Jump to ratings and reviews
Rate this book

Senyum Karyamin

Rate this book
Editor: Maman S. Mahayana
Kata Penutup: Sapardi Djoko Damono

Kumpulan cerita pendek ini berisi 13 cerpen Ahmad Tohari yang ditulis antara tahun 1976 dan 1986. Seperti dalam karya-karyanya terdahulu, dalam kumpulan ini pun Tohari menyajikan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil yang lugu dan sederhana. Dan sebagaimana dikatakan dalam “Prakata”, kekuatan Tohari “terletak pada latar alam pedesaan yang sarat dengan dunia flora dan fauna”.

Selain itu, gaya bahasa Tohari “lugas, jernih, tapi juga sederhana, di samping kuatnya gaya bahasa metafora dan ironi”.

88 pages, Paperback

First published January 1, 1989

96 people are currently reading
1274 people want to read

About the author

Ahmad Tohari

47 books504 followers
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.

His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"

On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.

Bibliography:
* Kubah (novel, 1980)
* Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)
* Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
* Jantera Bianglala (novel, 1986)
* Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
* Senyum Karyamin (short stories, 1989)
* Bekisar Merah (novel, 1993)
* Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
* Nyanyian Malam (short stories, 2000)
* Belantik (novel, 2001)
* Orang Orang Proyek (novel, 2002)
* Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
* Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
382 (32%)
4 stars
545 (45%)
3 stars
215 (18%)
2 stars
33 (2%)
1 star
16 (1%)
Displaying 1 - 30 of 231 reviews
Profile Image for Arief Bakhtiar D..
134 reviews82 followers
October 28, 2016
SASTRA TENTANG ORANG-ORANG DESA

AHMAD Tohari rasa-rasanya tidak akan melepaskan pikirannya dari satu lapisan masyarakat yang kian terpinggirkan: orang-orang desa.

Kita tahu dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Tohari membangun latar di satu dusun kecil Dukuh Paruh. Di dusun itu muncul Srintil, gadis kenes yang suka menari dan digadang-gadang kakeknya menjadi ronggeng terkenal, dan Rasus, pemuda yang menyukai Srintil tapi akhirnya menyingkir dan memilih bekerja sebagai pengupas ketela di pasar. Dalam membangun kisah ronggeng di novel itu Ahmad Tohari tak melewatkan sesuatu yang khas di masyarakat desa: adat istiadat dan kepercayaan yang kental.

Tradisi kepenulisan semacam itu tak berubah dalam cerita-cerita pendek Ahmad Tohari. Tiga belas cerita pendeknya antara 1976 sampai 1986 yang dikumpulkan dalam Senyum Karyamin membuat kita yakin Ahmad Tohari adalah penulis yang setia pada jalan kelokalan. Tohari mencarinya dari ruang-ruang sunyi rakyat, di desa, di hutan, di sampah pasar, dan menampilkannya dengan bahasa yang lugas dan konflik yang sederhana. Tokoh-tokoh dalam cerpennya memiliki pekerjaan-pekerjaan yang umum pada masyarakat lapis bawah: pengumpul batu (dalam Senyum Karyamin), penyadap nira kelapa (Jasa-Jasa buat Sanwirya), pencuri kayu (Surabanglus), petani dan pembajak sawah (Tinggal Matanya Berkedip-kedip), orang gila di sampah pasar (Blokeng), pengadu-pengadu ayam (Orang-Orang Seberang Kali), orang terbelakang mental (Wangon Jatilawang), pengamen bus (Pengemis dan Shalawat Badar).

Dalam karya lamanya yang terbit kembali pertengahan tahun ini, Tohari memang tak bercerita tentang gemerlapan kota dengan kampus, parfum, hotel, dan kafe. Ia, salah satunya, memilih berkisah tentang Karyamin: seorang pengumpul batu yang tiap hari merayapi lereng pinggir kali. Hidup Karyamin dan teman sepekerjaannya tentu saja bukan hidup yang mudah. Tiap hari mereka mengais bebatuan, sambil berpikir tagihan nasi pecel Saidah, tentang tengkulak yang menunggak membayar satu truk batuan, atau nomor butut yang selalu gagal tembus. Ahmad Tohari dengan teliti memotret hiburan sederhana para pencari batu kali itu: yaitu para nyonya atau perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi tiap kali menyeberangi sungai.

Tapi yang menganggu dalam Senyum Karyamin bukan khayalan pria-pria ini. Perilaku seperti itu, sumber kebahagiaan yang polos dan lebih banyak tentang sesuatu yang tak punya ilmu, memang nyata di desa-desa. Yang menganggu pada diri Karyamin adalah ironi orang-orang yang berdaya dan tidak, terutama ketika dia tersenyum ketika Pak Pamong datang untuk menagih iuran pemerintah Indonesia. Senyum Karyamin seaneh fakta bahwa seorang pencari batu harus memberi bantuan bagi orang-orang yang kelaparan di Afrika sana, sementara rongga matanya sendiri sering berkunang-kunang karena menahan lapar yang sangat.

Pada umumnya, kisah yang tulis Ahmad Tohari adalah, meminjam kalimat Sapardi Djoko Darmono dalam kata penutup kumpulan cerpen ini, kisah “yang tidak berbelit-belit, namun mengandung kemungkinan penafsiran lebih lanjut”. Tohari, yang pernah kuliah dokter, ekonomi, dan sosial-politik, tidak menulis cerita serumit materi-materi pelajaran dalam dunia akademis itu. Memang, tanya Sapardi, konflik sehebat apa yang bisa dialami rakyat lapisan bawah seperti Karyamin, Kasdu, atau Sanwirya?

Cerita pendek Jasa-Jasa buat Sanwirya, yang meraih Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas 1975 dari Radio Nederlands Wereldomroep, adalah contoh cerita yang tak berbelit-belit. Cerpen ini menceritakan tiga orang yang sepakat merasa kasihan kepada kawan mereka Sanwirya, seorang penderes nira yang sekarat hampir ajal. Mereka berdiskusi mengenai bantuan yang tepat buat Sanwirya dan mengusulkan bahwa Sanwirya patut untuk mendapatkan pinjaman padi dari lumbung desa, pinjaman jaket sebagai upah dukun, dan polis asuransi jiwa—yang semuanya akan ditanggung Sanwirya yang tak berdaya itu. Di situlah masalahnya. Tentu saja Sanwirya, yang akhirnya mati, tidak butuh itu: ia hanya membutuhkan seorang modin untuk mengantar kepergiannya dari dunia yang fana ini.

