Suara dari masa lalu itu masih berembus kencang Menyergapku dalam rindu yang dingin Ini tentang rasa yang terus tumbuh dan terpelihara Jika tidak pada tempatnya, Maka ia tak ubahnya ilalang kering Kusadari, bayang-bayangmu tak hadirkan rasa benci, tetapi rindu yang perlahan-lahan berembus
Ini cerita tentang aku
Aku yang menapaktilasi masa lalu, mencoba mencari rasa yang terserak untuk menetapkan hati Aku yang berjalan mengitari hatinya, mencoba mencari getaran itu kembali Ketika semua terasa hampa, apakah kau masih mau berdiri di sana.... Menungguku pulang dan memelukku erat
Novel: 1. Tarapuccino (bersama Rika Y. Sari, Penerbit Indiva Media Kreasi 2009) 2. Hati Memilih (Bukune 2011) 3. Izmi & Lila (Divapress 2011) 4. Persona Non Grata (Indiva Media Kreasi 2011) 5. Yang Kedua (Bukune 2012) 6. Ping! (bersama Shabrina WS, Bentang Pustaka 2012) 7. The Coffee Memory (Bentang Pustaka 2013) 8. Jasmine (Indiva Media Kreasi 2013) 9. A Cup of Tarapuccino (bersama Rika Y. Sari, Indiva Media Kreasi 2013) 10. First Time in Beijing (#STPC Bukune 2013) 11. Perjalanan Hati (Rak Buku 2013) 12. A Miracle of Touch (GPU, 2013) 13. Dear Bodyguard (Bentang Pustaka, 2013) 14. Gerbang Trinil (duet bersama Syila Fatar, Moka Media) 15. Rahasia Pelangi (duet bersama Shabrina WS, GagasMedia, 2015) 16. The Secret of Room 403 (Indiva Media Kreasi, 2016) 17. Love Catcher (Gagas Media ; 2017)
Non Fiksi : 1. Kitab Sakti Remadja Oenggoel (bersama Oci YM, Indiva Media Kreasi 2013) 2. Sayap-sayap Sakinah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2014) 3. Sayap-sayap Mawaddah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2015) 4. I Will Survive (bersama Oci YM, Indiva Media Kreasi, 2016) 5. Sayap-sayap Rahmah (bersama Afifah Afra, Indiva Media Kreasi, 2017)
Antologi : 1. LDR Crazylove (Bentang Belia, 2012) 2. My Stupid Love (Indiva Media Kreasi, 2013) 3. Jomblo Prinsip Atau Nasib (Indiva Media Kreasi, 2015) 4. Ramadhan in Love (Indiva Media Kreasi, 2015) 5. Jejak Kaki Misterius (Indiva Media Kreasi, 2016)
Beberapa penghargaan lomba menulis : 1. Pemenang I Resensi Indiva (2008) 2. Pemenang II Sayembara Cerber Femina (2008) 3. Pemenang Harapan Sayembara Cerber Femina (2009) 4. Pemenang Hiburan Feature Ufuk Dalam Majalah Ummi (2009) 5. Pemenang II Lomba Novel Inspiratif Indiva (2010) 6. Pemenang I Lomba Novel Remaja Bentang Belia (2011) 7. Pemenang Berbakat Lomba Novel Amore 2012 8. Pemenang 1 Indiva Reading and Review Challenge (2015) 9. Pemenang Harapan Lomba Menulis Novel Indiva (2015) 10. Pemenang 2 Lomba Resensi Novel "Pulang" (2015) 11. Pemenang 1 Lomba Blog StilettoBook (2016) 12. Pemenang 2 Lomba Resensi Novel "Ayat-ayat Cinta 2" (2016) 13. Pemenang 1 Lomba Resensi Buku "Cerdas Mengelola Keuangan Pribadi" (2016)
Judul Buku : Perjalanan Hati Menapaki Jejak Rasa Penulis : Riawani Elyta Penerbit : Rak Buku Tebal Buku : 194 halaman Ukuran Buku : 13x19 cm Harga Buku : Rp43.000,-
Menapaki Jejak Rasa, Menatap Masa depan
Suara dari masa lalu itu masih berembus kencang. Menyergapku dalam rindu yang dingin... *** Maira memutuskan untuk melakukan kegiatan backpacker lagi, kali ini tujuannya adalah ke gugus Anak Krakatau. Dengan susah payah meminta hingga akhirnya memperoleh izin, bahkan harus melalui situasi saling mendiamkan dengan Yudha, sang suami yang sudah dua tahun menjadi pendamping hidupnya dalam bahtera rumah tangga. Keinginan yang tiba-tiba muncul dan mendesak-desak dirinya untuk harus mengikuti kegiatan tersebut. Alasannya bukanlah semata-mata karena kedatangan Donna, mantan kekasih sang suami yang tiba-tiba hadir dan membeberkan masa lalu kelam sang suami bersama dirinya. Ada alasan lain yang lebih utama, alasan yang menduduki urutan pertama dalam benak dan hati Maira, yaitu satu sosok di masa lalu yang bahkan hingga kini tak juga mampu Maira enyahkan dari hatinya. Sosok yang selalu mendampingi hari-harinya dulu semasa kuliah dan semasa menjadi anak mapala, meski kebersamaan mereka yang tak bernama dan tak juga diperjelas dengan status pacaran atau persahabatan, lalu mengendapkan rindu di salah satu sudut hati Maira ketika perpisahan itu terjadi dan terlewat dalam waktu yang kian merentang, dan kini menguarkan rindu yang menyesak ketika sosok itu diketahuinya muncul kembali dan menjadi salah satu peserta dalam kegiatan backpacker itu. Sosok lelaki dengan sikap cuek dan tatapan bola mata pekatnya yang justru menjadi magnet bagi Maira. Sosok itu adalah Andri. Ada yang ingin Maira buktikan dan perjelas kepada dirinya sendiri melalui pertemuannya dengan Andri kali ini. Mungkinkah karena rindu yang kian menyergap. Membuatnya merasakan dejavu atas masa-masa yang dulu mereka lalui. Andri, sang lelaki itu pun ternyata berani mengakui perasaan dirinya yang sesungguhnya dia rasakan kepada Maira. Pengakuan yang terlambat, namun berharap masa-masa itu dapat mereka ulang kembali. Namun, pengakuan Andri dan segala perhatiannya terhadap Maira dalam perjalanan kali ini, menyelipkan rasa yang kontradiktif dengan apa yang dulu Maira harapkan. Entah mengapa Maira merasakan pertentangan antara hati dan tujuan awalnya mengikuti trip tersebut. Justru yang kini dirinduinya adalah Yudha, sang suami. Bukan lagi sosok Andri. Menyelipkan rasa bersalah yang kini menyeretnya pada kerinduan untuk segera pulang dan menjejak rumah mereka. Meski persoalan masa lalu itu mendera rumah tangga mereka, tak seharusnya Maira lari, karena rintangan ada untuk dihadapi, bukan untuk dihindari. Tak seharusnya ia mencari pelampiasan atas masalah rumah tangganya, tak seharusnya ia menguji apakah ia masih menginginkan kebersamaan itu bersama Andri ataukah lebih mementingkan rumah tangganya bersama Yudha. Meski pada akhirnya sedikit kelegaan menyapa hatinya ketika Andri memilih menjauhi kehidupan Maira selamanya. Yudha, bukannya ia tak tahu alasan sang istri bersikeras mengikuti backpacker tersebut. Pasti ada alasan yang beratasanamakan masa lalu. Kecemburuan pun tak urung