Jump to ratings and reviews
Rate this book

Seri Buku TEMPO: Prahara-prahara Orde Baru

Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang

Rate this book
Lelaki cadel itu tak pernah bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna. Ia “cacat” wicara tapi dianggap berbahaya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona.

Namun, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut. Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka ia dibungkam. Dilenyapkan.

Wiji Thukul mungkin bukan penyair paling cemerlang yang pernah kita miliki. Sejarah Republik menunjukkan ia juga bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Tapi Thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut diabaikan: seorang penyair yang sajak-sajaknya menakutkan sebuah rezim dan kematiannya hingga kini jadi misteri.

Keterangan Seri Prahara-prahara Orde Baru
Kisah tentang Wiji Thukul adalah jilid perdana seri “Prahara-prahara Orde Baru”, yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo Mei 2013. Serial ini menyelisik, menyingkap, merekonstruksi, dan mengingat kembali berbagai peristiwa gelap kemanusiaan pada masa Orde Baru yang nyaris terlupakan.

160 pages, Paperback

First published June 1, 2013

110 people are currently reading
1023 people want to read

About the author

Tim Buku TEMPO

44 books95 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
263 (38%)
4 stars
285 (41%)
3 stars
113 (16%)
2 stars
15 (2%)
1 star
13 (1%)
Displaying 1 - 30 of 123 reviews
Profile Image for Yuu Sasih.
Author 6 books46 followers
February 1, 2016
Saya delapan tahun saat kerusuhan Mei merebak. Sama seperti pertanyaan mahasiswa di pembuka buku ini, saya juga tidak tahu apa yang terjadi saat Mei 1998 selain, a) hari itu Mama saya ulang tahun, b) televisi secara terus-menerus menyiarkan tentang sidang MPR dan Mama menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuruh saya menghapal daftar menteri yang ditempel di dinding, dan c) restoran ayam waralaba langganan saya dan beberapa ruko lain di perumahan saya tutup dan di rolling door setiap toko ada tulisan "MILIK PRIBUMI". Saya tanya pada Papa kenapa toko-toko harus ditulisi seperti itu dan Papa menjawab kalau itu diperlukan agar tokonya tidak dirusak. Merasa menulis demikian merupakan suatu keharusan, saya langsung mengaplikasikannya pada perabot rumah saya. Sampai sekarang rak buku saya masih bertuliskan "MILIK AYU" dengan cat putih tipe-ex.

Perihal Reformasi yang sesungguhnya baru saya pahami saat berkuliah beberapa tahun lalu, itu pun sebagian besar dari "acara" yang digelar BEM setiap tahun di depan stasiun. Soal ada mahasiswa tertembak, saya tahu sejak lama (Mama menggunakannya untuk mengancam saya, "itu akibatnya kalau kamu nakal dan ikut-ikutan berandal menentang pemerintah, mati kamu nanti dibunuh.") tapi mengenai orang hilang dan pemerkosaan serta pembunuhan orang-orang ras cina, saya baru tahu ketika bergabung dengan pers kampus. Tapi tetap saja, kengerian Reformasi 1998 bagi saya hanya dapat diasosiasikan sejauh toko-toko tutup bertuliskan "MILIK PRIBUMI", ketakutan mendatangi mall tertentu, dan para pejabat duduk-duduk disiarkan lama di televisi. Entah kenapa saya juga tidak tertarik menelusuri kronologi Reformasi selain fakta bahwa hasil dari peristiwa itu adalah turunnya Presiden Soeharto.

Saya tertarik pada seri Tempo yang ini begitu tahu bahwa salah satu orang hilang di masa Reformasi adalah seniman dan aktivis buruh. Saya pernah mendengar puisinya dibacakan di orasi Peringatan Reformasi di kampus dan langsung tertarik. Setelah itu, saya mencoba mencari tahu mengenai Wiji Thukul, tapi sayangnya karyanya sulit sekali ditemukan. Mendapatkan buku ini pun termasuk sulit, padahal saya mengoleksi seri biografi tokoh Tempo. Baru setelah mendaftar iJakarta, akhirnya saya menemukan buku ini (bless iJakarta!).

Isi buku ini tidak hanya tentang Wiji Thukul, tapi juga membahas tentang para aktivis yang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya akibat peristiwa Mei 1998. Wiji Thukul menjadi sorotan karena dia merupakan aktivis publik dan sastrawan yang cukup dikenal luas dalam usahanya mengkritik pemerintahan Orde Baru. Tidak seperti yang lain, waktu menghilangnya pun masih simpang siur karena Thukul telah menjadi pelarian sejak tahun 1996. Hingga saat ini perkiraan diculiknya Thukul masih sekitar akhir tahun 1997 hingga awal 1998.

Thukul merupakan anak pengayuh becak dan penjual ayam bumbu, putus sekolah di SMA dan memutuskan untuk bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Tapi sejak kecil Thukul memiliki minat berkesenian dan hingga dewasa, puisi dan panggung tidak bisa lepas dari dirinya. Mungkin 'dosa' Thukul hanya satu, yaitu memilih untuk bergabung dengan politik, tapi mungkin bagi Thukul ikut melawan di dalam inner-circle terasa lebih efektif daripada berontak di luar.

Membaca buku ini membuat saya memahami sedikit lebih banyak peristiwa-peristiwa di sekitar Reformasi, meski belum sepenuhnya. Bom Tanah Tinggi ditengarai merupakan tabuhan genderang perang Reformasi, karena setelah itu orang-orang makin banyak menghilang. Sampai sekarang anggota keluarga tetap rajin melakukan acara Kamisan, tanpa kenal lelah meminta bantuan mencari tahu nasib orang-orang tersayang mereka.

Meski tidak sepersonal liputan biografi seri Tempo yang lainnya, buku ini menjadi seri Tempo favorit saya. Mungkin justru karena apa yang dituliskan di dalamnya bukan seperti cerita dari masa yang tidak bisa saya bayangkan, tapi karena saya lebih mengingat bukti-bukti dari kejadian ini (seperti keluhan Mama yang tidak berubah sejak 17 tahun lalu mengenai bagaimana hari ulang tahunnya jadi terasa sendu karena ulah para berandal penggoncang stabilitas negara) secara lebih nyata, hingga peristiwa-peristiwa dalam buku ini lebih dapat saya kaitkan dengan pengalaman pribadi saya.

