Mari kuceritakan kisah sedih tentang kehilangan. Rasa sakit yang merupa serta perih yang menjejakkan duka. Namun, jangan terlalu bersedih, karena aku akan menceritakan pula tentang harapan. Tentang cinta yang tetap menyetia meski takdir hampir kehilangan pegangan.
Mari kuceritakan tentang orang-orang yang bertemu di bawah langit sewarna biru. Orang-orang yang memilih marah, lalu saling menorehkan luka. Juga kisah orang-orang yang memilih berjalan bersisian, dengan tangan tetap saling memegang.
Mari, mari kuceritakan tentang marah, tentang sedih, tentang langit dan senja yang tak searah, juga tentang cinta yang selalu ada dalam tiap cerita.
***
“Kei dituturkan lewat penokohan yang dinamis dan mendalam, pengelolaan alur yang intens dan kompleks tanpa menjadikan jalan cerita hilang. Latar yang dipilih pengarang berpadu secara selaras dengan konflik utama dalam cerita.” Pidato A.S. Laksana — Sastrawan dan Juri Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012
Erni Aladjai earned her degree in French literature from the Hasannudin University in Sulawesi. She has worked as a journalist and news editor, and managed a learning institution. Her novel, Kei, took first place in the 2011 Jakarta Arts Council novel competition. Erni is also the author of Pesan Cinta dari Hujan (Messages of Love from the Rain, Insist Press, 2010) and Ning di Bawah Gerhana (Ning Under Eclipse, Bumen Pustaka Emas, 2013).
Gw lebih suka tentang kearifan lokal yg diangkat dalam buku ini. Tentang upacara Tutup Sasi Laut: Tutup Sasi Taripang, tentang rasa kebersamaan orang-orang Kei yg lebih dieratkan oleh adat daripada agama hingga Upacara Perdamaian di Tual. Salut dengan Erni Aladjai tentang risetnya seputar kerusuhan Maluku (atau mungkin lebih dikenal dengan kerusuhan Ambon) hingga kehidupan pengungsi pasca kerusuhan. Kisah cinta Namira-Sala juga nggak menyebalkan (buat gw siiih). Banyak tokoh-tokoh sampingan yg menarik, macam Pak Ahmad, Esme Labutubun, Rohana, Mery, Samrina, Emiliana dan keluarga Kumala-Nana. Mereka hanya muncul sebentar, namun kesan gw tentang para tokoh tersebut malah terpatri kuat.
Gw hanya menyayangkan pendeskripsian tokohnya yg minim. Si A kayak Bucek Depp, si B berambut layaknya James Franco, si C yg mirip Steven Spielberg dan beberapa nama selebriti yg menggambarkan tokoh yg ada di sini. Namun di luar semua itu, penggambaran suasananya lumayan jadi pengalihan hal-hal tersebut.
Rusuh di Kei tak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen. Tuhan dan agama tak pernah mengkhianati pemeluknya. Manusialah yang mengkhianati Tuhan dan agamanya. [hal.68]
Lewat novel ini, Erni Aladjai menarasikan kembali sejarah terjadinya konflik perang saudara di Ambon pada tahun 1999 yang berdampak luas ke beberapa daerah sekitarnya. Novel ini mengisahkan kehidupan para penyintas di Kepulauan Kei sesaat dan sesudah mengalami peristiwa traumatis atas konflik yang terjadi.
Berlatar pada masa penuh gejolak di akhir era Orde Baru pasca kepemimpinan Soeharto, plot cerita Kei mengikuti perjalanan Namira, seorang gadis Muslim, dan Sala, seorang pemuda Protestan, yang saling jatuh cinta di tengah kekacauan perang saudara. Sekilas, konflik novel ini memang terasa picisan sebab menyoal kisah cinta beda agama—Namira disebut "putih" dan Sala "merah", tetapi tantangan yang mereka hadapi sebetulnya lebih rumit, yakni akibat konflik sipil yang mengancam komunitas keduanya.
Dalam narasi novel ini dijelaskan bahwasanya kekerabatan orang Kei sejatinya sudah sangat kompleks. Jadi, dalam konteks ini kisah cinta beda agama jelas bukan hal yang perlu dianggap serius. Sudah lama banyak orang Islam menikah dengan orang Kristen di Kei. Misal, jika sang nenek Islam, bisa jadi anak dan cucunya Kristen. Sang suami Kristen, bisa jadi istrinya Islam, atau jika sang kakak Islam, bisa jadi adiknya Kristen atau sepupunya Katolik.
Karena kondisi di atas itu juga, semua orang Kei bersaudara. Mereka tampak setia menganut petuah leluhur: “Ain ni ain manut ain mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun.” Artinya, “Kita semua bersaudara, kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.” Orang-orang Kei memang selalu menyandingkan Tuhan dan leluhur dalam setiap doa mereka. Sebab, sebelum agama masuk, leluhur sudah dianggap sebagai satu-satunya pengharapan.
Meski ide utamanya menyoroti perjuangan Namira dan Sala dalam menjalani asmara mereka di tengah kekerasan yang melanda, pada prinsipnya novel ini justru mengeksplorasi tema lain yang lebih mendalam, seperti toleransi beragama dan dampak konflik terhadap hubungan antarmanusia.
Beberapa bulan setelah pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden RI, kerusuhan meledak di Ambon. Hanya sedikit orang-orang Maluku yang percaya kerusuhan bisa mengalir hingga ke pulau-pulau terpencil di Kei yang dikenal sangat kokoh berpegang pada hukum adat bernama Larwul Ngabal. Dalam Larwul Ngabal, air mata perempuan Kei disamakan dengan emas yang tak boleh sembarang ditumpahkan. Oleh karena itu, lelaki Kei hanya akan berperang untuk membela kehormatan perempuan.
Walaupun perang saudara yang terjadi di Ambon dilatarbelakangi konflik antaragama, akan tetapi diversitas agama di Kei justru menunjukkan sebaliknya. Mereka percaya bahwa kerusuhan yang merambahi Kei tidak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen, maupun agama lain. “Tuhan dan agama tak pernah mengkhianati pemeluknya. Manusialah yang mengkhianati Tuhan dan agamanya,” kata mereka dengan penuh keyakinan.
Kendati tak ingin terlibat karena mereka percaya kalau orang Kei, perantau Bugis, Papua, Jawa, Makassar, atau Buton, semuanya bersaudara, pada akhirnya kerusuhan tetap tak dapat terelakkan. Banyak korban berjatuhan di setiap penjuru Pulau Kei. Mereka tak mungkin mengungsi ke Timor-Timur, meski jaraknya tak begitu jauh, karena di sana pun tengah berlangsung perang antara Fretilin dan Serikat Demokrat. Lagi-lagi dipicu oleh otoritarianisme kepemimpinan Soeharto pada saat itu. [Silakan baca Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi untuk referensi lebih lanjut]
Segelintir orang Kei juga percaya bahwa konflik perang saudara di sebagian besar wilayah Maluku disebabkan oleh kebijakan Soeharto. “Saya tak menyukai Soeharto. Saya tak suka pemerintahannya. Soeharto-lah orang yang bertanggung jawab hingga adat di pelosok nusantara menjadi lemah. Dia dengan semena-mena menukar kepala adat dengan kepala-kepala desa yang diupah. Dia menyeragamkan struktur pemerintahan 67.000 desa di negeri ini sehingga pelan-pelan mengebiri, mematikan hukum adat. Dia juga membentuk LMD, LKMD. Mendengar nama-nama itu rasanya perutku mual."