menghinggapinya tatkala ia tahu dalam trip kali itu sosok Andri juga menjadi peserta trip. Letup-letup cemburu hadir di hatinya. Namun perhatiannya teralihkan sejenak ketika diketahuinya alasan kedatangan Donna menemui istrinya beberapa waktu lalu. Sang mantan kekasih yang kini diketahuinya berjuang seorang diri merawat dan membesarkan anak mereka akibat perbuatan di masa lalu, dan sang anak yang sejak kecil menderita penyakit hemofilia, yang tentu membutuhkan perhatian ekstra. Rasa bersalah yang mendera, justru hadir di saat ia telah memiliki Maira. Namun, memang terkadang, ada bagian dari masa lalu yang cukup kita jadikan kenangan dan pelajaran, bukan untuk dibawa bersama dalam kehidupan yang sekarang, karena kehadirannya justru hanya akan menjadi kerikil yang menusuk dalam diam. Keharuan melingkupi Yudha ketika Donna berharap Yudha melupakan ia dan anaknya serta menjalani kehidupannya yang sekarang bersama Maira. Rasa haru yang juga melingkupi hati Maira ketika diam-diam ia mendengar keputusan Donna tersebut. Satu hal yang kini dimantapkannya, bersama-sama Yudha mengarungi bahtera rumah tangga mereka. Karena dia juga tidak bisa menilai, kesalahan siapa yang lebih besar. Tetapi, dia percaya, kalau pintu maaf Tuhan tidak pernah tertutup, asalkan mereka bersungguh-sungguh pula untuk menebus kesalahan itu. ***** Membaca novel karya mbak Riawani yang satu ini, meninggalkan kesan tersendiri dalam hati saya. Bukan semata-mata karena persoalan dan pergulatan batin yang dihadirkan dalam tema novel ini mengena, tetapi memang karena lingkup rumah tangga yang diangkat terasa pas dengan persoalan yang kadang dihadapi oleh sebagian orang, khususnya bagi mereka dan saya sendiri, yang sedang menjalani bahtera rumah tangga bersama pasangan hidup. Siapapun tahu, masa lalu terkadang masih menyisakan kenangan mendalam kita terhadap atau dengan seseorang, entah itu tentang perasaan atau persoalan yang tak tuntas atau tak terselesaikan. Masa lalu yang sebagian kita mungkin masih berharap untuk dapat mengulangi atau sekedar bernostalgia, namun terkadang menjadi momok dan bumerang bagi diri dan rumah tangga. Tentu, perasaan-perasaan seperti itu seharusnya dienyahkan. Mengutip kalimat penulis dalam buku ini, “terkadang, ada bagian dari masa lalu yang cukup kita jadikan kenangan dan pelajaran, bukan untuk dibawa bersama dalam kehidupan yang sekarang, karena kehadirannya justru hanya akan menjadi kerikil yang menusuk dalam diam.” Karena “tentang sebuah rasa yang terus tumbuh dan terpelihara. Jika tidak pada tempatnya, maka ia tak ubahnya ilalang kering.” Seperti novel-novel Mbak Riawani yang pernah saya baca sebelumnya, menurut saya selalu ada poin plus yang diselipkan dalam cerita ataupun tema yang diangkat. Seperti yang saya katakan sebelumnya, menurut saya tema yang diangkat kali ini lebih fokus terhadap persoalan dalam kehidupan rumah tangga, yang menjadi salah satu dasar dalam berumah tangga itu sendiri, yaitu kesetiaan dan kejujuran antar pasangan. Hampir sebagian besar perceraian dalam rumah tangga disebabkan karena ketidaksetiaan, ketidakjujuran, dan kurang sabarnya para pasangan menyelesaikan persoalan yang timbul. Namun, melalui cerita dalam buku ini sekali lagi saya belajar tentang itu semua. Bahwa kesetiaan dan kejujuran menjadi sangat penting, pun ketika muncul persoalan karena kesalahan di masa lalu pasangan, janganlah sampai menjadi penghantar bagi sebuah perpisahan. Bahwa para pasangan tidak harus memperthankan egoisme masing-masing demi sebuah keutuhan bersama.Novel ini juga mengandung banyak qoute menarik dan menginspirasi. Seiring dengan poin plus yang dimilki oleh novel ini, menurut saya ada sebuah poin minus, tentu saya tidak menggurui dengan mengatakan sebagai kekurangan, tapi hanyalah saran dari saya seorang pembaca dan penikmat novel. Menurut saya, konflik dalam novel ini bisa dibuat lebih runcing atau lebih tajam sehingga konflik batin sang tokoh terasa lebih bergolak. Misalnya, sang tokoh Andri atau Donna sebagai sang mantan yang tetap dengan kekokohan hatinya lebih berjuang merebut hati Maira atau Yudha kembali, dengan trik atau sentuhan alur dari penulis, sehingga pergolakan batin Maira dan Yudha lebih mendalam akankah masa lalu itu mesti kembali menggantikan apa yang sekarang mereka miliki ataukah bagaimana jalan terbaik. Sebagai pembanding, saya memilih novel lainnya karya Mbak Riawani juga, yaitu Jasmine dan Tarapuccino. Pada dua novel tersebut, Mbak Riawani menyelipkan tentang persoalan kejahatan sosial dan ilegal trading yang merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di sekitar kita. Pada novel Jasmine, digunakan persoalan perdagangan seks yang kerap mengorbankan para wanita muda, dan pada novel Tarapuccino diselipkan tentang ilegal trading. Tentunya tema itu bukanlah tentang fiksi semata, melainkan berdasarkan pengamatan pada realitas yang sebenarnya. Adapun pada novel Perjalanan Hati ini, memang berbeda dan fokus terhadap tema yang dikemukanan. Sangat mengena dan memberi pelajaran berharga. Pada akhirnya, dengan segenap hikmah dan pelajaran di dalamnya, saya menyarankan kepada para pecinta novel tanah air untuk membaca dan memasukkan novel ini dalam salah satu daftar buku koleksi bacaan yang kita miliki. Tak ada ruginya karena memang mengandung hikmah dan pembelajaran. Untuk teman-teman yang sudah menikah dan mungkin bermasalah dengan kisah masa lalu, untuk teman-teman yang ingin memperbaiki kesalahpahaman dan buruk sangka, untuk teman-teman yang masih merencanakan rumah tangga, atau teman-teman yang bahkan tak memiliki satu pun alasan di atas, mari kita belajar tentang salah satu persoalan yang sangat mungkin kita hadapi berikut hikmahnya melalui novel ini. Satu pesan moral yang paling berkesan bagi saya, seperti saya kutip dari novelnya bahwa “pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat.” Sekian resensi saya, semoga bermanfaat bagi teman-teman semua. Happy reading...
