Jump to ratings and reviews
Rate this book

Seri Buku TEMPO: Bapak Bangsa

Agus Salim: Diplomat Jenaka Penopang Republik

Rate this book
Ketika masih muda, dia pernah bertanya kepada seorang ulama: apakah Adam dan Hawa memiliki pusar? Ulama itu menjawab: ada, karena mereka juga manusia. “Kalau punya pusar, sebagaimana halnya kita, itu tandanya mereka dilahirkan oleh seorang ibu.” Ulama itu tiada dapat menimpali.

Kali lain, di atas kapal Renville, ia membuat utusan Belanda yang menuduh RI menyalahi kesepakatan Linggarjati bungkam: “Apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan
mencapai pengakuan de jure di seluruh dunia.”

Itulah Agus Salim. Ia diplomat yang cerdik dan pendebat ulung; alim yang kritis dan ulama yang moderat. Tapi dia juga pernah kehilangan iman dan susah payah merebutnya kembali hingga menemukan Islam untuk Indonesia: Islam yang tidak terikat adat kebiasaan, tapi dapat menggerakkan bangsa untuk menentukan nasib sendiri.

Kisah Agus Salim adalah satu dari tujuh cerita tentang para bapak bangsa: Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Tjokroaminoto, dan Douwes Dekker. Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, serial buku ini mereportase ulang kehidupan para pendiri republik. Mulai dari pergolakan pemikiran, petualangan, ketakutan hingga kisah cinta dan cerita kamar tidur mereka.

190 pages, Paperback

First published September 1, 2013

27 people are currently reading
346 people want to read

About the author

Tim Buku TEMPO

44 books95 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
96 (41%)
4 stars
94 (40%)
3 stars
32 (13%)
2 stars
7 (3%)
1 star
2 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 35 reviews
Profile Image for Evan Dewangga.
301 reviews37 followers
October 19, 2018
"Leiden is lijden"
"Memimpin adalah menderita"

Cerita-cerita kecil dari Agus Salim dikemas dengan bahasa yang apik membuat buku ini selalu melekat minta dibaca habis dengan cepat. Sayangnya, karena buku ini ditulis oleh kelompok, bukan perseorangan, membuat banyak informasi yang diulang-ulang. Meskipun begitu, konsep buku ini sangat rapi dan komprehensif, meski tidak kronologis.
Profile Image for Maisarah Mohd.
Author 1 book42 followers
June 24, 2017
Sosok yang hebat dari Indonesia. Betapa saya kagum dengan keterbukaan dan ramahnya Islam seorang Salim. Saya kira, tidak ada sosok yang saya ketahui lebih terbuka daripada Agus Salim.

Seorang yang rebel tapi tidaklah bersikap mendikte tetapi mendidik. Walaupun kita tahu bahawa Agus Salim menguasai pelbagai bahasa tetapi hal demikian tidak menjadikan hidupnya kaya. Malah keluarganya sering berpindah-randah dan hidup dengan seadanya saja. Zuhud.

"memimpin itu bererti menderita", satu ungakapan daripada Agus Salim yang begitu menggugah hati saya. Hari ini, berapa ramaikah atau masih wujudkah ahli politik yang memegang prinsip ini? Rasanya tidak ada. Ahli politik hari ini lebih banyak beretorik berbanding mengabulkan janji dan kata-kata.
Profile Image for Achmad Lutfi.
167 reviews5 followers
January 9, 2015
Buku ini cukup berhasil melunaskan rasa ingin tahu saya tentang Haji Agus Salim, hanya saja terlalu tipis dan rupa-rupanya saya lebih membutuhkan satu jenis buku semacam autobiografi atau catatan-catatan The Grand Old Man (sebutan untuk beliau).

Well, untuk perkenalan saya pikir buku ini tetap menarik. Sebagaimana khasnya Seri Buku Tempo Bapak Bangsa yang lain, buku ini memiliki alur yang tidak umum selaku buku biografi. Perkenalan diawali dengan perjuangan dan keterlibatan H. Agus Salim dalam politik dan pergerakan, baru di akhir-akhir soal keluarga dan latar belakang diri beliau disebutkan.