Satu-satunya yang perangkat adat Kei dan para anggota relawan tahu, kerusuhan di Kei hanya dapat mereka kendalikan dengan hukum adat Ken sa faak. Ken sa faak adalah bahasa Kei yang berarti "kita semua salah." Artinya, sebuah pengakuan atas kesalahan yang menjadi kunci terciptanya kedamaian di Kei.
Memang sangat menarik melihat gambaran tentang budaya dan adat di Kepulauan Kei yang dinarasikan dengan detail dalam novel ini. Satu hal lainnya, tentang upacara Tutup Sasi Laut, yang bagi orang Kei serupa ayat-ayat dalam kitab suci. Aturannya untuk mencegah orang melanggar hukum adat. Di Pulau Elaar, misalnya, Sasi yang dihelat adalah Sasi Laut: Tutup Sasi Taripang. Jadi, masyarakat dilarang mengambil teripang sebelum waktu yang telah ditetapkan adat.
“Tutup Sasi itu upacara adat yang mengatur pengambilan sumber daya alam di pulau kami ini. Hukum Sasi melarang orang-orang mengambil sumber daya alam dalam rentang waktu enam bulan. Hukum adat ini juga melarang setiap orang menganggu ekosistem laut. Tutup Sasi memberi waktu makhluk hidup untuk tumbuh, bereproduksi sekaligus melindungi ekosistem. Semua pulau di Kei, punya ritual sasi. Itu sebagai bentuk penghormatan kami pada laut. Sebab kami hidup dari laut.”
Meskipun masih memegang teguh adat kebiasaan, beberapa budaya di Kei pada masa itu sebetulnya sudah mulai tergerus. Salah satunya, budaya konsumsi pangan lokal seperti enbal—sejenis ubi kayu beracun yang diolah agar layak makan. Sejak Soeharto menggalakkan swasembada beras, orang-orang Kei mulai terobsesi ikut-ikutan memakan nasi selayaknya orang Jawa. Bagian ini disinggung sekilas dalam dialog antara Sala dan Martina. “Tapi Sala belum pernah makan nasi,” rengek Sala kecil. “Makan enbal saja!” bentak ibunya, Martina. Sala menangis. Kelak setelah dewasa, Sala mengerti, ibunya hanya ingin mempertahankan bahan pangan lokal.
Maka, sampai di sini, bisa disimpulkan apa yang sebetulnya menghalangi kisah cinta antara Namira dan Sala dalam novel ini—yang bikin pembaca patah hati. Bukan soal perbedaan agama, tapi Soeharto biang kerok semuanya.
Buku terakhir di penghujung tahun 2015. Sempat tertimbun lama di rak karena saya tidak suka dengan jenis kertasnya yang bercorak. Akhirnya, setelah dipendam agak lama dan keseluruhan kertas jadi sedikit menguning, baru corak kertasnya lumayan tidak menyakiti mata dan saya bisa membaca dengan nyaman.
Secara keseluruhan, novel ini lebih menceritakan tentang situasi Kei dan budayanya di tengah kecamuk kerusuhan Ambon. Kei termasuk salah satu daerah di Maluku yang paling cepat terbebas dari perang saudara yang berkecamuk di seluruh Maluku. Penyebabnya adalah karena warga Kei masih memegang teguh adat Kei yang mengutamakan kehidupan harmonis. Novel ini menceritakan tentang pergerakan pengungsian dan penyerangan orang-orang Kei dengan situasi yang detil, dari sudut pandang Sala dan Namira Evav dan dibalut dengan kisah cinta dua anak muda yang saling menguatkan di kala sulit.
Sebuah perjalanan yang menarik untuk mengenali budaya Kei lebih dalam. Meski masih ada beberapa kesalahan dalam pengetikannya dan terkadang ada penggunaan istilah-istilah yang tak terlalu perlu, tapi secara keseluruhan, tahun 2015 ditutup dengan buku yang sangat mengagumkan.
Erni ini emang spesialis cerita2 kelam kayaknya. Tapi ini gak sekelam bukunya yang aku baca sebelumnya. Tapi tetap aja rasanya kelam. Deskripsinya juga selalu detail. Ya walaupun banyak narasi2 yang terlalu menasehati pembaca. Aku gak pahamya, mungkin penulis tuh pengen banget pembaca paham apa tujuan dari tulisannya kali ini. Atau seperti apa orang2 Kei ini. Yang sebenarnya aku juga gak tau sama sekali tentang orang2 Kei. Tapi, menurutku penulis terlalu fokus sama pesan apa yang dia sampaikan, sampai lupa kalau pembaca juga bisa menyimpulkan sendiri narasi2 yang ditulis Erni tanpa perlu di sampaikan secara lugas.
Dan ya, aku sebenarnya merasa kasihan kerena bahkan tokoh Namira dan Mery sendiri memiliki porsi yang sedikit secara pemikiran. Namira mungkin masih kelihatan ya, karena POV buku ini diambil dari sudut pandang Namira. Tapi Mery, saya tidak tau apa yang dia rasakan selain kekhawatirannya terhadap Namira. Narasi buku ini terlalu banyak menuangkan pikiran2 penulis. Sampai si tokohnya aja gak berkembang karakternya.
Kalau saja bukan berlatar sejarah, kalau saja bukan karena penulis mengambil latar Kei, yang sepertinya masih tertinggal jauh dari tempat2 lain, kalau saja penulis tidak mencoba memperkenalkan adat dan budaya Kei pada pembaca, dan terutama saya, saya ragu memberikan 3 bintang. Tapi karena ini saya bisa menyelesaikan buku ini.
Kei: Kutemukan Cinta ditengah Perang menjadi sebuah buku yang berulangkali saya gagal pertahankan baca sampai akhir. Kira-kira tiga kali saya selalu membaca ulang dan bertahan di halaman 60. Hari ini akhirnya saya kembali membaca ulang dan alhamdulillah tamat.
Kisah cinta yang disuguhkan oleh Namira dan Sala sungguh membuat saya mampu lupa pada kisah cinta di drama korea. Kisah mereka sungguh manis penuh luka, penghargaan, kasih sayang. Hmm, manis dengan hal-hal sederhana tentunya. Kamu bisa bayangin ya semenyenangkan apa duduk di bawah pohon ketapang sambil memandang langit dan membahas masa lalu bersama.
Setengah terakhir buku ini gue baca skimming aja karena frustasi sama perkembangan tokohnya. I mean, kalo emang mau bikin cerita romance berlatar sejarah, jangan membahas masalah seputar perbedaan agama aja. Terlalu banyak pengulangan kalimat gimana kalo aku Islam dan kamu Kristen dst. Bisa aja penggambarannya bukan dengan makna literal kayak gitu. Kalo misalnya mau memuat pesan moral, penulisannya ga harus dengan pesan tersurat tapi bisa juga pesan tersirat.
Kei bercerita tentang perang saudara di kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Peristiwa ini mengambil setting sejarah lengsernya Soeharto dari jabatan presiden dan merebaknya pertikaian di beberapa sudut wilayah Indonesia termasuk Maluku. Kei sendiri merupakan nama sebuah kepulauan di Maluku Tenggara, letaknya berbatasan laut langsung dengan pulau papua.