Dalam bab awal, pembaca sudah dibuat penasaran dengan konflik yang diangkat dalam novel ini. Sangat bagus untuk mengikat pembaca yang mudah terpancing rasa penasaran [ini sih aku banget] agar tetap menyelesaikan bacaannya sampai akhir.
Mba Riawani memfokuskan cerita pada konflik yang diusung, serta pergolakan batin tokoh-tokohnya. bagaimana sebuah proses ‘memaafkan‘ terjadi meski dilalui dengan proses yang rumit, ditambah lagi orang-orang dari masa lalu datang dan berusaha mengambil posisi yang dirasa miliknya.
Tak ada pemeran antagonis disini, tapi Mba Riawani menghadirkan sebuah cerita dengan ‘keadaan‘ sebagai sosok antagonisnya.
Dalam novel ini, terdapat pesan moral yang disampaikan Mba Riawani mengenai kehidupan rumah tangga, dengan cara yang tidak terkesan menggurui. Selain itu, latar perjalanan ke Gunung anak Krakatau membuat pesan yang disampaikan lebih nyata karena menggunakan keindahan dan kekayaan ‘alam‘ sebagai perumpamaan. Seperti dalam menghadapi hidup pembaca dibuat berkaca pada apa yang disajikan alam.
Kalau berbicara tentang kekurangan dalam buku ini, aku rasa yang kutemukan hanya kekurangan pada jumlah halaman, hehehe. dan karena sedikitnya halaman ini, pergolakan batin para tokohnya jadi kurang jleb gitu.
Novel ini mengajak kita mengikuti perjalanan hati seorang Maira. Ia terombang-ambing dalam biduk rasa yang kental dengan aroma masa lalu. Perjalanan hati ini mengalun. Konflik demi konflik tidak terasa meledak-ledak. Ending pun tidak mengejutkan. Tapi, pembaca dimanjakan oleh diksi yang indah. Sangat menyentuh.
Judul Buku: Perjalanan Hati Penulis: Riawani Elyta Genre: Fiksi, novel, domestic drama, romance Penerbit: Rak Buku Thn terbit: 2013 Halaman : iv + 194
Cinta lama enggak mau mati juga. Mungkin ini tema sentral dari novel karya Riawani Elyta. Yaa gimana mau mati, celahnya muncul pada saat semua tidak lagi sama. Rumah tangga Maira dan Yudha dihadapkan pada ujian ketika celah masa lalu mengintip. Samar, jelas, namun seperti menarik kembali mereka pada pusaran masa lalu yang harusnya sudah ditutup rapat.
Seorang Maira yang sudah menutup masa lalunya sebagai seorang anggota Palatika alias organisasi pencinta alam di kampusnya, kembali menemukan semangat menjelajahi Anak Krakatau. Di kelompoknya ada Andri yang pernah membungakan harapan di hatinya dulu, sewaktu kuliah. Namun hingga akhir masa kuliahnya tak ada kejelasan apapun dari laki-laki itu. Nah kini masa lalu itu seakan muncul kembali, menguji keteguhan komitmennya dengan Yudha, suaminya.
Sementara Yudha pun sedang diombang-ambingkan masa lalunya bersama Donna. Itu pula yang membuatnya mengizinkan Maira pergi. Toh ia tahu ada adik Maira dan istrinya dalam rombongan tersebut.
Namun apakah masalahnya sesederhana itu ketika sepasang suami istri terkesan 'stealing the moment' dengan masa lalu masing-masing? Lalu mau dikemanakan biduk rumah tangga mereka? Apakah mereka rela menukar komitmen dengan bunga-bunga masa lalu yang belum tentu sewangi kala itu?
Ini yang coba diurai Lyta, begitu saya biasa menyapa penulis berbakat ini, dalam bentuk konflik batin masing-masing tokohnya. Simple namun mencoba menggiring pembaca pada misi merawat dan memperteguh komitmen dalam rumah tangga.
Dari segi konflik dan alur yang simple mungkin akan membuat pembaca yang terbiasa dengan kejutan dalam sebuah novel menjadi cenderung tidak sabar. Namun Lyta dengan piawai mengalihkan perhatian pembaca kepada pilihan kalimat yang cukup puitis dan selipan-selipan hikmah yang tersebar. Istimewanya lagi, hikmah tersebut 'blend in' dalam adegan demi adegan, dengan penataan kalimat yang apik, sehingga terkesan santun dan tidak menggurui.
Salah satu kekuatan Lyta juga menggambarkan setting lokasi secara detail. Begitu pula tentang Anak Krakatau ini. Jujur saja, ini bagian yang sangat menarik bagi pembaca yang visual. Kara-kata yang dipilih Lyta seperti melukiskan atau memotret situasi lokasi dengan jelas. Saya sendiri seolah ikut backpacker-an bareng Andri dan Maira cs di bagian ini.
Jelasnya, dalam 'pakem' novel romance memang kadang tak perlu kejutan yang besar dan alur yang ribet. Kebanyakan pembaca hanya ingin memanjakan diri dengan gambaran mereka tentang para tokoh dan tempat serta waktu yang ada di dalam novel tersebut. Bahkan kadang ending yang tertebakpun salah satu bagian yang mereka harapkan.
