAPI, ceritanya fokus dan ga mbleber ke mana-mana sampai bikin saya hilang arah sebenarnya apa yang sedang saya baca ini. Saya yakin Tuan Alien pun bukannya akan simpati dengan si Mbaknya atas suratnya, kayaknya malah bingung dia sebenarnya sedang baca apa *ini saya sok tau sih, hahahahaha* Kalau ini saya bingung sebenarnya ini mau dijadikan novel yang membuat saya merenung dalam-dalam soal kehidupan macam saya baca Murakami atau merenung dalam-dalam soal percintaan macam saya baca Marquez (atau bolehlah merenung sambil kesel macam baca Salinger)?

Jadi, sebenarnya tentang apa novel ini?? Ini saya yang ga ngerti sastra apa gimanaaaa? (Iya sih, saya ga baca sastra yang gimana-gimana, saya ga pernah baca bukunya James Joyce, David Foster Wallace, ataupun Pram. My bad, my bad.)

Ya sudah, saya akhiri saja Curhat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya ini, akhirul kalam buku ini saya kasih rating 1,5 bintang. Nggak, kok, ini bukan buku kacrut, cuma ga sesuai selera saya ajaa :P

Sekian dan terima traktiran.
Profile Image for ABO.
419 reviews47 followers
June 21, 2013
Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi tentang surat yang panjang. Terhitung ada 37 surat di dalam buku ini. Surat yang ditulis "aku" untuk "kau".
Tidak tahu mengapa, walaupun buku ini hanya berisi tulisan-tulisan berupa surat-surat, saya sama sekali tidak jenuh membacanya. Malah surat-surat itu berhasil membuat saya tersenyum simpul, miris, juga menitikkan air mata.
Buku ini termasuk buku yang membuat tangan saya gatal untuk melipat ujung halamannya sebagai penanda quotes yang saya suka. Oh ya, selain itu saya salut dengan pemilihan setiap kata-nya.
Awalnya saya kira ending novel ini tidak akan jauh beda dengan ending film Korea "Love Phobia", tapi ternyata dugaan saya salah T.T endingnya termasuk bagian yang paling menguras emosi.
Dan... inilah quotes-quotes yang paling saya suka:

Bila kau memang alien, seharusnya kau bisa menemaniku berkelana mengelilingi dunia. Kita dapat menemukan takdir-takdir yang orang lain enggan jelajahi.

Kita selalu haus akan revolusi. Walaupun hanya sedikit dari kita yang sepenuhnya memahami apa hakikat berbangsa.

Sebagaimana mi dalam perayaan hari ulang tahun dipercayai sebagai perlambang usia yang panjang, mi dalam kisah asmara juga akan menjalinkan takdir baik antara sejoli.

Orang Jepang saja langsung memilih harakiri selayaknya laku hidup samurai bila mereka melakukan kesalahan yang merugikan orang lain. Sementara itu, orang Indonesia? Boro-boro melakukan itu, tahu dirinya koruptor saja, mereka masih bisa mengumpet di gudang rumahnya.

Hari ketika aku pergi mungkin adalah hari yang paling tak kuinginkan. Namun kusadari bahwa setiap yang datang telah bersumpah secara tak langsung untuk pasti kembali ke asalnya. Karena kehidupan yang penuh dan lengkap adalah soal hidup dan mati itu sendiri.

Untuk mbak Dewi Kharisma, saya tunggu karya selanjutnya!
Profile Image for Rio Johan.
Author 25 books120 followers
June 20, 2013
Aku gak yakin bisa menilis ulasan yang obyektif buat Mimi, jadi anggap aja ini kesan sebagai teman.

Yang kutahu, Mimi ini memang penulis yang anti-sentimentalisme, anti-dramatisasi, "Aku suka yang datar-datar saja," katanya di FB (kalau gak salah), dan beginilah novel perdananya, sesuai dengan kesukaannya: datar-datar saja. Datar-datar saja tapi bukan berarti gak berkesan, toh kehidupan gak melulu musti membuncah-buncah, dan kukira pendekatan datar-datar saja (atau kalau boleh kusebut anti-sentimentalisme yang kukuh diamini Mimi sejak cerpen-cerpennya ini) memang sesuai dengan obyek dan tema dalam novelnya (kesendirian, keterasingan, kekosongan, pencariaan keutuhan hidup—topik-topik nihilisme, lah), Jadi, aku gak heran kalau menemukan bagian-bagian yang seharusnya dramatis malah kukuh disajikan datar oleh Mimi, dan begitulah novel ini mengalir sepanjang 200-lebih-dikit halamannya. Lurus saja begitu, tidak ada pergantian emosi cerita yang betul-betul dramatis.

Di sini Mimi membawa model epistolari, dan dengan begitu dia mampu memaksimalkan banyak solilokui, pikiran-pikiran tokoh utama tentang persoalan-persoalannya ditumpahkan sedemikian rupa dalam model tersebut. Mungkin kelemahannya, peristiwa-peristiwa yang terjadi jadi terasa kurang nyata, ibaratnya semuanya cuma sebatas tuturan singkat dari tokoh dalam suratnya; ibarat cuma rangkuman, dan mungkin "riwayat hidup." Tidak banyak peristiwa yang betul-betul terasa nyata terjadi.

Aku suka bagian terakhirnya, yaitu apa yang dipikirkan tokoh utama menjelang ajalnya (dan bagian aku versus aku yang satu lagi itu menarik sekali, buatku). Ke-anti-sentimentalisme-an Mimi cocok sekali, buatku, di bagian ini.

:)
Profile Image for Yusrizal Ihya.
9 reviews8 followers
January 2, 2014
Mungkin, kalau tak terbiasa dengan cara bercerita layaknya sebuah memoar seperti di buku ini, pembaca tak akan bisa berlama-lama membaca buku ini sampai halaman terakhir.
Apalagi ditambah dengan kisah sang tokoh utama yang depresif. Kelam. Dari halaman ke halaman, tingkat depresi yang melingkupi kehidupan tokoh utama "Aku" semakin meningkat, dan hal itu disajikan dengan narasi yang panjang, cukup berbelit dan lambat.

Meskipun terkadang di satu titik saya merasa jenuh dengan narasi panjang di buku ini yang berjalan lambat, kisah di dalam buku ini rupanya mampu meninggalkan kesan, yang baru saya sadari setelah selesai membacanya.
Kesan tentang tiga hal: "sakit", "cinta", "masa lalu".

Memang, tak ada penyesalan eksplisit yang diungkapkan si "Aku", tapi semua "penyesalan" itu hadir dalam bentuk atmosfer depresi yang dibangun selama narasi yang ditulis dalam setiap surat.
Surat panjang di buku ini, memiliki kekuatannya sendiri yang membawa saya larut dalam kejenuhan dan kegamangan hidup si tokoh "Aku".
Kenapa saya sebut "kekuatannya sendiri"? Karena mungkin saja ga semua orang bisa ikut merasakannya, tergantung suasana hati si pembaca saat membaca buku ini. Sebutlah saya juga pernah memiliki pengalaman cinta masa lalu yang kurang lebih mirip dengan tokoh utama di buku ini (meskipun saya belum setua dia), jadi saya bisa ikut merasakannya, haha.