Atau cerpen Si Minem Beranak Bayi, misalnya, memiliki alur kisah yang sama sederhananya dengan judulnya: seorang lelaki bernama Kasdu datang ke rumah mertuanya untuk mengabarkan bahwa Minem, istrinya, telah melahirkan. Hanya itu. Yang menjadi problem: Minem yang beranak bayi itu baru 14 tahun. Barangkali cerita seperti itu masih lazim di masa lampau. Agak ganjil dan rasa-rasanya patut direnungkan: bagaimana mungkin “seorang bocah mengeluarkan bocah lagi”. Dan Minem bukan satu-satunya. Ibunya sendiri melahirkan Minem pada usia 14 tahun, dan saat ini (dalam cerita) baru berumur 29 tahun. Hal lain yang membuat kita merenung adalah tentang bagaimana ayah Minem rupanya bangga bahwa anak-anaknya cepat laku—adik Minem sebentar lagi akan menikah, pada usia 12 tahun.

Ada kisah lain yang menarik hati Sapardi, yaitu Pengemis dan Shalawat Badar. Plot kisah itu: di dalam bus yang penuh sesak oleh bau keringat dan asap rokok, yang tak segera berangkat karena sopirnya asyik bergurau dengan perempuan pedagang buah, masuk seorang pria dengan celana, baju, dan peci hitam. Setelah mengucapkan salam, pria berpeci itu menyanyi shalawat badar, sambil tangannya menengadah. Lakon utama dalam cerita, salah satu penumpang bus, mulanya agak tak setuju “hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis”. Tapi toh ia merogoh kantong, dan menyerahkan selembar ratusan pada pengemis itu. Ia melihat “kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan”, sampai-sampai tak bisa menyalahkan situasi seperti itu. Apalagi setelah sebuah kecelakaan terjadi: bus yang ditumpanginya bertabrakan keras dengan truk tangki, masuk sawah, mayat-mayat bergelimpangan, dan dari hidungnya mengalir cairan merah; sementara dari bangkai bus yang ringsek seorang lelaki kusut yang tak cedera sedikit pun keluar lalu berjalan tenang ke arah kota Cirebon sambil menyanyi shalawat badar.

Dengan plot cerita itu Tohari menjebak kita untuk merenung—tanpa menjejali dengan tafsir dan kesimpulan yang satu. Tohari seolah membatasi diri dalam berkomentar, dan pembaca seakan dipaksa buat mengubah pengalaman fisik dalam cerpen menjadi pengalaman batin. Dengan demikian cerita-cerita itu tidak hanya berfungsi sebagai penghibur, tetapi sebagai, seperti tanggapan Sapardi Djoko Darmono, pesan dari “masalah dalam masyarakat kita yang ada baiknya kita pahami”.

Itulah letak keindahan cerpen-cerpen Tohari—dalam kata-kata Arief Budiman pada sebuah esai tahun 1985, keindahan “yang terikat oleh ruang dan waktu”. Arief Budiman berbicara tentang “sastra kontekstual” yang bukan hanya “indah” tetapi juga “berarti”, terutama bagi tempat di mana karya sastra muncul. Ia menolak ide, yang menurutnya barangkali diambil dari Manifes Kebudayaan, bahwa sastra mesti universal. Universal berarti bisa dihayati oleh segala lapisan masyarakat. Menurut Arief, kelokalan juga penting. Dan bisa jadi lebih berharga, sebab ia akan menuju pada penceritaaan tentang “bumi yang nyata”, bukan “dunia yang ideal”. Cerita-cerita Tohari, memakai perspektif Arief Budiman tentang sastra, memperlihatkan dengan sadar pencapaian Tohari yang menghadapkan cerita-cerita pendeknya pada “ruang” Indonesia dan “waktu” yang relevan hingga kini. Tohari menunjukkan apa yang penting: percaya diri pada akar yang ada di bumi Indonesia.

Tapi di situ sastra kontekstual memiliki kelemahan: masyarakat yang membaca cerpen kebanyakan adalah masyarakat kota yang gemar pada tema-tema gemerlap— kampus, parfum, hotel, kafe. Selain untuk “memperkaya tema-tema yang pernah ada dalam kesusastraan Indonesia modern” dan dibicarakan dalam esai-esai semacam ini, dari sisi pemasaran, saya sulit menebak mengapa kumpulan Senyum Karyamin dimunculkan kembali oleh penerbit sebesar PT Gramedia Pustaka Utama. Kita juga bisa bertanya-tanya apakah tidak lagi muncul sastrawan yang seperti Tohari, yang karyanya mengakar dari bumi Indonesia, dan layak untuk diterbitkan.

Mungkin jawabannya adalah optimisme bahwa dengan penerbitan itu orang-orang kelas menengah atau menengah atas akan lebih peduli pada orang-orang kelas bawah. Kekuatan “ruang dan waktu” dalam tema-tema yang ditulis memungkinkan tiap golongan, bahkan orang desa sekalipun, bercengkerama dengan sastra karena tema yang dekat dengan dunia mereka. Rakyat, dan segala golongan kelas, bisa menikmati hal-hal “rendah” itu, bukan hanya filosofis dan dunia transedental yang sulit dipahami.
Profile Image for Indri Juwono.
Author 2 books307 followers
October 26, 2011
#2011-36

Karyamin.
Sampir.
Sanwirya.
Waras.
Minem.
Kasdu.
Suing.
Kimin.
Blokeng.
Sutabawor.
Masgepuk.
Kenthus.
Dawet.
Samin.
Sulam.


Nama-nama pilihan Ahmad Tohari ini dalam kumpulan cerpen yang menyiratkan kesederhanaan, nama yang 'ndeso' sesuai dengan latar tempat penceritaan beliau, tempat desa dengan orang-orang yang tidak memikirkan menimbun harta, melainkan makan apa kita hari ini?
Mungkin mereka memikirkan apalah arti sebuah nama, dan nama itu yang dipakai sebagai pengingat kejadian saat anaknya lahir.

Tahun sekarang, siapa yang bisa ingat arti nama Suing, dan kenapa ada orang yang memberi nama anaknya demikian, daripada dinamai Yanto begitu misalnya. Ah, apalah arti sebuah nama, begitu sering orang berkata. Sederhana kata orang-orang ini. Dan masih berteman dengan takdir, sabar, nerimo, nasib...
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
October 23, 2016
Kumcer ini sangat tipis, net hanya 66 hal saja, dan terbagi dalam 13 cerpen. Taaapii... isi tiap cerpennya kuat menyindir dan tajam menampar bbgai hal yg tjd di dlm masyarakat. Meski ditulis di era 70-80an, persoalannya msh cukup relevan untuk jaman skrg.

Aku suka sekali sisi pak AT yg tampil di kumcer ini, terasa muda, ironis dan sinis, seakan mencibir pada keangkuhan strata sosial yg ada dan kemapanannya. Sesuatu yg pada tulisan2 beliau di tahun2 selanjutnya sedikit terlembutkan dan terhaluskan.