Kei secara khusus bercerita tentang perang saudara tersebut dari sudut pandang Namira dan Sala -meskipun tidak dengan menggunakan kedua tokoh tersebut sebagai pencerita. Namira adalah seorang perempuan muda dari salah satu gugusan pulau dari kepulauan Kei bernama Elaar.Sedangkan Sala berasal dari desa Watran, Kei Kecil. Orang-orang yang dicintai mereka berdua sama-sama meninggal karena peristiwa perang tersebut lalu takdir mempertemukannya di sebuah kamp pengungsian.
Kisah cinta mereka terus berlangsung hingga pertikaian kembali memisahkan Namira dan Sala, kali ini lebih jauh. Namira terbawa kapal laut ke Makassar sedangkan Sala merantau ke Jakarta dengan Edo, salah satu pemuda Kei. Di Makassar, Namira menyimpan seribu rindu dan keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang sangat dicintainya termasuk Sala. Di Jakarta, Sala terjebak dalam kehidupan hitam dan melenceng dari prinsipnya sebagai pemuda Kei yang damai.
Singkatnya, setahun setelah perang saudara terjadi, Namira kembali ke Kei sedang Sala tak disebutkan secara jelas apakah dia berhasil kembali ke Kei atau tidak.
---
Beberapa hal yang saya suka dari Kei: Saya suka bacaan berbau sejarah dan kehidupan lokal dengan segala tetek bengeknya dan Kei memberikan hal itu. Alur Kei hidup di salah satu sejarah penting Indonesia. Penceritaan Kei cukup dengan kebudayaan Maluku -khsusnya kepulauan Kei- yang damai dan penuh pelajaran. Entah kenapa rasa cinta beda agama dalam Kei tidak menjadi semacam hal yang berbau SARA. Saya kira, penulisnya memiliki pandangan sendiri yang sejak awal dijelaskan sehingga cinta beda agama dalam Kei tidak memberatkan salah satu pihak. Saya kira -juga- secara tersirat maupun tidak, tidak ada pembenaran maupun tuduhan salah untuk cinta beda agama. Di ending, penulis pun memberikan sepenuhnya hak kepada pembaca tentang akhir kisah cinta Namira dan Sala. Narasinya tidak kosong dan basa-basi. Ada sesuatu yang bisa dipelajari atau menambah pengetahuan ketika mengunyah Kei. Deskripsi tentang peperangan dan perasaan para tokohnya keren. Saya terenyuh dengan kejadian-kejadian tidak diinginkan yang terjadi di Kei. Secara tidak sadar, saya masuk dan larut dalam cerita dan hal ini tidak selalu terjadi ketika saya membaca novel. Cover Kei menarik. Eye-catching buat saya pribadi. Judulnya juga membuat penasaran, taglinenya sedikit memberikan gambaran tentang cerita. Yang, umm, kurang pas Ada beberapa typo sebenarnya, tidak hanya satu. Seperti penempatan titik dan kutip yang kurang tepat. Ada dialog satu orang yang dibagi menjadi beberapa part, saya kira itu bisa disatukan saja daripada membuat pembaca bingung. Catatan kaki nomor 16 (Tual) saya kira seharusnya muncul di bab-bab awal, tidak di beberapa halaman menuju bab terakhir (hal. 231). Karena, bagaimanapun kata 'Tual' banyak sekali dipakai. Secara keseluruhan saya suka dengan Kei, sangat suka. Jadi, saya tidak ragu-ragu untuk memberikan empat dari lima bintang.
Thats all my review! Thanks for reading!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kei menceritakan tentang konflik (perang saudara) yg terjadi di Maluku, spesifiknya di pulau Kei, pada tahun 1999-2001.
Sebelumnya, saya ingat dulu waktu sekolah pernah mendengar tentang konflik ini, tapi karena hanya menerima info dari satu pihak, kesannya jadi berat sebelah, seolah-olah hal itu merupakan perang agama, padahal bukan, dan penyebab utamanya juga belum begitu terang, seperti yang dibahas di buku ini. Ada indikasi kalau ini diotaki oleh agen asing, yang ingin mengamankan kepentingannya di daerah2 sumber daya alam setelah rezim Suharto berakhir. Who knows?
Kembali ke bukunya. Menampilkan Namira dan Sala, yg berasal dari desa yang berbeda, menganut agama yg berbeda. Kerusuhan ikut menyebar ke Kei, para perusuh datang dari luar, dan menyebabkan korban jatuh, dan sisanya mesti mengungsi. Di salah satu pengungsian, Namira dan Sala bertemu, saling membantu, mengisi kekosongan hati, dan akhirnya saling menyayangi. Sala bahkan sudah menyatakan ingin menikahi Namira (kalau kerusuhan sudah berakhir). Sayangnya, karena ancaman kerusuhan terus mengejar, mereka harus terpisahkan untuk membawa Namira ke tempat pengungsian yang aman, bahkan kemudian mengungsi lewat kapal ke Makassar. Sejak itulah, mereka kehilangan kontak.
Kelebihan utama buku ini adalah penggambaran adat Kei yang patut diteladani. Orang-orang Kei hidup dengan berlandaskan hukum adat di atas peraturan agama atau negara. Karena itulah, toleransi mereka lebih kuat daripada daerah lainnya. Seperti yang disebutkan di kata pengantar, dan berulang-ulang disebutkan lagi di dalam cerita, "Tak ada Islam, tak ada Protestan, tak ada Katolik, yang ada hanyalah Orang Kei. Semua mahluk hidup bersaudara."
Bagian2 awal sampai pertengahan buku kental dengan adat Kei ini, dimana adat mereka mengatur segala hal agar perdamaian terjaga.
Kekurangan buku ini di antaranya, gaya penceritaannya menurut saya datar, kurang hidup, terutama di bagian romance antara Namira dan Sala. Perkembangan plot di seperempat akhir cerita juga kejauhan, sampe jadi preman di Jakarta segala. Saya lebih ingin membaca lebih banyak tentang Kei. Lalu ada referensi yang kayaknya ga sesuai dengan latar cerita yg terjadi di 1999-2001, yaitu film Tristan-Isolde yg tahun 2006an bukan sih, dan Joseph Kony di Uganda yg beritanya baru kita dengar tahun 2011/2012.
Sebuah buku pemenang unggulan dewan kesenian Jakarta 2012. Gak heran karena selesai baca gue punya 'lost feeling', berasa gak percaya kalo ceritanya dah selesai. Diawal cerita memang agak berat dengan beberapa istilah dan kata-kata yang tidak biasa. Buat gue buku ini bukan cuman soal cinta-cintaan yang banyak kita baca, tapi tentang sejarah tentang bagaimana indonesia dan bagaimana sebenarnya kita menyikapi suatu perbedaan. Gue suka dengan sosok sala yang keras akan adat dan istiadat serta kecintaannya terhadap tanah kelahirannya yang dia bawa sampai keakhir cerita. Butuh banyak observasi karna menyikap Hal-Hal yang sensitif semisal agama, sejarah, dan beberapa tokoh real didalamnya (salah-salah tulis yang ada kena hukum). Ada memang beberapa typo, dan ada moment pertanyaan kemana sala dan namira di akhir cerita bagian 1 dan langsung ke bagian ke 2 dan itu udah januari 2001 ???. Dari cover ini udah bagus banget, ilustrasinya gak berlebihan kaya buku gagas yang itu (bagian2 tubuh manusia dengan judul terlalu lebay), tapi Semua itu terbayar sama ceritanya yang alur dan penokohan kental dengan budaya. Cerita cinta yang manis tapi unpredictable diakhir cerita, which is gue pikir namira dan sala bakalan ketemu dan bersatu. Ternyata :')
Suka. Tapi itu James Franco maen di Tristan and Isolde kan tahun 2006, gimana si Sala di tahun 1999 bisa dibilang mirip James Franco di Tristan and Isolde yak?