Mengapa saya ingin mengetahui lebih banyak tentang The Grand Old Man ini adalah karena selama ini yang saya dengar tentang beliau hampir selalu tentang jawaban serta pernyataan yang out of the box. Terlihat benar bahwa beliau ini sosok yang pintar. Toh ternyata Haji Agus Salim memang demikian. Dan hal yang demikian itulah, yang membuat cara berpikirnya menarik, yang kemudian membuat saya kagum.

Hanya saja Haji Agus Salim tetap manusia sebagaimana umumnya. Biar hebat, bagi saya beliau tetap memiliki kekurangan. Saya kagum, tapi saya tidak sependapat dengan pandangannya soal wine yang beliau minum sewaktu menetap 4 bulan di Amerika, atau tentang waktu berpuasa yang mengikuti waktu di Indonesia sementara beliau di Negeri Paman Sam. Maka begitulah kiranya pemaparan buku ini, menceritakan Haji Agus Salim, baik dalam sisi positifnya, maupun sisi kontroversialnya.

Selamat membaca.

Profile Image for Ikhsan Saputra.
17 reviews6 followers
July 25, 2017
Sama seperti seri buku Tempo sebelumya, kali ini tokoh yang dibahas adalah Agus Salim.
Jasa-jasa nya bagi Indonesia sangat besar. Pergerakan politiknya pun sangat berperngaruh bagi perjuangan Bangsa.
Namun entah mengapa, buku ini kurang menarik jika dibandingkan dengan seri Mohammad Hatta. Dari banyak nya peristiwa dan perjalanan untuk diungkapkan, tim penulis terlalu banyak mengulang-ulang banyak hal. Bukannya terkesan fokus, tulisannya malah justru terasa kurang Bahan. Padahal, sinopsisnya sangat sangat menarik dan membuat saya penasaran akan kisah Beliau. Saya berekspektasi bahwa Tim Tempo akan banyak bereksplorasi dari hal-hal yang disampaikan di sinopsis. Namun rupanya ekspektasi saya tidak terpenuhi. heheh
Saya sebetulnya lebih ingin melihat kisah antara Agus Salim dengan tokoh-tokoh perjuangan yang lain untuk dieksplorasi. Seperti pergesekannya dengan tokoh-tokoh PKI, hubungannya dengan Hatta, dll. Tapi sepertinya Tim penyusun lebih memilih cerita-cerita Beliau tentang kemampuan berbahasanya dan hubungannya dengan Belanda. Bagi saya, itupun sangat menarik, tetapi selalu diulang-ulang tanpa diberitahu bahwasannya dari manakah Beliau menguasai begitu banyak bahasa dan bagaimanakah proses Beliau untuk menguasainya.

Tetapi, kemampuan berdebat Agus Salim ditunjukkan dengan baik di sini. Ide-ide serta gagasannya tentang melakukan sesuatu di luar "kebiasaan" adalah hal yang sangat menginspirasi saya. Saya bahkan tidak terbayang untuk mengatakan kalimat-kalimat mengejutkan yang Beliau sampaikan dalam berbagai kondisi saat itu. Yang pasti, julukan "The Grand Old Man" yang ditujukan Soekarno untuknya memanglah sangat tepat.

Untuk kalian yang tertarik untuk membacanya, saya ucapkan selamat membaca ya. Salam !
Profile Image for Hakni..
142 reviews3 followers
August 29, 2024
Partner kesayangan HOS Tjokroaminoto, senior kebanggan Mohammad Natsir, satu guru dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan & Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, gagal menjadi agnostik atau lebih ekstrim lagi atheis karena tidak jadi melanjutkan study ke Belanda, yang paling mencintai Zainatun Nahar sejak pandangan pertama hingga maut memisahkan.
Profile Image for Reiza.
187 reviews6 followers
January 5, 2018
Agus Salim. Pria yang sekilas terlihat seperti Kolonel Sanders maskot Kentucky Fried Chicken. Seorang diplomat, alim, cendekiawan, penulis, sekaligus juga seorang poliglot dan sosok seorang suami dan ayah yang jenaka dan sederhana tetapi tak pernah kehabisan akal untuk membahagiakan keluarganya.

