Novel Di Etalase menghadirkan kepada pembaca serangkaian teka-teki yang harus dipecahkan, menyebar potongan-potongan puzzle yang harus disusun ulang. Yang ditemui di dalamnya adalah fiksi yang terus menerus merujuk pada fiksi yang lain; fiksi yang tak perduli apakah ada realitas lain di luar dirinya; fiksi yang melingkar-lingkar dalam semesta fiksi tanpa tautan. Barangkali kita tidak bisa menemukan bagaimana relasi antara dongeng dari Babilonia dengan perjalanan Kara dan Ana. Juga kisah-kisah yang meluncur dari mulut Kara yang Lain yang disampaikannya pada Kara. Tapi demikianlah pilihan sang pengarang, menghadirkan kepada kita fiksi yang tiada henti, yang bermain-main dalam wilayah logika, ruang dan waktu. Fiksi-fiksi itu menjabarkan banyak hal dan banyak peristiwa, tidak ensiklopedik, bahkan mendekati teoretik. Ada banyak nama tergelar disana, tanpa latar belakang, datang tiba-tiba. Kecenderungan penulis untuk bermain dengan banyak teori dan persoalan bisa jadi justru membuat persoalan-persolan itu menjadi sekadar sisipan, dan tidak meninggalkan jejak yang dalam di keseluruhan cerita. Sebagai sebuah novel yang mengambil pendekatan “psikologis”, novel ini dapat dikatakan cukup berhasil memunculkan persoalan-persoalan dalam pikiran dan jiwa manusia. Dengan nuansa yang gelisah dan sedikit marah, tak menyengat tapi punya daya tular, Di Etalase seperti mengajak pembacanya berpikir tentang substansi, bukan selebrasi.
Alia Swastika http://aliaswastika.multiply.com/?&am...
Ugoran Prasad memenangkan penghargaan cerpen terbaik Kompas (2005-2006) dengan cerpennya, "Ripin." Sebelumnya ia mendirikan BlockNot Forum (1999) dan menerbitkan novel Di Etalase, (Grasindo, 2003). Di tahun 2010, bersama Eka Kurniawan dan Intan Paramaditha, ia menerbitkan kumpulan cerpen Kumpulan Budak Setan (Gramedia Pustaka Utama, 2010), sebuah pembacaan ulang atas karya-karya horor Abdullah Harahap.
Sejak awal tahun 2000-an Ugoran telah menjadi resident artist di Teater Garasi. Ia terlibat dalam kerja penulisan naskah maupun dramaturgi beberapa karya, termasuk Waktu Batu, yang ditulisnya bersama Gunawan Maryanto dan Andri Nur Latif (2001-2004; sutradara: Yudi Ahmad Tajudin), dan Mnem[a]syne (sutradara: Yudi Ahmad Tajudin), kolaborasi Teater Garasi dan Teater Kunauka, Tokyo. Ia sempat menjadi Associate Editor di Lebur Theater Quarterly, Jurnal Teater dan Seni Pertunjukan.
Ugoran juga dikenal sebagai penulis dan penampil lirik untuk kelompok musik Melancholic Bitch, Yogyakarta. Kelompok ini telah menghasilkan tiga album (Live at nDalem Joyokusuman, 2003, Anamnesis, 2005, dan Balada Joni dan Susi 2009). Pada tahun 2010, bersama musisi indie dari Yogyakarta, Frau, Ugoran menyanyikan kembali lagu yang ia ciptakan untuk album Anamnesis, "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa.”
Ugoran lulus dari jurusan Sosiologi UGM dan mendapat beasiswa Erasmus Mundus untuk program MA of International Performance Research (MAIPR) di University of Amsterdam dan Warwick University (2012). Ia juga pernah memperoleh fellowship dari Asian Cultural Council sebagai visiting scholar di Department of Performance Studies, Tisch School of The Arts, New York University (2008 dan 2010). Sejak 2013 ia menempuh program doktoral di bidang Kajian Teater di City University of New York (CUNY).
Saya tulis ini sesaat setelah menuntaskan pembacaan saya. Satu minggu. Lebih atau kurang, saya tak begitu ingat, dan itu tak begitu penting. Tapi di sela-sela itu, saya terserang influenza dan pening kepala yang saya kira dikarenakan ini memang musim baik untuk terserang sakit. Barangkali influenza dan pening saya juga diperparah oleh pembacaan saya pada bagian awal sampai dengan tengah fiksi ini.
Saya lebih sering membacanya dengan diiringi lagu “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” yang versi Melancholic Bitch asli. Nggak tahu, mungkin memang ada hubungan antara lagu itu dengan fiksi ini, karena bagi saya sendiri, ‘rasa’-nya dapet.