Namun Lyta dengan jeli memasukkan beberapa hal istimewa sehingga novel ini menjadi bukan sekedar novel romance biasa. Amanat penulis tersampaikan dengan lembut, menyatu dengan harapan pembaca untuk menemukan bahwa at the end of the story, they were live happily ever after. Justru dengan demikian pembaca mudah menyerap nilai-nilai yang ingin disampaikan penulis. Saya menyebutnya sebagai menebar kebaikan dengan berbisik, bukan dengan berseru apalagi berteriak.
Tapi sebenarnya tidak salah juga ketika misalnya novel ini dibuat lebih konpleks, seperti gaya menulis Lyta pada novelnya yang terdahulu, seperti Tarapuccino, Persona Non Grara, Hati Memilih, dan Ping ( yang ini berduet dengan Shabrina WS), juga seperti pada novel terbarunya, Dear Bodyguard dan A Miracle of Touch. Lyta seperti sengaja menahan energinya demi membuat novel dengan konflik sederhana (single conflict) seperti ini. Akibatnya, pada beberapa bagian justru power-nya Lyta tidak keluar. Ending yang predictable dibiarkan loose, tanpa memberi kesempatan pembaca untuk mereka-reka ending versi lain, the unpredictable one. Halaman 187 hingga 191 seperti tak bertenaga. Sayang sekali, padahal Prolog dan beberapa bab sesudahnya selalu meletikkan tenaga agar pembaca terus bersenyawa dengan cerita.
Yang juga bisa saya beri catatan pada novel ini adalah kepiawaian Lyta berpindah antara adegan satu ke adegan lain. Dengan jeli Lyta memilih POV orang ketiga untuk novel ini sehingga perpindahan antar adegan menjadi lebih smooth. Pembaca dengan gampang berpindah dari setting Yudha di kantornya, Popcorn Publishing, kemudian berpindah menyoroti perjalanan Maira, Andri, dan rombongannya. Coba bayangkan jika novel ini menggunakan POV orang pertama, akan dibutuhkan beberapa kalimat lagi untuk menandakan ini sedang memotret Yudha, dan itu memotret Maira. Sebab jika tidak teliti membaca, sepintas karakter Yudha dan Maira sedikit banyak memiliki kesamaan. Untungnya Lyta mengambil Point of View orang ketiga jadi tidak terlalu terasa.
Secara umum memang lebih mudah membedakan karakter para tokoh adalah dengan mengambil POV orang pertama. Tapi untuk kenyamanan berpindah antar adegan, dan ini dibutuhkan dalam novel romance yang lebih menitikberatkan pada adegan demi adegan, bukan pada eksplorasi psikologis misalnya, pengambilan sudut pandang orang ketiga sangat membantu.
Mungkin pengambilan sudut pandang ini juga relatif sifatnya. Yang terpenting adalah pembaca bisa merasakan adanya perbedaan atmosfir setiap ganti adegan. Dan ini bagusnya novel Perjalanan Hati ini. Selayaknya menonton sebuah film drama romantis, yang memanjakan mata penontonnya dengan keindahan adegan demi adegan, novel inipun demikian. Lewat diksi yang tertata rapi, penonton seperti dibawa bertamasya ke Gunung Anak Krakatau lalu mengikuti hectic-nya pekerjaan Yudha, dengan mulus dan nyaman.
Jadi, jika anda menginginkan sebuah novel yang manis dan lembut, saya rekomendasikan novel ini. Jangan lupa sediakan secangkir teh, kopi susu, atau coklat hangat serta cemilan untuk menemani perjalanan anda membersamai Yudha, Maira, Andri, dan Donna.
Setiap pernikahan punya tantangannya masing-masing. Ada tantangannya berupa kehidupan ekonomi yang belum mapan, hubungan dengan keluarga baru baik mertua atau ipar yang belum harmonis atau bisa jadi tantangan dalam menahan kerinduan karena selepas pernikahan harus berjauhan dengan suami karena alasan pekerjaan. Hey, yang disebut terakhir itu tantangan pernikahan saya. Ahahaha….
Beda pasangan beda tantangannya, nah, kalau tantangan yang dihadapi oleh rumah tangga Maira dan Yudha adalah CLBK : Cinta Lama Belum Kelar. Saat masa lalu menyembul masuk ke dalam rumah tangga mereka. Orang yang pernah mengisi dan mempunyai makna khusus dalam kehidupan sebelum menikah datang kembali ke dalam kehidupan rumah tangga mereka. Iiih… diduakan walau cuma dalam ingatan itu perih, Jendral!
Adalah Andri, seseorang yang dijumpai Maira pertama kali saat mengikuti pelatihan Mapala Palatika, hingga kemudian keduanya menjadi dekat. Tidak ada ikatan yang jelas antara keduanya tapi entah mengapa mereka berdua malah diberi gelar the best couple oleh teman-teman mereka. Kalau istilah emaknya Dul, TTM alias teman tanpa tapi mesra. Namun, Andri menghilang setelah toga bertenger di kepalanya. Walau memendam perasaan rindu pada Andri yang tak tau apa rindu itu berbalas atau tidak, tapi Maira sanggup move on, dan kemudian menikah dengan Yudha.
Tapi ya itulah pemirsa, cinta lama belum kelar. Jadi, saat Andri muncul kembali dalam kehidupan Maira, Maira pun terjebak nostalgia *nyomot judul lagu*. Maira yang sebelum menikah sudah berkomitmen ingin meninggalkan dunia pecinta alam, kini kembali ingin menelusuri dunia yang dulu pernah ditekuninya sebelum menikah. Maira berkeras untuk ikut sebuah trip menuju anak Karakatau dan Yudha mengizinkan. Walau Yudha tahu kalau dalam regu acara itu ada Andri, seseorang yang dahulu menempati tempat special di hati istrinya.
Ada faktor lain yang membelakangi kenapa Yudha mengizinkan istrinya ikut yaitu karena kehadiran kembali Donna, seseorang yang pernah menjalin hubungan special dengan Yudha dahulu. Jadi? Mereka sama-sama bernostalgia dengan masa lalu masing-masing? *gebrak meja*
Itulah cerita dari sebuah novel berjudul Perjalanan Hati yang ditulis oleh Riawani Elyta. Sebuah novel tentang cerita rumah tangga yang dibumbui dengan cinta lama belum kelar. Novel yang konfliknya terasa datar karena tokoh-tokoh yang tadinya saya harapkan bisa membikin konflik berapi, ternyata tidak terlalu nendang kehadirannya. Ketika membaca lembar demi lembar dan saya berharap ada benturan yang lebih tajam antar tokoh di dalamnya, misalkan Andri dengan Yudha yang bakal saling tinju atau Maira-Donna yang saling jambak seperti yang terjadi di sinetron-sinetron itu loh Cyiin. Tapi apa yang saya harapkan itu tidak terjadi di novel ini. Duilee… Apa saya kebanyakan nonton sinetron ya? Walau saya akui, justru sikap mereka itu terasa elegan di mata saya.