Mari menolak lupa.

p.s. jadi pengen nonton Dibalik 98. Kapan filmnya bakal tayang di tv? Nggak sempet nonton bioskop, nih. ;___;
Profile Image for Andahh.
84 reviews6 followers
February 26, 2024
Setelah kmrn selesai baca buku laut bercerita dan lanjut menghabiskan buku ini, saya paham dg berita yg mengolok-olok bahwa semua tuduhan terkait orang-orang yg hilang ini adalah bukti nyata.

Dan buku ini isinya menceritakan tentang seorang Thukul dan perjalanan Wiji Thukul dalam pelarian, seorang penyair yg dipaksa dibungkam dan dilenyapkan karena bersuara dengan puisi dan sajak-sajaknya.

Fakta menarik di buku ini adalah sebagian berita yg kita tidak tau, bahwa orba pada masa itu sangat bengis.
Dan saat putusan peradilan dinyatakan sudah selesai, karena ada kejanggalan dan tidak adanya bukti tuduhan terkait orang-orang yg hilang.
Padahal, aktivis yg hilang dan dikembalikan dan bersuara saja, seharusnya sudah jadi bukti bahwa ada pelanggaran dari pihak-pihak yg bersangkutan.

Baca buku ini menyulut emosi saya, bahwa nyawa seseorang saja tidak ada harganya.
Apalagi menyuarakan isi dan kritik terhadap rezim saat ini.
Dan buku ini menjadi bukti nyata, bahwa masih banyak orang-orang yg hilang dan tidak ada pertanggungjawaban dari pihak tsb.
Profile Image for h.
374 reviews148 followers
September 9, 2020
Jujur setelah baca novel laut bercerita dan baca buku ini. Seperti menemukan sebuah hoax yang dibuktikan dengan fakta sehingga menjadi sebuah kisah nyata.

Ngilu.

Indonesia pernah berada di masa itu
Profile Image for Steven S.
697 reviews67 followers
January 17, 2019
tuntas rasa penasaran saya akan sosok Wiji Thukul.
Profile Image for Nike Andaru.
1,636 reviews111 followers
February 3, 2019
39 - 2019

Sebagai generasi milenial (ngaku-ngaku hahaha) yang waktu tahun 1998, di mana Wiji Thukul hilang saya masih dipenghujung sekolah dasar. Walau terekam jelas banyak aksi waktu itu, jelas saya gak paham sejarahnya. Bapak ibu saya gak pernah cerita, mereka bukan aktivis sih ya, cuma PNS biasa yg biasa disuruh diem, ya orde baru sekali.

Buat saya, buku-buku adalah tempat paling benar untuk mengerti apa yang terjadi tahun 1998, sebelum itu dan tahun tahun sebelumnya lagi. Sangat menyebalkan apabila buku-buku sejarah yang harusnya dibaca anak muda justru dibuang, macam Wiji Thukul dan orang-orang hilang lainnya.

Buku ini memuat semua tentang Wiji Thukul yang bernama asli Wiji Widodo. Tentang keluarga, bagaimana riwayat kehidupannya, tentang gairah keseniannya hingga tentang pelariannya. Diceritakan dari semua orang-orang terdekatnya, yang mengetahui dan membantu pelariannya hingga tahun 1998. Dirangkum dengan baik oleh Tempo dan tetap menarik dibaca di tahun kapan saja.

Hanya ada satu kata, lawan!
Profile Image for Sin Sin.
54 reviews7 followers
February 7, 2017
"Setiap orang adalah seniman dan setiap tempat adalah panggung." -Bertolt Brecht

Suara penyair-pejuang ini takkan pernah lenyap meski dibungkam sekalipun. Semangat yang ia kobarkan untuk menyerukan perlawanan pada ketidakadilan akan terus menyala.

Dan kini saya siap menyambut premiere film "Istirahatlah Kata-Kata" pada 19 Januari mendatang.

"Menulis puisi itu tak beda dengan beribadah di gereja, ada pengalaman religius." -Wiji Thukul, hal.96
Profile Image for hans.
1,157 reviews152 followers
December 13, 2013
Di akhir buku ini ada sudut kolom dengan kutipan dari Catatan Pinggir Goenawan Mohamad berjudul Thukul yang menarik perhatian saya.

"...yang indah memang bisa meluas: semacam tarikan cinta yang misterius-- itu sebabnya ia, seperti Kollwitz, tak hanya menggoreskan teriak, tapi puisi: suara lirih yang akrab dan tajam di catatan kaki."


(Dia tak seharusnya hilang.)
Profile Image for Yuli Hasmaliah.
71 reviews1 follower
July 2, 2017
Saya mengenal Thukul dari buku-buku yang saya baca, dari puisi-puisi protes dan bagian dari aksi Thukul itu sendiri, dari berita-berita tentang orang hilang pada masa orba yang ramai muncul setahun sekali di televisi tiap bulan Mei, dari video-video Thukul saat membacakan puisi dengan bernyanyi yang banyak diunggah seseorang di YouTube, dari artikel-artikel underground tentang kejahatan rezim Soeharto yang biasa saya temui di internet, dari pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata yang menggema di beberapa bioskop ternama, pun dari sedikit ingatan seorang anak kecil usia enam tahunan yang hanya bisa mengingat kerusuhan di tahun 1998 dan belum mengerti tentang apa yang terjadi sebenarnya. Saya mengenal Thukul disaat ia telah hilang, dihilangkan, dipaksa-dihilangkan, bukan menghilang. Wiji Thukul adalah 'orang hilang' dalam artian yang tidak biasa dan bukan pada umumnya.

Menurut saya buku ini bagus sekali, patut dibaca bagi yang ingin memperkaya pengetahuan tentang sejarah bangsanya, khusunya tentang prahara-prahara orde baru. Seri Buku Tempo ini apik menyuguhkan informasi dengan bahasa yang ngga-biografi banget, ditambah dengan adanya tambahan ilustrasi yang menjadikan tidak membosankan saat membacanya.


JASMERAH! Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.


Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
Katakan Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa yang sewenang-wenang...
hlm. 129 , Catatan.
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
October 24, 2018
Rasanya bukan rahasia umum kalau Tempo seringkali berhasil mengupas sesuatu atau seseorang secara detail dan dapat dipertanggungjawabkan, hasil riset dari waktu yang tidak sebentar. Persis seperti seri buku Tempo lain yang sudah pernah dibaca, Wiji Thukul ini juga penuh cerita dari banyak narasumber, terutama soal proses persembunyian Thukul semasa Orde Baru. Semua ditulis detail lewat narasumber yang tidak sedikit dan semuanya ditulis secara runut.

Agak menyayangkan cerita masa lalu Thukul yang hanya dibahas di beberapa halaman menjelang akhir buku. Beberapa halaman yang, bagi saya, tidak cukup memberi gambaran tentang siapa Thukul dan bagaimana kehidupannya di masa kecil. Lagi-lagi, kalau dibandingkan dengan seri buku Tempo yang lain, penjabaran masa lalu Thukul cenderung tidak ada apa-apanya. Di sisi lain, mencoba menduga kalau bisa jadi, Tempo memang sengaja mengangkat dan "menjual" segi hilangnya Thukul sampai saat ini.

Membaca buku ini seakan menyegarkan ingatan atas bagaimana pemerintahan Orde Baru berjalan, yang disertai banyaknya penangkapan bagi orang-orang yang dinilai "membahayakan" bagi kedudukan Presiden di masa itu. Pada akhirnya, sempat dibuat merenung lewat tulisan di halaman 116. Sebuah pendapat dari Cempe Lawu Warta, guru Thukul di Teater Jagat.

Dia memperingatkan, sebagai seniman, semestinya Thukul tak terlibat politik praktis karena bisa membahayakan keselamatannya.

Mungkin, seandainya saja Thukul mau mendengarkan apa yang disampaikan gurunya, bisa jadi dia tak perlu dikejar-kejar aparat, diburu membabi-buta, bahkan hilang sampai hari ini. Bisa jadi, hingga saat ini dia masih berkumpul bersama keluarga dan menghasilkan lebih banyal lagi karya-karya yang apik. Seandainya saja...

Boleh saja, kan, berandai-andai?
Profile Image for Ikhsan Saputra.
17 reviews6 followers
March 12, 2017
Buku yang menarik sekali. kali ini seri buku tempo mengenai prahara-prahara orde baru. "Wiji Thukul (Teka-Teki Orang Hilang)" adalah episode pertama dari seri ini.
isinya membahas mengenai pelarian Wiji selama masa "perburuan" para aktivis prodemokrasi kala itu.
ceritanya memang cukup singkat. Karena jumlah halamannya hanya sekitar 160 dengan tulisan yang tidak terlalu penuh pada setiap halamannya. tapi, bagi orang2 yang awam dengan Wiji Thukul dan kejadian-kejadian menjelang lengsernya Sang Jendral, (termasuk saya. hahah.) buku ini sangat baik dalam memberi gambaran pada masa itu (walaupun terfokus pada pergerakan Wiji Thukul).
dimuat juga beberapa kutipan-kutipan puisi karya Wiji, dan kisah singkat mengenai bagaimana Ia belajar menjadi penyair.
Saya sendiri suka dengan buku ini. jadi bagi yang ingin tau lebih lanjut tentang isinya, silakan dibaca ya.. hehehe
Profile Image for Septyawan Akbar.
111 reviews13 followers
October 12, 2025
Lelaki cadel yang tidak bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna, rambutnya lusuh, pakaiannya kumal. Lelaki ini tidak memiliki penampilan mempesona layaknya buruk merak. Namun pria ini tetap menjadi momok dan dianggap berbahaya oleh pemerintahan orde baru. Melalui puisi – puisinya yang dia bacakan di tengah buruh dan mahasiswa, maka tergeraklah semangat mereka untuk melawan pemerintahan rezim orde baru. Demikianlah sedikit deskripsi yang menggambarkan tentang sosok Wiji Thukul dan karismanya sebagai penyair “pelo” dan aktivis pro demokrasi . Wiji Thukul bukanlah penyair paling cemerlang yang dimiliki oleh negeri namun melalui adagium dan sajak – sajaknya yang sarat dengan nilai perjuangan, karya dan kisah hidupnya akan terus dikenang, terutama dengan teka – teki keberadaannya yang masih menjadi misteri hingga saat ini.

Buku Wiji Thukul, Teka – Teki Orang Hilang (seri buku saku) merupakan kisah jilid pertama dalam seri “prahara – prahara orde baru” yang membahas dinamika dan kejadian sejarah yang terjadi pada masa itu. Dikemas dalam versi buku saku, untuk memudahkan pembaca untuk lebih praktis dalam menelusuri jejak langkah mengenai sosok ini. Dalam buku ini pembaca akan dibawa ke mozaik hidup dari seorang Wiji Thukul dan kejadian – kejadian sejarah yang merubungi “penyair pelo” ini. Dari kisah awal mula tragedi “hilangnya” Wiji Tukul, kisah sosok ini ketika dimasa pelarian dari aparat rezim orde baru yang pindah antara satu kota dengan kota lain, penyebab prahara dan kemunculan status dari Wiji Thukul sebagai orang yang dicari oleh rezim orde baru, dan latar belakang bagaimana kisah hidup dari Wiji Thukul bersinggungan dengan sastra dan seni teater, hingga kisah pertemuannya dengan Sipon yang menjadi istri dari Wiji Thukul.
Hal yang menarik dari buku ini adalah cara penyajian susunan bab dan isi buku yang menggunakan sudut pandang jurnalisme yang berfokus kepada penyajian fakta dan reka ulang sejarah di era itu. Catatan – catatan fenomena yang tidak hanya berfokus kepada sosok Wiji Thukul namun juga dinamika sejarah yang terjadi, sehingga pembaca dapat memahami fenomena yang terjadi dalam salah satu lembar hitam sejarah Indonesia di era orde baru, terutama generasi akhir 90an yang saat itu tidak menyaksikan secara langsung kejadian sejarah yang terjadi di era tersebut. Data – data yang disusun dalam merekam jejak sejarah dari seorang Wiji Thukul juga berdasarkan wawancara dengan orang – orang yang terlibat dan dekat dengan sosok ini yang tentu saja menambah keakuratan fakta dan kebenaran tentang Wiji Thukul.