Favoritku... eeng... susah memilihnya, aku suka hampir semuanya!!
Profile Image for Wahyu Novian.
333 reviews46 followers
December 27, 2019
Novel-novelnya Ahmad Tohari memang bagus-bagus. Tapi saya kira cerita-cerita pendeknya lebih kuat lagi. Masih berbicara tentang manusia-manusia desa yang sahaja dan sederhana, juga berbicara tentang moral dan baik buruk, tapi dengan kalimat-kalimat efektifnya, berhasil membuat lebih menohok. Apalagi akhirnya yang kebanyakan bukan melulu soal ceramah. Akhirnya kadang membuat pembaca mengangan dan hanya bisa tersenyum sembari mengernyit dan mengelus dada. Seperti di akhir Senyum Karyamin.
69 reviews18 followers
May 14, 2018
Dunia pedesaan adalah dunia rekaan khas Tohari. Konflik yang menimpa tokoh-tokoh lapisan bawah di dunia ini sederhana, tetapi sebetulnya masih relevan bagi siapapun yang duduk di berbagai lapisan sosial. Karena inti dari konflik-konflik di sini semata-mata menyinggung soal toleransi, kepedulian, harga diri, dan berbagai persoalan lainnya yang bisa disingkat menjadi satu kata saja: realita kemanusiaan.
Profile Image for ukuklele.
462 reviews18 followers
June 4, 2023
Saya sudah membaca 3 novel Ahmad Tohari yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Orang-orang Proyek , dan Lingkar Tanah Lingkar Air . Saya tidak ingat pernah membaca cerpen Ahmad Tohari. Ketika menelusuri buku-buku beliau di Goodreads dan menemukan beberapa antologi--di antaranya berjudul Mudik--yang di dalamnya mengandung cerpen beliau, saya ingat ternyata pernah tapi pembacaannya sudah begitu lama (belasan tahun lalu) dan tidak ada kesan yang membekas.

Juni 2023 ini adalah bulannya Ahmad Tohari di FLP Bandung, di mana tiap Kamisan akan dibahas 1 cerpen beliau. Saya yang jadi penasaran ini pun mencari kumpulan cerpennya yang bisa diakses cuma-cuma di Ipusnas. Ada Senyum Karyamin dan Mata yang Enak Dipandang. Saya memilih Senyum Karyamin terlebih dahulu karena jumlah cerpennya yang lebih sedikit juga kurun waktu terbitnya yang lebih lampau.

Di Goodreads, untuk catatan pembacaan ini, saya memilih edisi yang kovernya sama dengan yang terpampang di Ipusnas yaitu cetakan kesembilan, Juli 2013. ISBN 978-979-22-9736-2, eISBN 978-602-03-9186-1. (Ketika saya masukkan yang ISBN, kover yang keluar beda; sedangkan yang eISBN tidak ada.) Sayangnya di Ipusnas tampilan teksnya agak pecah-pecah sehingga kurang nyaman dibaca. (Sudah dikasih gratis, protes lagi wkwkwk.)

Dalam kumpulan ini terdapat 13 cerpen yang terbit dalam kurun 1976-1987. Setelah membaca cerpennya secara beruntun, tampak pola yang menjadi ciri khas Ahmad Tohari. Kalau di karya-karya Haruki Murakami mesti ada kucing, jaz, spageti, dan petunjuk pembuatan anak secara terperinci, dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari ini terdapat unsur satire, kadang-kadang humoris, detail kehidupan kaum kecil di pedesaan, kepedulian sosial, serta kepekaan terhadap lingkungan hidup, juga nuansa religi. Sebetulnya unsur-unsur ini sangat memenuhi selera saya, membuat saya terheran-heran kenapa enggak sedari dahulu menjadikan Ahmad Tohari sebagai pengarang panutan. Riwayat hidupnya pun menarik: kuliah bergonta-ganti jurusan sampai tiga kali entahkah ada yang lulus tapi pada akhirnya toh menjadi sastrawan kenamaan inspirasi banyak pengarang muda.

Cerpen-cerpen awal seperti "SENYUM KARYAMIN" dan "JASA-JASA BUAT SANWIRYA" tentunya sangat berkesan, sama-sama bertemakan beban berat yang mesti ditanggung pekerja kecil.

"SI MINEM BERANAK BAYI" merupakan satire kocak mengenai pernikahan dini dan kelahiran prematur.

"SURABANGLUS" mengungkap praktik jual beli karcis antara pengambil kayu dan oknum mandor di dunia kehutanan.

"TINGGAL MATANYA BERKEDIP-KEDIP" sepertinya metafora yang memiliki makna mendalam, Cepon si kerbau ibarat kaum rebahan yang menolak dieksploitasi tenaganya. "Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama." Jangan-jangan si pawang berarti kapitalis, sedang kerbau tegar yang mau bekerja sama adalah kaum normies???

"AH, JAKARTA" seperti ekspresi kemirisan akan Jakarta dari sudut pandang orang luar.

"BLOKENG" tampaknya sindiran terhadap nafsu kaum lelaki yang kalau sudah bergelora tak pandang bulu.

"SYUKURAN SUTABAWOR" menyindir kelakuan priayi akhir zaman dengan cara penyampaian yang menggelitik. Yang paling kocak tentu kelakuan si pohon jengkol yang diancam dengan mantra yang bunyinya ketimbang kayak mantra lebih seperti ancaman biasa saja cuma pura-puranya mantra.

"RUMAH YANG TERANG" kiranya satire spiritual mengenai ayah yang tidak mau pasang listrik serta anak yang "propagandis pemakaian kondom dan spiral" (profesi yang kedengaran kocak tapi sungguh-sungguh ada pada Orde Baru, sepertinya) yang dengan gaji dan insentifnya bisa beli barang-barang hiburan, tapi kemudian sadar akan alasan si ayah yang sebenarnya. Dengan listrik kita bisa menyalakan barang-barang hiburan yang melalaikan dari zikir (dilambangkan dengan tasbih yang dipegang-pegang si ayah?). Pesan ini sangat kena buat saya. Apalagi memang isu listrik bisa diluaskan sampai pada kerusakan lingkungan hidup yang bertentangan dengan amanat rahmatan lil alamin. Karena listrik, hutan dibabat untuk tambang batu bara dan unsur-unsur lainnya yang diperlukan untuk merakit dan menghidupkan gawai-gawai elektronika. Tetap dalam kegelapan, tidak apa-apa. Toh hidup hanya sementara, akhirat selamanya. Yang penting dalam kubur bercahaya. Saya suka dengan ungkapan memasang listrik sama dengan membunuh bulan. Pesan yang tampak ekstrem, cuma mana tahu ada benarnya? To hell with this damned world! Mengingat listrik yang belum merajalela serta digalakkannya alat-alat KB, cerpen ini seperti potret kental Indonesia masa Orde Baru.

"KENTHUS" tampaknya merupakan cerpen satire yang tidak begitu saya tangkap maksudnya.

"ORANG-ORANG SEBERANG KALI" sepertinya sindiran untuk orang yang suka mengadu ayam dan di awal cerpen sepintas lalu mengungkit isu pencemaran lingkungan.