Walau berisi konflik yang menurut saya kurang nendang, tapi Perjalanan Hati dikemas dengan diksi yang puitis dan manis yang menjadi nilai plus novel ini. Begitu pun dengan deskripsi tentang perjalanan mendaki Anak Karakatau. Pembaca diajak menelusuri tiap jengkal perjalanan dan juga mengenal dunia backpacker. Judul yang dipilih pun memang teramat sangat pas dengan apa yang saya rasakan ketika membacanya. Saya merasa sedang melakukan perjalanan hati, menelusuri apa yang terjadi pada hati tokoh utamanya dan saya merasa lebur dalam sosok Maira. Selain itu, ada banyak kutipan-kutipan cantik yang hadir di dalam novel ini.
Siapa pun tahu, kalau pria dan wanita itu, seperti dua kutub magnet yang tarik menarik. Tetapi, yang satu tidak akan berusaha mendekat, apalagi sampai menarik, kalau tidak ada sinyal yang dikirimkan oleh pihak yang satunya lagi (Hal 100)
Pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat (Hal 53)
Cara kerja jodoh, terkadang memang unik dan tak terbaca, bukan? Saat berada pada dimensi yang sama, kita justru seperti tidak saling mengenal. Tetapi saat telah terpisah dan mengisi dimensi hidup yang berbeda, barulah kita kembali dipertemukan dan mengalami pertautan hati (Hal 26)
Terkadang, ada bagian masa lalu yang cukup kita jadikan kenangan dan pelajaran, bukan untuk dibawa bersama dalam kehidupan yang sekarang, karena kehadirannya justru hanya akan menjadi kerikil yang menusuk dalam diam (Hal 186)
Banyak pelajaran yang tersirat atau pun tersurat yang bisa diambil dari novel ini. Satu contoh saya sebutkan, keharusan seorang istri untuk meminta izin pada suaminya jika hendak berpergian seperti yang tergambar dalam novel ini. Maira, walau dalam keadaan suasana hati tak menentu karena kehadiran Donna tetap meminta izin pada Yudha ketika mau pergi. Yudha pun memberikan izin dengan pertimbangan ada seorang mahram istrinya dalam perjalanan tersebut. Ya, dalam perjalanan itu ada adiknya Maira, Ibra dan istrinya. Dan banyak pelajaran lain yang ada di novel ini tanpa unsur menggurui karena terselip dengan apik dalam cerita.
Novel yang sangat bagus dibaca bukan hanya untuk mereka yang tengah menjalani yang namanya pernikahan tapi juga buat yang belum menikah atau yang belum kepikiran menikah kapan. Walau novel tentang rumah tangga, tapi novel ini dikemas dengan sangat santun. Nggak ada deh adegan yang aneh-aneh. Eh, kenapa saya bilang novel ini bagus buat yang belum menikah? Karena dengan membaca novel ini kita jadi diingatkan lagi untuk tidak melakukan sesuatu sebelum menikah yang bisa menimbulkan luka di masa yang akan datang.
Aku yang menapaktilasi masa lalu, mencoba menari rasa yang terserak untuk menetapkan hati
Aku yang berjalan mengitari hatinya, mencoba mencari getaran itu kembali
Ketika semua rasa terasa hampa, apakah kau masih mau berdiri di sana...
Menungguku pulang dan memelukku erat
Kisah tentang Maira yang secara tiba-tiba meminta ijin Yudha – suaminya – untuk mengikuti agenda backpacker ke anak gunung krakatau yang diaadakan oleh agensi milik adiknya, Ibra. Permintaan yang terkesan mendadak, paska kedatangan Donna - seseorang dari masa lalu Yudha - untuk menemui Maira beberapa waktu sebelumnya. Donna menceritakan tentang kisah mala lalunya dengan Yudha dan “dosa” yang pernah mereka buat. Kepergian Maira terkesan janggal bagi Yudha, terlebih dengan komitmen yang dibuat Maira dua tahun lalu sebelum Maira dan Yudha melangsungkan pernikahan, menimbulkan pertanyaan di benak Yudha terkait alasan kepergian Maira melakukan hobi lamanya.
Di perjalanan, Maira bertemu dengan Andri, seseorang yang pernah menempati ruang hatinya. Yang juga menjadi salah satu alasan Maira mengikuti agenda perjalanan ini. Pertemuan selama menuju destinasi wisata mau tidak mau kembali menimbulkan kenangan manis kebersamaan mereka. Sejenak melupakan apa yang tengah terjadi dengan rumah tangganya bersama Yudha, sambil menetapkan hatinya kemanakah hatinya akan berlabuh paska perjalanan ini? Menjauh pada kenyataan tentang masa lalu Yudha dan bersama Andri, atau mengubur kenangan manis kebersamaan bersama Andri dan kembali menerima Yudha?
Permasalahan yang simple, namun dikemas dengan cara yang menarik. Melakukan perjalanan untuk menemukan sebuah jawaban dari permasalahan yang tengah dihadapi. Dengan jumlah halaman yang tidak banyak, penyelesaian dari masalah ini juga tidak bertele-tele. Namun tetap bisa membawa pembaca terlibat dalam pergolakan emosi yang dialami para tokohnya.