Namun kelemahan yang terdapat dari buku dikarenakan inti dari penyajian buku ini yang tidak hanya berfokus kepada sosok Wiji Thukul, namun turut membahas fenomena sejarah yang terjadi di era itu dengan berbagai catatan kaki dan cuplikan fenomena di era orde baru, menyebabkan kurang dalamnya penyelaman terhadap sosok Wiji Thukul yang sebenarnya masih dapat digali lebih dalam lagi. Akan tetapi penyajian susunan bab yang runtut dan menarik yang disertai foto dan dokumentasi tentang Wiji Tukul dan jejak hidupnya memberikan pengalaman lebih bagi para pembaca yang terinspirasi dan tertarik terhadap kisah hidup “penyair pelo” ini.
Perjalanan hidup seorang Wiji Thukul dalam media di Indonesia telah diadaptasi di film Istirahatlah Kata – Kata yang mendapatkan banyak pujian dari khayalak banyak, menandakan besarnya perhatian publik Indonesia terhadap sosok ini. Seorang lelaki yang berani untuk menyuarakan perlawan terhadap rezim otoriter, melalui sajak – sajak ikonik yang digunakan menjadi simbol perlawanan dan ketidakadilan. “Maka hanya ada satu kata : lawan” menjadi salah satu kutipan sajak yang paling sering digunakan oleh buruh dan mahasiswa dalam orasi dan demonstrasi terhadap ketidakadilan pemerintah. Dengan mulai ramainya perhatian publik terhadap sosok yang menginspirasi ini dengan diterbitkan buku ini, serta adaptasi kisah hidup Wiji Thukul di layar film, memberikan sebuah asa baru akan pengungkapan teka – teki hilangnya sosok orang hilang yang menjadi sebuah luka lama dari rezim orde baru yang masih belum ditemukan kebenarannya.
Profile Image for Afy Zia.
Author 1 book116 followers
August 8, 2020
4,5 bintang.

Setelah membaca Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang, saya kembali diingatkan oleh sejarah kelam Indonesia yang telah menghilangkan sosok penyair tersohor Tanah Air secara paksa.

Wiji Thukul termasuk salah satu tokoh perjuangan yang namanya selalu menarik perhatian saya. Membaca buku ini, saya diajak melihat kehidupan penyair tersebut hingga puncaknya sebelum dia hilang pada sekitar Mei 1998. Buku ini―sekaligus Wiji Thukul―merupakan simbol #MenolakLupa terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belakangan ini mulai pudar di ingatan kebanyakan orang.

Saya salut dengan totalitas tim buku Tempo untuk menginvestigasi misteri di balik hilangnya Wiji Thukul. Meskipun di awal terasa agak membosankan, buku ini berhasil menghisap perhatian saya dari pertengahan hingga akhir.

Membaca buku ini juga membuat saya dilanda marah: marah kepada para penculik sekaligus pelanggar HAM yang tak mendapat hukuman setimpal atas kejahatan yang telah mereka perbuat dan marah kepada hukum negeri ini yang selalu tumpul ke atas.

Wiji Thukul barangkali memang hilang, tapi dedikasi dan kegigihannya menyuarakan kebebasan akan selalu segar dalam ingatan.

Panjang umur perjuangan! 🥀


Yang jahat dari penghilangan paksa adalah keluarga disiksa penantian dalam waktu yang tak terdefinisikan.
Profile Image for Sejutaluka.
64 reviews9 followers
August 2, 2021
Prahara diujung kekuasaan Orde Baru, buku ini tidak hanya mengupas habis tentang Wiji Thukul tapi juga menggambarkan penghilangan paksa yang dilakukan rezim saat itu. Tak hanya Wiji Thukul yang hilang dan tak kembali, beberapa nama aktivis lainpun bernasib sama.

Tempo mencoba mengurai teka-teki hilangnya Thukul dengan gaya investigasi jurnalisme. Menyajikan banyak tulisan dengan banyak sumber yang bersinggungan langsung dengan Thukul saat itu.

Di buku ini terekam jejak pelarian dan persembunyiannya, sejak juli 1996 hingga Mei 1998. Tak berujung bahagia, Thukul tak kunjung pulang, Sipon berkeyakinan Thukul masih hidup dan suatu ketika akan mengetuk pintu rumahnya.

---------

Kalaupun angka aku pun angka tak genap
tapi satu mana lengkap tanpa yang pecah
maka aku pun rela jadi seperkian dari keutuhan-Mu
sebab tak lengkap engkau tanpa aku
sebab tak sempurna engkau tanpa manusia
Profile Image for Henny R.
6 reviews16 followers
June 22, 2019
Finished reading this just yesterday. I must say, this is probably the best one in KPG series! Since I have already read Laut Bercerita by Leila Chudori, I feel very familiar with the 'plot'. This book brings back the feel of reading Laut Bercerita, which is very nice. This book is very clear and somehow, close. Maybe because all pf the events happened less than 25 years ago. From this book I learned how arts collide with practical politics in its era, although I would love if they mentioned and discussed more of Wiji Thukul's poems. Nonetheless, as a newbie reader of such topics, this is a great start.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
January 22, 2015
** Books 26 - 2015 **

Buku ini untuk memenuhi tantangan Yuk Baca Buku Non Fiksi 2015

3 dari 5 bintang!


Yaa Wiji Thukul salah satu aktivis yang hilang sejak 27 Juli 1998 dan tidak diketahui rimbanya hingga saat ini.. Buku kisah seri tempo ini menceritakan kisah perjalanan Wiji Thukul yang bersembunyi kesana kemari lari dari kejaran pemerintah di rezim Orde Baru karena dianggap buronan.. suaranya yang vokal menentang kekejaman rezim Soeharto dianggap membahayakan pemerintahan.. hingga pada akhirnya ia dinyatakan menghilang tidak ditemukan jejaknya hingga saat ini..
Profile Image for Niesa.
5 reviews
April 7, 2014
Dalam ketidak pastian, terselip harapan yang selalu terapal dalam doa. Entah sampai kapan harapan itu bisa bertahan, yang pasti bukan kematian ataupun perpisahan abadi yang diharapakan. Begitu lah kiranya perasaan keluarga Wiji yang masih menaruh harap bertemu dengannya kembali, walaupun sepuluh tahun kemudian. Yup, ketidak pastian memang menyiksa, tapi paling tidak doa masih bisa terpanjat agar harapan itu terkabul.....
Profile Image for Kristian Adi nugroho.
9 reviews
December 4, 2016
Gambaran apa yg terjadi di 1998 dari sudut pandang seniman yang terjun ke dunia politik.

