What do you think?
Rate this book


368 pages, Paperback
First published August 1, 2013
Saya mulanya memilih buku ini karena mengira pasti mendapatkan bacaan yang ringan, menyenangkan, menggelitik, dan syukur-syukur kalau memberi efek kupu-kupu di perut. Namun, sayangnya novel Mia Arsjad dengan rating paling tinggi ini tidak mengandung karakteristik-karakteristik khas Metropop tersebut—terkecuali ringan dan santai—sehingga tidak mampu mewujudkan harapan saya. Alih-alih, saya dibuat ‘gemas’, entah karena para tokohnya, konfliknya, atau tulisannya. Seiring bergulirnya halaman dan cerita, saya merasa harus mengurangi bintang hingga di angka seperti yang tertera pada ulasan ini.
Masalah pertama bagi saya adalah tulisannya. Saya mengamini Metropop tidak harus ditulis dengan baku, tetapi tulisan di buku ini cukup dangkal dan terlalu berantakan, ditambah gaya humor yang garing dan membuat bosan. Apabila saya membacanya di platform semacam Wattpad, saya akan maklum dan tidak ambil pusing. Akan tetapi, saya cukup sedih mengingat betapa tidak rapi dan kurang menariknya naskah yang diterbitkan dan—seharusnya—telah disunting ini. Dari segelintir novel sejenis yang saya baca, ini yang paling kacau. Oleh karena novel-novel lainnya ditulis dengan teramat bagus, saya memiliki standar tersendiri untuk novel di genre ini.
Kedua, romansa. Romansa adalah dagangan utama novel Metropop. Sayangnya saya tidak merasakan cerita roman yang lucu, manis, dan menghibur di buku ini. Hal ini karena saya rasa perkembangannya kurang halus. Selain itu, penulis menggambarkannya dengan sangat gamblang. Dengan kata lain, lebih banyak tell daripada show. Hal ini membuat tulisannya—lagi-lagi—kurang memikat. Oleh karena telanjur tidak suka ke tokohnya pula, hubungan mereka rasanya hambar.
Ketiga, plot. Sejujurnya, sinopsisnya amat menggugah, seorang mahasiswi butuh uang yang kemudian bekerja sebagai asisten komikus ternama dalam negeri. Latar belakang komikus jadi poin plus yang menarik. Namun, jangan mengharap eksplorasi mendalam akan hal tersebut. Andai saja penulis lebih dalam menggalinya sehingga ia dapat menyajikan plot yang lebih layak, misalnya turut menggambarkan dunia penerbitan, peluncuran buku, atau jumpa penggemar. Pembaca tidak akan menemui penggambaran seluk-beluk proses kreatif penciptaan komik. Alih-alih, pembaca hanya akan menyaksikan aktivitas menggambar sketsa di apartemen, tok. Tidak hanya itu, gelar sang tokoh sebagai komikus naik daun tidak begitu terasa, hanya di bagian awal, itu pun minim sekali.
Ketiga, pemilihan konflik. Nah, dengan mengabaikan hal-hal yang dekat dengan dunia komikus, penulis justru mengambil konflik yang luar biasa ... spektakuler. Ini terasa seperti perpaduan FTV remaja, FTV hidayah, dan acara Rumah Uya. Dengan kata lain, per-pelakor-an, dua kali! Ditambah lagi, ada rencana pembalasan dendam konyol yang membuat dahi berkerut. Semua itu ditunjang oleh performa tokoh-tokohnya yang ketika berdebat kurang lebih sama dengan pemain sinetron atau talent-talent Rumah Uya.
Keempat, tokoh-tokohnya—Katrina, Ran, dan Viana—tidak lovable. Alih-alih suka dan bersimpati, malah membuat iritasi. Saya merasa semua yang dikatakan tokoh-tokohnya kontradiktif dengan kelakuannya, terutama Katrina. Dia, si protagonis, digambarkan sebagai perempuan manja yang ngebet bekerja untuk memenuhi jiwa hedonisnya—poin yang ini tidak bermasalah. Akan tetapi, dia yang mengaku ingin hidup tenang justru hobi sekali terjun dan ikut campur masalah pribadi orang. Selain orang yang kepo akut, dia gegabah, tidak elegan, dan overdramatic. Selanjutnya, Ran, si komikus. Dia acuh tak acuh dan judes, tipikal lelaki Metropop—yang ini juga oke-oke saja. Namun, di umurnya yang menginjak 27 tahun dengan segala kelimpahan, ketenaran, dan kemapanan hidup, ia masih memikirkan satu hal yang tidak logis dan penuh kesia-siaan ketimbang berfokus pada masalah yang lebih krusial. Terakhir Viana, antagonis dan pencemburu ulung. Kabar yang lebih buruk adalah tiga puluh persen buku ini isinya adu mulut Viana dan Katrina dengan masalah yang itu-itu saja—dan jangan sampai ketinggalan: overdramatic. Ketiganya membuat saya tidak habis pikir dan ... angkat tangan. Kendati demikian, terlepas dari kekurangannya, untungnya masih ada sekelumit kewarasan si protagonis yang membuat resolusi buku ini tidak buruk. Saya tidak bisa membayangkan apabila konflik-konfliknya diselesaikan dengan solusi awal.
Yah, kalau kalian pembaca yang ingin membaca novel romantis yang kisahnya bagai kembang gula atau permen kapas dengan nuansa kalem dan menyenangkan, saya tidak merekomendasikan untuk memilih buku ini. Namun, kalau kalian ingin kisah yang ringan sekaligus penuh drama yang mengaduk-aduk emosi (negatif) dan perasaan ingin memaki, cobalah buku ini.
"...dan kamu harus terbiasa dengan gue yang kayak gini. Gue yang kamu lihat di Gelas Kaca, itu hanya untuk menghadapi fans atau orang lain pada umumnya. Kamu bukan fans dan bukan orang lain pada umumnya. Kamu asisten gue, gue yang ini yang harus kamu hadapi setiap hari."
❝Udah cukup kamu jadi runaway Ran selama ini. Jadi Ran yang kabur dari dirinya sendiri dan kenyataan. Ini saatnya kamu jadi diri kamu yang sebenarnya Ran, melangkah maju tanpa dendam masa lalu yang bikin kamu jadi orang lain.❞