"WANGON JATILAWANG" tampaknya mengandung amanat untuk tidak menunda-nunda kebaikan sehingga jadi penyesalan, kepedulian sosial terhadap sosok terpinggirkan juga sentilan terhadap pribadi ketimbang kaum tertentu.

"PENGEMIS DAN SHALAWAT BADAR" mengangkat isu pemanfaatan ajaran agama sebagai sarana cari cuan sekaligus menuai berbagai tanya: Siapakah pengemis itu, yang ketika bis celaka kok tidak luka sedikit pun? Selawat itu tidak menyelamatkan bis? Karena ketidakpedulian penumpang? Apa pengemis itu malaikat yang menyamar? Apa maksudnya???

"KATA PENUTUP" oleh Sapardi Djoko Damono memberikan pengertian mengenai cara memandang cerpen-cerpen Ahmad Tohari, yang katanya mengandung ciri seni populer sekaligus yang tidak populer. Ahmad Tohari suka mengangkat orang kecil di dunia pedesaan tanpa mengglorifikasikannya, yang katanya bukan merupakan ciri seni populer. Namun keinginannya yang berlebihan untuk menyampaikan pesan itulah yang membuatnya terasa seperti seni populer. Tokoh-tokoh yang pada umumnya disorot Ahmad Tohari memang menimbulkan rasa kasihan, tapi selain itu apa lagi? Sekadar bikin terenyuh, tanpa perkembangan watak yang lebih jauh.

Sastra, yang baru maupun yang lama, adalah dunia yang penuh lambang. Hal-hal yang sangat sederhana pun, di tangan pengarang baik, bisa menjelma menjadi lambang-lambang berbagai masalah yang rumit dan sangat berharga untuk kita hayati. (halaman 70)
Profile Image for Dekisugi.
37 reviews1 follower
April 1, 2025
Karya pertama dari Ahamd Tohari yang saya baca, berisi 13 Cerpen tipis yang mengajak kita melihat ke dalam kehidupan Orang Orang Perdesaan dan Orang Orang Pinggir serta kecil. Walau aku ngerasa kalo 13 cerita ada yg kayak masih gantung mungkin disini kita yg dikasih andil buat memikirkannnya karena cerpen ini merupakan hal yang jarang kita lihat ketika kita terlalu lama di kota. Buat peka kalo kehidupan seperti ini terkadang ada disekitar kita dan kita tahu selanjutnya apa yg harus kita lakukan (Sulam dan Sanwirya) :'( ... best cerpen menurutku tetap di "Senyum Karyamin" Ntah kenapa mungkin itu nggak terjadi di desa saja mungkin juga terjadi di perkotaan ntahlah ... (*Ah Pengen Baca Ronggeng Dukuh Paruk cuma nggak mo yg cover baru itu :'( )
Profile Image for Evan Kanigara.
66 reviews20 followers
March 13, 2019
Tohari berhasil menarasikan dengan baik, penderitaan-penderitaan di sekitar kita yang justru saat ini terkesan liyan dan asing. Mengutip Sapardi di kata penutup, "cerpen-cerpen yang terkumpul dalam 'Senyum Karyamin' ini menunjukkan kecermatan pengamatan Ahmad Tohari terhadap berbagai masalah yang sering tidak kita sadari adanya."
Profile Image for WA.  Prakosa.
106 reviews5 followers
November 13, 2022
Membaca buku ini, aku terasa terlempar ke tempat yang asing dan jauh dari keriuhan kehidupan kota
Profile Image for Haryadi Yansyah.
Author 14 books62 followers
June 3, 2024
Dua novel Ahmad Tohari yang saya baca Ronggeng Dukuh Paruk dan Orang-orang Proyek masih meninggalkan kesan yang luar biasa walau sudah dibaca sekian tahun lalu. Tapi sepertinya saya memang lebih cocok baca novel ketimbangan cerpen-nya.

Sebelum ini sudah baca Di Kaki Bukit Cibalak dan Kubah. Ya, kedua kumcer ini juga bagus tapi terus terang nggak begitu berkesan. Bahkan saya lupa detail ceritanya seperti apa. Dan, Senyum Karyamin ini pun rasanya akan sama. Walaupun baru sekejap lalu saya baca, tapi ketika mengintip daftar isinya saya sudah tidak ingat detail ceritanya tentang apa.

Kekuatan Ahmad Tohari jelas di temanya yang sederhana dan pemilihan kata-kata pun yang mudah dimengerti. Beberapa cerpen di buku ini pun punya ide yang bagus, walau pada akhirnya eksekusinya terasa nanggung. Kurang klimaks.

Cerpen Si Minem Beranak Bayi misalnya. Secara ide lebih liar dan lebih bikin kepikiran, tapi sayangnya endingnya terasa datar. Tapi ya bisa jadi cerpen-cerpen ini disesuaikan dengan situasi saat itu di mana, mayoritas cerita pendek di buku ini dibuat di tahun 1980-an.

Skor 7,3/10
1 review5 followers
Want to read
July 20, 2011
my computer
Profile Image for eti.
230 reviews107 followers
November 16, 2012
judul yang sederhana. nama tokoh-tokohnya yang sederhana. konfliknya yang sederhana. dan sesederhana saya menikmatinya :D
Profile Image for raafi.
926 reviews448 followers
January 4, 2018
lokalitasnya lebih kental ketimbang "Mata yang Enak Dipandang". Cerita-cerita di dalamnya semakin membuat rindu kampung halaman. Amat sangat dekat dengan saya.
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
January 24, 2009
Sebenarnya, “Kata Penutup” dari Sapardi Djoko Damono sudah cukup mewakili untuk membicarakan kumpulan cerpen Ahmad Tohari ini. Cerpen-cerpen yang dipublikasikan sepanjang tahun 80-an ini menciptakan sebuah dunia yang terasa asing bagi orang-orang yang telah lebur menjadi bagian dari kota besar. Tohari, menurut Damono, rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita. Beberapa contoh masalah dalam masyarakat, yang diangkat dalam cerpen-cerpennya, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan sehari-hari.

Judul kumpulan cerpen ini adalah Senyum Karyamin. Agaknya, judul itu sendiri dapat menyuratkan makna yang ingin diangkat dalam cerpen-cerpen di dalamnya. Senyum—untuk kepahitan hidup yang sering mendera Karyamin (wakil dari orang-orang desa yang miskin, yang pinggiran, dan juga yang tersingkir dari masyarakat desa) tanpa mengetahui jalan keluar darinya, dari kepahitan itu. Senyum sebagai lambang dari usaha menerima nasib, bahkan menertawainya (!), karena apa boleh buat. Dan dalam hampir 13 cerpen, “senyum” itu ada.