----- edit -----
Sebenernya review yang gue tulis di atas udah gue edit setelahnya. Tapi karena entah kenapa komputer di kantor ciong banget sama Goodreads, maka review editannya nggak kesimpen. Begitu pula rating 4 bintangnya *pfffttt*
Nah, kurang lebih, begini isi review gue setelah di-edit:
Suka. Buku ini mengajarkan kita, Bangsa Indonesia, kalau perbedaan agama tidak seharusnya menimbulkan perpecahan. Sungguh relevan dengan keadaan saat ini di mana sepertinya agama menjadi isu yang mudah sekali membuat orang terbakar amarahnya.
Tapi itu James Franco maen di Tristan and Isolde kan tahun 2006, gimana si Sala di tahun 1999 bisa dibilang mirip James Franco di Tristan and Isolde yak?
Sekarang, baru tambahannya. Jadi hari ini saya berkesempatan ngobrol dengan Erni *hai Erniii!!* dan ngebahas si James Franco ini. Dan Erni menjelaskan soal yang namanya POV orang ketiga tahu segala. Jadi, mengenai Sala yang mirip James Franco itu adalah cara si pengarang memberitahukan pembaca gambaran fisik Sala, bukannya pandangan orang lain di sekitar Sala terhadap Sala.
Membaca novel ini butuh waktu, selain karena memang ngga ada waktu juga karena pergumulan batin sendiri mau nerusin baca atau ngga. Terkait begitu banyak hal yang secara keseluruhan bertentangan dengan prinsip yg saya pegang, buku ini mampu membius dengan keanggunan cerita adatnya. Diksi yg terkesan kaku tapi mengalir membuat larut dalam cerita. Setidaknya masih banyak juga pesan moral yang bisa kita ambil, jika kita cukup pandai memilih.
Yang bikin gregetan paling cuman beberapa typo. Untuk unsur-unsur yang bertentangan, ya terima aja. Ambil baiknya, tinggalkan buruknya. Setidaknya jadi punya pengetahuan lebih :)
"Kei". Novel ini padat. Sejak awal cerita, pembaca sudah langsung bertemu episode-episode yang menegangkan. Karena padat itulah, saya kurang mendapatkan estetika bersastra penulis. adanya latar tempat yang dipaksakan oleh penulis malah membuat jalinan antartokoh terputus. "'Kei' harusnya bisa dibuat lebih greget," kata teman saya, dan saya sepakat. "Kei" seperti sebuah rangkuman novel yang lahir dari beberapa jilid.
Pada akhirnya, saya ingin bilang, seperti kata orang Kei; Tak ada Islam, tak ada Protestan, tak ada Katolik, yang ada hanyalah Orang Kei. Semua mahluk hidup bersaudara.
Awal tahu buku ini adalah ketika saya direkomendasikan mbak Jia di goodreads, entah kenapa saya selalu punya feeling buku yang dia rekomendasikan pasti bagus, termasuk buku ini. Saya tertarik membaca karena ada tagline 'Kutemukan cinta di tengah perang,' bayangan saya buku ini pasti romantis banget, penuh adegan heroik, saya jadi teringat akan film Pearl Harbor :p. Kemudian ada isu tentang perbedaan agama, yang sering baca postingan saya pasti tahu selain mengumpulkan buku yang berbau romance-kuliner, saya sedang mencari-cari buku dengan premis cinta terlarang XD. Selain itu, saya sangat tertarik dengan kisah perbedaan agama ini karena saya sendiri pernah mengalaminya, pernah menjadi polemik terbesar dalam hidup saya :D
Gadis itu berusia dua puluh tahun. Kata Hemingway, usia adalah penanda waktu. Waktu yang kadang bisa merenggang dan menyusut, mengajarkan pengampunan. Memunculkan kembali rasa cinta dan menyusutkan dendam.
Buku ini bersetting di Pulau Kei, pulau kecil di antara Laut Banda dan Laut Arafuru, terletak di Maluku Tenggara. Setting waktunya sendiri terjadi ketika masa pemerintahan Soeharto baru saja digulingkan tetapi efeknya masih tetap ada, bahkan sampai wilayah Timur Indonesia yaitu dari bulan Maret sampai Juni 1999, hanya tiga bulan, jauh lebih sedikit dari Ambon yang mengalami perang saudara selama tiga tahun tetapi efeknya sama saja, seumur hidup tetap membekas. Pulau Kei terkenal akan toleransi beragama, mereka dikuatkan oleh hukum adat dan ajaran leluhur yang melarang berkelahi sesama warga kecuali demi membela kehormatan kaum perempuan. Entah siapa yang memulai, ada oknum yang memperpanas keadaan sehingga pecahlah perang saudara di Pulau Kei.
"Nak, kau tahu dalam ajaran adat Kei, satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum perempuan dan kedaulatan batas wilayah. Tolong jangan berkelahi lagi. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarangan berkelahi."
Mereka tahu betul, ajaran adat Kei yang bersemayam di hati mereka lebih kuat dari apa pun. Meski sedang marah dan saling berkelahi, jika ada kaum perempuan yang melerai, para lelaki itu harus berhenti. Perempuan adalah lambang hawear. Mereka tahu betul wasiat leluhur, jangan sekali-kali menumpahkan air mata perempuan, air mata perempuan adalah air mata emas.
Tidak ada keuntungan dari perang, yang ada hanya kesedihan, kematian dan perang membuat orang miskin. Salah satu yang terkena imbas dari perang saudara di berbagai wilayah di Pulau Kei adalah Namira Evav, dia kehilangan orang tuanya, tidak tahu mereka ada di mana dan apakah masih hidup. Dia terpaksa mengungsi dari satu pulau ke pulau lain menghidari perang saudara yang sudah merambat ke berbagai wilayah di Maluku, termasuk kampungnya, Elaar. Dia tidak mempunyai keluarga lain, hanya sahabatnya Mery yang dia miliki tetapi tempat tinggalnya jauh dan komunikasi sangat sulit didapatkan saat itu. Dia pun mengungsi ke Langgur, lokasi yang masih aman dari perang. Di sanalah dia bertemu dengan Sala, salah satu korban perang juga, yang kehilangan ibunya, satu-satunya keluarga yang dia miliki. Sala tidak ingin terlibat atau memilih pihak 'putih' atau 'merah', dia ingin menjadi relawan korban perang dan kalau bisa menyudahinya.
"Rusuh di Kei tak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen. Tuhan dan agama tak pernah manghianati pemeluknya. Manusialah yang menghianati Tuhan dan agamanya."