Sampai sekarang masih ada yang meyakini beliau masih hidup. Kah?
Profile Image for Deka Saputra.
22 reviews1 follower
February 3, 2017
Buku ini adalah bukti kalau negara ini belum bisa berdamai dengan masa lalu, banyak dosa besar negara yang belum terkuak.
Profile Image for Kemala Hudaya.
14 reviews125 followers
September 8, 2017
I like the way this book talks about facts, spiced up with little opinion, but still.
Profile Image for Kezia Nadira.
59 reviews6 followers
June 28, 2023
Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
Katakan Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa yang sewenang-wenang....


Puisi di atas adalah karya Wiji Thukul, berjudul "Catatan", yang berisi pesan untuk istri dan anak-anaknya - sekaligus pesan Thukul untuk memperkenalkan dirinya kepada generasi Indonesia kini dan mendatang: yang mungkin asing mendengar namanya, tidak tahu perjuangannya, dan bahkan tidak sadar akan kehilangannya yang masih menjadi misteri hingga saat ini.

Wiji Thukul bernama asli Wiji Widodo. Nama "Thukul" diberi oleh Cempe Lawu Warta, guru Thukul di Teater Jagat. "Wiji Thukul" artinya Biji Tumbuh. Sebenarnya ada makna yang saya interpretasikan dari pemberian nama ini terhadap Wiji Thukul. Wiji Thukul yang sebelumnya tidak bisa apa-apa, bahkan dengan motorik yang buruk dan kecadelannya, dapat bertumbuh dari sekadar biji menjadi suatu tumbuhan yang kuat dan memberi arti, memberi dampak. Ia adalah biji tumbuh perlawanan buruh.

Wiji Thukul cadel, tidak pernah bisa melafalkan huruf "r" dengan sempurna. Ia mungkin saja "cacat" wicara. Pakaiannya lusuh dan kumal. Ia hanya anak seorang tukang becak yang putus sekolah demi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Gerakan motoriknya cukup buruk. Tapi, ia dianggap berbahaya - hingga dihilangkan oleh mereka yang memiiki kuasa besar atas negri ini. Mereka menganggap Wiji Thukul adalah seorang agitator, orang yang melakukan propaganda dan hasutan. Menurut saya, seluruh kelusuhan Wiji Thukul atau apapun yang kurang dari penampilannya luruh begitu saja saat penyair itu membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa.

Mengutip Goenawan Mohamad dalam "Catatan Pinggir":
"Wiji Thukul adalah sebuah catatan kaki. Dalam kitab besar sejarah Indonesia, politik maupun sastra, ia bukan judul atau tokoh di tengah halaman. Ia ada di bawah lembar pagina, mungkin malah di akhir bab, dengan huruf kecil-kecil. Tapi, seperti siap catatan kaki, ia mengingatkan kita bahwa ada satu informasi yang penting." (hlm. 152)

Mendukung pernyataan tersebut, Wiji Thukul merupakan jejak titik hitam sejarah negeri ini: penghilangan secara paksa para pejuang kaum kecil yang melawan negeri kediktatoran tanpa mengenal keadilan, pembungkaman secara keji para pejuang hak orang kecil yang tidak dilirik oleh penguasa. Wiji Thukul melambangkan segala peristiwa penting yang berusaha ditutupi pemerintah, peristiwa "perlawanan" dan "revolusi" yang kelam, yang seharusnya tidak terjadi apabila suara mereka didengarkan. Wiji Thukul adalah lambang reformasi politik Indonesia kala itu. Wiji Thukul adalah representasi yang tepat dan cocok bagi penindasan, kekerasan, dan pembunuhan - sebagai bentuk kontradiksi yang dilakukan oleh pemimpin yang melupakan tugas sebenarnya yaitu alih-alih menjaga dan menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya.

Buku yang lebih seperti upaya pemecah teka-teki hilangnya Wiji Thukul ini, penuh dengan penjabaran kronologis hilangnya seorang Wiji Thukul. Buku ini juga seperti biografi, karena menjabarkan perjalanan hidup Wiji Thukul: masa kecilnya sebagai anak seorang tukang becak, partisipasinya dalam choir gereja, bagaimana ia bisa putus sekolah demi menghidupi dan menyekolahkan adik-adiknya, bagaimana ia bergabung menjadi anggota Teater Jagat, bagaimana WIji Thukul mempelajari teori dan praktik pembuatan topeng dari yang tradisional hingga kontemporer (sejumlah topeng karyanya masih tersimpan di ISI Surakarta), bagaimana beliau mulai menulis puisi dan perubahan pada puisi-puisinya, bagaimana ia menjadi percaya diri saat membacakan puisinya di depan publik (terkadang melalui mengamen) sehingga menjadikannya senjata perlawanan dan minyak pada api perjuangan kala itu, Sanggar Suka Banjir yang didirikannya dengan Sipon pada tahun 1987, hingga ketika beliau memilih untuk menggunakan seni sebagai alat yang memfasilitasi pilihannya dalam politik praktis.

Politik praktis merupakan "jembatan" antara teori politik dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Politik praktis berfokus pada penerapan konsep-konsep politik, ideologi, dan prinsip-prinsipnya dalam konteks dunia nyata: apakah teori politik tersebut memerlukan penyesuaian dalam praktiknya? Dalam hal ini, politik praktis mencakup beberapa hal: perumusan kebijakan yang efektif, pelayanan publik yang baik, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut-lah, kemudian Wiji Thukul memutuskan untuk terjun ke dalam dunia ini dengan menggunakan kesenian melalui puisi-puisinya.