Buku ini membawa saya melintasi alam pikiran dan kehidupan dari seorang Agus Salim. Terlahir dengan nama yang megah, Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran) yang bersuku Minang dari Koto Gadang ini kerap kali dipanggil "Den Bagus" oleh pembantunya yang berasal dari Jawa. Den Bagus kemudian disingkat jadi gus. Guru-guru dan temannya di HBS kesulitan menuliskan dan mengeja namanya, sehingga kemudian mereka memanggilnya dengan sebutan August Salim, sesuai dengan pelafalan Belanda. Panggilan dari pembantunya dan teman-temannya ini kemudian terus dipakai dan disesuaikan dengan lidah dan penulisan Melayu, yaitu Agus Salim.

Selepas dari HBS, Salim muda ingin melanjutkan pendidikan hingga ke Belanda untuk menempuh pendidikan dokter. Beasiswa nampaknya tidak akan sulit untuk didapatkannya. Ia rutin menempati posisi teratas ketika ujian (hasil ujian akhirnya bahkan menempatkan ia sebagai lulusan terbaik di tiga HBS sekaligus: Batavia, Semarang dan Surabaya), ia cerdas dan rajin, senang berdiskusi dan berpikir kritis, kemampuan bahasa Belandanya fasih dan tanpa aksen, ditambah dengan kecakapan berbahasa lainnya yang dengan cepat ia pelajari, belum lagi faktor ayahnya, Sutan Muhammad Salim yang adalah seorang pejabat hoofd djaksa terpandang di Riau.

Dengan percaya diri, ia mengajukan beasiswa. Sembari menunggu jawaban, ia sempat mengenyam pendidikan di STOVIA, sekolah dokter di Jawa. Waktu demi waktu berlalu, tapi kabar tentang beasiswa yang diajukannya tak pernah datang. Berita tentang anak bumiputra jenius yang tidak juga mendapatkan beasiswa ini menarik perhatian seorang putri bangsawan Jawa. Ia melobi pemerintah Belanda melalui suratnya yang ia kirim kepada Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon. Isi suratnya: Alihkan beasiswa pendidikan yang seharusnya dia terima kepada Agus Salim. Surat yang ditulis oleh putri jawa yang tidak lain adalah Raden Ajeng Kartini itu sampai ketangan Abendanon, tetapi beasiswa tetap tidak mampir kepada Salim muda. Kecewa dengan beasiswa yang tak kunjung datang, Salim pulang ke kampung halamannya untuk kemudian bekerja di beberapa tempat.

Pemerintah Belanda ternyata mendengarkan permintaan beasiswa tersebut. Walaupun tidak memberikan beasiswa, atas saran dari Snouck Hurgronje yang juga menjadi guru Salim, pemerintah menawarkan jabatan amtenar di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi kepada Salim. Ia mengambil tawaran tersebut. Disinilah titik balik kehidupan Salim terjadi. Ia yang semula hampir agnostik karena pendidikan Barat yang sudah dijalaninya bertahun-tahun, perlahan-lahan mulai mengenal kembali agama Islam melalui pamannya, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang adalah guru terhormat di Universitas Harramain Massjidal sekaligus imam mazhab Syafei di Masjidil Haram. Ia mempelajari agama, beberapa kali berhaji, dan di Arab jugalah sifat anti kolonialisme Salim mulai terbentuk. Ia kerap kali bersitegang dengan atasannya karena lebih mengutamakan kepentingan jemaah haji dibandingkan dengan kepentingan pemerintah kolonial.

Singkat kata, setelah 5 tahun (1906-1911) mengemban tugas di Jeddah, ia pulang ke Hindia, menikah, dan dengan mantap memilih jalan pergerakan. Ia keluar dari dinas pemerintahan (sesuatu yang menurut orang Minang saat itu adalah kabar buruk yang setara dengan berita kematian), ikut mendirikan sekolah HIS pertama di Koto Gadang, masuk kedalam Sarekat Islam (SI) dan menjadi pengurus penting disana bersama dengan H.O.S. Tjokroaminoto, hingga menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang sering memberontak (Ia pernah membacakan pidato dalam bahasa Melayu, sementara bahasa yang hanya boleh digunakan secara resmi di Volksraad hanyalah bahasa Belanda). Ia menulis di berbagai surat kabar dan menjadi kepala redaksi yang tegas dan idealis. Posisi ini diembannya dengan tingkat idealis yang sangat tinggi, yang menyebabkannya sering berbeda paham dengan pemilik surat kabar.