Namira sendiri adalah orang 'putih' yang berarti beragama Islam, sedangkan Sala orang 'merah' yang memeluk agama Protestan, perbedaan tersebut tidak menghalangi rasa cinta yang mulai tumbuh satu sama lain, mereka sama-sama melindungi, sama-sama berbagi kesedihan dan membagi kebahagiaan. Mereka memiliki satu sama lain. Sampai perang pun melanda Langgur, membuat Namira harus menyelamatkan diri dan Sala membantu teman-temannya, mereka berpisah tanpa tahu kapan akan bertemu lagi.
Namira dan Sala bagai burung taktarau dan daun paku. Saling membutuhkan, saling melindungi, sulit dipisahkan. Namira seolah-olah hadir untuk jiwa sedih pemuda itu, sedangkan Sala seolah-olah hadir menjadi kakak bagi Namira di masa kerusuhan.
Kelebihan penulis adalah deskripsinya yang detail, pembaca serasa dibawa ke Pulau Kei dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Penulis menggambarkan Pulau Kei beserta adat istiadat-nya dengan sangat baik, terasa sangat Indonesia, narasinya juga bagus, tidak ada kalimat metafora untuk mendramatisir keadaan. Dengan bahasa yang sederhana, dengan riset yang dilakukan penulis kita serasa menonton langsung, mengetahui tradisi dan sejarah Pulau Kei dengan jelas tanpa mengurui.
Kekurangannya adalah ehem, ehem, kisah cintanya. Rasanya hanya tempelan saja, tidak ada bagian yang teramat dalam dengan kisah cinta beda agama ini. Kisah cinta Namira dan Sala rasanya sebentar sekali, penulis lebih fokus menceritakan suasana perang Maluku 1999, sebelum dan sesudah perang saudara terjadi, dampak dan efeknya, kisah cinta di buku ini sepertinya hanya selingan. Awalnya saya kira bakalan kayak Romeo and Juliet, dua anak manusia yang saling jatuh cinta, yang berasal dari kampung berbeda dan memiliki kepercayaan berbeda yang harus dipisahkan karena ada pihak yang tidak bisa menerima perbedaan itu. Oke, abaikan saja imajinasi saya yang keblabasan ini :p. Dan saya sama sekali nggak menyukai ending buku ini, hiks.
Buku ini seperti menginggatkan kembali kepada kita akan pentingnya toleransi beragama, semua agama sama saja, sama-sama mengajarkan kebaikan tinggal bagaimana kita menerapkan dan memahaminya. Serta betapa kuatnya falsafah dan adat istiadat di suatu daerah, yang sekarang mulai ditinggalkan dan dilupakan padahal bisa menjadi senjata terhebat dalam menciptakan sebuah kerukunan antara umat beragama. Mungkin karena tema inilah mengantarkan penulis menjadi Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012.
Buku ini saya rekomendasikan bagi yang sedang mencari hisfic dalam negeri, yang ingin mengetahui Pulau Kei, yang ingin mengetahui dampak orde baru di wilayah Indonesia bagian Timur, yang sedang mencari kisah cinta terlarang.
Yang mengatur kasih sayang itu Tuhan. Jadi, kita tak bisa memilih pada siapa hati diberikan. Hati selalu punya pilihan sendiri.
3 sayap untuk satu set cangkir porselen yang terkubur di bawah tanah.
jujur buku ini bagus banget karena punya background story tentang perang saudara terutama di nusantara, awalnya banyak tidak paham sama ceritanya karena beragam sekali perbedaan dan karakter tapi makin lama makin terbawa suasana namira dan sala. karakter nya cukup kuat walaupun habis baca ngerasa cepet banget selesainya. banyak peristiwa-peristiwa yang tercatat disini, dari ritual, makanan khas dan lain-lain.
punya buku ini waktu smp tapi baru mulai dan selesai baca waktu sma, dan ternyata bagus.
Baru baca novel ini meski udah punya lumayan lama... Satu kata buat penulisnya... KEREN! Risetnya mateng banget, feeling-nya berasa, dan penggambaran situasinya juga dapet banget. Belum lagi pengetahuan yang dibagi sangat beragam. Saya perlu banyak belajar tentang riset dari Erni Aladjai. Sekali lagi, keren! ^^
Ada dua alasan saya ingin membaca buku ini: pertama, karena saya penasaran membaca karya lainnya dari Erni Aladjai setelah sangat menikmati membaca Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga. Kedua, karena buku ini sarat refleksi pengalaman budaya lokal untuk bertahan meredakan dan melalui konflik berdarah (berbasis agama), yang berdasarkan kisah sejarah Indonesia di 1999.
Kei merupakan nama salah satu kepulauan di Maluku. Letaknya di perairan bawah Papua. Di 1999-2001, konflik berdarah pecah di Kepulauan Maluku. Berpusat di Ambon dan Halmahera, konflik ini akhirnya merambat ke pulau dan kepulauan lain di Maluku, tidak terkecuali Kepulauan Kei.
"Telinga anak-anak Pulau Kei yang semula terbiasa mendengar bunyi debur ombak, tiba-tiba mengenal suara lain; suara ledakan, bunyi senapan dan jeritan. Desa-desa di Kei yang semula damai dengan keragaman agama, mendadak menjadi desa dengan dua identitas. Desa Muslim dan Desa Kristen. Kelompok putih dan kelompok merah. Ikat kepala putih dan ikat kepala merah." (Halaman 27)
Konflik ini dituturkan melalui perjalanan Namira, seorang perempuan muda, yang kehilangan ayah dan ibunya ketika konflik pecah di Kei. Selain Namira, ada Sala, yang terlambat menemukan ibunya yang sudah meninggal terbunuh ketika ia sampai di rumah. Namira dan Sala bertemu akibat konflik, jatuh cinta, tapi jatuh cinta di masa konflik tak banyak soal cerita romantis. Terpisah karena situasi yang masih rumit dan tidak terduga, masing-masing Namira dan Sala harus belajar bertahan di tengah situasi konflik di Kei.
Namun, meredam konflik berdarah di Kei punya ceritanya sendiri. Kei ternyata memiliki kearifan lokal yang membuatnya bisa bertahan dan segera menyelesaikan konflik berdarah. Erni Aladjai berhasil mengisahkan cerita ini dengan baik, menggambarkan toleransi yang menjembatani perbedaan, yang disangga dan ditopang oleh adat-istiadat masyarakat lokal sebagai dasar. Sebuah cerita penyelesaian konflik yang haru dari Kei, meski awalnya Kei tetap tak terhindarkan juga dari konflik berdarah yang dibawa dari luar pulau yang merambat kesana. Meski dampak konflik masih menyisakan kenangan kehilangan yang tetap pahit dan pedih.
"Ain ni ain manut ain mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun." (Dalam bahasa Kei, artinya kita semua bersaudara, kita adalah telur-telur yang berasal dari ikan yang sama dan seekor burung yang sama pula.) (Halaman 23)
Jauh sebelum musibah rusuh ini menimpa Kepulauan Kei, gereja dibangun sama-sama, masjid dibangun ramai-ramai. Katolik, Protestan, dan orang Islam bergotong-royong dengan riang. Orang Kei punya falsafah hidup; kita adalah telur-telur yang berasal dari seekor ikan dan seekor burung yang sama. Orang Kei punya pandangan yang kuat tentang rasa persaudaraan mereka. Rasa persaudaraan itu telah terikat adat dan hukum adat sejak zaman sejarah, dan adat selalu di atas segala-galanya daripada agama yang datang belakangan. (Halaman 118)
Dalam buku ini, Erni Aladjai juga mengisahkan bahwa dalam adat-istiadat lokal di Kei, perempuan memainkan peran penting dalam meredam konflik. Menarik sekali.
