Jump to ratings and reviews
Rate this book

Hujan Bulan Juni

Rate this book
AKU INGIN

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono, 1989

128 pages, Hardcover

First published October 1, 1994

577 people are currently reading
8459 people want to read

About the author

Sapardi Djoko Damono

122 books1,588 followers
Riwayat hidup
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison", "Basis", dan "Kalam".

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.

Kumpulan Puisi/Prosa

* "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
* "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
* "Mata Pisau" (1974)
* "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
* "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
* "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
* "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
* "Perahu Kertas" (1983)
* "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
* "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
* "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
* "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
* "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
* "Hujan Bulan Juni" (1994)
* "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
* "Arloji" (1998)
* "Ayat-ayat Api" (2000)
* "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
* "Mata Jendela" (2002)
* "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
* "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
* "Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
* "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

Musikalisasi Puisi

Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.

* Album "Hujan Bulan Juni" (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
* Album "Hujan Dalam Komposisi" (1996) dari duet Reda dan Ari.
* Album "Gadis Kecil" dari duet Dua Ibu
* Album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
* satu lagu dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti", berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.

Buku

* "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,993 (45%)
4 stars
1,660 (38%)
3 stars
531 (12%)
2 stars
89 (2%)
1 star
87 (1%)
Displaying 1 - 30 of 436 reviews
Profile Image for Pera.
231 reviews45 followers
July 10, 2007
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

...so sweet
Profile Image for Dee.
Author 29 books5,572 followers
July 26, 2007
An influencer. A soul-quencher. A measuring bar.
This book has been a classic answer whenever I got the classic question: "if you can only keep one book in a stranded island until God knows when, what will it be?"
First, poems don't easily bore you for they can have limitless interpretations. Second, Hujan Bulan Juni will definitely shower you with magnificient, well-crafted, yet simple and striking metaphors. "Hujan Bulan Juni" and "Aku Ingin" remain as my eternal favorites.
This book had influenced me a lot in writing lyrics and (unpublished) poems. The down side? Sapardi's eloquence overshadowed my confidence that I decided not to publish any of my poems. Minder, bo. But again, that is entirely my personal problem, and I won't let it taint this masterpiece of one of the Indonesia's greatest poets.
Some of Sapardi's poems are also translated to English, under a title "Suddenly the Night".
Profile Image for Liana.
4 reviews2 followers
January 7, 2008
duh speechless ma ni buku..

gadis kecil

ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis-
di pinggir padang ada pohon dan seekor burung

hujan bulan juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

c`est magnificent...
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
December 13, 2008
Jika ada yang bertanya pada saya, siapakah penyair Indonesia yang begitu tergila-gila pada hujan dalam sajak-sajaknya? Saya akan menjawab : Sapardi Djoko Damono. Entah sudah berapa banyak puisi dan syair tentang hujan yang ia goreskan. Di buku kumpulan puisi ini saja (Hujan Bulan Juni), ada delapan buah dari jumlah keseluruhan sembilan puluh enam, yang memakai kata "hujan" dalam judulnya (Hujan Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi 1, Hujan dalam Komposisi 2, Hujan dalam Komposisi 3, Di Beranda Waktu Hujan, Ku Hentikan Hujan, Hujan Bulan Juni, Hujan, Jalak, dan Daun Jambu), dan satu memakai "gerimis" (Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang). Itu belum terhitung puisi-puisi yang di dalamnya memuat kata "hujan".

Oiya, saya mendapatkan buku ini secara tidak sengaja di sebuah toko buku di Bogor, terselip di antara buku-buku lain yang berderet di rak-rak buku sastra. Seperti menemukan harta karun saja rasanya waktu itu, mengingat telah lama saya ingin benar memiliki buku tersebut yang kelihatannya sudah jarang terdapat di toko-toko buku. Maka, tanpa sempat berpikir lagi, langsung saja saya sambar buku yang tinggal satu-satunya di rak itu.

Membaca puisi-puisi Sapardi, seperti meneguk oase di tengah padang pasir tandus gersang : menyejukkan. Atau bagaikan mendengar denting gitar akustik di tengah malam senyap : bening menentramkan. Atau laksana bisik gemericik air di sela bebatuan : lirih menenangkan. Saya tak lagi memikirkan makna yang terkandung dan maksud yang ingin disampaikan Sapardi lewat puisi-puisinya itu. Saya hanya tahu bahwa puisi-puisi tersebut indah dan saya menikmatinya dengan rasa hati, rasa kalbu, rasa jiwa. Deretan kata dalam puisi-puisi cintanya bagaikan sihir, memukau, membius, memesona, menghanyutkan..... Kata Goenawan Muhammad, puisi-puisi Sapardi merupakan puisi-puisi yang harus (karena layak) dicemburui.
Pemuda-pemudi yang tengah dilanda cinta sering mengutipnya dalam kartu-kartu Valentine bagi para kekasih mereka. Yang paling terkenal -- salah satu puisi favorit saya -- tentu saja : Aku Ingin (1989 - hal.96) Saya suka iseng-iseng melamun, membayangkan Sapardi waktu muda dahulu. Dengan kemahirannya merangkai kata menjadi bait-bait indah, berapa banyak sudah gadis yang jatuh cinta dan terpaksa patah hati dibuatnya? Coba saja simak ini :

dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya
(Dalam Diriku - hal.81)

Buku ini memuat puisi-puisi Sapardi yang ditulis dalam rentang waktu tiga puluh tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sebagian besar pernah terbit dalam beberapa kumpulan sajak.