Saya tidak terlalu paham pada alurnya, acak, namun begitu magis membius saya. Juga diksi-diksi dan permainan kata, dan terutama, penggambaran-penggambaran peristiwa di dalamnya. Ini tidak didapati di pembacaan saya terhadap halaman-halaman awal, tentu. Di halaman-halaman awal, seperti Eva dan Kara, saya pun bingung. “Paan neh?” begitu yang ada dalam kepala saya. Ugoran Prasad nampaknya begitu gila dalam pembacaannya terhadap diktat-diktat filsafat yang kadang menyebalkan. Tapi ketika pembacaan saya telah sampai di bagian tengah dan akhir, saya ingin memaki-makinya, berteriak "Kok lu bisa gini sihhh?" karena saya yakin, telah banyak karya sastra terjemahan yang dia baca (jadi pertanyaan saya semacam tak butuh jawab). Atau malah dia baca sebelum karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk segala risetnya yang gila, rasanya kepingin tukeran badan sama dia:’) Dan yang menyebalkan adalah ketika pada satu halaman, saya menemukan diksi ‘ngaceng’. What the hell maaaan. Saya ngekek-ngekek sendiri, entahlah, diksi itu semacam membuat resah dalam fiksi ini menjadi lebih meriah. Sial. Saya memang tidak terlalu berekspektasi tinggi pada fiksi ini karena telah lebih dulu membaca Ripin, cerpen Ugoran Prasad yang lebih baru daripada novel ini. Tapi nampaknya Ugoran Prasad memang telah menemukan nyawanya, jauh sebelum dia bertemu dengan Si Ripin. Tapi, menurut saya sendiri, di Ripin, Ugoran Prasad sudah lebih ‘membumi’. Mungkin juga karena dia melakukan riset dan pengendapan yang lumayan lama untuk cerpen Ripin. Banyak kemungkinan, ya, selalu saja begitu.
Fiksi ini berat sekali, dalam sekali waktu kita bisa tersesat dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh Ugo tapi dalam lain kesempatan kita dipaksa untuk tenggelam dalam kebingungan yang pusing.
kisah kara, eva, ana, dan kara yang lain membentuk imajinasi abu tentang bagaimana harusnya kita melihat dunia dalam fiksi ini atau bahkan dalam realitas yang kita hadapi. Sepertinya Ugo memang ingin membawa kita dalam keriuhan pikirannya yang kalau dalam salah satu kutipannya berucap "seperti panggilan lokomotif kereta api yang riuh" itu benar adanya, fiksi ini riuh namun teratur.
Peristirahatan-peristirahatan dalam proses membaca fiksi ini hanya akan membawa pada satu kepusingan lain dan jika tak segera dilanjutkan akan menimbulkan migrain yang kuat. Maka, berhati-hati saja saranku ketika membaca fiksi ini.
Saya sendiri terpukau oleh cara Ugo menggambarkan setiap fragmen yang ada, kalimat-kalimatnya magis.
Salah satu buku yang tidak perlu dibaca, apalagi dipahami. Hanya rancauan penulis yang loncat-loncat tidak jelas. Tidak ada isinya. Benar-benar buruk. Penulis seperti terjebak di dunia fantasinya sendiri dan kebingungan dalam menceritakan apa yang ingin ia ceritakan.
well, buku ini menarik walaupun saya tidak terlalu menikmati kala membaca (bukan tipe buku yang reader friendly, maklum ditulis di masa pencarian identitas masih booming - old postmodernism). tingkat kontekstualitas antar teksteks-nya tinggi sekali. you can't miss a single line while reading this one! saya pernah membiarkan diri saya lengah pada sebuah kalimat dan semakin diteruskan justru semakin lost track, sehingga harus mengulang (dari awal ha ha ha).
*hayah, kok jadi curhat kekeke* lanjut ...
saat membaca, entah mengapa, saya membayangkan fragmen-fragmen Di Etalase dalam bentuk pertunjukan panggung. pemain yang sama (Eva dan Ana atau Kara dan Kara yang lain), panggung yang sama, tapi 'ruang' dan dimensi yang berbeda: hanya dibedakan oleh lighting ... beradegan secara dekonstruktif dan tidak linear. sangat teatrikal (entah apakah penulis dekat dengan dunia teater).
di tengah buku (bab kedua mungkin) baru saya sadar, sesadar-sadarnya ... buku ini harus diselesaikan terlebih dahulu, semua fragmen harus terkumpul lengkap, baru pembaca bisa mulai merangkai dan melihat dari jarak pandang yang lebih luas (macam zoom out), melihat rangkaian-rangkaian yang dibuat oleh Prasad dan "hey! i got it, maybe" dan 'maybe' akan terus menjadi 'maybe' karena tidak pernah ada yang selesai di dalamnya (apalagi buku yang satu ini ... ha ha ha)
i wonder, di masa-masa sekarang (hanya berjarak 4 tahun), apakah masih ada penulis yang mau bekerja sekeras Prasad menuliskan teks semacam Di Etalase. mas yang satu ini benar-benar pengrajin yang baik :D
silakan ... silakan ... bacalah buku ini ... kinda old fashion but hey, a little rendezvous will be fun.
buku ini muncul saat dunia "baca" digempur oleh para penulis perempuan yang saat itu sedang overproduktif hahahaha tak heran generasi pada masa itu akrab dengan bku macam larung, saman, parasit lajang karya ayu utami, trilogi supernova karya dewi lestari dan buku2 djenar maesa ayu. setelah membaca buku ini saya sempat merasa terkejut karna setelah sekian lama tidak ada novel2 yang berani seperti ini. sejak awal sampai akhir kita dibawa berlari mengikuti alurnya yang cenderung cepat, tapi jika saja kita melewati satu baris alamat bakal kebingungan. Semakin bingung lagi karena cerita cenderung melompat lompat, silahkan di baca sendiri.
saya beruntung dapet buku dikasih kado sama Dian Andriani jaman kuliah dulu :)
Buku ini bikin penasaran, beberapa tahun yg lalu gw pernah baca tapi ga bisa nangkep isinya, it's too abstract for me... Klo ada yang udah baca buku ini dan ngerti, tolong dong jelasin ke gw. Thanks.
Edit tahun 2018 : Please dont read this crap. Its weird and meaningless. Mending baca hadist atau buku ilmu pengetahuan. This book is nonsense.