Pengalamannya yang begitu kaya ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraannya. Ia beberapa kali berpindah rumah, dan tidak pernah memiliki rumah bahkan sampai akhir hayatnya. Bersama dengan istri dan anak-anaknya, ia terus mengontrak rumah dan kerap kali berpindah-pindah apabila kondisi keuangannya sedang tidak stabil. Rumah tinggalnya seringkali memprihatinkan, tetapi itu tidak menghalangi Salim dan keluarga untuk maju. Anak-anaknya, walaupun hanya satu yang ia sekolahkan secara formal, semua cerdas dan fasih berbahasa Belanda dan menjadi poliglot seperti ayahnya. Sikap anti kolonialisme Salimlah yang membuat ia menolak untuk menyekolahkan anaknya di sekolah pemerintah dan memilih untuk mendidik mereka sendiri di rumah bersama dengan istrinya.

Peran dan pemikiran terhadap pergerakan nasional begitu berharga. Ia melahirkan generasi cendekiawan-cendekiawan Islam nasionalis seperti Mohamad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo dan banyak lainnya. Ia menjadi punggawa Republik dalam pertemuan Renville, dan sebagai diplomat, gerakannya lincah. Dari ruang sidang PBB di New York hingga ke negara-negara Arab, semua dilakukan demi mendapatkan pengakuan atas berdirinya negara Republik Indonesia yang sah dan legal.

Kiprah Agus Salim sangat menginspirasi di tengah minimnya sosok negarawan di Republik ini. Beliau adalah sosok yang idealis, cendekia, alim yang mengerti akan nilai-nilai agama tetapi tidak menafsirkannya secara kaku, sekaligus sosok yang demokratis dan terbuka tetapi juga tegas. Seorang manusia jenius yang kehadirannya sungguh sangat berjasa untuk Republik.

"Keyakinan saya tentang peri kehidupan dan pendapat saya tentang pemerintah Hindia Belanda serta kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar."
Profile Image for daffaakbar om.
32 reviews1 follower
December 6, 2024
Reviu ini mungkin akan terdengar cukup personal. Dari kesembilan buku dalam Seri Buku Tempo edisi Bapak Bangsa, buku ini menjadi buku kelima yang saya selesaikan, setelah buku-buku mengenai Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Saya ingat membeli buku ini di hari-hari pertama saya sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, namun entah kenapa baru benar-benar menyelesaikan buku ini sekarang. Setelah berefleksi singkat, saya merasa bahwa mungkin di waktu-waktu krusial masa muda saya ini, saya perlu mengenal kembali sosok beliau yang sangat kukuh dengan pendirian dan agamanya, namun tetap progresif serta gemar membuka diskusi khususnya terhadap rekan-rekan yang lebih muda.

Sebagaimana digambarkan dalam buku ini, perjalanan spiritual seorang Agus Salim sedari muda pun tak mulus, terutama karena beliau hidup pada zaman di mana Islam dan tokoh-tokohnya disorot cukup negatif oleh penguasa kolonial. Ia pun gagal menempuh pendidikan tinggi sebagaimana dienyam sejumlah tokoh nasional pada masanya. Namun belakangan, perjalanan iman dan ilmu seorang Agus Salim berhasil mengawinkan pendidikan Barat yang diterimanya di masa muda dengan pengetahuan agamanya yang luar biasa kaya dan mengantarkannya kembali ke ketaqwaan yang progresif dan supel, apa lagi ditambah kemampuan berbahasanya yang kelak juga mengantarkannya menjadi seorang diplomat dan cendekiawan yang dipandang. Dari sini, kiranya kita dapat meneladani sosok Agus Salim sebagai seorang lifelong learner.