"Kau tahu kan, Sayang. Perempuan Kei sejak dulu seperti apa? Kami, perempuan Kei punya peran untuk mendinginkan perang." (Halaman 146)
Dengan langkah yang tak lagi tegap, para penyerang itu berbalik mundur. Mereka tahu betul, ajaran adat Kei yang bersemayam di hati mereka lebih kuat dari apapun. Meski sedang marah dan saling berkelahi, jika ada kaum perempuan yang melerai, para lelaki itu harus berhenti. Perempuan adalah lambang hawear. Mereka tahu betul wasiat leluhur, jangan sekali-kali menumpahkan air mata perempuan, air mata perempuan adalah air mata emas. (Halaman 149)
Cerita dalam novel ini ditutup dengan akhir yang realistis, tentang Namira dan Sala. Sebagai pembaca, saya mengapresiasi posisi Erni Aladjai yang tidak utopis terhadap kondisi pasca konflik. Meski begitu, pesannya sampai tepat pada pembaca: bahwa merawat harapan pasca konflik sosial adalah hal terutama yang sulit tapi harus menjadi bagian kita.
Buku ini menjadi salah satu buku fiksi historis (historical fiction) dengan penceritaan terkait adat-istiadat masyarakat lokal yang begitu kaya, dari Kepulauan Kei di Maluku. Sebagai pembaca, saya juga belajar berkenalan dengan muur nai, suban tai, dengan hebang haung, dengan rasang smu-rodang, dengan kef bangil, dengan tevh hai sung tavhat, dengan fedan na, tet wanga, dengan tivak luduk (halaman 178). Sebagai pembaca dari pulau lain di ujung Indonesia, saya juga jadi ingin merasakan makan pangan lokal Maluku Tenggara, enbal kukus, yang tentu tidak kalah bergizi dari nasi. Buku ini memperkaya khazanah literatur Indonesia yang nyatanya adalah Nusantara, dan tidak satu seragam.**
“Kerusuhan tak hanya mengantarkan orang-orang pada sejarah masa lalu. Pada petuah leluhur. Pada ketakutan akan permusuhan. Rusuh juga melahirkan cinta yang misterius di tenda-tenda pengungsian. Cinta yang melintasi batas agama. Cinta yang tumbuh dalam masa perang berlangsung.”
Novel pertama penulis yang kubaca, dan benar-benar emotional-read, aku begitu larut dengan kisah yang coba dibawakan oleh penulis hingga tak terasa sudah berada di halaman akhir. Kali ini, penulis mencoba mengajak pembaca menelusuri jejak-jejak perang saudara di salah satu pulau di Maluku, Kei. Kita seakan diajak untuk melihat sendiri saat kerusuhan, karena "perbedaan agama" bergejolak, walau memang mungkin selama ini yang lebih banyak disoroti kerusuhan yang terjadi di Ambon.
Kita akan melihat bagaimana pulau Kei yang selama ini sangat kental dengan perdamaian dan toleransi umat beragamanya yang tinggi, karena ulah provokator akhirnya pun harus pecah, begitu banyak orang tidak berdosa harus menjadi korban dan memunculkan ketidaknyamanan diantara penduduk Kei itu sendiri, saling curiga dan tentunya harus mulai mengungsi dan berpindah dari satu desa ke desa yang lain yang belum tersentuh kerusuhan. Disanalah, di salah satu desa pengungsian, dua anak manusia, tanpa melihat "perbedaan" yang ada saling jatuh cinta. Ya, Namira dan Sala pun tidak bisa mengelakkan rasa yang ada, mereka saling jatuh cinta tanpa melihat agama apa yang mereka anut, cinta hadir melampaui segala perbedaan yang ada.
Tapi, kisah Namira dan Sala tidak berjalan mulus, ketika desa pengungsian mereka pun harus terkena kerusuhan, Namira pun harus terus mencari desa pengungsian lain, sedangkan Sala memilih bertahan sebagai relawan di desa tersebut. Perjalanan mereka begitu berliku, hanya bisa memegang sebuah janji suatu hari jika keadaan sudah lebih kondusif, mereka akan bertemu dan menikah.
Dan keadaaan yang makin tidak terkendali, malah membawa Namira meninggalkan Kei, ya Namira akhirnya terbawa hingga ke Makasar dan disanalah Namira bertemu dengan orang-orang baik dan keluarga baru yang mencintainya. Sedangkan Sala sendiri, dengan ajakan temannya mencoba peruntungannya untuk mengadu nasib ke jakarta dan ternyata nasibnya tidak sebaik Namira. Sala malah hanya berakhir menjadi pembunuh bayaran karena ancaman dari orang yang membantunya. Namira dan Sala pun hilang kontak dan komunikasi hingga kerusuhan pun usai dengan kesepakatan adat.
Bagaimana kisah Namira dan Sala? Akankan mereka bisa mewujudkan impian mereka untuk bertemu dan bersatu dalam pernikahan?
Membaca novel ini membuat aku ikut larut dalam kisah ini, ada banyak pesan moral yang bisa diambil, bagaimana menyikapi perbedaan, hidup bertoleransi, ajaran-ajaran leluhur tentang menghormati dan menyayangi wanita dan masih banyak lagi. Namun, ketika sudah sampai dihalaman akhir, aku cukup menohok sekali, setelah berlembar-lembar aku ingin sesuatu yang lebih "pasti", tapi mungkin penulis sengaja membuat akhir yang sedikit menggantung dan membuat pembaca berpikir =(
Walau memang novel ini masih banyak kekurangan, terutama cukup banyaknya typo, tapi kekuatan cerita yang "tidak biasa" dan memang sedikit berat, bukan romance yang biasa tapi penuh dengan pelajaran hidup membuat aku masih bisa menikmatinya. Dan, aku suka dengan gaya bercerita penulis dan tidak sabar membaca karya lainnya.
"Takdir kadang punya cara sendiri untuk mengajarkan manusia cara mencintai, menghormati, dan mangampuni."
Novel pemenang unggulan DKJ 2012 ini bercerita tentang cinta yang tumbuh di tengah peristiwa perang saudara di Ambon, yaitu antara Sala, seorang pemuda Kristen asal desa Watran, dan Namira, seorang gadis muslim asal Kei. Keduanya bertemu di pengungsian, dan dari sanalah bibit-bibit cinta itu tersemai lalu tumbuh mekar.
Kei sendiri adalah nama pulau di Ambon yang paling lambat mengalami riak kerusuhan, juga yang paling cepat bangkit dari keterpurukan pasca tragedy berdarah di Ambon. Ini antara lain disebabkan kuatnya pengaruh hukum adat serta keteguhan masyarakatnya dalam menjunjung hukum adat tersebut sehingga mempercepat masa pemulihan.
Cinta antara Sala dan Namira sendiri tak berjalan mulus. Keduanya terpisah saat Sala diajak temannya Edo merantau di Jakarta dan Namira yang kebingungan terbawa seseorang naik kapal yang menuju ke Makassar. Akankah keduanya ditakdirkan bertemu kembali? Dan apa yang dialami keduanya saat hidup terpisah?