Dalam cerpen “Senyum Karyamin”, seorang tukang batu terpeleset berkali-kali menumpahkan batu-batu kali yang diangkatnya. Sakit. Perutnya lapar tak berisi karena tak ada uang. Sementara utang menumpuk, tengkulak yang menadah batu-batu itu kabur membawa upah mengangkut batu. Belum lagi tagihan untuk sumbangan-sumbangan yang mengancam dari pamong pemerintah setempat. Ia tersenyum.

Senada dengannya ada dalam “Blokeng”. Ia seorang wanita muda yang melahirkan. Tak ada bapak yang sah dari bayinya. Andai Blokeng bukan wanita yang terkucilkan dari masyarakat, mungkin peristiwa itu biasa saja. Satu kampung gerah, jadinya. Tapi Blokeng tetap diam. Bahkan tertawa ketika masing-masing lelaki berulah agar tak disangka sebagai bapak si bayi.

Blokeng yang dikucilkan hampir sama riwayatnya dengan Sulam dalam “Wangon Jatilawang”. Sulam adalah orang yang tak waras. Ibunya juga. Tapi masyarakat menjauhinya. Hidupnya dihabiskan dari pasar ke pasar. Entah apa nafkahnya. Mungkin mengemis, mungkin pula mengais. Dari sisa-sisa rezeki masyarakat, ia menambal perutnya yang lapar.

Ketika lapar bicara, memang terkadang logika dipersetankan. “Surabanglus” bercerita tentang nasib 2 orang pencari kayu bakar yang dikejar-kejar polisi hutan. Mereka dianggap pencuri, meski sudah dipaksa bayar karcis (kadaluarsa) oleh seorang oknum. Dalam pengejaran, lapar mendera hebat. Hingga singkong beracun pun disiapkan untuk mengganjal perut.

Kalau lapar yang bicara karena keadaan ekonomi, maka keadaan ekonomi itu pula sering dijadikan hakim untuk memutuskan. Seorang penyadap nira kelapa, dalam “Jasa-jasa buat Sanwirya,” jatuh dari pohon. Sementara ia berusaha ditolong dengan jasa dukun setempat, para tetangga sibuk membicarakan apa dan siapa yang akan menawarkan jasa untuk diberikan pada korban. Belum lagi menemukan titik terang karena pertimbangan keadaan ekonomi masing-masing penawar jasa, korban dijemput ajalnya.

Lain lagi dengan “Pengemis & Sholawat Badar” dan “Orang-orang di Seberang Kali”. Seperti sinetron-sinetron religius yang menjamur di televisi sekarang, demikian juga dengan 2 cerpen ini. Di terminal Cirebon, seorang lelaki mengemis sambil menyenandungkan “sholawat badar”. Sholawat yang mungkin dipelajarinya di pengajian-pengajian kampungnya jadi modal untuk mencari nafkah di sebuah bis. Tapi ia menuai caci dari kondektur bis. Akibatnya, kita bisa menebak. Begitu pun dalam “Orang-orang di Seberang Kali.” Seseorang yang suka mengadu ayam kesulitan pada waktu ajal menjemputnya. Tangannya mengepak-ngepak, jari-jarinya mencakar-cakar, seperti ayam. Ia meninggal setelah berkokok berkali-kali.

Satu-satunya yang berlatar peristiwa penembakan misterius—yang menghebohkan masyarakat pada tahun-tahun awal 80-an—adalah “Ah, Jakarta”. Biang-biang penjahat ditembaki dan mayat-mayatnya dibiarkan begitu saja teronggok di tempat-tempat umum. Bayangkan, bila salah satu mayat itu adalah teman karib waktu kecil yang membawa nasib buruk dari Jakarta sedangkan tak ada satu pun mau peduli mengurusi mayatnya di kampung.

Berbeda dengan nasib yang dibawa dari Jakarta, kawin di usia dini sering sudah menjadi nasib bagi gadis kampung. Dalam “Si Minem Beranak Bayi”, kandungan yang biasanya 9 bulan, sudah keluar sebelum 7 bulan. Bayi itu seperti anak kucing. Hidup, tapi sebesar lengan. Minem si ibu bayi—berusia 14 tahun—ternyata akan memiliki adik ipar pada saat bakal istrinya itu berusia 12 tahun. Minem rasanya belum tahu bahwa dulu ia lahir waktu ibunya berusia 14 tahun juga.

Dan orang-orang kampung bisa menyombong diri, tak hanya orang-orang kaya. Lewat “Tinggal Matanya Berkedip-Kedip” dan “Kenthus”, Ahmad Tohari bercerita tentang kesombongan orang-orang miskin di kampung. Musgepuk menunjukkan kesombongannya dengan menundukkan si Cepon, seekor kebo yang mogok membajak sawah. Kebo itu memang roboh, tapi tetap tak mau menuruti perintahnya untuk membajak lagi. Adapun Kenthus memandang enteng orang-orang sekampung atas dasar wewenang yang diberikan ketua RT. Ia mempermainkan orang-orang lain dengan wewenang itu yang kebetulan sudah dikabarkan juga melalui mimpinya. Ia yakin sudah mendapat wangsit bagi orang-orang kampung.

Orang-orang sekampung yang girang mendapat listrik, ternyata tidak semua. “Rumah yang Terang” berisi cerita tentang Pak Haji yang menolak listrik di rumahnya. Anak lelakinya, seorang propagandis pemakaian kondom dan spiral, disudutkan tetangga sekitar tentang sikap bapaknya yang menolak listrik itu. Dalam keserbasalahan itu, ajal menjemput bapaknya. Tetangga sekitar lega, padahal alasan Pak Haji menolak itu sebenarnya sederhana sekali.

Menyangkut ajal, bagi orang-orang kampung, pohon pun dapat diancam. Sebatang pohon jengkol tak mau berbuah. Padahal sering berbunga banyak. Pohon itu pun akhirnya diancam akan ditebang, akan dicabut ajalnya, bila tak mau berbuah juga. Pohon jengkol yang disyukuri berbuah ini diceritakan dalam “Syukuran Sutabawor”.

Dalam semua cerpennya itu, Ahmad Tohari hampir selalu mengajukan ironi ke hadapan pembaca. Ada sesuatu yang tertinggal dan mengganjal kesadaran kita sebagai pembacanya. Memang, seperti kata Damono, dunia yang dihadirkan Ahmad Tohari adalah dunia lain yang sering tak pernah terbayang di benak kita. Bukan seperti absurditas yang ditawarkan di dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya atau Seno Gumira Ajidarma dan Danarto dalam “Godlob”, bukan pula dunia yang nyaris datar dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo.

Namun terkadang, dalam cerpen-cerpennya itu, Ahmad Tohari sering mendudukkan dirinya sebagai “aku” yang satu-satunya menolong. Seperti ada pesan, ada dakwah, dalam cerita itu. Dalam “Wangon Jatilawang”, seakan terkesan si “aku”-lah satu-satunya yang menolong Sulam. Dalam “Surabanglus”, seolah “aku”-lah yang masih berakal bahwa singkong itu beracun. Demikian pula dalam “Ah, Jakarta” dan “Orang-Orang di Seberang Kali”, “aku” di sana tampil sebagai sang penyelamat dan seolah-olah bukan pribadi yang berlumpur dosa-dosa.