Lulusan Fakultas Sastra UGM (1964) ini, pada tahun-tahun kejayaannya dulu -- bahkan hingga kini -- menjadi panutan para penyair muda. Gaya bersajaknya banyak ditiru dan memberi pengaruh pada para penulis pemula, terutama di Yogyakarta. Kumpulan puisinya yang berjudul Sihir Hujan, menerima anugerah "Puisi Putra II" dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia pada 1983. Buku pusinya yang lain adalah : duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Arloji (1999), Ayat-ayat Api (2000), dan Mata Jendela (2001). Selain itu, ia juga menulis cerpen yang terkumpul dalam Pengarang Telah Mati (2001) serta Membunuh Orang Gila (2003).

Ah ya! Kini sudah Juni, saya ingin menggumamkan sajak ini:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Hujan Bulan Juni - hal. 95)

(Eh, andaikan hujan memiliki royalti, berapa ya yang harus dibayar Sapardi?)
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
October 31, 2016
SAJAK-SAJAK SEPI

PADA tahun 1975, di majalah Horison, H.B. Jassin menulis komentarnya tentang sajak-sajak sepi: sajak-sajak yang dianggit dari menara gading, dalam kesendirian renungan pengarangnya, tentang segala sepi dan cinta.

Satu sajak yang disebut H.B. Jassin sajak sepi adalah Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar.

Sajak-sajak itu juga sajak Sementara Kita Saling Berbisik karangan Sapardi Djoko Damono tahun 1966:

sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa
unggun api
sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi


Seperti kita rasakan sejak awal, sajak Sementara Kita Saling Berbisik punya tema yang sebenarnya biasa pada diri anak muda: percintaan. Dalam sajak Sapardi itu berarti cinta yang lirih, cinta melalui percakapan-percakapan “berbisik”—tapi juga cinta yang “bersikeras abadi”. Ketika kita membaca Sementara Kita Saling Berbisik, kita yakin cinta tidak mesti menggebu-gebu dan disaksikan khalayak ramai. Sapardi menjaga cinta, seperti puisi-puisinya, menjadi persoalan yang amat pribadi sifatnya.

Sajak sepi semacam itu, tentu saja, bukan sajak yang dipenuhi teriakan-teriakan politik atau moral. Di sekitar tahun dibuatnya sajak itu, puisi-puisinya tidak dekat dengan tema “realisme-sosialis”—waktu itu umur Sapardi 20-an—yang menghendaki adanya corak perjuangan dan pergolakan rakyat dalam karya sastra.

●●●
Sapardi Djoko Damono tidak punya pengalaman hidup yang bertema petualangan, pertempuran, atau pertarungan fisik. Jiwanya bukan jiwa yang bergolak. Ia tidak punya pengalaman aneh-aneh, “yang penuh avontur” (meminjam kalimat A.A. Navis), untuk menjadi “bahan yang luar biasa untuk diberitakan” dalam bentuk roman, cerpen, atau puisi. Sapardi pernah mengatakan: sejak kecil ia bukan anak bandel, bukan anak jagoan.

Dari situ kita paham kenapa sajaknya tidak meledak-ledak. Saya kutip Hujan, Jalak, dan Daun Jambu, tahun 1992:

Hujan turun semalaman. Paginya
jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
mereka tidak mengenal gurindam
dan peribahasa, tapi menghayati
adat kita yang purba,
tahu kapan harus berbuat sesuatu
agar kita, manusia, merasa bahagia. Mereka
tidak pernah bisa menguraikan
hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu
kapan harus berbuat sesuatu, agar kita
merasa tidak sepenuhnya sia-sia.


Puisi itu punya tempo yang tenang—puisi suasana yang cocok dibaca, tentu, pada pagi hari setelah “hujan turun semalaman”. Di dalamnya ia berbicara tentang “jalak” dan “daun jambu” yang mampu menenangkan hati manusia. Seperti puisi-puisinya yang lain (puisi Ketika Jari-jari Bunga Terbuka yang memakai kata “bunga”, “kabut”, “kupu-kupu”; puisi Bunga-bunga di Halaman membawa-bawa kata “mawar”, “bunga rumput”; dst.), sajaknya dekat dengan alam.

Karangan semacam itu, saya kira, hanya bisa muncul dari kepekaan penulisnya terhadap alam. Juga di dalamnya ada pengalaman. Orang yang menghabiskan hidupnya di perkotaan akan sulit menuliskan puisi semacam itu (orang yang mungkin seperti penduduk Jakarta yang sampai umur 20-an tidak pernah melihat sawah secara langsung, seperti kisah yang pernah saya dengar).

Barangkali ini yang pernah disebut A.A. Navis “menulis dengan model”. Menulis dengan model berarti menulis bukan hanya murni dari khayalan. Memang, menulis bisa saja murni dari khayalan, tapi, menurut A.A. Navis, dari sana biasanya karangan kurang hidup.

Dalam diri Sapardi, pengalaman dan kepekaan terhadap alam itu bergabung dengan kelebihannya dalam memilih dan menyusun kata secara ketat.

●●●
Sapardi tidak tumbuh dari lingkungan sosial yang suka membaca seperti lingkungan Wildan Yatim. Dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang yang terbit pertama tahun 1982, Wildan Yatim menceritakan lingkungan keluarganya yang menjadikan membaca sebagai tradisi. Wildan punya ayah yang selalu membuka buku, bahkan saat istirahat dari mencangkul di sawah atau saat ada di kebun. Almarhum kakeknya konon adalah satu-satunya orang di desa yang bisa baca tulis Latin, sementara yang lain hanya bisa membaca huruf Arab dan Batak.