Buku ini sekaligus menjadi pengingat bahwa sampai sekarang masih ada 13 orang yang hilang (selain Wiji Thukul) dan tak pernah kembali:
- Yani Afri (Pendukung PDI Megawati - Jakarta, April 1997)
- Sonny (Pendukung PDI Megawati - Jakarta, April 1997)
- Deddy Hamdun (Aktivis PPP Pendukung Mega Bintang - Jakarta, Mei 1997)
- Ismail (Sopir Deddy Hamdun - Jakarta, Mei 1997)
- Noval Alkatiri (Aktivis PPP - Jakarta, Mei 1997)
- Suyat (Aktivis PRD - Solo, Februari 1998)
- Herman Hendrawan (Aktivis PRD - Jakarta, Maret 1998)
- Petrus Bima Anugrah (Aktivis PRD - Jakarta, Maret 1998)
- Ucok Munandar Siahaan (Mahasiswa Perbanas - Jakarta, Mei 1998)
- Yadin Muhidin (Alumnus Sekolah Pelayaran - Jakarta, Mei 1998)
- Hendra Hambali (Siswa SMA - Jakarta, Mei 1998)
- Abdun Nasser (Kontraktor - Jakarta, Mei 1998).

Siapa saja orang-orang tersebut? Kita tidak mengenal mereka. Mungkin, sebagian dari kita masih kecil atau bahkan belum lahir saat mereka dihilangkan secara paksa. Tapi satu yang kita bisa yakini, apabila mereka yang berkuasa dan bersenjata telah menghilangkan orang-orang tersebut, maka itu karena orang-orang tersebut berani membuat perbedaan dan telah membuat mereka takut. Oleh karena itu orang-orang tersebut dihilangkan, karena mereka berjuang, dan perjuangan mereka membuat mereka yang bersenjata takut dan tidak bernyali.

Beberapa kutipan yang saya garis-bawahi:

-> Setiap orang adalah seniman dan setiap tempat adalah panggung." (hlm. 111, dikutip dari Bertolt Brecht - penyair asal Jerman)

-> Ia (Wiji Thukul) adalah pemenang yang tak membawa pialanya ke rumah. (hlm. 153)

-> Ketidakhadiran Wiji Thukul akan menjadi kutukan yang terus memburu para penculiknya. (hlm. 151)
Profile Image for The Book Club Makassar.
127 reviews8 followers
Read
December 15, 2021
Wiji Thukul Teka-Teki Orang Hilang adalah jilid perdana seri buku Tempo: Prahara-Prahara Orde Bar. Isinya membahas mengenai pelarian Wiji selama masa "perburuan" para aktivis prodemokrasi kala itu. Menceritakan kisah perjalanan Wiji Thukul yang bersembunyi ke sana kemari, lari dari kejaran pemerintah di rezim Orde Baru. Buku ini juga membahas tentang para aktivis yang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya akibat peristiwa Mei 1998.

Wiji Widodo atau yang lebih dikenal dengan Wiji Thukul adalah seorang penyair yang berasal dari Surakarta. Nama Wii Thukul sendiri adalah hasil paraban dari Cempe Law Warta, anggota Bengkel Tater yang diasuh penyair W.S. Rendra. Seniman ini memutuskan untuk terjun ke dunia politik dan dia menjabat sebagai ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) badan yang merapat ke Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai yang dianggap penjelmaan PKI. Wiji Thukul menjadi sorotan karena dia merupakan aktivis publik dan sastrawan yang cukup dikenal luas dalam usahanya mengkritik pemerintahan Orde Baru.

Suaranya yang vokal menentang kekejaman rezim Soeharto dianggap membahayakan pemerintahan. Hingga pada akhirnya a dinyatakan menghilang tidak ditemukan jejaknya hingga saat in. Nasib Thukul simpang siur setelah bom Tanah Tinggi pada 18 Januari 1998. Hari itu, bom meletup di unit 510 Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. "Yang jahat dari penghilangan paksa adalah keluarga disiksa penantian dalam waktu tak terdefinisikan."

Thukul adalah seorang lelaki yang berani untuk menuarakan perlawanan terhadap rezim otoriter melalui sajak-sajak ikonik yang digunakan menjadi simbol perlawanan dan ketidakadilan. "Maka hanya ada satu kata : lawan" menjadi salah satu kutipan sajak yang paling sering digunakan oleh buruh dan mahasiswa dalam orasi dan demonstrasi terhadap ketidakadilan pemerintah. Kisah Wiji Thukul sendiri sudah difilmkan dan sutraidarai oleh Yosep Anggi Non dengan judul Istirahatlah Kata-Kata. Ada satu kalimat yang saya ingat betul dalam film itu, "Rezim ini bangsat tapi takut pada kata-kata."
Profile Image for Marsha28.
146 reviews9 followers
September 14, 2019
4,5 STARS

Sebagai generasi millennial yang lahir pada tahun 95, saya sama sekali tidak mengetahui bagaimana hidup di bawah naungan presiden soeharto. Saya tentu mendengar (dan membaca) berbagai informasi seperti artikel mengenai kejamnya pemerintahan saat itu.

Namun tetap saja saya merasa diskoneksi karena tidak pernah benar-benar membaca lengkap apa yang terjadi pada masa itu. Berkat buku "Laut Bercerita" yang ditulis oleh Leila S. Chudori, saya merasa terusik untuk membaca buku (non fiksi tentu saja) mengenai sejarah negara kita masa itu.

Buku ini memaparkan fakta-fakta kehidupan Wiji Thukul, seorang sastrawan yang dianggap "mengancam stabilitas pemerintahan" pada zaman itu. Wiji merupakan salah satu aktivis yang hilang semenjak kerusuhan 1998. Selain menjelaskan kehidupan Wiji sebelum menjadi aktivis, buku ini memberikan sedikit cerita apa saja yang mempengaruhi gaya Penulisan Wiji Thukul.

Saya diajak oleh Penulis untuk ikut menulusuri jejak Wiji Thukul yang berpindah-pindah karena bersembunyi dari ganasnya rezim saat itu. Bagaimana bengisnya Wiji diperlakukan oleh aparat ketika sedang berdemo membela buruh.