Cerita ini ditulis dengan diksi yang indah dan variatif juga deskripsi setting yang benar-benar detil. Saking detilnya hingga penulis tak mengabaikan satu elemen kecil pun seperti pemilihan nama tokoh, aksen dialog, nama makanan khas daerah setempat, jenis tumbuhan dan pepohonan, terlebih-lebih jenis adat istiadat dan bagaimana adat tersebut diberlakukan serta sanksi bagi yang tidak mematuhinya.
Kisah cinta antar penganut agama yang berbeda – dalam hal ini diwakili oleh kedua tokoh utamanya Sala dan Namira - juga turut diangkat penulis di dalam novel ini. Tak hanya tentang cinta, tetapi juga persahabatan, dan dalam novel ini juga terungkap fakta bahwa tragedy dan kerusuhan Ambon sebenarnya bukanlah berpunca pada konflik antar agama, tetapi memang sengaja direkayasa pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari terciptanya instabilitas di tanah air.
Kelebihan lain dari novel ini juga terletak pada karakter tokoh-tokohnya yang terasa hidup, plot yang rapi dan tentu saja pada bagaimana penulis mengolah cerita ini dengan didukung riset yang mendalam serta penulisan yang serius. Jika membincang kekurangan, maka hemat saya, hal itu terletak pada bagaimana cara penulis mendeskripsikan konflik. Dengan begitu banyak titik-titik api dalam cerita yang sangat berpotensi untuk diolah menjadi konflik yang mencekam, nuansa yang dibangun oleh penulis justru terasa lebih mirip reportase. Reportase yang ditulis dalam bahasa literer dan “sedikit” berjejal informasi. Hal ini membuat greget novel ini sedikit menurun pada pertengahan cerita, dan faktor plus yang membuat saya tetap bertahan menyelesaikannya adalah pada diksinya yang indah juga pada informasi-informasi baru tentang adat Kei yang selama ini belum saya ketahui.
Untunglah, pada bagian menjelang akhir, penulis berhasil menaikkan ritme novel ini lewat adegan kejar-kejaran polisi dan Sala juga gank mafia serta menutupnya dengan open ending yang sangat menyentuh.
Dengan semua kelebihan yang dimiliki novel ini, tak salah jika juri memilih novel ini sebagai pemenang unggulan DKJ, dan penulisnya sendiri, juga memiliki bobot penulisan diatas rata-rata. Ini dibuktikan dengan keberhasilan penulis dalam ajang bergengsi lainnya seperti memenangi lomba penulisan cerpen JILFest tahun 2011 dan sayembara cerber Femina pada tahun 2012.
Semoga Kei dapat menginspirasi munculnya karya-karya berbobot yang mengusung problema berlatar tempat dan adat lokalitas Indonesia :)
“Orang yang meredakan segala keinginannya, bagai air yang reda di dalam lautan, meskipun diisi olehnya namun tak pernah meluap—orang yang demikian inilah yang menemukan kedamaian, bukan orang yang menuruti keinginan hatinya.”
Sebelum membaca buku ini, saya pikir judul Kei diambil dari nama karakter utama wanita dalam buku ini. Tapi ternyata itu salah. Kei merupakan pulau yang terdapat di antara Laut Banda dan Laut Arafuru, Maluku Tenggara.
Pulau Kei ini, daerah-daerahnya dikenal sebagai yang paling jarang terlibat konflik, bahkan konflik terakhir yang terjadi sudah bertahun-tahun yang silam. Tapi, entah siapa yang memulai, pertikaian antar agama(dan ras) pun tak terelakkan, padahal selama ini penduduk Kei memegang teguh hukum adat leluhur untuk hidup saling bertoleransi.
Perpecahan itulah yang kemudian mempertemukan Namira Evav—gadis yang diharuskan hidup berpindah-pindah untuk mengungsi dan tidak tahu keberadaan keluarganya—dengan Sala, pemuda yang telah kehilangan ibu, keluarga satu-satunya yang dimiliki.
Pertemuan pertama mereka yang tidak bisa dibilang manis itu, semakin mendekatkan keduanya sampai kemudian keadaan mengharuskan mereka untuk berpisah.
“Kerusuhan tak hanya mengantarkan orang-orang pada sejarah masa lalu. Pada petuah leluhur. Pada ketakutan akan permusuhan. Rusuh juga melahirkan cinta yang misterius di tenda-tenda pengungsian. Cinta yang melintasi batas agama. Cinta yang tumbuh dalam masa perang berlangsung.”
Saya baru tahu kalau GagasMedia, selain menerbitkan buku-buku romance juga menerbitkan salah satu naskah pemenang unggulan DKJ 2012. Karena hal itulah saya menjadi penasaran untuk membaca buku ini.
Covernya, untuk penerbit satu ini tidak perlu dipertanyakan lagi saya rasa. Karena (saya tidak akan bosan untuk mengatakan ini) salah satu daya tarik GagasMedia terletak pada cover-cover buku terbitannya.
Tapi entah kenapa saya kurang bisa menikmati buku ini ketika membacanya. Bukan, ini sama sekali bukan salah bukunya. Karena kisah dalam buku ini diceritakan dengan cukup apik, settingnya juga bisa digambarkan dengan baik. Bukan pula karena typo-nya yang cukup banyak, hal itu masih bisa ditoleransi. Juga karakter-karakternya, saya sama sekali tidak merasa sebal dengan karakter-karakternya.
Tebakan saya sih bisa jadi kisah yang dituturkan penulis terlalu berat untuk saya :D walaupun kurang bisa menikmati ceritanya saya berhasil lho menamatkan buku ini *bangga* Yah, walaupun merasa miris membaca endingnya :|
Sebelumnya saya pernah membaca dua buku yang juga merupakan pemenang(Semusim, dan Semusim Lagi) dan pemenang unggulan DKJ 2012(Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya). Dan, selera saya masih memilih SPtJKyJTC yang menjadi favorit(sejauh ini) :D
Untuk yang penasaran dengan cerita Kei, tidak ada salahnya untuk mencoba, mungkin selera kita berbeda *wink*
Kesan pertama setelah membaca novel ini; Uwaaaa... amazing! Novel yang menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini benar-benar menghinoptis saya saat membacanya. Membaca sinopsis di belakang buku yang dimuat adalam catatan facebook GagasMedia untuk pertama kali, saya langsung suka dan bertekad untuk membelinya dan alhamdulillah termiliki.
Kerusuhan antar agama di Maluku benar-benar mencekam, atmosfernya begitu terasa dan membuat saya tegang saat membacanya. Sempat membaca review seseorang yang mengatakan bahwa novel ini membuat ngantuk dan ketika saya buktikan dengan membacanya sendiri, ternyata benar, untuk sepuluh halaman pertama saya merasa bosan, terlalu banyak deskripsi, tidak balance dengan dialog. Deskripsinya bertele-tele dan sangat rinci sekali, saya ingin sekali men-skipnya tetapi sudah bertekad untuk tidak melewatkan satu patah kata pun. Sempat ingin berhenti membacanya dan berkata dalam hati, "ini cerita mau dibawa kemana, sih?" tapi semakin saya melanjutkan membaca, semakin saya menemukan sesuatu yang menarik dari novel ini.