Menarik untuk sekaligus menyorot bahwa sosok Agus Salim menjadi tokoh Minangkabau keempat yang saya baca kisahnya melalui serial buku ini, ditambah Muhammad Yamin yang masih dalam antrean baca; artinya, lima dari sembilan bapak bangsa yang diangkat di serial ini berasal dari Alam Minangkabau. Buku ini pun secara eksplisit mengingatkan kembali betapa banyaknya tokoh bangsa yang lahir dari Ranah Minang, termasuk Agus Salim. Konteks kebudayaan Minangkabau khususnya budaya merantau pun disorot jua sebagai sebuah faktor yang memengaruhi pergerakan dan perjuangan Agus Salim semasa hidupnya, sebagaimana bapak-bapak bangsa lainnya. Bahkan, beliau sempat pulang untuk membangun sekolah di kampungnya.

Layaknya hasil liputan penelusuran sejarah TEMPO yang dituangkan dalam edisi-edisi khusus, dan belakangan, seri buku Bapak Bangsa ini, jahitan berbagai tulisan tentang riwayat hidup dan sepak terjang Agus Salim ini wajib dibaca. Patut diingat kiprah bapak-bapak bangsa ini seabad lalu, ketika Kebangkitan Nasional yang dimotori mereka sebagai pribumi-pribumi terpelajar, mulai mendapatkan momentum dan akhirnya mendorong terwujudnya Indonesia merdeka. Semoga tradisi intelektual yang dipelopori bapak-bapak bangsa ini tak pernah hilang, khususnya di tengah sikap-sikap anti-intelektual yang merajalela dewasa ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Ridho Arisyadi.
27 reviews2 followers
November 2, 2020
kalau tidak salah, buku tentang sejarah dan perjuangan tentang Haji Agus Salim cukup banyak meski pastinya tidak sebanyak Bung Hatta dan Bung Karno. Buku dari Tempo pada seri Buku Bapak Bangsa ini salah satu yang paling menarik dan komprehensif menurut saya.

Salah satu yang sangat saya sukai dari seri buku Bapak Bangsa dari Tempo ini adalah covernya yang minimalis tapi moderen. Penulisannya dilengkapi dengan sumber yang terpercaya dengan riset yang mendalam khas Tempo.

Cerita tentang profil pribadi dan jalan perjuangan Haji Agus Salim dijelaskan dengan detail dibuku ini. Kata Mas Arif Zulkifli, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo di bagian pengantar buku ini, porsi humanis tokoh yaitu Haji Agus Salim ditambah jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh dari seri ini seperti Tan Malaka dan Douwes Dekker.

Banyak cerita tentang Haji Agus Salim yang baru saya baca dari buku ini selain cerita terkenal The Grand Old Man, seperti cerita Kretek Haji Agus Salim di Inggris atau cerita forum yang dipenuhi kambing, ada juga cerita tentang Haji Agus Salim jadi pengajar di Amerika Serikat. Banyak sekali informasi baru yang sangat menambah khasanah ilmu sejarah kita. Beberapa infromasi dari buku ini juga saya jadikan bahan untuk nulis Cerita Fiksi.

Photo-photo yang jarang kita lihat tentang Haji Agus Salim juga banyak disini.

Seri Tempo Bapak Bangsa ini memang sangat cocok untuk dibaca dan dikoleksi.
Profile Image for Alvin Qobulsyah.
75 reviews1 follower
July 15, 2020
"Leiden is Lijden", To Lead is To Suffer. Quoting Kasman Singodimedjo reflection on Agus Salim's life.
.
Mr. Salim, "De Oude Heer" or The Great Old Man was always there when the homeland need him.
.
The man with multifacets: diplomat, journalist, political activist, polyglot translator uet writer cum broadcaster made him an unsubstituble persona for the baby born republic.
.
Many unique stories on Mr. Salim that presented within this histoire-journalistic works developed by Tempo. Including how he almost being an agnostic when he moved to Jakarta, then saved by the bell when he offered a diplomatic position at Netherland Indies Consulate in Jeddah.
.
But the extras is one of the most fascinating, Mr. Anies Baswedan wrote a reflection essay upon Mr. Salim life. It was written when he's still in Paramadina. But when Iread it now on his current position, then I do realized that words is not merely enough. I rather changed the "d" into the "k".
Profile Image for Hamdanil.
143 reviews12 followers
August 28, 2017
Tokoh yang menarik tapi bukunya kurang menggigit. Hal-hal yang menarik dari tokoh ini: diplomat sukses yang bisa banyak bahasa, pernah jadi dosen tamu di Cornell, sempat jadi agnostik sebelum kembali Islam lagi, suka humor dan pintar silat lidah, punya anak banyak trus dihomeschool.. Tapi bukunya agak banyak membahas yang klise-klise ataupun yang membosankan. Coba ditambahkan dikit misalnya mengulas pemikiran dan karya tulisan beliau, atau bagaimana jalannya diplomasi untuk memperoleh pengakuan terhadap RI dan penyerahan kedaulatan dari Belanda.. Hal-hal ini hanya dibahas permukaannya saja oleh ini buku.
Profile Image for bila.
57 reviews2 followers
September 11, 2019
Banyak belajar dari beliau terutama cara mendidik anak rasanya perlu banget mendidik anak secara langsung dengan mata dan tangan kita sendiri agar anak itu pun juga punya ikatan emosional yang erat dengan orang tuanya. Di pendidikan pula peran ibu dan ayah sangat menentukan bagaimana anaknya ke depan. Hidupnya yang sederhana tapi hati dan akalnya tidak sederhana tapi sangat kaya, begitulah seharusnya manusia hidup.
Profile Image for Iqbal.
7 reviews
February 5, 2020
Sejarah itu terhubung.