Saya tahu, buku ini adalah titik awal, yang akan diikuti oleh karya2mu selanjutnya yang bisa lebih baik lagi.
Saya tetap menunggu bukumu selanjutnya, Michelle. (Ngomong ke si penulis) Hehe....
Profile Image for Bernard Batubara.
Author 26 books818 followers
June 19, 2013
Selesai membaca "Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya" novel oleh Dewi Kharisma Michellia, yang menjadi pemenang unggulan sayembara novel DKJ 2012. Secara bentuk, novel ini sangat unik karena isinya benar-benar sepenuhnya surat dari awal sampai akhir. Full narasi, tanpa dialog. Konsistensi Michelle menjaga tempo dan kepadatan cerita dengan bentuk seperti itu patut diacungi jempol. Namun sebagai risiko bentuk pula, akhirnya novel ini terasa seperti solilokui tokoh utama dan berkesan monoton. Membosankan dan bikin ngantuk bahkan sampai separuh jalan. Baru mulai terasa deg-degannya di surat-surat terakhir, 20 ke atas (ada 37 surat yang menjadi bab novel).

Saya mengenal Michelle pada tahun 2007 saat sama-sama aktif di website forum penulis pemula http://kemudian.com dia dengan pseudoname 'panah_hujan'. Usianya saat ini baru 21 namun pikirannya seperti orang tua. Di satu sisi, itu membuat Michelle mampu menulis topik-topik 'tua'. Tapi sesungguhnya saya lebih senang membayangkan novel ini sebagai kisah romantis dua orang yang saling berkirim kabar dari jauh ("tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya"). Namun jarak itu ternyata hanya sebuah metafora, dan isi novelnya pun tidak seluruhnya romance. Bahkan fokusnya bukan romance. Malah seperti biografi si tokoh utama atau catatan harian/diary saja.

Meski demikian, bakat Michelle sangat menjanjikan. Kemarin bertemu ybs di acara peluncuran novel ini di Gramedia Amplaz Jogja (Michelle kuliah di UGM) dan dia berkata buku selanjutnya akan bergenre young-adult romance. Saya akan sangat menanti.
Profile Image for Rahman.
162 reviews21 followers
September 11, 2023
Surat Pertama (dan terakhir)
11 September 2023

Hampa.
Satu kata itu yang kurasakan saat selesai membaca buku ini.
Kuduga tidak akan menangis ketika membaca endingnya, ternyata dugaanku salah.
Aku menangis.
Tenggorokanku tercekat sakit sekali.
...
.......

Aku suka sekali gaya penceritaan dengan sudut pandang orang pertama yang suka menjabarkan isi pikirannya sedetail-detailnya. Yang bermonolog panjang. Yang terasa sangat sangat personal.
Buku ini punya gaya bercerita seperti itu.

Aku suka tokoh utama yang melankolis dan teralienasi. Aku suka (banget banget) cerita yang sedih dan novel ini konsisten kesedihannya dari awal sampai akhir.

Sedikit cerita, novel ini sudah kutahu sejak SMP dan baru kesampaian baca saat kuliah. Kurasa keputusan untuk baru membaca sekarang sangatlah tepat. Aku lebih banyak terhubung dengan tokohnya dan lebih dewasa membaca berbagai kejadian di dalamnya.

Salah satu buku favoritku sepanjang masa.

Kepada penulis, terima kasih telah menulis cerita ini.

Kepada tokoh aku, semoga kita bisa bertemu. Mungkin di galaksi lain yang jauhnya jutaan tahun cahaya. Aku akan mendengar kisah-kisah yang belum kau ceritakan dalam surat-suratmu.
Profile Image for naga.
449 reviews96 followers
September 3, 2020
Ceritanya dituangkan dalam bentuk kumpulan surat yang pada akhirnya baru dikirimkan setelah terlambat. Lumayan oke, agak sedih juga sih soalnya kehidupan si 'aku' ini kok ya tragis amat. Yang menarik di buku ini menurutku adalah ketiadaan nama untuk tiap-tiap tokohnya; semua digambarkan dengan peran orang-orang itu dalam kehidupan 'aku'.
Profile Image for Indri Juwono.
Author 2 books307 followers
July 24, 2013
Menutup buku ini, aku merasa sebagai seorang alien karena bisa menikmati ceritanya yang datar. Sambil melamun di tepi jendela, bercerita tentang kehidupannya yang naik turun, hilang, terbang, larut dalam pikiran.

Dear Mi,
Kau buka ceritamu dengan patah hati. Sesuatu yang mestinya terdengar sedih dan mengenaskan sebagai alasan kenapa surat-surat ini ada. Tapi kau tidak larut dalam kesedihan. Kau berusaha untuk membuatnya tidak tahu bahwa kau sedih ketika hatimu yang retak akhirnya hancur berkeping. Kau beranikan diri datang ke pernikahan itu dengan wajah palsu. Perasaan yang datar. Yang dituliskannya dalam cerita.

Dear Mi,
Aku melihat kau tidak membiarkan dirimu terombang-ambing. Mencari cercah keseharian yang menyita kesibukan. Mengisi hari untuk melupakan. Menikmati rutinitas, kejaran waktu, lalu larut dalam lelah untuk kembali memulai hari. Tapi bukan ini yang kau cari. Ini pelarian, karena sesungguhnya kau masih memikirkan dirinya.
Banyak hal konyol kulakukan bersamanya, terlepas dari tubuh kami yang sama-sama menua. Pada pertemuan kelima dan keenam, kami berpura-pura tak saling mengenal. Di mal dan galeri lukisan, kami berpencar membelah kerumunan, berintraksi dengan orang-orang yang tak kami kenal. Sejam kemudian, aku sudah menggandeng seorang pria, dan kau menggandeng seorang perempuan. Sebelum kembali bertemu, kami memastikan identitas orang-orang itu : apakah mereka lajang, usia mereka berapa, apa ada pekerjaan tetap dan lainnya. Setuntasnya, kami menuju tempat yang sudah kami janjikan. Disana, kami memperkenalkan pria dan perempuan yang tak kami kenal itu kepada satu sama lain dan menjodohkan mereka.
h.124

Dear Mi,
Kau mencintai lagi dalam hujan. Kau membuatku tersenyum membaca suratmu. Akhirnya kau temukan bahagiamu, semoga tuk selamanya. Lagu, puisi, tari, tulisan yang tak bisa banyak dibagi dulu, kini menemukan duetnya. Kau membuat hatimu berbicara, melayang, dan bercengkrama. Kau bahagia.

Dear Mi,
Ketika datang laramu, dan kau hanya bisa membawa ceritamu ke dunia absurd, dunia khayalan yang tak sengaja tercipta, imaji kegelapan yang kau tenggelami. Aku sedih. Aku ingin menolong tapi kau menjauh, kau membangun pagar di sekelilingmu agar cuma kau yang merasakan sakitmu.
Mungkin saat ini sebenarnya aku tidak sedang mencari-cari Tuhan -- atau mencari-carimu yang ada pada jarak jutaan tahun cahaya. Mungkin tidak mempertanyakan kepercayaanku. Aku hanya mempertanyakan separuh bagian dari diriku. Bahkan aku tak pernah mampu menemukan jalan untuk bernegosiasi dengan diriku yang angkuh itu. Tak pernah ada konsesi. Tak pernah ada kesepakatan.
h.216

Dear Mi,
Biarkan aku menolongmu. Kuajak terbang melihat bintang, ke mana tak ada lagi yang kehilanganmu dan merasa kau tinggalkan. Kuajak kau melalui asteroid untuk belajar melalui kerikil yang menghadang melayang. Kugandeng kau menyusuri nebula kabut susu untuk sebelum berpindah galaksi.