Sapardi berbeda; ia merasa tidak ada yang spesial dari masa-masa pertumbuhannya. Kakek dan neneknya tidak punya kegemaran membaca, dan ayah-ibu juga orang tua yang biasa-biasa terhadap buku. Seraya merendah, ia lebih suka mengatakan bahwa pengalamannya adalah pengalaman yang juga dimiliki semua anak-anak masa itu, yang lalu dituangkan menjadi puisi (dan puisi inilah perbedaan Sapardi dari khalayak umum):

ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya”


Puisi Catatan Masa Kecil, 3 itu dibuat tahun 1971, atau ketika Sapardi berumur 31 tahun. Tema potongan adegan masa kecil itu, yang menurut Sapardi setiap orang punya, ditulisnya dalam beberapa sajak yang lain seperti Bola Lampu, Catatan Masa Kecil, 1 dan Catatan Masa Kecil, 2.

Ada pengakuan menarik kenapa Sapardi memilih menuliskan pengalaman adegan-adegan masa kecilnya, juga apa-apa yang dilihat dan dirasakannya setelah itu, ke dalam puisi. Sapardi muda menekuni puisi karena saat menulis cerpen pertama kali, pada usia 13 tahun, cerpen karangannya dibilang tidak masuk akal oleh redaktur. Pada zaman dulu cerita yang “tidak masuk akal” belum lazim diterima sebagai karya yang pas untuk dipampang di koran atau majalah.

Hal itu cukup berbeda dalam puisi. Dalam puisi kata-kata menjadi hidup, benda menjadi hidup, dan sah buat bicara banyak-banyak. Ia merasakan keasyikan karena melalui puisi “segi-segi yang tak masuk akal bisa terbaca lagi” (meskipun ia mengaku kerap kali tidak sepenuhnya “menangkap makna” dari puisi Indonesia modern yang dibacanya sewaktu muda). Lewat benda-benda mati yang ia buat hidup, Sapardi telah mengatakan rahasia-rahasia yang kita anggap tak sanggup kita tahu. Seperti sajak Batu, tahun 1991:

Jangan kaudorong aku
ke atas bukit itu
kalau hanya untuk berguling kembali
ke lembah ini.

Aku tak mau terlibat
dalam helaan nafas, keringat,
harapan, dan sia-siamu.

Jangan kaudorong aku
ke bukit itu; aku tak tahan
digerakkan dari diamku ini.
Aku batu, dikutuk
untuk tenteram.


Batu itu bicara. Batu itu mengatakan pada kita: aku menikmati kutukan sebagai batu, aku menerimanya dengan “tenteram”. Aku, kata batu itu, tak tahan “digerakkan dari diam”. Aku, juga batu yang didorong Sisifus dalam sebuah cerita mitologi Yunani, yang kita duga sebagai latar puisi itu, sejak lama telah ditakdirkan menetap sebagai lambang diam.

Barangkali itu sebabnya benteng-benteng kerajaan zaman dulu terbuat dari batu. Bukan bata. Aku, sebongkah batu, jelas berbeda dari bata: aku tak menyimpan kerapuhan.

●●●
Suatu kali saya membaca novel Ny. Talis (Kisah mengenai Madras) karangan Budi Darma yang terbit tahun 1996.

Novel Ny. Talis (Kisah mengenai Madras) bukan novel yang seluruhnya bisa kita bayangkan jadi nyata. Antara judul novel dan isinya memiliki kaitan yang agak aneh: kita baru akan menemukan cerita panjang-lebar tentang Ny. Talis di halaman 145. Cerita-cerita dalam beberapa bab tak masuk akal. Ada cerita Madras berteman dengan burung aneh dan mereka berdua bisa saling bercakap-cakap. Atau tentang kepala suami Ny. Talis yang, dalam keadaan koma, berpisah dari badan lalu menggelinding dan mengejar-ngejar dokter, perawat, serta pasien-pasien rumah sakit. Cerita-cerita itu, berita baiknya, tidak memberi kesan merusak plot.

Dalam novel itu juga muncul kata-kata yang agaknya baru bisa kita pahami kalau kita menggolongkannya sebagai simbol. Misalnya saat Madras melihat dirinya sebagai debu, benar-benar debu, dan bukan calon bayi, yang lalu begitu saja menjadi manusia. Kata “debu” itu mungkin lebih bisa kita pahami sebagai “ketidakberdayaan”, atau “bukan siapa-siapa”. Sehingga Madras, seperti manusia lain yang di dunia dianjurkan untuk selalu rendah hati oleh kitab suci, lahir dari “bukan siapa-siapa” dan akan kembali menjadi “bukan siapa-siapa” dalam kematiannya.

Barangkali kita akan memang hanya bisa memahami Budi Darma dengan jalan simbolisme, seperti kata H.B. Jassin.

Berangkat dari situ, kita bisa mengatakan, dalam puisi-puisi Sapardi, simbol-simbol tidaklah selalu berkeliaran.

Puisi-puisi Sapardi memiliki kecenderungan untuk berkata apa adanya ketika memerangkap suasana atau cerita: “sungai” berarti sungai, “hujan” berarti hujan, “bunga” berarti bunga—sungai, hujan, dan bunga menurut acuan ilmu pengetahuan yang biasa ditangkap pancaindra kita (lihat puisi Muara, Kepada I Gusti Ngurah Bagus, atau Sungai, Tabanan). Kita tak perlu memaknai sungai, hujan, kabut, dan lainnya menjadi simbol-simbol tertentu (seperti kabut yang bisa dianggap simbol penghalang pandangan atau bunga sebagai simbol kecantikan), meskipun silakan saja kalau mau menganggapnya sebagai simbol, atau perlambang, atau dianggap berlainan dengan acuan-acuan ilmu pengetahuan. Toh tenaga asosiasi memang bisa timbul karena gabungan dari pemakaian kata tertentu dan kepekaan pembaca yang kadang-kadang menghubungkannya dengan peristiwa yang mereka alami.