Dari buku ini saya bisa lihat juga kisah yang dituliskan oleh Prof. Dr. Hamka dalam bukunya 4 bulan di Amerika. Perjalanan selama 4 bulan disana sangat mengesankan. Disini diambil ceritanya dengan sudut pandang berbeda tentunya.

Buku ini berhasil membuat saya merasa takjub akan sosok beliau (H. Agus Salim). Tentunya kesederhanaan beliau sebagai pemimpin yang jarang ditemui saat ini.

Akan sangat menarik apabila tulisan-tulisan H. Agus Salim diproduksi ulang.
Profile Image for Ray Indra Taufik Wijaya.
24 reviews
July 12, 2017
Saya suka buku ini, seakan membawa saya ke masa-masa pelajaran sejarah dulu di sekolah. Namun, bedanya tokoh utama di sini adalah Haji Agus Salim, salah satu idola sekaligus tauladan dalam hidup saya. Pemikirannya yang moderat, kadang jenaka, nyeleneh dan berani 'melawan' penguasa saat itu (Belanda/Jepang) dengan cara yang diplomatis, tanpa kekerasan layaknya para ekstrimis.
Profile Image for Dewi Sari.
5 reviews
September 14, 2017
Kelebihan buku ini adalah penyajiannya yang seolah "berepisode" sehingga pembaca tidak bosan dalam membaca buku, tapi yang menjadi kekurangan menurut saya adalah urutan penyajian episode yang terkesan loncat-loncat atau tidak urut waktu membuat pembaca jadi agak kebingungan
27 reviews
June 27, 2019
Diplomat, Romantic, Journalist, 5x Hajj, Multilingual
Profile Image for fpav.
64 reviews1 follower
September 25, 2022
Dari sini saya banyaj belajar tentang prinsip kehidupan daei sudut pandang Agus Salim.
Profile Image for Buchori.
28 reviews
December 21, 2022
Bukunya bagus apalagi bentuknya yg kecil/pocket sehingga mudah untuk dibawa.
Profile Image for Edy.
273 reviews37 followers
December 15, 2013
Buku ini merupakan penelusuran Tim Tempo, terhadap perjalanan hidup tokoh Haji Agus Salim yang mempunyai nama asli Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran) tahun 1884-1954. Sejak kelas 4 SD, saya sendiri sudah mengidolakan Haji Agus Salim sebagai tokoh nasional, setelah saya membaca kisah perjuangan beliau yang dimuat dalam sebuah majalah Intisari usang yang dimiliki keluarga saya.

Haji Agus Salim yang dilahirkan di keluarga ambtenaar di Koto Gadang (Sumatra Barat), sejak usia sekolah dikenal sebagai anak yang cerdas dalam ilmu pasti, ilmu social dan bahasa. Beliau semula bercita-cita jadi dokter, namun nasib membawanya ke dunia pergerakan nasional setelah beliau gagal memperoleh bea siswa dari Pemerintah Hindia Belanda. Saat itu RA Kartini yang memperoleh bea siswa, sudah menyampaikan ke Pemerintah Hindia Belanda bahwa belia merelakan bea siswanya diberikan kepada Haji Agus Salim, namun tidak ada tanggapan Pemerintah saat itu.