Beberapa quote mewarnai kisah Maira dan Yudha, setiap di awal chapter selalu diawali dengan kalimat kunci. Beberapa quote tersebut;
“terkadang, cara kerja takdir memang unik dan baru dipahami manusia saat peristiwa itu telah berlalu” (hal. 7)
“cara kerja jodoh, terkadang memang unik dan tak terbaca, bukan? Saat berada pada dimensi yang sama, kita justru seperti tidak saling mengenal. Tetapi saat telah terpisah dan mengisi dimensi hidup yang berbeda, barulah kita kembali dipertemukan dan mengalami pertautan hati.” (hal. 26)
“tentang sebuah rasa yang terus tumbuh da terpelihara. Jika tidak pada tempatnya, maka ia tak ubahnya ilalang kering” (hal. 73)
“pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat” (hal. 53)
“Rintangan ada untuk kita hadapi dan taklukkan, bukan untuk dihindari apalagi sampai mencari pelampiasan jika merasa tak sanggup menghadapinya” (Hal. 117)
Namun, ada beberapa hal yang membuat saya terganggu membaca kisah ini. Di halaman 56, terdapat kata “kibor” yang maksudnya ada keyboard laptop atau komputer. Kenapa tidak ditulis sebagaimana harusnya? Jadi terlihat aneh. Dan di halaman 59, katan “napsu” yang seharusnya”nafsu” atau dimiringkan jika memang itu bahasa tidak baku. Dihalaman 59 juga, perubahan tiba-tiba kata sapaan yang digunakan Surya dan Yudha dalam percakapan mereka terkesan janggal. Ada beberapa kalimat yang menurut saya janggal, misalnya:“Maira menangkupkan kedua tangannya ke atas topinya”
Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, saya tetap enjoy menikmati novel ini. Ada info baru yang saya dapatkan. Dan selipan penyakit yang jarang diangkat oleh kisah-kisah pada umumnya, menjadi kejutan di novel ini. Kualitas kertas sesuai dengan harga yang dibuat untuk novel ini, walaupun bagi saya tetap tergolong mahal jika dibandingkan dengan ketebalan novel yang tidak seberapa.
Demikian review singkat dari saya, selamat membaca dan semoga bermanfaat
Masa lalu, setiap orang pasti memilikinya, entah itu masa lalu yang ingin terus dikenang atau pun yang ingin dilupakan. Demi menapaki masa lalu itu pula, Maira meminta ijin kepada Yudha, suaminya, untuk dapat mengangkat ransel lagi menaiki Anak Gunung Krakatau.
Yudha merasa aneh dengan keinginan Maira tersebut, karena Maira sudah berjanji bahwa perjalanannya 9 bulan sebelum pernikahan mereka adalah untuk yang terakhir kalinya. Dan kecemasan semakin menjadi ketika dia teringat bahwa manta kekasihnya, Donna, menemui Maira ketika Yudha sedang tidak ada di rumah. Pertanyaan tentang apa yang telah disampaikan Donna kepada Maira merupakan mimpi buruk yang terus menghantui Yudha sejak saat itu. Sekali lagi jawabannya adalah masa lalu. Masa lalu yang disembunyikan Yudha dari Maira bagaikan bom waktu yang siap meledak kapan pun. Di saat Yudha mulai was-was akan masa lalunya, Maira justru mengalami kegamangan hingga memutuskan untuk menjajaki hatinya kembali pada laki-laki dari masa lalunya, Andri.
Di novel Perjalanan Hati ini si penulis dengan apik menata lika-liku perjalanan hati para tokoh utamanya. Dialog yang terjadi antar tokoh bahkan dialog pada diri tokoh itu sendiri membuat kita semakin mengenal karakter yang ingin ditampilkan dalam cerita.
Maira yang dalam kekalutannya setelah mengetahui rahasia masa lalu Yudha bisa bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Yudha yang tampak tenang walau telah mengetahui maksud dari keinginan istrinya ketika meminta ijin untuk pergi. Donna, wanita yang digambarkan sebagai sosok yang kuat tetapi malah terjerumus emosi sesaat hingga menyebabkan keretakan rumah tangga Yudha-Maira. Dan Andri, lelaki petualang yang menantang untuk ditaklukan.
Penulis sangat piawai dalam membangun karakter para tokoh terutama Andri. Andri ini merupakan tokoh yang sangat menarik menurut sudut pandang saya. Petualang sejati yang tidak bisa terikat ruang dan waktu, tentu saja pembaca bertanya-tanya hubungan seperti apa yang akan terjalin kembali antara Andri dan Maira setelah pertemuan mereka itu. Apakah Maira sanggup menolak pesona lelaki ini?
Novel Perjalanan Hati mengetengahkan persoalan keluarga yang bisa terjadi dalam pernikahan mana pun. Kekecewaan tak terbendung terhadap pasangan yang membuat mereka ingin kembali ke masa lalu dapat menghantarkan pada konflik yang berkepanjangan.
Selain cover dengan warna lembut yang memikat, novel ini juga sarat dengan deskripsi latar yang yang menarik. Contohnya deskripsi tentang Gunung Anak Krakatau, ketika membacanya seakan-akan kita pun bisa merasakan debu-debu yang begitu banyak di sekitar kita. Pemilihan kata/diksi juga terkesan puitis.
Walau pun novel ini memiliki banyak kelebihan, ada beberapa hal yang membuat saya merasa agak janggal. Novel ini berbahasa Indonesia, akan tetapi mengambil bahasa asing ‘chapter’ yang berarti ‘bab’ pada setiap penggalan adegan. Juga pemilihan istilah atau bahasa asing yang belum familiar bisa ditambahkan berupa catatan kaki atau arti setelah kata tersebut. Semisal pada kalimat “...jaket ber-capuchon...” (hlm. 43). Dan setahu saya, dialog si tokoh pada diri sendiri (biasanya dalam hati) seharusnya ditulis dalam kalimat yang dimiringkan, tetapi pada novel ini banyak sekali dialog yang tersebut yang masih memakai huruf tegak, sehingga kadang membingungkan. Beberapa kejanggalan yang saya rasakan bukan semata kesalahan penulis, tapi lebih pada editorialnya (maaf lo ya).
Akhir cerita adalah antiklimaks yang begitu cepat setelah klimaks yang mendebarkan. Seakan-akan masalah sudah harus selesai sekarang dan semua baik-baik saja. Juga agak mengganjal. Dan interaksi yang sangat sedikit antara Maira dan Ibra dalam perjalanan tersebut padahal keduanya bersaudara.
Yang perlu digarisbawahi dari konflik rumah tangga antara Yudha dan Maira adalah memendam masalah sendiri dalam sebuah rumah tangga adalah keputusan ang salah. Mungkin ingin tampak kuat dan tegar tapi hal itu justru dapat membuat hubungan tidak lagi harmonis. Komunikasi adalah hal utama yang harus tetap dijaga .
Pernikahan nggak selamanya menjadi gembok besar yang menghalangi kesempatan orang lain untuk memasukinya selama yang empunya juga selalu alpa memasang gembok itu rapat-rapat. (Andri, Hal 53)
Izinkan saya mengutip kalimat tersebut sebagai pembuka resensi ini. Sebuah quote yang sukses membuat saya geregetan dan rasa-rasanya ingin sekali menonjok lelaki bernama Andri di dalam novel Perjalanan Hati karya Riawani Elyta.