Kei tidak hanya menceritakan kisah cinta yang menye-menye namun juga syarat akan ilmu sejarah dan budaya terutama untuk Maluku khususnya pulau Kei. Banyak hal baru yang saya ketahui, benar-benar menambah pengetahuan saya akan budaya negara sendiri. Salut untuk ide ceritanya.
Karakter Sala yang begitu kuat, teguh pada pendirian dan penyayang terutama kepada wanita, dirinya juga selalu bersikap tenang, tidak mudah tersulut emosi karena ia selalu ingat ucapan mendiang ibunya, "Nak, kau tahu dalam ajaran adat Kei, satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum perempuan dan kedaulatan batas wilayah. Tolong jangan berkelahi lagi. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarang berkelahi." (Halaman 44)
Awalnya saya khawatir ketika kedua tokoh utama diceritakan meninggalkan Kei, Namira ke Makasar dan Sala ke Jakarta, saya khawatir jika ceritanya tidak akan semenarik saat berlatar tempat di Kei dengan kerusuhan. Namun, saya salah ternyata ceritanya tetap menarik dan sangat menarik. Menyajikan konflik yang masih berdasarkan kenyataan yang banyak dilakukan oleh orang-orang Maluku yang merantau ke kota besar, keren banget!
Intinya, saya begitu menyukai novel ini, menikmati cerita yang disajikan, kata demi kata, kelimat demi kalimat, paragraf demi paragraf aaaaah suka banget. :')
Membacanya seperti menonton film. novel ini disajikan dengan bahasa sederhana, mudah dipahami meski dengan alur rumit. suka. congratz. Beberapa bagian & kutipan yang keren dari Kei:
1. Takdir kadang punya cara-cara tersendiri untuk mengajarkan manusia cara mencintai, menghormati dan pengampunan.
2. Waktu kadang bisa merenggang dan menyusut, mengajarkan pengampunan. Memunculkan kembali rasa cinta dan menyusutkan dendam.
3.Ingatan Sala lebih banyak kepada ibunya. Ayahnya hanyalah laki-laki asing yang singgah sebentar di Pulau Kei. Datang meneliti burung Sikatan Damar dan burung Pombo. Dia pikir dua spesies burung itu masih banyak berkeliaran di Kei.
4. “Kita diciptakan berpasang-pasangan! Satu lelaki untuk satu perempuan. Kalau lebih, berarti kita serakah,”
5.Tanah-tanah kerontang dan retak. Angin membuat kulit dan bibir kisut mengering. Air-air perigi tinggal keraknya. Jalanan berdebu dan pulau-pulau kecil di Kei dilanda kelangkaan bahan makanan. Kaum lelaki terpaksa meninggalkan desa-desa mereka, merantau ke Papua. Mencari peruntungan. Yang tertinggal di pulau-pulau Kei hanyalah anak-anak dan perempuan. Namun sejak zaman sejarah, perempuan Kei dikenal kuat. Mereka bertahan menggarap ladang-ladang kering. Mengumpulkan kerang. Mencari ikan di laut. Gelombang panas yang sempat pula menjadikan hutan-hutan Sumatra dan Kalimantan menjelma ladang api itu dihadapi dengan daya tahan luar biasa para perempuan Kei.
6.sampai detik ini Sala masih bersetia pada seorang perempuan yang dia sendiri tak tahu di mana keberadaannya sekarang. Namira, gadis itu, telah mengunci pintu hatinya dan kuncinya itu terbuang ke tengah samudra. Ah, sungguh saya rindu pada bau pipinya
7.Apakah saya penjahat sadis bagi para hamba hukum itu? Tidakkah mereka memaafkan saya, sebab saya tidak menyuruh anak-anak membunuh orang tuanya seperti yang Joseph Kony lakukan di Uganda sana. Saya bukahlah seseorang yang melawan Tuhan dan membunuh ribuan orang, saya hanya membunuh dua orang yang banyak menyusahkan jelata, apakah saya salah? Oh tentu saja saya salah, sebab mematikan mereka bukan tugas saya. Tapi tidakkah mereka berpikir itu sebagai ajal? Tuhan mematikan orang-orang itu lewat tangan saya?
Dalam pembacaan saya, novel ini bukan pada mencekamnya perang. Tapi, novel ini lebih banyak bercerita tentang bagaimana orang Kei menyelesaikan perang. Kemampuan orang Kei memahami dan mewariskan nilai-nilai kebudayaannya sangat tergambar dengan jelas. Mungkin inilah yang orang gambarkan, bagaimana sebuah novel disajikan dalam pandangan antropologi.
Sebuah teks tentunya tak lepas dari subyektivitas si penulis. Nah, dalam novel ini, sebelumnya saya sempat mencoba mengukur seberapa besar keberpihakan penulisnya. Namun, ternyata si penulis mampu memosisikan dirinya secara proporsional untuk tidak mengantar “sebuah konflik baru”, dalam artian Erni Aladjai tidak membela “ikat kepala putih” atau “ikat kepala merah”. Sebaliknya, Erni mengambarkan pesan kemanusiaan secara universal seperti kata orang Kei: tak ada Islam, tak ada Kristen. Yang ada hanya Orang Kei.
Untuk itu, dalam pandangan saya, novel ini sangat saya rekomendasikan untuk bacaan resolusi konflik—sebagai bahan perbandingan tentunya.
Hanya sayang novel ini memiliki banyak kesalahan typo. Tentunya, hal ini bisa mengganggu psikologis pembaca.
O ya, meski novel ini, novel remaja—pun tentang kisah cinta antara Sala dan Namira— namun, Erni tidak menggambarkan kisah percintaannya seperti dalam percintaan remaja umumnya. Namun, kisah cintanya dikemas secara dewasa—jauh dari galau.
Perang. Aku pernah mengalaminya ketika berusia 7 tahun, ketika perang antar suku meledak di kalimantan tengah. Perseteruan dengan banyak nyawa yang jadi taruhan antara dayak dan madura. Aku masih ingat betul bagaimana rasanya. Perasaan-perasaan takut dan cemas, kesedihan ketika teman sekelas tak lagi masuk sekolah, ketika pada akhirnya selama berhari-hari sekolah diliburkan.
Saat itu bahkan kota yang aku tinggali bukan pusat dari kerusuhan. Kami hanya terkena imbasnya.
Kei merupakan sebuah kisah tentang kerusuhan yang terjadi di Tanah Kei, kepulauan di maluku tenggara. Tentang kerusuhan yang membuat kehilangan sekaligus menemukan cinta dalam satu waktu, hingga akhirnya cinta itu terpisah dan mereka kehilangan lagi untuk kedua kalinya.
Kei adalah kisah yang sarat makna tentang betapa perbedaan bukan hal yang seharusnya memicu perang.
Aku suka sekali dengan gaya penceritaannya yang santai. Meski juga sedikit tidak puas dengan bagian akhirnya. Aku berharap akan menemukan sebuah ending yang pasti. Bukan sedikit menggantung seperti itu. Atau mungkin hanya aku yang nggak memahami? Entahlah. Yang jelas tidak ada rasa yang tertinggal setelah mencapai bagian akhir. Hanya kejam perang dan suasana mencekam kerusuhannya yang terus terbayang sampai sekarang.