Tapi bukan berarti Sapardi hanya peduli pada keindahan gaya lirisnya dan melupakan makna. Seperti yang pernah dikatakan Sapardi dalam Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, dirinya memiliki kesadaran setengah anak-anak dan setengah nabi: ia kadang bermain-main (seperti anak-anak) dengan kata, atau kadang membuatnya bermakna dan mengabarkannya (seperti nabi) pada kita.

Sajak Ajaran Hidup, bertahun 1992, barangkali salah satu sajak yang menyiratkan ‘kenabian” Sapardi:

hidup telah mendidikmu dengan keras
agar bersikap sopan –
misalnya buru-buru melepaskan topi
atau sejenak menundukkan kepala –
jika ada jenazah lewat

hidup juga telah mengajarmu merapikan
rambutmu yang sudah memutih,
membetulkan letak kacamatamu,
dan menggumamkan beberapa larik doa
jika ada jenazah lewat

agar masih dianggap menghormati
lambang kekalahannya sendiri


Sajak di atas menegaskan apa yang khas dari karangan Sapardi: kita tidak perlu berpayah-payah mengartikan simbol untuk memahami isi puisi. Kita tak kewalahan menikmati keindahan baris demi baris.

Makna sajak itu bagi saya cukup sederhana: mengingatkan kita agar menghormati jenazah yang lewat dengan khidmat. Kalaupun ada soal yang masih memerlukan tafsir, setidaknya kita hanya dibayang-bayangi satu penasaran yang menyenangkan digali: apakah maksud “lambang kekalahan”? Apakah kematian? Bahwa semua manusia tak bisa mengalahkan mati untuk menjadi abadi? Bahwa semua pasti akan menjadi jenazah, bahkan meski ia sekaya Qorun atau sekuasa Firaun atau setangguh Nuh?

Apapun jawabannya, yang akrab sampai kini adalah perasaan bahwa buku-buku puisi Sapardi terlalu sayang buat ditamatkan: sajak-sajak sepinya seolah tak ingin cepat-cepat habis dibaca.
Profile Image for Sweetdhee.
514 reviews115 followers
July 2, 2010
Baca Bareng bulan Juni bareng GRI

Entah mengapa, puisi tentang hujan sepertinya menetes terlalu keras pada batunya hatiku
Dan tiap bulirnya mengetuk pelan-pelan bahkan hatiku sudah tak sanggup menjerit perih
Ada apa dengan hujan?


HUJAN DALAM KOMPOSISI 1 (Hal. 28)

"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,
membanyangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
"Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa di pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur."
barangkali sudah terlalu sering dia mendegarnya dan tak lagi mengenalnya.

1969

HUJAN DALAM KOMPOSISI 2 (Hal. 29)

Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu; tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah dan jatuh ke bumi.

Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.

Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur,

1969

HUJAN DALAM KOMPOSISI 3 (Hal. 30)

dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan

1969

PERCAKAPAN MALAM HUJAN (Hal.52)

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam."

"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang."


dan kesedihan yang sering terasa saat sendiri... atau apakah kesedihan memang untuk dinikmati sendiri?
entah..



PADA SUATU PAGI HARI (Hal.62)

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang yang
bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

1973


ah, hujaaan...rintiknya menggema rindu..
Profile Image for Luc Abdullah.
Author 6 books61 followers
Read
September 20, 2012
Puisi alit yang paling aku gemari di dalam ini adalah,

Tajuk: TUAN
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.

Profile Image for John Ferry Sihotang.
27 reviews47 followers
March 17, 2012
Review: Hujan Bulan Juni yang Bikin Menggigil

Puisi itu hal remeh temeh. Sesuatu yang tak penting, tapi justru karena tak pentingnya itu makanya penyair membelanya agar menjadi penting. Ya, puisi itu hal kecil dan sepele dalam kata. Meski demikian, seperti pernah ditulis Sapardi, puisi bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam: Kehidupan itu sendiri.

Puisi pertama yang pernah kudengar, kalau tak salah ingat, adalah puisi paling terkenal di negeri ini: "Aku", karya Chairil Anwar, yang fenomenal itu. Namun puisi itu tak pernah kuhapal. Justru syair yang kuingat luar kepala hingga kini adalah sajak "Aku Ingin", karya Sapardi Djoko Damono.

Perkenalanku dengan puisi imajis Sapardi ini adalah karena kebetulan. Kebetulan sajak pendek "Aku Ingin" ini telah digubah menjadi nyanyian gereja untuk upacara pemberkatan pernikahan. Kebetulan pula pada suatu waktu, aku dan Annye Simbolon, terpilih oleh semesta untuk berduet membawakan lagu ini pada pernikahan seorang teman -- yang kebetulan juga pernah tinggal satu kosan di Jatinangor. Dengan suara nyaris malaikat yang pas-pasan, kami nyanyikanlah syair-lagu ini:

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989; hal. 91)

Puisi ini salah satu karya penting Sapardi yang ada di dalam buku ini. Sebuah puisi yang tentu bukanlah menggambarkan cinta yang sederhana. Puisi ini justru menggambarkan cinta yang habis-habisan. Menghadirkan pengalaman pemenuhan cinta yang begitu beningnya, begitu murninya, dan tak bisa dikatakan, unspeakable fulfilment. Melukiskan kedalaman cinta yang sering disebut sebagai agape dalam istilah Yunani. Sebuah cinta yang sublim, yang maha-dahsyat, dan pengorbanan tanpa pamrih; misteri cinta yang dialami dengan keikhlasan tingkat tinggi.