Suratku tidak panjang, namun aku ingin kuperpendek jarak sejuta tahun cahaya antara kita.

salam,
Alien.
kuharap malam ini, kita melihat purnama yang sama.

Profile Image for Ayu Adisty.
145 reviews
September 1, 2013
Coba pikir. Pembaca kaya gw yang demennya baca soal sihir, dunia distopia, peri, mitologi dan negeri ajaib di balik lemari baju; tiba-tiba baca buku yang judulnya Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya, dengan cover sederhana didominasi 2 warna dan titel 'Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012' di atasnya.

Sejujurnya, kalo gw ga tau seorang Panah Hujan di tanah Kemudian sebelumnya, gw ga akan bawa buku ini ke kasir di toko buku, karena buku-buku dengan judul seserius dan beraura senyastra ini bukan cangkir teh gw.

Tapi sekarang gw bersyukur gw baca bukunya :3

Initial thoughts

1. Tipe penulisannya kaya The Perks of Being a Wallflower-nya Chbosky, si tokoh utama bercerita lewat surat yang ia tulis. Cara ini menyenangkan, karena kita ga kepaku sama bab dan lebih fokus sama kemajuan ceritanya. GW jadi suka posisiin diri jadi Tuan Alien yang dikirimin surat.

2. Sayangnya, menurut gw makin kesini cerita si Nona Alien (panggilan gw buat si aku a.k.a sang tokoh utama) makin mirip sama jurnal, bukannya surat. Karena gw posisiin diri sebagain Tuan Alien, gw ngerasa makin lama kaya makin... ini beneran surat buat gw? Soalnya rasanya kaya baca buku diari seseorang.

3. Penokohannya bagus, gw bisa ngebayangin Nona Alien sebagai seorang perempuan nyaris 40-an yang penyendiri dan muram. Gw juga ngerasa kesel sama Tuan Alien, kenapa bisa-bisanya dia ngelupain seseorang yang dulu sama-sama senasib sepenanggungan sebagai sesama orang aneh? Kaya beneran lupa! Pantes aja Nona Alien mikir si Tuan ini sempet kecelakaan lalu amnesia, gw pun bakal mikir gitu.

Bedanya, gw mungkin ga bakal diem aja kaya Si Nona. Gw bakal samperin, jedotin kepalanya ke tembok sampe dia inget siapa gw.

...

Oke, itu agak ekstrim.

Tapi intinya, gw bakal sebisa mungkin ngedeketin jarak gw sama orang yang dulu pernah deket sama gw, apalagi kalo gw punya perasaan sama dia. Ini juga yang bikin gw kesel sama si Nona. Y U no do something?????

4. Risetnya keren euy. Gw emang ndablek banget soal sejarah. Dew, lu yakin umur lu lebih muda dari gw?? Kayanya gw yang waktu kerusuhan Mei itu udah kelas 6 SD aja ga inget sebanyak itu. =___=


Sebenernya, gw pengen ngasih 3/5. Tapi setelah di akhir buku, gw sadar, gw sangat menikmati buku ini. Gw suka sama diary (karena gw rasa ini bukan surat :p) si Nona ini. Gw suka sama tuan pemilik toko yang entah gimana kepribadiannya ngingetin gw sama temen gw. Gw suka sama (mantan) kekasih Nona Alien yang kaya Mika. Gw suka Mika sih *OOT.

Buku ini seluruhnya narasi tanpa dialog berkutip-kutip. Terakhir kali gw baca buku minim atau tanpa dialog sama sekali adalah kumcernya Poe. Dan itu ga berakhir bergitu bagus karena gw pusing bacanya. Tapi buku ini?

Makanya gw kasih 4 akhirnya. Gw selalu tau penulis-penulis Kemudia berpotensi besar menjadi penulis keren. Jadi, gw bakal masukin nama Dewi di daftar nama penulis Indonesia yang gw suka :3
Profile Image for Dya Ragil.
Author 8 books43 followers
December 12, 2013
Saya membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan novel yang berwujud kumpulan surat ini karena saya mengambil jeda yang cukup lama antara surat satu ke surat berikutnya. Bukan lantaran novel ini membosankan, melainkan lebih karena setiap suratnya membuat saya berpikir. Dan itu poin plus buat saya yang memang menyukai tipe-tipe novel seperti itu.

Sejak saya membaca sinopsis back cover, impresi yang saya dapatkan adalah ini novel tentang seorang wanita lajang dengan usia terlalu matang yang masih belum bisa move on setelah di-friendzone oleh teman masa kecil yang dicintainya. Saya mulai berpikir ini akan jadi novel full romance yang tragis dan dramatis. Tetapi semakin saya memasuki lembar demi lembar, saya sadar saya sudah tertipu.

Daripada disebut surat kepada seseorang, ini lebih pantas dikategorikan sebagai memoar. Karena si tokoh utama lebih banyak menceritakan dirinya sendiri dengan detil yang keterlaluan untuk bisa disebut surat. Belum lagi interaksi dengan tokoh yang dikiriminya surat sangat minim. Bahkan unsur romance antara mereka yang saya pikir akan menguasai novel ini ternyata juga sama minimnya.

Ya, saya memiliki kesukaan dan ketidaksukaan yang sama besar pada novel ini.

Sebagai seorang maniak plot cerita, sudah tentu saya kecewa mendapati novel ini tidak memiliki plot yang benar-benar utuh. Cerita tidak terfokus dan sering melantur ke mana-mana. Romance yang seharusnya jadi landasan plot seolah timbul-tenggelam di dalam cerita dan hampir hanya menjadi tempelan. Seharusnya, ketidakjelasan plot dalam novel ini sudah sanggup membuat saya membanting buku ini, menaruhnya di pojok rak buku, dan tidak membukanya lagi meski belum selesai dibaca. Tapi tidak. Saya membacanya sampai tuntas.

Tanya kenapa?

Itu karena saya jatuh cinta pada narasinya. Cara berceritanya memukau saya. Gaya bahasa dengan diksi yang dipilih secara hati-hati, lugas, dan tidak menye-menye membuat saya tak bisa tidak lanjut membaca sampai akhir. Dan semua itu dengan sukses menutupi semua kekurangan yang sudah saya sebutkan.

Jujur saja, saya selalu membiasakan diri membaca novel bukan untuk dinikmati, melainkan untuk dipelajari. Saya tidak berharap bisa belajar tentang plotting dari novel ini. Tapi saya bisa belajar gaya bahasa yang cerdas dan tidak membosankan dari novel ini. Dan itu membuat novel ini worth it untuk dimiliki.
Profile Image for Puterica.
138 reviews20 followers
June 6, 2022
3.5/5⭐

Alih-alih satu cerita utuh dengan plot, buku ini merupakan sekumpulan surat-garis-miring-jurnal-harian dari 'aku' pada sosok 'kamu' yang merupakan teman lamanya, pada siapa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Surat-surat di dalamnya menceritakan banyak hal. Semakin jauh, isi suratnya tidak lagi menceritakan perasaan tokoh 'aku' yang rindu pada tokoh 'kamu' yang dikabarkan akan segera menikah, tapi mulai melenceng menjadi keseharian tokoh 'aku', termasuk di dalamnya pemikiran tokoh 'aku' tentang politik, sosial, dan budaya yang menurutku cukup menarik.