Lantas, siapakah Andri?
Bagi saya, kehadiran Andri dalam novel setebal 194 halaman ini menjadi sebuah magnet tersendiri. Padahal, dia bukanlah tokoh utama di sini. Adalah Maira dan Yudha, sepasang suami istri yang harus melakukan perjalanan hati dengan caranya masing-masing untuk menyelesaikan prahara yang menyelimuti rumah tangga mereka. Dan Andri, hanyalah bayangan masa lalu Maira. Namun, kehadirannya memiliki andil besar dalam kenangan yang diputar kembali (secara sengaja) oleh Maira.
Maira dan Yudha adalah dua sejoli yang semasa di kampus merupakan penggiat alam. Pernikahan membuat keduanya menghentikan aktivitas di alam liar karena kondisi keduanya yang memang tak lai memungkinkan. Yudha sibuk kerja, Maira memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun, tentu ada tanda tanya besar dalam pikiran Yudha saat Maira tiba-tiba meminta izin untuk melakukan keiatan backpacking ke anak Krakatau. Dugaan singkat Yudha, hal tersebut berkaitan dengan Donna, wanita di masa lalu Yudha.
Ini adalah novel bergenre domestic romance dengan alur yang agak lambat namun menyisakan kesan nano-nano di setiap babnya. Pembaca seolah diajak mendalami perasaan masing-masing tokoh, ditarik untuk terlibat dalam konflik yang mengemuka, dan dibuat penasaran dengan ending perjalanan hati mereka.
Oya, satu hal yang saya sendiri tersadar setelah mengumpulkan kutipan-kutipan menarik dalam buku Perjalanan Hati. Sang Penulis agaknya teramat senang menggunakan kata ‘terkadang” sehingga kata tersebut cukup sering ditemukan dalam novel ini. Ya nggak masalah sih. Terkadang, ada hal-hal detil –gak penting- yang perlu disampaikan untuk kepuasan si pembuat resensi. Hehe..
Judul | Perjalanan Hati Penulis | Riawani Elyta Penerbit | Rak Buku Tahun terbit | 2013 Tebal | iv + 194 Hal ISBN | 602175596-0
Tadi sempet baca-baca review yang lain-lain sambil mengingat-ngingat 'feel' bukunya. Lalu sempet kepikir, kok aku kasih bintang 3 doang ya? Hahaha... Tapi mungkin jawabannya, karena aku lebih suka cerita-cerita yang penuh kejutan.
Mungkin lebih tepat kalau dibilang, novel ini sangat realistis. Cerita yang mungkin sering dialami orang-orang, tentang kisah cinta masa lalu yang kembali. Tapi kalau novel-novel lain, kebanyakan akan menjadikan ini sebagai konflik yang berbenturan, Mbak Lyta malah bikin kedua tokoh utamanya 'pisah' saat konflik terjadi, dan masing-masing 'menata hati'nya sendiri.
Secara cerita, aku suka banget. Karena nggak berlebihan, terasa nyata, tapi emosi para tokohnya juga bisa kita rasain pas baca novelnya. Aku suka hampir semua tokohnya. Mereka nggak 'wah', tapi terasa alami :)
Kekurangan ... sejauh yang kuinget sih, bagian paling 'mengganggu' itu di salah satu flashback Maira-Andri yang sempet bikin aku kecele. Perlu waktu beberapa saat buat aku buat mikir flasback-nya dari mana sampai mana.
Dan, mungkin akhirnya. Suka sih endingnya, tapi karena adegan-adegan 'seperti itu' biasanya jadi pemicu konflik, di ending novel ini diselesaikan begitu saja. Jadi terasa mengganjal. Aku sih sempet ngarepnya ada sedikit riak lagi. Sedikiiiit aja. Biar nggak smooth banget gitu endingnya.
Sebetulnya masuk akal juga sih ending itu. Terasa manis. Cuma .
Oke, sampai sini saja dulu racauanku. Walau yang ini oke, tetep aja favoritku masih First Time In Beijing ada unsur bias sih. :D
Dikirimin buku ini bersama dua buku lainnya dari Rak Buku Publisher. Thank you, Rak Buku Publisher hehe. I enjoy my whole time readin it. So, it's review's turn!
Desain covernya cewe banget. Agak kurang suka sama covernya. Tapi ya sudahlah, tak apa. Blurb-nya sesuai bgt sama konten. Untuk urusan diksi, sweet sekali. Kata-katanya runut banget. Tema alias gagasan cerita tentang kehidupan rumah tangga pasutri yang lg kena masalah. Seorang mantan pacar sang suami (Yudha) tiba-tiba mendatangi sang istri (Maira) dan mengatakan sebuah kebenaran bahwa si Yudha sebenernya dulu waktu belum menikah sama Maira, menjalin suatu hubungan kelewat batas dg si mantan yg bernama Donna ini. Yudha ternyata punya anak dg Donna, bernama Doddy. Maira jelas kaget bukan kepalang. Terus, ga cuma Yudha yg bermasalah. Maira juga. Maira masih teringat terus sama mantan gebetannya jaman ngampus dulu, Andri. Andri dan Maira ini sebenernya kawan satu ekskul gitu (Pasmala alias pecinta alam). Yudha juga. Jadi, Yudha, Maira, dan Andri saling kenal. Jadilah Maira merencanakan suatu perjalanan wisata ke Krakatau untuk bertemu lagi dengan Andri.
Maira mencoba mengulang rasa-rasanya dulu dengan Andri, dan Yudha keep tryin untuk menyelesaikan masalahnya yang ternyata belum selesai dengan Donna. Endingnya...silakan beli dan baca bukunya hehehe.
Untuk penokohan gue suka sama tokoh Yudha. Spesial character for him. Deskripsi baik dari penampilan, cara berbicara, semuanya menguatkan karakter Yudha itu sendiri.
Ini tulisan Riawani Elyta pertama yang gue baca, sekaligus pengenalan cara menulis beliau, nih. 3 of 5. 1 bintang sudah pasti gue sematkan untuk Yudha. Hehehe.