Demikian, penyair ini seolah seorang penyihir yang dilengkapi indra istimewa. Mampu melihat apa yang tak tampak, mendengar yang tak bersuara, mencecap yang tak berasa, serta meraba hal yang tak punya wujud. Maka dari itu puisi-puisi Sapardi sungguh layak dan pantas dicemburui, bahkan oleh para sastrawan besar sekali pun. Sebab, seperti ditulis Teeuw, ia seorang penyair yang orisinil dan kreatif, yang eksperimen-eksperimennya -- inovasi yang mengejutkan dalam segala kesederhanaannya. Tak perlu pula dahi berkerenyit, seperti membaca puisi "Aku Ingin" di atas.

Namun, pepuisi imajistik Sapardi kerap juga berjalan dalam ambiguitas yang tak terperikan. Suka memakai gaya paradoks yang kerap membuat kita terkejut, tersentak dan tertarik. Seperti puisi "Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan", yang berbunyi demikian: "… Jangan; saksikan saja dengan teliti/ bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam/ membunuhnya dengan hati-hati sekali/ dalam kasih sayang, dalam rindu-dendam Alam (1967, hal.10). Mengembalikan ingatan kita dengan lagu terkenal itu, "killing me softly…."

Kadang puisi Sapardi hadir berupa parodi dari pengalaman keseharian, misalnya "Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati." Lelaki tua penjaga kubur itu senantiasa setia "membersihkan rumputan,/ menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan/ daunan;…"(1964; hal.1). Tetapi, "lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa/ menjaga kuburnya sendiri." Aduh. Ini puisi yang menggelikan, sekaligus menyedihkan. Sebuah tragika yang menggigit dalam parade komedi (lih. Bakdi Soemant0, 2006).

Puisi dijadikan sapardi menjadi medium berdialog dengan batin dalam nada kata yang lembut, halus, dan pelan sekali menyentuh nurani. Karena puisi itu adalah nurani alam, bagi Sapardi, maka ia masuk ke dalam alam samadi yang hening dan "sunyi" itu.

Khusus buku ini, banyak kita temukan kata "hujan" yang mungkin saja menjadi inti perenungan Sapardi -- diangkat pula dalam judul buku. Hujan itu memang bikin banyak para penyair teraduk-aduk oleh perasaan-perasaan yang mungkin dingin, sepi, manis, dll. Sapardi sendiri menghela hujan itu untuk coba mencecap, menafsir, dan menghadirkan misteri alam hidup itu. Bahkan ia mencoba menyingkap keagungan dalam rahasia yang berada di balik kesenyapan, kelenyapan, dan ketiadaan; seperti puisi "Hujan Bulan Juni" berikut:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.

Ya, Sapardi selalu terpukau pada sihir hujan dengan segala rahasianya, bahkan di saat hujan sembunyikan rintiknya di musim kemarau bulan Juni. Pun dalam tiadanya hujan, Sapardi sudah bikin perasaan tercubit suasana yang sunyi, apalagi yang sebenar-benar hujan. Tentu masih banyak lagi sketsa hujan yang dituliskan dalam buku ini. Maka buku antologi "Hujan Bulan Juni", bagiku, adalah buku yang paling bikin menggigil. Kedinginan. Sebuah buku yang mengajak kita untuk menyelam ke dalam lapisan paling inti dan paling sunyi dari hidup manusia itu sendiri. (Aih, aku jadi kedinginan, sayangku).***


Daftar Pustaka
Soemanto, Bakdi. 2006. Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo
Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
February 12, 2017
2013: membaca lagi sambil menangisi juni yang diguyuri hujan

---

2012: Tetap dahsyat. Senantiasa menyajikan imaji yang terlewat pada pembacaan sebelumnya....

-------------


Dahsyatt...!!


Thanks to Gieb :-)


----------------------------

sedang kubaca Hujan Bulan Juni
kupungut kata dan frasa indah di sana sini
di luar hujan
di bulan juni

"dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai
merindukan telur "

"saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada-
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu

sepasang Tiada
tersuling (tiada-
gerakan, serasa
nikmat): Sepi meninggi"

"ketika Engkau seketika memijar dalam Kata
terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara"

"seperti juga aku: namamu siapa, bukan?"