Potret tokoh 'aku' sebagai seorang wanita yang masih lajang di usia yang tak lagi muda di Indonesia digambarkan dengan sangat tepat. Bagaimana pandangan orang pada tokoh 'aku', bagaimana kesepian yang dirasakannya, dan lainnya.

Narasi penulis mengalir dan mudah diikuti. Tidak banyak adegan-adegan sureal yang membingungkan. Tidak banyak adegan-adegan yang mengguncang emosi. Diksi yang digunakan sederhana tapi indah, cocok kalau diambil sebagai quotes-quotes kekinian😃

Untukku sendiri buku ini lumayan datar dan membosankan karena ketiadaan plot sehingga tidak ada dinamika dalam cerita. Selain itu, dengan premis kisah romantis yang berakhir tragis, buku ini kurang dapat memberikan perasaan patah hati yang dijanjikan di blurb buku.

Tapi anehnya aku bisa relate dengan kondisi tokoh 'aku' yang terus menerus merindukan seseorang yang sosoknya kebanyakan dicipta sendiri dari ingatan. Bahkan penerima suratnya juga sepertinya tidak benar-benar ingat dengan tokoh 'aku'☹️

Menurutku sih buku ini cocok dibaca untuk kalian yang mencari bacaan romantis tapi nggak menye-menye👍🏻
Profile Image for Tias.
130 reviews
August 6, 2015
Apa yang ada dibenakmu kalau perempuan berusia sekitar 37 tahun hidup sendiri tanpa siapapun (dalam arti sesungguhnya) yang terus menuliskan surat yang ditujukan pada sahabat kecil yang memiliki hatinya sampai akhir masa hidupnya, tanpa pernah surat tersebut sampai pada orang yang dituju?

Begitulah dia, sebut saja Nona Alien yang tidak pernah mengakui dirinya sebagai manusia. Saya suka pemikirannya yang realistis. Banyak yang dia tulis dalam suratnya sempat saya pikirkan.

Surat-surat ini menceritakan perjalanan hidupnya yang panjang, monoton, dan sendirian. Ah, saya lupa dengan kehadiran Tuan Pemilik Toko. Setidaknya Nona ini harus bersyukur karena masih memiliki Tuan Pemilik Toko dan anaknya.

Tidak banyak dialog yang terjadi dalam buku ini (atau hampir tidak ada?). Ada typo yang membuat kita salah mengartikan kalimatnya, dan pemenggalan kata yang salah ada dalam beberapa surat.
Profile Image for linschq.
59 reviews
June 30, 2013
Barangkali karena sejak awal mudah terharu ya, baca buku ini cukup bikin sesenggukan. Saya juga suka dengan deskripsi dan informasi yang ditulis. Mungkin riset tentang beberapa wanita yang hidup melajang hingga tua di waktu sebelumnya bisa dilakukan. Atau barangkali memang apa yang disimpan diam-diam di dalam hati mereka memang seperti ini ya (jadi teringat dengan beberapa rekan di kantor). Tidak membosankan seperti yang orang lain bilang, jadi ingin menunggu karya-karya selanjutnya.
Profile Image for Zulfahmirda Matondang.
13 reviews
March 26, 2016
Menceritakan tentang surat dari seorang wanita, ya hanya berisi tentang suratnya yang ditujukan kepada Mr. Alien, dirangkai dengan kata-kata yang memiliki makna yang dalam, dan sangat inovatif. Pantas saja novel ini menjadi pemenang dalam ajang Dewan Kesenian Jakarta. Saya menantikan balasan surat atau setidakya kelanjutan dari pria yang dikirim surat oleh wanita dalam novel ini.
Profile Image for Imam Rahmanto.
149 reviews8 followers
March 29, 2014
Buku yang isinya lebih banyak bercerita tanpa mencantumkan kutipan-kutipan percakapan tokoh. Bahkan tokoh-tokoh tidak dituliskan namanya. Konsisten.
Profile Image for fara.
280 reviews42 followers
April 2, 2024
Saya sedang belajar soal teknik penceritaan dengan format surat—bisa disebut dengan istilah epistoleri—dan dosen saya merekomendasikan novel ini karena jawara unggulan DKJ pastilah karya yang patut diperhitungkan dalam forum akademik. Sayangnya, saya nggak begitu menikmati eksekusinya. Di awal, sajian ceritanya cukup menjanjikan sebab premisnya yang terkesan biasa tapi dinarasikan dengan sesuatu yang nggak biasa. Perempuan paruh baya, cinta bertepuk sebelah tangan, teman masa kecil, formula yang klise ini dibumbui dengan narasi unik yang membuat pembaca dapat memahami kurang lebih seperti apa sifat dan karakter narator sekaligus penulis surat.

Saya mengakui konsistensi penceritaan yang nggak mengikutsertakan secuil pun dialog dan nama tokoh secara gamblang, tetapi tetap saja epistoleri dengan model tak berbalas (karena saya pernah membaca epistoleri yang berbalas antara dua hingga tiga tokoh bahkan lebih sebelumnya), menjadikannya kelemahan yang menonjol. Alih-alih fokus pada perasaan dan hubungan narator dengan 'Tuan Alien', surat-surat panjang sebanyak 37 buah itu jadi terkesan monoton sekaligus keluar jalur. Topik merembet ke mana-mana sampai saya kebingungan apakah memang 'aku' ingin sekali memberi tahu segala hal pada 'Tuan Alien' dari kelahiran sampai kematiannya? Semacam roman? Alih-alih surat cinta, kesannya justru seperti surat wasiat. Saya cukup bersimpati di awal bab karena 'aku' digambarkan sebagai sosok independen, idealis, tetapi di sisi lain dia melankolis dan pesimistis—dan tentunya bucin tolol, karena saya mengamini komentar-komentar orang lain soal sikap 'aku' terhadap cinta tak berbalasnya yang bak gadis remaja.

Banyak hal keren yang terselip tetapi saya selalu merasa itu nggak pada tempatnya, entah kenapa (makanya saya sering menautkan alis kebingungan). Sekalipun saya tahu 'aku' pernah jadi reporter dan mengalami gejolak politik 1998, kilas kehidupan keluarganya yang rumit—mulai dari orang tuanya yang beda agama, keluarga ayahnya di Bali yang selalu memusuhi ibunya, dan kesukaan-kesukaannya pada dunia seni—saya nggak begitu mengerti tapi 'aku' yang hidupnya dibuat berat sedemikian rupa justru nggak terasa manusiawi. Kelewat malang sampai-sampai saya nggak ingin bersimpati. Walaupun perasaan-perasaan muram dan galau tertuang sepanjang surat, saya nggak terlalu merasakan depresifnya. Bahkan pertengahan menuju akhir saya skimming saja.

Kejanggalan itu sepertinya karena surat yang ditulis 'aku' baru dimulai setelah 'Tuan Alien' memberikan surat undangan dan kebaya untuknya agar hadir di hari pernikahan. Di usia yang matang (bahkan 'aku' menulis sendiri kalau dia sudah terlambat), surat-surat itu nggak terasa seperti ditulis oleh perempuan dewasa. Sekalipun perasaan sedih itu manusiawi dan sangat universal, tetapi cara 'aku' memandang dunia yang dengan terlalu mentah (dan terkadang seperti orang sakau yang tengah meracau), membuat saya harus menebak-nebak; apakah 'aku' nggak pernah belajar dari pengalaman-pengalamannya terdahulu (istilahnya, 'aku' kan sudah makan asam garam kehidupan)? Menulis surat panjang nggak membawanya berefleksi, tetapi justru larut dalam membagikan too much information yang tumpah ruah. Kalau saya jadi 'Tuan Alien', saya ogah menghabiskan surat-suratnya.