Damono sendiri mengkritik Ahmad Tohari. Menurutnya, Ahmad Tohari kadang-kadang tak bisa menjaga ironi yang ada dalam cerpennya. Ia sering tak mampu menguasai diri untuk menyampaikan pesan secara biasa. Ia sering berlebihan dan terkesan sok pintar. Pada cerpen “Blokeng”, tambah Damono, akhir cerita terkesan dipaksa; Ahmad Tohari memaksa para pembaca untuk mengejek dunia rekaannya itu dengan tertawa keras. Akibatnya, Ahmad Tohari tampak sebagai pemberi “nasihat secara berlebihan” (hal 68-69).

Kumpulan cerpen Ahmad Tohari ini sudah lama terbit. Hanya saja, bagi mereka yang ingin melihat bagian lain dari khasanah cerpen-cerpen sastra Indonesia, cerpen-cerpen Ahmad Tohari ini agaknya memberi gambaran penting; bahwa yang digali tak melulu keadaan sosial-ekonomi masyarakat desa dari sudut pandang kekotaan, bahwa yang diangkat bukan melulu derita orang-orang miskin dalam kesedihannya.

Rimbun Natamarga
Profile Image for Nindya Chitra.
Author 1 book21 followers
June 29, 2018
Mulai suka karya Ahmad Tohari sejak membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Kekhasan tulisan beliau terletak pada pemilihan desa sebagai latar tempat dengan suasana tahun '90an. Biasanya, beliau akan detail sekali menjelaskan tingkah polah flora dan fauna. Bahkan daun yang digesek angin pun beliau akan terangkan sampai ke detail terkecil. Memang menambah pengetahuan. Tapi kadang cukup menjenuhkan. Dalam cerpen, agaknya penuturan beliau lebih terkesan lugas dan tak terlalu mengusung detail berlebih. Favoritku di cerpen pembuka, Senyum Karyamin. Paling menohok. Bikin buang napas berkali-kali. Sukak!
Profile Image for Nike Andaru.
1,628 reviews112 followers
February 7, 2019
41 - 2019

Sulit untuk tidak menyukai buku ini, semua cerita dalam buku ini menurut saya adalah juara. Walau ceritanya benar-benar cerita pendek, tapi hampir semua ceritanya penuh makna khas Tohari.

Seperti kata eyang Sapardi Djoko Damono sebagai penutup dalam buku ini, di tengah cerita gemerlap saat ini, cerita-cerita Ahmad Tohari tetap dengan gaya pedesaan dengan nama-nama kampung tapi isu-isu sosial sangat lekat, terangkat dan di situlah menariknya.

Cerita yang paling saya suka yaitu Blokeng dan Wangon Jatilawang.
Profile Image for Zomi.
55 reviews14 followers
December 31, 2020
Ahmad Tohari memang pandai sekali mengajak pembaca untuk membumi. Menelusuri budaya lokal melalui masyarakat lapisan bawah yang ditampilkannya dalam karyanya ini. Ceritanya begitu kaya dengan deskripsi alam desa yang sederhana Dan bersahaja. Melalui tokoh-tokoh wong cilik, dia menampilkan ironi dan menyampaikan pesan mengenai Indonesia yang sesungguhnya. Berkunjung ke pedesaan mengingatkan kita bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki di negeri ini.
Profile Image for ki.
82 reviews6 followers
Read
July 20, 2025
Suka sekali cerpen-cerpen Pak Tohari di buku Senyum Karyamin maupun Mata yang Enak Dipandang, karena berhasil menceritakan berbagai isu sosial di lapisan masyarakat, terutama orang-orang kecil yang polos dan sederhana, baik di perdesaan atau perkotaan.

Di buku ini, saya menyoroti cerita pedek “Senyum Karyamin” yang permasalahannya banyak terjadi dimana-mana, tentang kemiskinan yang diabaikan. Karyamin, seorang pengangkut batu, yang bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Istrinya sakit, menanggung utang, dan masih bekerja meski dalam keadaan lapar. Seorang yang harusnya memerlukan bantuan, justru diminta memberi sumbangan bantuan kelaparan di Afrika. HAH? Lewat cerpen ini Pak Tohari kasih kritik sosial buat masyarakat ataupun pejabat yang kadang lebih antusias membantu “orang jauh” demi pencitraan atau moralitas global, tetapi menutup mata terhadap penderitaan nyata orang-orang miskin di desa mereka sendiri.
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,034 reviews1,962 followers
June 20, 2015
Alhamdulillah, terpaan pengerjaan skripsi sudah berakhir (tinggal sidangnya saja sih. Mohon doanya!) sehingga sebagai bentuk perayaan atas pencapaian ini, aku "mentraktir" diriku sendiri buku bacaan (padahal di kamar ada entah berapa buah buku yang belum terjamah). Begitu tahu ada buku karya Tohari yang diterbitkan ulang oleh GPU dan harganya sangat terjangkau, tentu saja aku membelinya.

Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Aku setuju dengan apa yang dituliskan pada verso kaver ini. Disinggung pula pada laman "Prakata" bahwa kekuatan Tohari yang membuat dirinya melegenda adalah caranya menyampaikan pesan yang dibungkus dalam dongeng. Tema donengenya pun bukanlah yang berat dan penuh khayal, melainkan sesuatu yang seringkali diabaikan oleh orang-orang (sok) urban. Meski cerpen-cerpen tersebut ditulis jauh sebelum aku lahir, tetapi bahasanya tetap saja enak dinikmati, tidak begitu sulit untuk dipahami. Apalagi, susuanan diksinya yang selalu saja membawa pembaca pada aura pedesaan. Tohari seraya menegur kita, pembacanya yang (sok) urban, agar sadar bahwa di balik kemewahan kehidupan masih ada hal-hal sepele yang dianggap bencana besar oleh mereka yang ada di desa. Tidak salah jika Spardi Djoko Darmono pada laman penutup mengatakan bahwa Tohari sedang mendongeng tanpa menggiring pembacanya untuk mencapai tujuan tertentu. Tapi bagiku, cerpen Tohari ini penuh dengan prasangka sehingga menjadi multitafsir. Itulah titik menyenangkannya.

Plot
Ketigabelas cerpen tersebut punya beragam plot. Ada yang terus maju tetapi sebagian besar menggunakan plot maju mundur. Meskipun hanya berupa cerpen, tampaknya Tohari tidak ingin membuat pembaca hanya mengetahui apa yang terjadi selanjtunya pada tokoh tanpa mengetahui keadaan latar pedesaan itu sebelumnya. Tohari mampu membuat pembaca merasa seakan-akan setiap judul cerpennya merujuk pada sebuah masalah yang sebenarnya masih kita hadapi sekarang, hanya manusianya saja yang semakin tebal kadar tak acuhnya.