Profile Image for Idan.
108 reviews84 followers
February 14, 2014
Saya tidak yakin ada review yang mampu menangkap kesempurnaan untaian kata demi kata hasil kontemplasi Sapardi Djoko Damono dalam buku sepilihan sajak ini. Dari puisi pertama, Tangan Waktu, hingga puisi terakhir, Terbangnya Burung, saya seakan terseret dalam aliran emosi dan imaji penulisnya. Dengan suasana puisi yang cenderung murung, sedih dan penuh dengan kegelisahan, membuat pembaca justru semakin mensyukuri anugerah Tuhan terindah yaitu hidup. Hujan Bulan Juni mungkin memang telah mengabadikan puisi "Aku Ingin" yang banyak menginspirasi karya-karya sastra lain, tapi menurut saya puisi itu bukan puisi terbaiknya. Favorit saya adalah "Dalam Diriku" yang terinspirasi oleh sebait lirik The Beatles "because the sky is blue it makes me cry."


dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya
(1980)


Tidak ada ragu, enam bintang untuk Hujan Bulan Juni.
Profile Image for gieb.
222 reviews77 followers
January 28, 2009
dari sekian buku sapardi djoko damono, saya paling 'jatuh cinta' dengan buku ini. entah kenapa, kata hujan menjadi begitu puitis di tangan profesor tua ini. bagi pecinta puisi, buku ini seperti kitab suci. wajib punya. wajib koleksi. seingat saya, saya pernah membeli beberapa kali buku ini.

menurut saya, buku ini tentang sebuah cinta yang mencoba menerjemahkan hujan dalam pusaran pemikiran otak. ilmuwan menemukan bahwa ramuan zat kimia dalam otak yang memicu asmara, benar-benar berbeda dari campuran yang memupuk ikatan jangka panjang. jadi, apa sebenarnya perkara yang disebut cinta itu. apa yang ada di otak sapardi kalau begitu ya?

simaklah puisi ini.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu


sayang, cinta tak seromantis puisi di atas. setidaknya itu dalam khayalan saya yang sudah beruban ini. sapardi telah menghimpun puluhan sajak tentang cinta. pujangga lain telah membuat ribuan naskah tentang siklus cinta, bagaimana terbentuk dan berubahnya seiring waktu. bagaimana berahi menjerat dan membuat kita tak berdaya, lalu meninggalkan kita dan menyadarkan untuk menjadi lebih waras.

selama ini, saya selalu mengandalkan berbagai kisah untuk menjelaskan kerumitan cinta. dan puisi sapardi selalu menjadi rujukan untuk itu. sekedar rujukan. karena pada akhirnya, cinta itu ilmiah. ilmiah sekali. untuk orang seusia saya ya. dan kemudian saya meninggalkan hujan dan gerimis untuk mencari defenisinya sendiri.

saran saya: beli dan bacalah buku ini jika anda merasa nafsu berahi anda sudah mulai mau berakhir dan uban mulai tumbuh di rambut.

selamat membaca.

gieb.
Profile Image for Rhea.
263 reviews73 followers
March 31, 2011
Dibaca dalam rangka Bareng GRI Buku Puisi.

DALAM DOA: II (Hal. 16)


kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya
kupandang semesta
ketika Engkau seketika memijar dalam Kata
terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara

kemudian daun bertahan pada tangkainya
ketika hujan tiba. Kudengar bumi sediakala
tiada apa pun di antara Kita: dingin
semakin membara sewaktu berhembus angin


SONET:X (Hal.25)


siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalamku
: siapa Aku

1968
Profile Image for Abdullah Hussaini.
Author 23 books80 followers
October 20, 2017
Sapardi ada stail yang tersendiri. Aku faham kenapa Sihir Hujan boleh kalahkan Permpuan dan Bayang-bayang (Baha Zain). Aku suka separuh sajak dalam buku ni. Yang lain2, sederhana tapi tetap mengesankan.
Profile Image for M. Azhaari Shah Sulaiman.
357 reviews20 followers
December 13, 2018
Hampir dua bulan baru selesai. Ada sebahagiannya agak sukar untuk ku tangkap. Pak Sapardi memang hebat dalam menggunakan unsur alam dalam karyanya.
Profile Image for Faisal Zawi.
Author 9 books36 followers
September 16, 2012
Kata A Teeuw, Sapardi telah menciptakan genre baru dalam kesusasteraan Indonesia.

Goenawan Mohammad sendiri menulis puisi Sapardi adalah selayaknya dicemburui dan langsung buat kita bertanya, mengapa saya tidak menulis seperti itu!

Dan kepada kebanyakan orang, puisi Sapardi sering membangkitkan emosi kuat yang berbagai. Seperti setiap kali membaca puisi Sapardi, larik-larik itu akan menujah-nujah dan menyeret memori keluar dari kepala dan hati.

Ada yang pernah memberitahu, membaca puisi Sapardi mengingatkan ia ketika waktu janji temu kali pertama, atau ketika memandang hujan waktu pagi di tepi tingkap semasa kecil, atau duduk minum kopi waktu petang semasa cuti di Itali.

Kekuatan puisi-puisi Sapardi letaknya pada pemilihan kata beliau yang sederhana tetapi dalam berbekas pada pembaca.

Sapardi sungguh si tukang sihir yang tak diragui lagi.

Kumpulan puisi ini sering mengingatkan saya dengan perjalanan pulang dari Kuala Lumpur dengan tren, minum kopi di kantin keretapi pada waktu pagi dan kabut di tingkap.
Profile Image for Gloria.
87 reviews13 followers
May 10, 2015
Ambience dari buku ini cukup gelap, sendu, tapi indah.

Setelah saya baca semua puisi di buku ini, saya mengambil kesimpulan bahwa gaya Sapardi Djoko Damono adalah melihat sesuatu yang sederhana dan menggambarkannya jadi lebih indah dari biasanya. Beliau melihat sesuatu yang kita anggap biasa dari sisi yang tidak biasa.

Buku ini luar biasa, aneh, membosankan, dan luar biasa.

Seorang teman bertanya mengapa saya bilang membosankan.
Jawaban saya: Tema alamnya repetitif. Saya tidak bilang hal itu jelek, hanya membosankan. Paling tidak saya sampai pada satu titik kebosanan. Seolah-olah di mata beliau, alam adalah dewanya dan manusia cuma garnish.