“Kesedihan membuat seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, memikirkan terlalu banyak hal, dan akhirnya mengalami sakit.” (halaman 105). Barangkali karena penulis nggak menemukan atau memiliki kepiawaian dalam menyajikan plot tanpa merusak struktur penceritaan yang memang harus dalam koridor epistoleri; harus termuat dalam surat yang menjadi judul bab. Sayangnya saya merasa bahwa timingnya saja yang kurang pas. Kalau saja 'aku' menulis surat tersebut sejak kecil (atau paling nggak remaja), pastilah perasaan-perasaan gundah gulana yang dirasakannya karena cinta bertepuk sebelah tangan akan begitu dipahami dan dimengerti oleh pembaca.

Akhir yang nggak mengakhiri cerita (bahwa pada akhirnya 'Tuan Alien' tetaplah pemenang di hati 'aku') juga membuat segalanya jadi nggak masuk akal. Saya paham fiksi memang terkadang nggak harus masuk akal (dan beberapa memang ditulis bukan untuk menjadi penentu benar-salah atau baik-buruk), fiksi juga nggak selalu mengandung amanat dan maksud tertentu (kadang kala penulis memang hanya ingin menulis tanpa embel-embel makna di balik apa yang ditulisnya sekalipun kritikus dan pembaca akan dengan senang hati berbusa-busa menafsirkannya ini-itu), tapi bagaimanapun kejanggalan yang mengganggu membuat saya nggak nyaman. Dan saya nggak suka kalau kenyamanan membaca nggak saya temukan di novel yang tengah saya rampungkan.
Profile Image for Bookmark.oo.
39 reviews1 follower
February 15, 2021
Buku ini berisi kumpulan surat-surat seorang wanita untuk teman masa kecilnya yang disebut Mr. Alien. Surat-surat dari tahun 2008-2011 (total 37 surat), jika kalian penasaran mengapa buku ini diberi judul demikian, jawabannya ada pada surat ke 33 (4 April 2011).
Mengapa saya menyukai buku ini karena kisahnya tentu saja, kisah bagaimana wanita berusia 41 tahun move on dari perasaannya kepada Mr. Alien, suatu hari dia mendapati teman masa kecilnya yang dulu berjanji menikahinya memberinya undangan yang berisi dia menikahi gadis lain. Membuat saya sangat terenyuh karena bagaimana caranya move on jika kita sudah menghabiskan puluhan tahun menyukai seseorang. Wanita tersebut mulai menulis surat untuk Mr. Alien untuk melupakannya. Kadang wanita tersebut bercerita tentang keluarganya (bagaimana hubungannya dengan ayahnya, ibunya, serta kedua saudarinya), tentang masa kecilnya yang tinggal di bali bersama keluarga dari pihak ayahnya, tentang Bali-Bima-Jakarta, tentang pekerjaannya sebagai wartawan, tentang masa kuliahnya, hal-hal sepontan yang dia lakukan seperti pergi ke Prancis, tentang kesendiriannya tinggal di apartemennya, tentang kekasih barunya yang seorang seniman. Saya pikir wanita tersebut akan bersama bahagia dengan kekasihnya, tapi tidak semua kisah berakhir demikian. Hal yang lain yang membuat saya terenyuh adalah dia berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya, berjuang sendirian tanpa keluarga, sembari terus menulis surat untuk Mr. Alien. Saat membaca cover belakang buku, bahwa Mr. Alien terlambat saat menerima surat dari wanita tersebut, saya tidak menyangka bahwa wanita tersebut tidak akan mengetahui balasan dari surat-suratnya.

Novel yang disajikan dalam bentuk surat searah tanpa tahu bagaiman balasan dari Mr. Alien.
Novel yang memberikan kesan sedih bagi saya. Buku ini memberikan pelukan hangat bagi mereka yang berjuang untuk melupakan seseorang yang pernah mereka cintai dalam waktu yang lama. Mungkin dengan terus menulis akan membuat kalian merasa lebih baik.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Zulfy Rahendra.
284 reviews76 followers
August 1, 2013
Oke. Pertama-tama saya mau mengucapkan terima kasih buat dedek-dedek dan rekan-rekan “Bekantan” atas buku ini. Nahan malu joget-joget di depan 50an orang asing ada hasilnya juga. Hehehehehe.. Mudah-mudahan kalian inget :3

Ini adalah Surat Ga-Terlalu-Panjang tentang Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Surat ini saya persembahkan untuk Tuan Alien (seseorang yang sebenernya ga aneh-aneh amat kayak alien, hanya sedikit terobsesi dengan keberadaan makhluk lucu penghuni lain semesta itu), yang adalah partner yang beberapa bulan belakangan rajin nemenin saya baca buku. Sedikit banyak “proyek” baca bareng ini bikin saya mau ga mau baca buku terus walaupun kadar males saya sedang berada di level tertinggi. Rencananya, saya mau baca buku ini bareng Tuan Alien. Tapi karena Tuan Aliennya ripuh gara-gara tipantog di depan rumahnya sampe sakit berkepanjangan, jadilah saya baca ini sendirian aja.

Tuan Alien,
Gimana perasaan kamu pas baca ini? Kalo saya, saya stres, frustasi, ikut depresi. Si “aku” ini sepertinya pribadi yang sulit sekali. Gimana ya saya nyebutnya? Anti sosial? Si “aku” ini kayak ngerasa dunia benci dia, dan karenanya dia ikut membenci dunia. Segalanya salaaaahh aja buat dia. Yang benar cuma satu. Perasaannya ke Tuan Alien-nya, yang itu pun dia rasa ngga didukung oleh semesta. Hidupnya kayaknya hampaaa bener. Mungkin dia bersikeras mengatakan nggak mengeluh dan meratapi hidupnya, tapi isi suratnya nunjukkin kalo dia agak sulit bersyukur dan tidak mencintai kehidupan. Si “aku” ini bikin saya yang lagi ngerasa kesepian jadi tambah kesepian, bikin saya yang lagi down tambah pengen manjat tiang sutet lalu terjun bebas dari atas sana.. *CURHAAAATT*

Tuan Alien,
Umurmu berapa? Kamu sedih baca ini? Nangis? Saya kok engga ya? Heut heut, kamu pasti bilang saya mati rasa dan tumpul empati. Entah ya, buat saya bukunya datar-datar aja. Agak boring malah. Kisah “aku” di akhir itu juga agak drama. Sakitnya si “aku” terlalu nyinetron *bahasa naon ieu nyinetron?* Dan “aku” ini agak lebay buat ukuran teteh-teteh umur 40an tahun. Ga tau juga sih, saya belom nyampe umur 40an taun juga. Tapi rasanya kalo saya umur 40an taun, pikiran saya udah lebih dewasa dan udah nyampe pemahaman lebih baik soal kehidupan daripada si teteh-teteh “aku” ini. Galaunya kayak anak umur 20an taun. Kalo kamu nangis (atau paling engga tersentak hatinya) ketika baca ini, saya maklumin kok. Mungkin buat ukuran orang-orang seumur kita *20an taun, catet. 20an taun!*, galau kayak gini masih accaptable. Dan saya kira banyak yang berpendapat surat-surat terakhir “aku” ini bikin sedih dan menguras air mata, tapi saya pribadi lebih banyak merenung dan bertanya-tanya, “beginikah isi pikiran orang yang tau persis hari kematiannya? Beginikah rasanya ketika tau kita akan segera mati?” *eh ini agak spoiler, ya?* *bukan AGAK lagi, upiiiiiiiii*