Salah satu kelebihan beliau adalah kecerdasannya dalam bersilat lidah. Beliau semula mantan anak didik Snock Hourgronje (orang Belanda orientalis) yang membuat beliau hampir jadi agnostic. Tapi kesempatan tugas Ke Jedah, membuat beliau menekuni islam kepada berbagai ulama besar disana dan beliau kembali ke jalan agama. Beliau orang yang rasional dan logis, sehingga beliaupun mempelajari agama dengan cara-cara yang rasional (tidak taqlid buta). Dalam pembelajaran di Jedah tersebut beliau juga berkenalan dengan dua tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Hasyim Asy’ari (NU) dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Haji Agus Salim merupakan POLIGLOT atau orang yang mempunyai kemampuan menguasai beberapa bahasa. Beliau mampu menguasai 9 bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Jepang, Turki dll. Dengan kecerdasan dan kemampuan berbahasanya, beliau merupakan tokoih yang multi talenta. Beliau dikenal sebagai tokoh Pergerakan Sarekat Islam (bersama HOS Tjokroaminoto), penasehat Jong Islamiten Bond, tokoh pendidikan yang mendirikan HIS swasta di Sumatera Barat, wartawan surat kabar, penyiar radio, ulama Islam dan tentu saja sebagai DIPLOMAT yang terlibat dalam berbagai perundingan seperti Linggarjati, Renville dll. Sebagai orang yang sangat sayang terhadap keluarga, Haji Agus Salim dan istri yang sangat dicintainya telah menerapkan home schooling untuk putra-putrinya yang berjumlah 7 orang, karena beliau tidak ingin putra-putrinya dicemari pendidikan Belanda yang bersifat kolonialis,

Salah satu pesan moral dari buku ini adalah petuah beliau bahwa “Leiden is Lijden” atau “Memimpin adalah menderita”. Beliau yang cerdas dan berpengaruh, sebenarnya akan sangat mudah untuk memperkaya diri bila beliau mau bekerja untuk Belanda ataupun mau memanfaatkan jabatan di jaman pergerakan. Namun beliau malah memilih jalan sebagai tokoh Pergerakan Nasional demi kemerdekaan bangsa. Seorang tokoh politik Belanda yang jadi juru runding di Perjanjian Linggar Jati menyebutkan bahwa “Haji Agus Salim merupakan tokoh yang cerdas, berintegritas, dan teguh pendirian. Salah satu kelemahannya adalah seumur hidup dia miskin dan melarat”.

Semoga kesederhanaan hidup, integritas perjuangan dan dedikasi Haji Agus Salim memperoleh limpahan pahala di haribaan-Nya…aamiin…….
Profile Image for Nidos.
299 reviews77 followers
May 29, 2016
I knew I'd admire this old man since the first time I read his quote about navel from the blurb. I rarely read nonfictions just because but the blurb here was enough to convince me that this book is gonna be a good one and Agus Salim must be awesome.

And he really is. It's quite saddening that a century ago a figure like him emerged in such a difficult era; and now with all the freedom we have, what have we done and what will we become? Maybe it's true that comfort zone is deafening, paralyzing, making us forget to fight for what believe in because everything seems to be in our hands already.

Chatacter-wisely, Agus Salim is worth to fangirl about. He had been everything I'd want to be. And above all, he had that one particular trait I'd always fall for in fictional (moreover actual) person: witty. To have a convo with him must be magical. And a man who knows who to use his brain properly is just the ultimate definition of sexy.

Things I'd like to complain about is the arrangement of its chapters. Divided thematically rather than chronologically caused repetition of many details in this book. Also I couldn't care less if Salim spoke five, seven or nine languages since the narrator stated different number in different part of the text. Should've been revised tho, since what I read is the third print edition.

After all, I am just glad that Tempo wrote this book. Definitely not the last book of the series I would read, definitely not the last book about Agus Salim I would finish.