Buku ini membuka mata saya dengan bertapa mengerikannya masa orde baru. Saya sebagai generasi millennial jadi merasa malu sendiri saat ada beberapa oknum (baca: anak-anak yang tidak pernah merasakan orde baru) menggebu-gebu mengatakan ingin indonesia kembali berjaya seperti zaman Orde Baru. (really guyssss)

Sedikit kekurangan pada buku ini adalah karena gaya Penulisan yang lugas (singkat padat dan to the point) sering kali terasa isi buku berusaha dipanjang-panjangkan. Ini saya rasa kan karena banyak sekali informasi yang diberi tahu secara berulang-ulang. Positif thinking, mungkin Penulis tidak ingin pembaca melupakan fakta penting tsb.

Akhir Kata, buku yang sempurna untuk mengawali Bagi kalian yang tidak pernah Baca buku non fiksi mengenai sejarah masa orde baru dan baru ingin mulai membaca.
Profile Image for Jahe.
33 reviews
February 24, 2023
Beli buku ini secara impulsif setelah liat ada yang jual di twitter dan enggak nyesel sama sekali. Kertasnya yang sudah menguning cakep, isinya mantep, dan yang paling utama, harganya murah!

Buku ini menyajikan jejak-jejak pelarian Wiji Thukul sejak menjadi buron di 1996, sampai ketika ia hilang. Pertemuan-pertemuannya bersama kawan-kawan yang terakhir melihat dirinya. Juga saksi-saksi terakhir yang sempat mengaku bertemu Thukul sebelum ia hilang tanpa jejak. Sipon, dan teman-teman Thukul di Teater Jagat masih percaya ia belum mati. Istrinya masih mencantumkan nama Thukul di Kartu Keluarga sewaktu buku ini ditulis. (Sewaktu review ini naik ke goodreads, Sipon sudah meninggal dunia. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosanya dan menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya.)

Tapi Thukul belum kembali.

Membaca buku ini membuat aku teringat kembali buku Laut Bercerita. Ada yang bilang bahwa tokoh sang Penyair adalah Wiji, dan aku harus membaca Laut Bercerita satu kali lagi setelah selesai membaca buku ini. Kita akan dihadapkan pada betapa sepi dan menakutkannya penantian tanpa akhir itu. Setelah itu, mau tidak mau aku mengamini kolom tulisan Robertus Robet, bahwa penghilangan paksa adalah hukuman kejam bagi para keluarga. Buku ini ditulis secara runut sesuai urutan peristiwa. Bahasanya sederhana, rapi, dan cukup jelas. Mungkin karena goalsnya adalah untuk memberi pembaca pemahaman mengenai Wiji Thukul dan kondisi zaman pra dan pasca reformasi.

Jadi terbayang-bayang tulisan kolumnis di akhir buku. “Wiji Thukul bukanlah simbol perlawanan. Ia adalah perlawanan itu sendiri.”
Profile Image for Risyca Pujiastuti.
45 reviews
December 25, 2018
"Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa aku jarang pulang
Katakan, Ayahmu tak ingin jadi pahlawan tapi dipaksa menjadi penjahat oleh penguasa yg sewenang-wenang...." (Hal.129)

"Wiji Thukul selalu bergegas: dari Solo ke Salatiga, Yogyakarta, Magelang, Jakarta, dan Kalimantan. Sambil bersembunyi, dia terus terlibat aksi menantang Orde Baru, mengkoordinasi buruh hingga membuat plakat dan selebaran. Dia juga tak berhenti menulis puisi dan cerita pendek. "Kalau teman-temanmu tanya kenapa bapakmu dicari-cari polisi jawab saja 'karena bapakku orang berani'."" (Hal.1)

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata : lawan" (Hal.117)

Buku ini mengisahkan perjalanan Wiji Thukul bersembunyi dr satu tempat ke tempat lainnya berdasarkan penuturan dr para saksi. Buku ini layak bgt untuk dibaca lhoo, sebagai pengingat kita bahwa di negeri ini kita pernah mengalami masa kelam pada zaman orde baru, yg hingga hari ini tetap saja keberadaan Wiji Thukul ttp tdk diketahui. Buku ini mengajak kita untuk tetap mengingat sejarah perjalanan bangsa. 😁

"Jangan sekali-kali menggunakan buku buat tatakan. Itu karya manusia yg harus dihargai."(Hal.37)

"Berbagai kesibukan aktivis PRD dlm gerakan bawah tanah ataupun organisasi legal membuat mereka terlambat menyadari hilangnya Thukul. Sistem sel gerakan bawah tanah dgn pola komunikasi tertutup jg menyumbang keterlambatan informasi. PRD mulai mencari Thukul pada 1999 dan membentuk tim investigasi orang hilang." (Hal.44)
Profile Image for Fira.
125 reviews
January 17, 2025
Buku seri Tempo pertama yang saya baca, menceritakan biografi salah satu penyair favorit saya dan memuat seluruh kisah yang bisa tim Tempo ulik mengenai perjalanan & ketidakadilan yang dihadapinya. Sebagai pembaca saya ikut merasakan penjelajahan tim Tempo dan bagaimana penulis berusaha penuh dalam menyusun timeline dan kisahnya, berusaha mengumpulkan perspektif-perspektif tokoh-tokoh yang terlibat bahkan memaparkan perbedaannya yang tentu terbatas dengan ingatan, bangunan yang sudah diratakan, dokumen-dokumen yang hilang dan segala keterbatasannya, buku ini tetap bisa menjembatani pembaca untuk mengenal & membaca perjalanan seorang Wiji Thukul; Seorang murid, seorang anak, seorang kakak, seorang buruh, seorang ayah, seorang buruh, seorang penyair, seorang aktivis, seorang sastrawan dan segala perannya sebagai seorang manusia yang semuanya dihilangkan paksa oleh rezim.

Saya sangat suka bagaimana tim Tempo menuliskan perjalanan perkembangan sajak-sajak Thukul dari puisi remaja hingga puisinya yang luar biasa, saya meng-highlight beberapa hal yang dikisahkan oleh Pak Halim H.D dalam buku ini tentang perubahan-perubahan sajak beliau. Hal lain yang menjadi favorit saya adalah tulisan penutup yang berjudul "Thukul" yang dituliskan sangat indah & ironis oleh Pak Gunawan Mohamad yang menganalogikan bahwa Wiji Thukul adalah sebuah catatan kaki dan penjelasan selanjutnya akan menggores hati pembaca atau minimal akan memberikan jejak.