Tuan Alien,
Gimana kesannya? Saya kira buku ini ga bikin chaos isi kepalamu. Tapi mungkin barangkali kamu tersentuh? Saya mah engga sih. Lempeng weh. Nangis engga, tersentuh juga engga. Depresi iya. Entah dapet wangsit dari mana saya bisa nebak ending cerita buku ini. Pernahkah saya bilang saya orang yang ga menyukai buku tanpa konflik antar tokoh? Itulah sebabnya saya ga mempunyai ketertarikan sama buku sejarah seperti temen kita yang onoh noh. Mungkin itulah sebabnya saya nganggep buku ini boring juga. Bukannya bukunya tanpa konflik, tapi gimana sih cerita biografi? Memandang masalah cuma dari satu sisi. Naratif pula. Nggak ada dialog sama sekali pula. Tunduh teu sih? Tadinya saya kira buku ini akan bercerita tentang “kita”, karena judulnya Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya. Nyatanya engga. Surat ini lebih banyak bercerita tentang kehidupan “aku” setelah berpisah dengan Tuan Aliennya.

Tuan Alien,
Saya tau kamu sangat menghargai diksi dari sebuah karya. Begitu pun saya. Surat Panjang ini, gimana pun punya diksi yang bagus. Pemilihan katanya sederhana tapi nyampe. Barangkali di situlah kekuatannya. Dan pemikiran si “aku” ini cukup mengesankan saya. Mungkin karena anti mainstream, seringkali absurd dan kadang ga terpikirkan. Saya sepenuhnya setuju dengan alasan “aku” mengutuk kehidupan kota. Alasan yang sangat tepat mengapa saya (saya rasa kamu juga) setengah mati ogah hidup di ibu kota.

Tuan Alien,
Entah mengapa saya merasa harus memaklumi beberapa hal yang kurang sreg dalam buku ini. Seperti misal, kurang pas-nya gambaran tentang umur teteh-teteh “aku” ini. Setelah nyampe akhir buku, saya baru tau, ternyata penulis bahkan lebih muda umurnya dari saya. Kelahiran 1991 loh! Wow! Berani sekali menulis tentang kegundahan hati wanita berumur dua kali lipat umurnya. Itu layak diapresiasi kan? Dewasa sekali dese. Saya aja yang lebih tua dari dia masih sering dibilang kayak anak umur 15 taun.. *kelakuannya ya, bukan mukanya* *dijelasin*
Terus soal “aku” yang memandang dunia dengan sinis dan pesimis itu. Setelah baca sampe akhir, saya ngerasa harus nerima dengan lapang dada aja karena toh si “aku” pun mengakui sifatnya ini. Pengakuan akan kesalahan kadang bisa mengurangi kadar kesalahannya, iya ga sih?
“Aku selalu menjadi penyendiri yang kerap mengamati jalan hidup orang lain. Dan begitu sering memaklumi segala hal. Termasuk mereka yang seharusnya merasa kecewa dan putus asa atas hidupnya tetapi justru terlihat bahagia, tidak seperti diriku. Seseorang yang tidak punya hal-hal untuk membuatku kecewa dan merasa putus asa, seseorang yang seharusnya bahagia, tetapi terlihat lemah dan selalu berusaha menutupi kelemahan-kelemahannya.”
“Atau mungkin aku harus sekali lagi meminta maaf pada sesuatu di dalam diriku yang menolak segala kebahagiaan yang datang kepadaku.”


Dan saya pun harus memaklumi judul bukunya yang panjang banget, dan yang awalnya saya anggap ga nyambung itu karena “aku” juga bilang “... Setelah menulis sekian banyak, aku tiba-tiba menyadari, surat-suratku ini lebih banyak bercerita tentangku, ketimbang bernostalgia tentangmu.”

Tuan Alien,
Saya harap kamu udah sembuh ketika baca ini (kalo dibaca sih -____-). Kalo belom, mungkin sebaiknya hati-hati. Persiapan aja, bikin surat wasiat dari sekarang. Atau mau bikin Surat Panjang tentang Pembagian Warisan? Boleehh. Kalo sakit kamu keterusan terus kamu kenapa-napa, jangan lupain saya di surat wasiat kamu. Kamu ga akan menemukan orang lain yang lebih ikhlas lahir batin dan yang akan sepenuh hati menjaga novel-novel kamu selain saya. *modus* *persahabatan mulai hancur*

Udah ya, Tuan Alien.
Akhir kata, seperti basa-basi yang ditulis di semua resep dokter, “semoga lekas sembuh”. Inget ya, kalo ada apa-apa, surat wasiatnya jangan lup-- *keburu dijorokin ke jurang*



Salam,
Saya-yang-namanya-tak-ingin-disebut
Profile Image for Arman Dhani.
49 reviews18 followers
October 12, 2020
Saya iri pada Michel. Ia adalah penulis cerpen terbaik dalam generasi saya, generasi K Pop yang memuja sosial media dan generasi yang gagap membaca sejarah. Michel adalah seorang kenalan yang memberikan saya garis jelas antara penulis beneran dan penulis jadi-jadian. Ia adalah apa yang mustahil saya capai. Seorang penulis muda dengan selera baca yang keren. Lebih dari itu novel epistolari yang disusun Michel tentang tuan dan nona Alien, tentang harapan, tentang cinta yang pada akhirnya harus selesai.

Saya penggemar berat karya penulisan epistolari. Bahkan teknik bercerita menggunakan sejumlah dokumen yang berurutan seperti catatan harian, artikel atau jurnal ini merupakan cara menulis paling saya gemari. Dan Michel dengan piawai menuliskan kisahnya tanpa terjebak menjadi tendensius ataupun snobs. Gaya ini banyak diadopsi sebagai gaya menulis cerpen karena relatif lebih efisien dan mudah ditulis. Namun menyusunnya sebagai sebuah novel dengan kontinyuitas perlu kemampuan lebih. Ia harus punya jahitan kuat antar satu surat dan yang lainnya. Ini yang membuat novel Michel jadi pembeda dengan generasi penulis seumurannya.

Surat-surat yang ditulis Nona Alien adalah sebuah rekam jejak. Sebuah dokumentasi akan hidup yang pernah terjadi. Sebuah salam untuk kemudian merelakan seseorang yang pernah sangat berarti bagimu untuk pergi. Novel ini ditulis dengan plot yang tidak linier, tidak terduga dan penuh kejutan. Meski kemudian pada beberapa hal, surat-surat tadi hanya sekedar remeh temeh belaka, tapi ia adalah upaya akhir seseorang untuk mengingat sebelum akhirnya menyerah lantas merelakan. Apakah karya ini indah? Tentu saja. Ia akan memberimu perspektif lain, bahwa menulis bukan sekedar cuitan 280 karakter tentang kegalauan yang itu-itu saja.
Profile Image for Bllmnd.
40 reviews
October 28, 2020
Gimana ya... sebenernya suka banget sama gaya penulisannya asli, diksinya ga pasaran dan tiap kalimatnya pun juga enak dibaca. Walaupun, ceritanya tuh datar-datar aja dan aku juga engga yang hanyut terbawa cerita dari si tokohnya juga sih. Cuma satu fakta yang buat aku suka sama buku ini adalah kesamaan tokohnya dan aku pribadi. Tentang kesepian, kekhawatiran akan hidup, sampai cinta yang tak terbalaskan. Belum lagi, aku menemukan buku ini tepat setelah aku mendapatkan ide buat nulis novel yang memakai gaya penulisan surat. It’s like, Allah tuh bener-bener menjawab doaku untuk menemukan buku yang bisa jadi referensi aku buat menulis😭😭. Ya ampun maap jadi curhat.