Four stars and a place in my favorite shelf. Idolaku❤
Profile Image for Imanta Azaki.
17 reviews4 followers
December 24, 2015
Buku ini menceritakan kehidupan seorang Agus Salim.

"The Grand Oldman" panggilannya, Agus Salim merupakan salah seorang "bapak bangsa". Ia merupakan seorang Muslim yang melihat agama bukan sebagai suatu hal yang memaksakan. Melainkan dari hati.

Dahulu Agus Salim adalah seorang yang skeptis dan menjurus kepada lupa akan Tuhan. Hal ini dikarenakan pendidikan Belanda yang ia peroleh. Akan tetapi, penugasan yang ia terima dari Pemerintah Belanda sebagai seorang pegawai di Konsulat Kerajaan Belanda di Arab Saudi mengakibatkan ia kembali mempelajari Islam. Bermacam pemikiran ia temui, akan tetapi ia tetaplah sosok yang tenang, lurus, dan netral dalam menghadapi perbedaan yang ada.

Pernah ia dituduh sebagai mata-mata Belanda dan anggota suatu komunitas elite, ia akhirnya bersama dengan H.O.S Tjokroaminoto berjuang dalam Sarekat Islam untuk mencegah kekuasaan komunis.

Suatu masa ketika Indonesia telah merdeka, ia pernah diundang untuk mengisi kuliah di Cornell University. Di sana ia mengenalkan Islam yang sebenarnya. Islam yang memang benar berasal dari akal sehat dan hati. Bukan Islam yang gelap mata seperti saat ini.

Sebagai seorang yang menguasai banyak bahasa dan pintar, ia justru hidup sederhana penuh pengabdian bagi bangsa dan agama.

Akan tetapi, sayang sekali buku ini kurang membahas mengenai pemikiran Agus Salim. Tapi hal ini bisa disebabkan karena Agus Salim memang jarang mengungkapkan ide dan pemikirannya. Ia adalah pemimpin dari perbuatan.
Profile Image for Karim Nas.
Author 2 books29 followers
November 19, 2015
"The Grand Old Man", Haji Agus Salim, selain salah satu founding fathers Indonesia, juga adalah salah satu intelektual terhebat yang pernah kita miliki. Penulis, pendidik, politikus, aktivis, diplomat, poliglot; kiprah dan gagasan beliau telah melanglang buana.
Buku ini cukup baik dalam memperkenalkan Haji Agus Salim kepada masyarakat. Saya pribadi selama ini merasa kekurangan informasi mengenai sejarah kehidupan beliau. Semoga buku ini mampu memperluas wawasan masyarakat bahwa kita juga memiliki banyak pemikir-pemikir besar dalam sejarah bangsa.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
April 2, 2014
buku ini pantas untuk dapat 4 bintang! kita jadi secara singkat tahu perjalanan hidip dr Agus Salim ini..

siapa yg mengira Agus salim adalah seoran diplomat yg ulung, jenaka, pandai berbahasa 5 bahasa..

yang paling saya sukai disaat beliau sebenarnya klau memilih bisa hifup mapan tapi memilih hidup sederhana bahkan serba kekurangan, disatu sisi beliau berani mendidik anaknya tanpa melalui jalur sekolah formal sehingga anak2nya semuanya bisa berhasil! inspiring!
Profile Image for Gusti Malik.
32 reviews5 followers
May 11, 2016
TEMPO membawa cerita kehidupan agus salim dengan menawan. Bahasa yang interaktif, mudah dipahami, dan cacthy (IMO) sangat membantu saya sebagai pembaca pemula mudah mengerti akan tokoh salim yang jarang diperbincangkan oleh masyarakat.
Buku ini baik untuk pengantar bagi kalian yang ingin mengenal lebih dalam tentang 'Si Kecil Berlangkah Besar'.
Profile Image for Marlina Ali.
Author 4 books4 followers
December 8, 2015
A must read book.
Melalui buku ini bisa sedikit lebih mengenal Agus Salim dan bagaimana pemikirannya mengenai Islam dan negara.
Inspiring.
Profile Image for M_agunngh.
297 reviews4 followers
May 29, 2016
The godfathef Indonesia punya. Hebat tanpa menghebatkan diri (ngiklan)....
Displaying 1 - 30 of 35 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.