Konflik dari novel ini sebenarnya sangat sederhana, bahkan biasa. Akan tetapi konflik-konflik hatinya berkesan. Jumlah halaman yang relatif tipis justru pas dengan kebutuhan, karena konflik jadi tak bertele-tele. Bahasanya juga halus, rapi, bahkan beberapa cukup puitis. Memang untuk novel-novel dengan alur lambat, mestinya harus diimbangi dengan diksi dan renungan-renungan yang berisi. Dengan demikian, konsentrasi pembaca bisa dialihkan ke diksi yang disajikan. Sedikit terganggu dengan sakitnya Dody yang hemofilia. Mengapa harus sakit itu, sih? Agar terlihat dramatis? Dan jikapun dia hemofilia, tak disebutkan dari gen ayahnya atau ibunya, karena penyakit itu merupakan penyakit keturunan. Kalaupun hemofilia, mengapa tak dimanfaatkan untuk melengkapi konflik, misal sebagai bukti adanya keterkaitan genetik--dan tentunya harus ada satu penyangkalan dari Yudha bahwa Dody adalah anaknya. Cara membangun karakter juga cukup moderat, dalam artian, karakter tidak dibangun secara perfect seperti dongeng yang cenderung hitam-putih. Sebagai pembaca yang selalu mengikuti karya-karya Riawani, saya puas dengan novel ini. Dewasa, mature!
Kalau mau baca review saya, bisa baca di sini: http://resensi-buku-buku.blogspot.com... Sebenarnya sudah bulan lalu bacanya, tapi baru bikin review sekarang.#info dan permintaan maaf buat yg ngasih buku-nya :p
Review ini juga saya ikutkan dalam Indonesian Romance 2013 RC yang diadakan oleh Yuska di blognya LustandCoffee.
Judul : Perjalanan Hati Penulis : Riawani Elyta Penerbit : Rak Buku Tebal : iv + 194 hlm. Terbit : 2013 Harga : Rp 43.000,00
Blurb: Suara dari masa lalu itu masih berembus kencang. Menyergapku dalam rindu yang dingin. Ia bercerita tentang sebuah rasa yang terus tumbuh dan tepelihara. Jika tidak pada tempatnya, maka ia tak ubahnya ilalang kering. Kusadari, bayang-bayangmu tak hadirkan rasa benci, tetapi rindu yang perlahan-lahan berembus. Ini cerita tentang aku Aku yang menapaktilasi masa lalu, mencoba mencari rasa yang terserak untuk menetapkan hati Aku yang berjalan mengitari hatinya, mencoba mencari getaran kembali Ketika semua terasa hampa, apakah kau masih mau berdiri di sana.... menungguku pulang dan memelukku erat
Pembahasan: Novel yang relatif tipis ini menceritakan tentang konflik yang terjadi pada rumah tangga Maira dan Yudha yang telah dijalani selama dua tahun. Maira, tiba-tiba meminta izin kepada Yudha untuk melakukan kegiatan backpacker ke anak gunung Krakatau – kegiatan yang sejak menikah sudah tidak pernah mereka lakukan lagi. Keputusan Maira untuk mengikuti kegiatan tersebut, tentu saja tidak datang begitu saja. Keputusan ini dipicu kedatangan Donna, mantan pacar Yudha, yang menceritakan dosa-dosa Yudha di masa lalu. Tentu saja, hal ini membuat Yudha curiga, tapi toh akhirnya dia mengizinkan juga. Selain itu, keputusan Maira untuk menggeluti hobi masa lalunya ini adalah karena Andri - seseorang yang spesial dari masa lalu Maira pun mengikuti agenda perjalanan ini. Seseorang yang menyisakan banyak kenangan indah. Seseorang yang menghilang begitu saja sebelum perasaan itu terwujud dalam suatu hubungan resmi. Dan, perasaan rindu terhadapnya tiba-tiba muncul begitu saja tanpa bisa ia cegah. Perjalanan hati pun dimulai. Perjalanan penuh kecemasan dan kegamangan menjalani sebuah hubungan. Apakah kedekatan Maira dengan Andri dalam perjalanan ke anak gunung Krakatau akan menjebak mereka dalam kerinduan masa lalu dan memperbarui hubungannya percintaan mereka? Ataukah ia berhasil meredam konflik batinnya, lalu kembali kepada Yudha dan memaafkan dosa-dosa masa lalunya? Dan apakah Yudha akan kembali kepada Donna, terlebih saat mengetahui bahwa anak hasil hubungan mereka menderita hemofilia? Seperti biasa, Riawani Elyta sangat lihai menulis novel dengan tempo lambat seperti ini. Konfliknya pun sangat biasa dan sudah sangat sering diangkat dalam karya fiksi. Akan tetapi, sang penulis dapat membuat novel ini menjadi sangat menarik dengan bahasanya yang halus dan puitis. Konflik dalam novel ini juga sangat manusiawi, tidak dilebih-lebihkan seperti sinetron, tidak pula twist yang akan membuat kita tercengang. Buku dengan sampul bergambar hati, awan, dan burung-burung ini mempunyai nilai plus dengan banyaknya pelajaran tentang mengarungi kehidupan rumah tangga yang dapat kita petik. Seperti, kewajiban istri meminta izin kepada suami meskipun hatinya sedang tidak berdamai dengan suami, dan tentu saja yang paling penting adalah bagaimana cara bersikap ketika keburukan-keburukan masa lalu terkuak, dan atau cinta lama yang kembali menyambangi hati. Selain itu, banyak sekali quote keren bertebaran di novel ini. Satu hal yang menurut saya cukup mengganggu, beberapa kata berbahasa Inggris tidak dicetak miring, di samping beberapa tanda baca yang kurang tepat. Dan, menurut saya, tokoh-tokoh dalam novel ini sangat anteng, apalagi sikap Donna yang di akhir cerita membuat saya cukup geregetan. Sehingga – untuk penggemar flashfiction seperti saya – cerita ini terkesan gitu doang? Oh ya, satu lagi kelemahan novel ini adalah ketidakkonsekuenan kecil dalam cerita. Di awal, diceritakan bahwa saat mengizinkan Maira pergi, Yudha belum tahu kalau Andri juga mengikuti trip itu. Sedang pada bagian akhir, diceritakan sebaliknya. Yah, tapi itu tak mengurangi esensi cerita, kok. Terlepas dari itu, novel ini sangat bagus untuk sebuah perenungan bagi yang rumah tangganya sedang dalam kepungan pasukan nostalgia, pun untuk yang sedang bersiap-siap menuju bahtera rumah tangga, bahwa saling percaya dan berdamai dengan masa lalu itu sangat dibutuhkan dalam berumah tangga.
sebenarnya buku ini 'lengkap': diksi bagus, cerita realistis, dan (yang saya suka) idealis :). tapi ada satu scene yang bener2 mengganggu menurut saya, karena dialog yang berkesan 'menggurui'. sayang banget :(