Mengherankan. Pemahaman persoalan dan solusi persoalan perkotaan sedikit sekali bertambah sampai dengan saat ini. Persoalan yang dihadapi 20 tahun lalu sebagaimana disampaikan pada buku ini memiliki kemiripan dengan pemberitaan dan tulisan media sekarang.
Sebagai contoh, pengetahuan kita mengenai penyebab kemacetan dan solusinya tidak juga berbeda. Solusi bahkan tidak punya alternatif lain selain membangun jalan baru. Dari perkembangan pengetahuan ilmiah, peningkatan kapasitas jalan (melebarkan, membangun lintas atas/lintas bawah) tidak akan mengurangi waktu perjalanan. Maka, para peneliti memperkenalkan konsep seperti induced demand (bertambahnya volume kendaraan karena peningkatan kapasitas jalan) untuk mendeksripsikan kegagalan pembangunan jalan untuk mengatasi kemacetan. Kritik terhadap tol jalan dalam kota yang berbiaya tinggi dari konstruksi dan kerusakan lingkungan juga dapat disimak pada buku ini.
Penurunan luas area lahan yang dikategorikan ruang terbuka hijau (RTH) juga tidak serta merta dapat dicegah sebagaimana sekarang ini. Jakarta sampai saat ini hanya memiliki 5,2% RTH. Dua puluh tahun lalu masih mencapai luasan sekitar 9% dari wilayah. Persoalan sudah didentifikasi dari skala regional maupun lokal. Akan tetapi, sampai saat ini terobosan belum terwujud. Padahal, sejumlah solusi tersedia, seperti penerapan transfer development right (TDR) yang mengkompensasikan adanya pembangunan baru di suatu lokasi dengan penyediaan RTH dengan luasan yang sama atau lebih di tempat lain.
Satu hal yang menarik bahwa perdebatan mengenai pembangunan transportasi publik di Jakarta telah berkembang sedemikian rupa 20 tahun lalu. Sebagian besar penulis mendukung pembangunan transportasi publik, seperti bus, monorail, metro subway, dll. Meskipun demikian, cara pembangunan infrastruktur dilakukan tetap mendapatkan kritik: headway (jarak menit antarbus angkutan orang) yang masih lebar, rencana sistem jaringan yang masih parsial, dan biaya mahal untuk pembangunan monorail tanpa kejelasan dengan struktur tata ruang.
Membaca buku ini merefleksinya bahwa pekerjaan rumah pada pengambil kebijakan dan perencana pembangunan kota masih sangat banyak sejak berpuluh tahun lamanya. Pekerjaan tersebut belum terselesaikan dan mengalami akumulasi. Saat ini , Jakarta tetap harus berhadapan dengan banjir, pelayanan publik yang tidak memadai, dan kerusakan lingkungan. Satu persoalan dengan yang lainnya saling terkait menyebabkan persoalan perkotaan di Jakarta sebagai kompleks (complex problem), yang tidak dapat diisolasi sebagaimana penyajian dalam buku ini.