TMI: I'm writing this review while crying.
Profile Image for Astala.
100 reviews
June 25, 2022
Buku yang menyuguhkan sejarah era orde baru. Membaca ini, aku merasa membaca untold story dari salah satu tokoh yang tidak disinggung secara spesifik di pelajaran sejarah indonesia sewaktu sekolah dulu. Sempat bertanya-tanya "mengapa kisah² tokoh yang hilang tidak di jelaskan di lks/sumber pelajaran lain?" Dan aku menemukan jawabannya dari buku ini dan beberapa buku sejarah lain.

Sangat miris, kondisi indonesia dahulunya ternyata "separah" itu. Pemerintah dan aparat yang ikut terlibat dalam penculikan sangat tidak mendapat hukuman yang setimpal dibanding dengan mereka yang dihilangkan (hingga saat ini).

Dengan dalih khilaf, itu sangat menyakitkan saat aku membaca dan mengetahuinya. Bagaimana dengan kekhilafan tersebut bisa menghilangkan nyawa orang dan bahkan beberapa tidak diketahui nasibnya hingga sekarang? :)

Membaca buku wiji thukul ini juga, mengingatkanku akan buku laut bercerita karya bu leila s. chudori, dan hal ini seperti menamparku saat mengingat bagian² buku tersebut yang genrenya "novela" dengan kesamaan yang ada di buku wiji thukul dengan genre sejarah yang membawa "fakta²" yang ada didalamnya.

Sangat tragis.


Do'a yang terbaik untuk mereka yang selamanya hidup dalam ketiadaan. Dan untuk keluarga yang dihukum kerinduan akan figur mereka yang hanya tertinggal bayang, GBU♡
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Caca.
181 reviews9 followers
March 1, 2024
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan menganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata:
LAWAN!

Lagi-lagi kekejaman rezim Orde Baru, membuat saya menggelengkan kepala dan melongo. Kenapa saya melongo? Marvelous, buku ini isinya tentang Fakta dan Data. Bahkan tentang kebenaran yang sebelumnya saya tidak ketahui.

Tentang seorang Penyair Wiji Thukul, yang menjadi buronan karena puisi-puisinya tentang isu politik di negeri kita yang semrawut ini. Kekejaman rezim Orba di masa itu, sungguh sangat menakutkan. Yang berani bicara dibungkam, dimana kebebasan dimasa itu?

Kemana hilangnya para aktivis yang hilang, harapan-harapan dan doa selalu mereka panjatkan, keluarga yang menanti kepulangan orang yang hilang akibat masa Orde Baru.

Ketika yang berkuasa yang memiliki senjata, berkata bahwa penculikan terjadi karena khilaf dan karena panggilan dari hati nurani. Saya hanya bisa menggelengkan kepala. Ikut hancur hati saya ketika membaca buku yang menampilkan kekejaman rezim Orde Baru.

Terlalu banyak luka yang diberikan negeri ini kepada rakyatnya, terlalu banyak keadilan yang tidak setara. Saya berharap jika memang Wiji Thukul masih hidup diluar sana, saya harap beliau baik-baik saja, dan pulanglah. Keluarga, teman menantimu.
Profile Image for y..
17 reviews
September 14, 2024
berterimakasih sekali sama tim tempo yg nulis tentang kisah wiji thukul secara detail, gue jadi bisa tau kronologinya dari awal sampai wiji thukul dinyatakan hilang. seorang penyair aja bisa bikin takut para rezim itu, sampai thukul dihilangkan secara paksa sama mereka, lawak bgt rezim di indon ini wkwk

yg bikin shocknya tu pas tadi baca jawaban prabowo, “khilaf, seharusnya tak ada penculikan.” KAYAK??? YG BENER AJA LO GILAAAA, bisa bisanya berdalih khilaf. kalo emang penculikan tersebut hanya ‘khilaf’, harusnya lo lo pada bisa datengin para keluarga korban dan minta maaf sama mereka (para keluarga korban) yg kehilangan orang tersayangnya. kalo cuma ‘khilaf’, harusnya kasih tau juga ke keluarga korban, korban korban yg diculik itu skrg keadaannya gimana. even para korban tersebut udah meninggal, tetep harus kasih tau ke keluarganya.

kebayang gak sih sedihnya ada diposisi keluarga korban yg kehilangan orang tersayangnya dari masa orde baru dan sampe detik ini masih ada korban yg belum juga pulang (entah skrg mereka ada dimana atau skrg mereka masih hidup atau engga). para keluarga korban itu masih nunggu kepulangan orang orang tersayangnya, tapi miris bgt pemerintah indon masih belum juga ngasih keadilan buat mereka.....
Profile Image for Kania Putri.
3 reviews
March 29, 2025
This book makes me get to know more about Wiji Thukul's figure. Bukan hanya mengenal lebih sosok Wiji Widodo, dari buku ini I know more about sejarah orde baru, peristiwa 27 Juli 1996, peristiwa bom tanah tinggi 18 Januari 1998. Selain itu di buku ini membahas daerah dan nama samaran apa yang dipakai Wiji saat “kabur” dari kejaran orang orang orde baru. When reading the last half of this book, I felt emotional because on a page that I forgot the eighth page, Wiji's wife, Sipon, hoped he had children in Kalimantan and lived there, meaning he was still alive. Then Sipon still put Wiji's name on the family card because she was not willing to be a widow. Orang orang yang berada di pihak Thukul paham bahwa hilangnya beliau bukan karena kriminal biasa tapi hilangnya kebebasan yang melibatkan negara atau orang orang yang berkaitan dengan negara. The last thing yang membuat emotional adalah yang jahat dari penghilangan paksa adalah keluarga disiksa penantian dalam waktu yang tak terdefinisikan, its remind me sama novel Laut Bercerita di mana orang tua Laut always wait him to come home, yang di mana Biru Laut gaakan pernah pulang dan keluarganya ga pernah dapat kejelasan apakah dia masih hidup atau hilang.
Displaying 1 - 30 of 123 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.