Penokohan
Setiap cerita memiliki 2 macam tokoh: yang baik, yang menjadi sosok yang seharusnya adalah idola tatanan sosial, dan seorang yang minor, yang dianggap "salah" oleh masyarakat hanya karena melakuakn hal yang tidak lumrah, tidak sewajarnya bagi penduduk desa tersebut. Setiap tokoh mencerminkan bagaimana manusia yang sebenarnya ingin menjadi penyelamat, salah-salah malah menjadi yang menyesatkan, dan bisa saja sebaliknya. Bahwa di balik dandanan yang compang-camping atau tubuh molek ternyata di sana ada "penyakit" masyarakat yang dipaksakan untuk sembuh tanpa kita melihat konteks yang tengah dialaminya. Sebenarnya semua tokoh yang menjadi tokoh utama dalam buku kumpulan cerpen ini adalah tokoh yang sangat dekat dengan kita, hanya saja kita terlalu sering berada di atas, melihat ke atas, tanpa sekalipun merasa perlu untuk melihat ke bawah dan mencoba memberikan pencerahan.

---

Dasar Tohari, selalu begini. Tulisannya selalu bisa menegur pembaca dengan "banyolan" sarkas, tentang bagaimana orang-orang pinggir selama ini diperlakukan oleh mereka yang memaksakan diri untuk menjadi modern. Aku selalu suka tulisan Tohari. Selalu kaya dengan kosa kata menarik namun beraura pedesaan. Aku suka tulisannya, maku aku merekomendasikannya.
Profile Image for Bernard Batubara.
Author 26 books818 followers
August 24, 2013
Selesai membaca "Senyum Karyamin", kumpulan cerpen Ahmad Tohari. Saya sudah sering dengar nama Ahmad Tohari diperbincangkan beserta karya-karyanya. Tapi (dasar pemalas) saya baru baca buku Senyum Karyamin ini, itu pun karena kumpulan cerpen, jadi tidak terlalu menghabiskan banyak waktu ketimbang membaca novel-novelnya.

Cerpen-cerpen Ahmad Tohari berbicara perihal rakyat bawah. Kemiskinan, desas-desus kampung, kriminalitas yang terjadi karena kesulitan hidup, dan seterusnya. Bisa dikatakan, permasalahan yang jauh dan mungkin tak pernah tersentuh oleh mata dan pikiran orang-orang yang hidup di kota besar, kota metropolitan.

Cerpen-cerpen Ahmad Tohari menarik saya jauh ke dalam alam pedesaan, dan membawa saya pada sebuah kesadaran bahwa dunia akar rumput yang seakan terasing dari modernitas itu tenyata menawarkan kejujuran yang lebih tulus daripada kehidupan perkotaan yang artifisial.

4 dari 5 bintang untuk Senyum Karyamin, Ahmad Tohari.
Profile Image for Ryan.
Author 2 books17 followers
January 28, 2016
Meskipun hanya beberapa halaman, tapi buku ini sarat cerpen yang cukup dalam. Ahmad Tohari yang dikenal menghasilkan cerita berlatar kaum menengah ke bawah, berhasil menarik pembaca dari segala lapisan masyarakat. Senyum Karyamin, tentu saja, menjadi cerpen paling kuat dalam buku ini. Ironi yang disuguhkan dalam cerita itu membuatnya tampil paling menarik. Sebenarnya hampir semua cerita dalam buku ini saya suka.
Profile Image for Khusnulia Lia.
15 reviews
August 21, 2015
Merasa kurang dengan kumcer ini, karena tipis memang bukunya.
Ada judul Wangon Jatilawang, judulnya menarik, bercerita seseorang yang hidupnya antara Pasar Wangon dan Pasar Jatilawang.
Kesukaan saya cerpen yang berjudul Rumah yang Terang.

Buku ini ada versi berbahasa Inggris, belum baca sih, tapi ko' sayang beli ya, soalnya karya Ahmad Tohari indah dalam bahasa Indonesianya yang khas.
Profile Image for Faisal Chairul.
266 reviews16 followers
January 7, 2022
Karya pertama Ahmad Tohari yang gw baca. Sungguh gw dibuat terpesona dengan pengunaan latar pedesaan dengan segala kehidupan masyarakat di dalamnya yang terdapat di dalam 13 cerpen yang ditulis dalam rentang waktu antara 1976 hingga 1986 ini. Konfliknya sederhana namun sarat makna, seperti yang digambarkan oleh Sapardi Djoko Damono di bagian penutup:

"Tohari rupanya memiliki sesuatu yang penting yang harus disampaikan kepada kita: ia tidak sekadar ingin menghibur kita. Berbagai anasir dalam cerpen-cerpennya itu kadang merupakan contoh-contoh masalah dalam masyarakat kita yang ada baiknya kita pahami, kadang berfungsi sebagai lambang masalah lain yang mengatasi kehidupan sehari-hari kita."

Kehidupan suatu lapisan masyarakat yang sering luput dari perhatian khalayak itu lebih sering digambarkan sebagai ironi dalam kehidupan tokoh-tokohnya yang melakoni pekerjaan yang mungkin asing bagi kita yang hidup atau lebih banyak menghabiskan hidup di daerah perkotaan, seperti pengumpul batu kali (dalam cerpen Senyum Karyamin), penyadap nira pohon kelapa (Jasa-Jasa buat Sanwirya, dan pawang kerbau (Tinggal Matanya Berkedip-Kedip).

Penggambaran ironi yang harus dihadapi mereka-mereka itu sungguh membuat hati terenyuh, seperti misalnya cerita seorang pengumpul batu kali bernama Karyamin dalam cerpen berjudul "Senyum Karyamin" yang dihadapkan pada penderitaan-penderitaan, seperti upahnya yang tidak kunjung didapat akibat tengkulak yang menunggak pembayaran senilai muatan satu truk setengah bulan lamanya, namun walaupun begitu tetap menjadi sasaran penagihan agar berpartisipasi dalam menyumbangkan uang untuk orang-orang Afrika.

Penulis juga berhasil menggambarkan cerita yang hanya mungkin dapat ditemukan di pedesaan dengan baik. Misalnya, dalam cerita tentang laki-laki sekampung yang sibuk menghindar dari tuduhan menghamili seorang perempuan bernama Blokeng dalam cerpen berjudul "Blokeng". Ketika ada yang iseng menanyakan apakah orang tersebut membawa senter, walaupun dijawab 'mbuh' oleh Blokeng, semua laki-laki sekampung sontak memilih menggunakan suluh sebagai penerangan saat berjalan di malam hari. Bahkan, ronda malam dilakukan hanya menggunakan korek api. Kemudian, ketika seorang laki-laki yang merupakan lurah setempat, yang berkepala botak, berlagak pahlawan untuk bertanggungjawab atas kehamilan si Blokeng, sontak seluruh laki-laki di kampung tersebut menggundulkan kepalanya, demi terhindar dari tuduhan menghamili si Blokeng.