Oh, tapi ada juga sih yang bikin aku kurang suka, hmm. Bagaimanapun juga menyelesaikan novel tanpa dialog tuh lumayan bikin mata sepet juga ya😂😂. Aku ngerasa suara si tokoh ini tuh kurang sesuai sama umurnya. I mean like, diumurnya yang ke 40 tahun nih ya, dia tuh galaunya masih kayak anak di earlier 20an gitu😭 aku aja tuh sampe lupa kalo dia udah 40an. Belum lagi, surat-suratnya tuh ga fokus sama interaksi antara si tokoh sama Tuan Aliennya. Lebih banyak menceritakan kehidupan si tokoh itu sendiri dan problem-problemnya setelah ditinggal rabi (eh nikah maksudnya). Yah gitulah pokoknya.

Overall 3,5 untuk diksi-diksinya yang indah💕
Profile Image for Sulis Peri Hutan.
1,056 reviews295 followers
June 1, 2015
Dear kamerad,

Aku tidak tahu namamu, tapi aku tahu kisahmu.
Aku sebut dirimu kamerad, karena kau mempunyai angan-angan menjadi kamerad bagi Tuan Alien-mu. Untuk kesekian kali ini aku mereview menuliskan surat balasan, bukan salahku, karena buku ini berisi 37 surat yang kau buat untuk Tuan Alien, tanganku gatal untuk membalas. Ceritamu sebenarnya biasa, banyak orang lain mengalaminya juga. Tentang kesepian, kesendirian, kesedihan, kekosongan, tentang kasih tak sampai.

"Sejak kecil kita berdua merasa diri kita adalah alien-alien yang tersesat ke Bumi. Kau dan aku bukan manusia, ujarmu suatu waktu."


Kau menulis surat untuk Tuan Alien, sahabat masa kecilmu yang juga merupakan sepupumu sendiri. Kau jatuh cinta padanya tapi kau tidak pernah mengungkapkannya. Kalian selalu bersama-sama sewaktu kecil, merasa dunia kalian sama dan aneh di mata orang lain, kalian saling melengkapi. Namun, ketika kalian mulai berseberangan dalam memilih jurusan di universitas, jarak mulai tercipta. Surat-surat di dalam bukumu dimulai ketika kau mendapatkan undangan pernikahan dari Tuan Alien. Kau patah hati, terpuruk akan perasaanmu yang sesak karena orang yang sangat kau cintai tidak akan pernah kau rengkuh lagi. Kau membaginya dengan orang asing, menariknya supaya ikut merasakan kesedihan yang kau alami.

Awalnya aku mengira kalau surat-suratmu berisi curhatan tentang masa di mana kalian menciptakan kebahagiaan, tapi nyatanya aku mendapatkan sedikit sekali kisah tentang dirimu dan Tuan Alien. Surat-suratmu lebih banyak bercerita tentang dirimu, tentang perasaanmu setelah kehilangan. Kau mulai menginggat kembali kapan kalian pertama bertemu, kau menceritakan keseharianmu yang merasa kosong dan kesepian, terlebih setelah mendengar kabar itu. Kau juga bercerita tentang keluargamu, di mana kau tidak dekat dengan ibumu dan merasa kalau dia tidak menyayangimu sama sekali, kau lebih dekat dengan ayahmu. Kau mempunyai dua kakak perempuan yang sukses, kau pernah mengambil dua jurusan yang bersamaan dan memutuskan menyerah. Lalu ketika kau melihat foto mendiang ayahmu, kau mulai bangkit kembali, susah payah bekerja untuk memulai dari awal lagi, demi mendapatkan ijasah yang bisa dibanggakan di samping foto mendiang ayahmu. Umurmu empat puluh satu tahun, bekerja sebagai wartawan yang tidak kenal waktu, tinggal di apartemen yang kau cicil dan bertetangga dengan tuan pemilik toko buku yang janda.

"Aku selalu menjadi penyendiri yang kerap mengamati jalan hidup orang lain. Dan begitu sering memaklumi segala hal. Termasuk mereka yang seharusnya merasa kecewa dan putus asa atas hidupnya tetapi justru terlihat bahagia. Tidak seperti diriku. Seseorang yang tidak punya hal-hal untuk membuatku kecewa dan merasa putus asa, seseorang yang seharusnya bahagia, tetapi terlihat lemah dan selalu berusaha menyendiri untuk menutupi kelemahan-kelemahannya itu."


Kau mulai membuka lembaran baru dengan mencoba berkencan dengan seorang seniman, seseorang yang sekiranya cocok denganmu. Tapi, hatimu tetap tertambat kepada Tuan Alien sehingga waktu kau mengetahui dia menghamili muridnya kau tidak terlalu sakit hati. Apa yang aku cerna tentang surat-suratmu adalah bukan ketika kau bermuram durja tentang kisah cintamu tetapi tentang di mana kau menjalani hari-hari yang memang harus kau lewati, mau tidak mau. Dan yang aku rasakan adalah kesepian, kesendirian, kesedihan, kekosongan.

"Aku pun ingin memiliki kehidupan seperti orang-orang lain yang sering kujumpai di jalan. Mereka tak pernah pergi ke bioskop seorang diri. Sementara aku selalu menonton film bagus tanpa gandengan dan aku hanya dapat mengomentari film-film itu di dalam hati dan menulis resensi di blog. Sekali-kali, aku pernah membayangkan masa-masa di mana aku akan dapat pergi ke swalayan dan memegang kereta dorong yang penuh barang belanjaan bersama seorang pasangan hidup. Di kereta dorong itu pula, buah hati kami akan duduk dan menatap lekat-lekat kearahmu dan suamiku.
Namun, bagaimana caraku memiliki kehidupan seperti itu? Dengan pertama-tama melupakanmu, ataukah dengan memulainya saja sementara masih mengenangmu?"


Kau pernah gagal dan bisa bangkit kembali, bisa membuat bangga ayahmu yang abunya kini tersebar di lautan, kenapa kau tidak mencoba sekali lagi waktu kau gagal dalam urusan cinta? Seperti yang kita tahu ketika membaca sinopsis di belakang sampul buku, semuanya sudah terlambat, kalian berbeda planet.

Awalnya aku tidak pede apakah bisa menyelesaikan membaca ke 37 surat yang kau kirimkan kepada orang asing di Bumi ini, tanpa dialog, full narasi di mana sangat memicu kebosanan. Kalau aku tidak konsentrasi membacanya, maka semuanya akan buyar. Walau miris, cerita dalam bentuk surat yang kau buat sangat datar, konfliknya tidak terasa. Tapi kau pandai berkata-kata, kalimatmu baku dan banyak kata baru yang aku kenal, sayangnya kau tidak selalu menjelaskan apa artinya. Anggap saja aku memang bodoh dan tidak berpengalaman, tapi aku berharap ketika menemukan sesuatu yang asing, maka itu akan menjadi pengetahuan baru bagiku. Sampul buku ini terasa sangat dirimu, seseorang yang kesepian dan menanti orang yang akan selalu menjadi bayanganmu yang tak mungkin kau rengkuh.