Ini hanya pandangan saya. Pandangan setiap orang bisa beda-beda dan saya orang yang menganut paham "Books belong to their readers."
Profile Image for hans.
1,157 reviews152 followers
February 5, 2023
Tidak ada kata tepat yang boleh saya komentarkan tentang buku yang memukau ini. Tiap bait yang dibaca oleh suara kecil dalam kepala saya ini cuma penuh dengan teriakan 'Wow!'.

Saya jatuh cinta dengan buku ini. Sapardi yang gemar menulis tentang hujan, bunga, gerimis, kisah tentang suatu waktu dan mungkin juga lirik-lirik lagu pandai sekali mengocak perasaan saya. Bahasanya punya simetri dan ritma yang bersahaja, seperti saya terjatuh dalam imaji Sapardi dan tak mahu diselamatkan.

"Selamat malam. Ia mengangguk, entah kepada siapa;
barangkali kepada dirinya sendiri.
Barangkali hidup adalah doa yang yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras."
(Pada Suatu Malam, 1964)
Profile Image for helmymuhammad.
47 reviews3 followers
March 30, 2014
Saya rasa,Sapardi (mungkin saja) tidak sepuitis Aan Masyur dalam merungkai persoalan cinta..Namun,Sapardi saya rasa memberi gambaran yang lebih tepat berbanding Aan Masyur..Saya tidak terbuai dengan basa basi Sapardi,tapi saya terpukau dengan kebijaksaan Sapardi dalam memberi gambaran jelas tentang keadaan pada waktu itu..

'Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa diantara kami yang telah menciptakan bayang-bayang..
Aku dan bayang - bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan"
Profile Image for Aina Nabila.
5 reviews3 followers
November 1, 2013
Larut dengan kata-kata yang melemparkan aku ke sebuah dunia puisi yang menyamankan jiwa.
Profile Image for Fahrul Khakim.
Author 9 books97 followers
November 21, 2015
buku ini mengajari kita mengenal puisi yang sederhana namun tetap penuh makna dan selalu diminati.
Profile Image for Nindya Chitra.
Author 1 book21 followers
June 19, 2018
Aku percaya ini puisi-puisi bagus, sayang aku gak begitu paham puisi. Agak sulit dinikmati orang awam.
Profile Image for Rini Budihartati.
137 reviews14 followers
January 22, 2022
Luar biasa! Akhirnya bisa memiliki buku ini! Ada banyak tema yang ditulis oleh eyang di buku sekumpulan sajak ini. Mulai dari kehidupan ke kematian. Tidak lupa juga ada yang tentang cinta, dan orang tua. Ada beberapa sajak dan puisi yang harus saya baca berulang kali agar paham makna yang ingin disampaikan. Banyak sajak dan puisi yang saya suka. Berikut beberapa yang saya suka; Terbangnya Burung, Pada Suatu Hari Nanti, Dalam Doaku, Di Restoran, Sajak-sajak Empat Seuntai, Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Kami Bertiga, Di Tangan Anak-anak, Dalam Diriku, Lirik Untuk Improvisasi Jazz, Pada Suatu Pagi Hari, Sepasang Sepatu Tua, dan Tangan Waktu.

"aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu"
- sebagian dari Dalam Doaku
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
March 5, 2013
Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: PT Grasindo
Halaman: 120 halaman
Terbitan: September 2003

Kumpulan puisi dari Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi yang ada di sini adalah hasil tulisannya antara tahun 1964-1994. Sesuai judulnya, yang juga menjadi judul salah satu puisi di buku ini, tema besar buku ini memang hujan.

Review
Hasil baca bareng klub buku GRI. Really love it. Sampai baca berulang-ulang. Bukunya keren banget. Ketimbang review, saya tulis beberapa puisi yang saya suka di sini saja deh.

HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

1989

Aku Ingin

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

1989

DALAM DIRIKU

Because the sky is blue
It makes me cry
(The Beatles)


dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;
dalam diriku menggenang telaga penuh darah,
sukma namanya;
dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!
dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya.

1980

YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.

1978

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.

1980

PERCAKAPAN MALAM HUJAN

Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam."


"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang."

1973

Dan masih banyak lagi. Love this book so much :D
26 reviews5 followers
July 9, 2008
hmm...hujan bulan juni.
sekarang ini sudah semakin sering hujan turun di bulan juni. sudah tidak lagi rintik tetapi mengguyur. meski iklim terkontaminasi global warming, tapi pesona puisi hujan bulan juni tak hilang digerus kerusakan iklim manapun....

Sapardi Djoko Damono membuktikan diri sebagai begawan yang sastrawan atau sastrawan yang begawan.

hanya dengan satu,dua, tiga larik, ke-diri-an kita akan dipacu menuju lorong panjang "pencarian". atau sebaliknya, sebutir kata dilahirkan dengan jernih hingga mampu menyentak, mendorong, atau bahkan melempar kita pada "penemuan" dan "pertemuan" dengan jati diri.

bunga randu, kelopak bunga, bunga jambu, subuh, gerimis, hujan, air, darah, dingin, sepi, jalan, malam adalah kata-kata yang kerap muncul pada puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. begitu dekat dengan keseharian kita hingga saya mampu merasakan legit dan harumnya aroma bunga jambu secara nyata ketika menikmati puisi beliau.