Atau cerita tentang pamong kerbau bernama Musgepuk dalam cerpen berjudul "Tinggal Matanya Berkedip-Kedip", yang dimintakan tolong untuk menjinakkan seekor kerbau bernama Cepon agar bisa dipasangkan bajak ke tubuhnya. Diceritakan bagaimana sosok pawang kerbau bak pahlawan, yang keberhasilannya menjinakkan kerbau ditunggu banyak orang yang menontonnya.

"Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada ia (Musgepuk) yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya. Musgepuk telah membuktikan dengan gerakan dirinya sebagai seorang pawang. Dia lebih perkasa daripada si Cepon. Dia merasa bangga dengan kelebihannya." -halaman 25-26

Namun, ketika tali keluh yang ditusuk ke hidungnya justru melukai kerbau hingga membuatnya terkapar, terluka pula hati Musgepuk yang disertai dengan kehilangan kepercayaan dirinya.

"Di bawah matahari yang mulai panas, aku dan ayah menyaksikan Musgepuk menjatuhkan pundak lalu pergi meninggalkan si Cepon tanpa bicara sedikit pun. ... . Musgepuk jadi tak berdaya justru setelah Cepon rubuh dan tak mau melawannya. Dia, Musgepuk, telah kehilangan motivasi. Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama. Di hadapan mata kerbau yang hanya bisa berkedip-kedip, Musgepuk kehilangan arti dan nilainya. Dia bukan apa-apa." -halaman 26
Profile Image for Dhani.
257 reviews17 followers
July 18, 2022
Jika kau tanya padaku, apa yang menarik dari SENYUM KARYAMIN, kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari, yang ditulisnya dalam durasi waktu tahun 76 sampai 86 dan dimuat di banyak media, maka jawabannya akan panjang.
Aku coba meringkasnya, jadi beberapa, yakni,

1. Tulisan AT mengambil obyek rakyat kebanyakan, dari desa khususnya, lengkap dengan problematika mereka.
Sungguh tak heran, jika lokalitas, yang salah satunya ditunjukkan dari setting, teramat pekat.

2. Lewat cerpen-cerpennya, AT menitipkan hikmah buat pembacanya, entah diniatkan atau tidak.
Bukan lewat tokoh-tokoh tanpa cela dan kisah-kisah kebaikan, tetapi seringkali dari kisah sehari-hari.
Lewat kisah seorang kerbau yang tak mau membajak sawah karena luka di hidungnya, lewat ketakutan Pak Haji yang tak mau memasang listrik, takut di akhirat nanti, dia kehabisan cahaya, lewat orang kurang ingatan yang mengandung dan tak jelas siapa bapaknya, lewat si botoh adu ayam yang tak juga "dicabut" nyawanya padahal sudah tak punya harapan hidup, tentang kemiskinan yang membuat orang harus makan ketela beracun, juga lewat kisah seseorang yang mendadak angkuh dan jumawa hanya karena diangkat jadi koordinator pengumpul buntut tikus dan banyak kisah lain yang membuat pembacanya merenung.

3. Di beberapa tulisannya, ada kritik sosial, yang samar ditampilkan, tapi terbaca jelas. Tak membuat berang, tapi meyakininya bahwa itu kebenaran.

4. Nama-nama tokohnya, unik-unik. Sebagiannya bahkan susah diucapkan, seperti Sanwirya, Sutabayor, Surabanglus, Blokeng, Musgepuk dll.

Membacanya di saat kondisi sekarang, yang tidak baik-baik saja, benar-benar related.
Pembaca akan merasa sesak akan kisah tragis para tokoh-tokohnya tetapi di saat yang bersamaan, seperti menemukan teman sependeritaan.
Menyentuh ....
Profile Image for Anna Fillaah.
131 reviews6 followers
May 17, 2019
Sejauh ini saya baru membaca kumpulan cerpen yang ditulis Ahmad Tohari dan merasa menemukan kenyamanan dan keasyikan dalam merunut kisah yanh diramu sedemikan rupa dengan gaya bahada yang khas dalam baris-baris kalimat. Kemudian saya berencana untuk meneruskan membaca karya tohari lainnya yang lebih panjang, novel-novelnya yang populer. Senyum karyamin berisi 13 cerpen yang mengangkat kisah hidup rakyat kecil di desa. Semua mengandung makna tersmbunyi di balik alur cerita yang tampak sederhana dengan sedikit konflik namun sesungguhnya nyata dan sangat terasa berat dan ironi jika pembaca benar-benar hadir di antaranya. Cerpen yang khas dengan penokohan yang lekat dengan orang desa, terpinggirkan, susah, dan memiliki nama yang ndeso pula. Dari setiap cerpen, tohari bermaksud menyampaikan pesan sosial yang erat dengan hubungan horizontal dan vertikal manusia.
Profile Image for Truly.
2,760 reviews13 followers
November 26, 2022
Dibaca karena ngak bisa tidur lalu mengambil buku terdekat.
Ada 13 kisah dalam buku ini plus Prakata dari Kang Maman serta Kata Penutup dari Eyang SDD. Membuat buku ini makin terasa beda.

Si Minem Beranak Bayi, mencerminkan bagaimana nasib anak perempuan di beberapa daerah. Semakin cepat menikah, semakin bangga orang tua karena memiliki anak yang "laris". Mereka tak peduli bahaya yang muncul dari melahirkan usia dini. "...dia tersenyum karena bulan depan akan ada hajat lagi di rumahnya. Kali ini Minah, adk Minem yang berusia duabelas tahun akan memperoleh suami. "anak-anakku memang laris," kata mertua laki-laki itu dalam hati. Bangga dia."
Profile Image for Kumala Dee.
157 reviews13 followers
February 22, 2024
Buku ini berisi cerpen-cerpen karya Ahmad Tohari. Bertema kehidupan orang-orang pinggiran, pedesaan, kalau memakai istilah saat ini, buku ini bercerita tentang hidup grassroot. Aku mendapat kesan kegelisahan, sindiran penulis tentang etika, moral, dan penghakiman masyarakat. Cerita-cerita di buku ini tuh udah lama-lama tapi beberapa masih terasa relate dengan keadaan saat ini. Konflik dalam cerita-cerita di buku ini sebenarnya sederhana tapi terasa jleb.
Profile Image for Seara Maheswari.
79 reviews1 follower
June 3, 2024
Isinya mengenai kehidupan orang-orang desa, yang apa adanya dan kurang terjamah pendidikan. Itu yang jadi ciri khas tulisannya Pak Ahmad Tohari.

Berisi 13 cerpen, dengan lika-liku permasalahannya masing-masing.
Displaying 1 - 30 of 231 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.