Di balik kedataran ceritamu tersimpan perasaan terdalammu. Cara yang cukup jarang dilakukan penulis di Bumi ini, khususnya di negara yang sangat semrawut ini yaitu melalui surat, membuat sesuatu yang baru tentang mengungkapkan sakit hati dan bagaimana kita memulai hari pasca sesuatu yang tidak pernah kita harapkan. Mungkin itu alasan juga kenapa ada embel-embel Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 pada sampul buku. Sesuatu yang baru, permainan kata yang indah, judul yang unik, membuat diriku tertarik akan ceritamu yang datar, menarik diriku ke dalam kisahmu yang tidak pernah kau utarakan kepada Tuan Alien secara lisan.

Ketika aku selesai membaca suratmu, aku mengerti kenapa judul di buku ini sangat panjang.

3.5 sayap aku berikan untuk mengobati sakit hatimu, dan aku menantikan kisahmu selanjutnya, dalam bentuk berbeda, dalam perasaan yang tidak melulu melankolis.

Xoxo,
dari species yang hampir punah.

read more: http://kubikelromance.blogspot.com/20...
Profile Image for Risma.
217 reviews
February 7, 2019
Buku yang menarik hati dari judulnya. Sampul depan yang sendu ditambah sinopsisnya yang penuh penyesalan masa lalu jelas menunjukkan betapa "biru" buku ini. Menemukan versi elektroniknya di iPusnas dan walau sempat berhenti-berhenti membacanya akhirnya diputuskan untuk ditamatkan. Dituliskan dari sudut pandang pertama, buku ini berkisah mengenai kehidupan tokoh utama. Tokoh yang menarik diri dari manusia, terjebak masa lalu sedemikian rupa. Saya suka latar belakang tokoh ini, kompleks dengan budaya yang membuatnya independen. Pertemuan banyak budaya yang membuat saya melihat bagaimana masyarakat urban terbentuk. Bagaimana perpisahan adalah hal yang lumrah terjadi seiring usia dan hilangnya minat. Bagaimana masih ada yang menyimpan rasa tapi tidak bisa mengungkapkan. Kehidupan manusia urban ini kemudian masuk dalam tahap yang bisa dikatakan mengerikan dan tidak diharapkan semua orang.
Surat-surat ini bersifat curahan hati, melankoli dan mengandung unsur kehidupan. Sangat cocok untuk yang ingin berpikir dan bermuram durja sejenak akan pilihan dan perpisahan yang mungkin tidak kita inginkan.
Lagu yang menemani saya selama menulis review singkat ini: Kyuhyun - 7 Years of Love.
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
July 6, 2020
Surat, surat, surat.

Tiga puluh tujuh surat ditulis dalam waktu beberapa tahun, oleh seorang perempuan kepada teman laki-laki masa kecil dan remajanya. Surat-surat yang akhirnya tersampaikan melalui beberapa tangan.

Sepihak, sebagaimana surat pada umumnya. Hal-hal yang ditulis adalah pengalaman dan sudut pandang perempuan tersebut. Dalam narasinya, ia menyebut hubungan dengan teman laki-lakinya itu begitu dekat. Dalam deskripsinya, pembaca malah melihat kedekatan itu klaim subjektif belaka. Kita tidak tahu dengan jelas mengapa persahabatan selama sepuluh tahun hingga mereka kuliah lalu putus begitu saja hingga puluhan tahun kemudian. Tentu akan menarik bila si laki-laki membuat balasan atas bundel surat tebal yang diterimanya.

*Lalu saya macam ingat zaman SD dulu nonton Selekta Pop di TVRI di mana Obbie Messakh atau Pance Pondaag (entah yg mana saya lupa) menyanyikan lagu balasan atas lagu mewek Betharia Sonata (atau Nia Daniati? Wkwkwk...)
Profile Image for Eva Novia Fitri.
163 reviews1 follower
May 29, 2023
Tekhnik bercerita seperti ini adalah yang paling saya sukai. Perlahan. Detail. Dan mendalam. Mungkin seperti gaya-gaya Kafka. Sejak awal membaca, saya sudah menyukai citarasanya. Tanpa identitas tokoh sama sekali, justru saya merasa karakternya makin kuat. Tanpa 1 namapun dari awal hingga akhir buku, membuat kita fokus merasakan, sama sekali tak mengalami distraksi.
Seperti komposisi yang iramanya konstan, tidak banyak memakai alat musik, disajikan penuh penghayatan.
Kisah dalam bentuk surat-surat ini tidak memiliki klimaks atau coda. Tak ada yang harus ditunggu atau diburu saat membacanya, melainkan kita akan mengalun bergerak sepanjang buku.
Profile Image for Reffi Dhinar.
Author 8 books4 followers
January 8, 2018
Sebenarnya buku ini sangat menarik sejak awal. Gambaran patah hatinya dan perasaan terpendam yang belum sempat tersampaikan kepada sahabat, mengajak saya untuk ikut terhanyut. Tapi karena deskripsi nelangsanya terlalu panjang, tokoh Aku agak terlalu lemah, dan puncak konflik yang mudah tertebak hingga ending, membuat saya mulai bosan. Namun buku ini bisa dibilang cukup apik disebut sebagai monumen kehilangan seseorang.
Profile Image for Rowena.
140 reviews12 followers
July 6, 2018
buku ini beralur menarik... memakai gaya bersurat ala jadul.
Ia menggambarkan perasaan hati yg kesepian dan mendambakan cinta masa lalu. Kalau membacanya dengan empati maka bisa dirasakan perasaan banyak org di metropolitan yg mgkn belum menikah smp umur 40 thn krn menunggu seseorang yang 'tepat'. Membuat sadar kalau mungkin banyak org di sekitar kita yg sebenarnya menulis surat tanpa pena yg ditujukan pada org2 di sekitarnya berisi jeritan hati kerinduan utk diperhatikan.
Profile Image for Ellina Ariesta Saputri.
12 reviews1 follower
November 16, 2020
Di awal buku ini terlihat biasa saja menurutku. Namun, memasuki pertengahan mulai ada rasa ketertarikan dan meskipun cukup lamban, pada akhirnya buku ini berhasil kuselesaikan. Beberapa halaman terakhirnya sangat mewakili kondisiku saat ini. Sepertinya akan lebih enak kalai dibaca saat pikiran benar-benar fresh.
Profile Image for Farahdinahera.
5 reviews
July 17, 2021
I could say this one of the most mesmerizing book that I read from Dewi Kharisma Michelliea. I read it very fast while I sat enjoying my night with my coffe in my alone time. The story, I could guarantee that you can not find anywhere accept from this book. The story is perfect.
Profile Image for Aulia Taqiaturrahmah.
11 reviews3 followers
August 9, 2023
Soon saya review serius. Untuk sementara mau komentar aja kalo sebenernya buku ini bagus, cerita dan plot lumayan ok, tapi lalu saya ilfil pas ada kalimat yang mengindikasikan penulis kayanya nganggep tahun cahaya tuh satuan waktu. Bukan ya mbak, taun cahaya tuh satuan jarak.
Displaying 1 - 30 of 157 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.