beruntung bangsa kita memiliki seorang Sapardi Djoko Damono....
Profile Image for nov.
3 reviews6 followers
July 13, 2009
buku ini saya beli tahun 2007 lalu di bandung. begitu beli langsung saya baca sepanjang perjalanan kembali ke kampus dari toko buku tersebut. sampai kampus buku pun selesai dibaca dan langsung dipinjam oleh teman saya. sedihnya, sampai sekarang buku ini tidak kembali ke saya. lebih malangnya lagi, sampai sekarang saya gak nemu lagi tuh buku di toko buku :((

saya mengenal sapardi awalnya dari lagu. lagu yang merupakan musikalisasi puisi-puisi sapardi dan dinyanyikan oleh dua ibu.awalnya saya tidak tahu kalau lirik lagu-lagu itu diambil dari puisi. satu hal yang saya tahu bahwa lirik lagu-lagu tersebut luar biasa, tidak seperti lirik2 lagu pada umumnya. setelah saya diberi tahu bahwa lirik lagu-lagu tersebut berasa; dari puisi,saya pun mulai mencari-cari buku kumpulan puisi nya. bisa dibilang gak gampang nyari buku kumpulan puisi ini makanya pas liat ada di rak toko buku, tanpa peduli harga dan kondisi kantong saat itu langsung saya bawa buku ini ke kasir. untung harganya murah, cuma sekitar 20ribuan

harga murah, cover sederhana, tapi isi yang luar biasa...
Profile Image for Aya Prita.
168 reviews21 followers
February 14, 2020
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu [...]


Dasar sinopsis buku bagian belakang.
Boleh cerita sedikit dulu ya (a little aya story) : daridulu emang udah pengin banget baca buku Sapardi. Saya ampun sama cerita-cerita barat yang notabene begitu-begitu aja. Saya lagi dilema waktu itu mau beli buku kontemporer barat yang ga jelas dan menye-menye atau ini eh.. gara-gara sinopsis, yaudah deh fix beli. Lagipula, saya masih penasaran apa yang buat Sapardi itu jadi terkenal.


Baiklah, sekarang masuk ke ulasannya.
Saya sama Sapardi sama-sama punya fanatik sama hujan. Tapi, Sapardi lebih jago menggambarkan hujan dan rintik gerimis itu dalam kata. Mereka berbicara, bukan hanya lagu tok tok tok yang biasa kita dengar dengan telinga awam kita.

Puisi Sapardi juga mengingatkan pada hari pertama bertemu sang pujangga - eh pujaan hati..

Dan indahnya percintaan.
Mau mengulas apa lagi, ya? Saya rasa cukup, deh. Enam rating!
Profile Image for Yozzoi.
13 reviews1 follower
June 5, 2017
Buku-buku kumpulan puisi memang selalu menarik dibaca, karena sifatnya yang lentur terhadap tafsiran dan imajinasi, sehingga berulang kali kita baca pun akan selalu membawa warna, tafsiran dan imajinasi baru sesuai dengan keadaan hati dan pikiran saat kita membacanya.

Nilai tambah buku ini daripada buku kumpulan-kumpulan puisi lainnya adalah kesederhanaannya yang tertuang dalam kata demi kata yang mayoritas umum dipahami, kalimat demi kalimat yang mayoritas juga mudah di maknai dan secara pribadi saya lebih menyukai jenis puisi-puisi yang tidak terlalu mementingkan "aturan main". Hal itu semua ada di dalam buku kompilasi puisi ini.

Secara pribadi setelah membaca puisi-puisi Sapardi ada perasaan "nagih" dalam diri bahwa suatu waktu harus membacanya lagi untuk mendapatkan warna, pemaknaan dan imajinasi baru.
Profile Image for Ikhsan Saputra.
17 reviews6 followers
March 6, 2018
Banyak dari puisinya yang tidak dapat saya mengerti. Dan bagi saya, hal itu adalah sesuatu yang wajar. Inilah karya sastra.
Tapi, saya lebih menikmati puisi-puisi yang saya sendiri bisa mengerti maksudnya (meski hanya dari pemahaman pribadi).
Jadi saya rasa, saya lebih menyukai kumpulan puisi Aan Mansyur. Apakah karena perbedaan generasi yang jadi faktornya? Saya tidak tahu. Namun yang pasti, ada juga beberapa puisi di buku ini yang jadi favorit saya. Selain "Hujan Bulan Juni" itu sendiri, beberapa yang saya sukai adalah :
1. "Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana",
2. "Yang Fana Adalah Waktu", dan
3. "Dalam Diriku".
Ya, puisi-puisi yang saya sebutkan itu indah bagi saya. Dan untuk yang lain, mungkin akan saya baca kembali nanti. Hingga setidaknya saya punya pemahaman lagi tentang isinya.
Profile Image for Nike Andaru.
1,632 reviews111 followers
August 12, 2018
Pasti banyak yang suka yang judulnya 'Aku Ingin'
Sampe banyak yang hafal kayaknya ya.
Tapi banyak juga yang bagus lainnya, seperti Terbangnya Burung

Terbangnya burung
Hanya bisa dijelaskan dengan bahasa batu
Bahkan cericitnya
Yang rajin memanggil fajar
Yang suka menyapa hujan
Yang melukis sayap kupu-kupu
Yang menaruh embun di daun
Yang menggoda kelopak bunga
Yang paham gelagat cuaca
Hanya bisa disadur
Ke dalam bahasa batu
Yang tak berkosa kata
Dan tak bernahu
Lebih luas dari fajar
Lebih dalam dari langit
Lebih pasti dari makna
Sudah usai sebelum dimulai
Dan sepenuhnya abadi
Tanpa diucapkan sama sekali
Displaying 1 - 30 of 436 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.