salah satu puisi yang saya suka dalam buku ini -----
Kepada Suami Mantan Istriku Esha Tegar Putra
aku sering diserang keinginan bertanya apa yang sungguh membuatmu jatuh cinta kepada wanita yang sungguh aku cintai itu. meskipun mungkin kau juga melihat kecantikan yang aku lihat di wajahnya atau merasakan pelukan lengannya yang amat pas di tubuhku, namun aku sungguh penasaran apakah kau tahu betapa keras dan bersalah aku telah mengubah dan membentuknya dari sebatang pohon pemalu dan hijau di tepi hutan menjadi meja di rumahku.
dan setelah berusaha keras mengembalikannya seperti hendak mengembalikan meja menjadi pohon tetapi tetap tak berhasil, sekarang dadaku diganjal perasaan-perasaan ganjil dan terus penasaran untuk bertanya: apa yang membuatmu jatuh cinta kepada wanita yang tak lagi mencintaiku itu?
juga berharap menerima diriku sebagai tukang kayu yang akan merelakan mejanya kau beli, kau pindahkan ke rumahmu—sambil terus berdoa semoga hanya aku yang mengetahui letak cacat yang ada di meja itu.
Membaca puisi karya penyair Makassar ini selalu membawa kesan tersendiri. Bahasanya khas, Aan Mansyur sekali. Rasanya tetap saja sama seperti saat saya pertama kali membaca Hujan Rintih-Rintih-nya di masa SMA dulu.
Mengomentari buku ini tentu tidak lepas dari kesan yang saya tangkap setiap membaca tulisan di blognya. Selalu fresh dan berawal dari sebuah pertanyaan yang mungkin tidak terpikirkan oleh banyak orang. Maka, mengikuti tulisan-tulisan Aan yang selalu indah, membuat saya pada akhirnya beranggapan, bahwa penyair yang satu ini memang memiliki hidup yang sangat puitis.
Pada zaman dahulu kala, hiduplah tokoh-tokoh dalam satu cerita. Mereka hidup berdampingan, berbaikan. Hingga tiba suatu waktu, cerita menemui klimaksnya. Tokoh-tokoh mulai memunculkan konflik, menimbulkan intrik. Mereka menghidupkan kebencian, mematikan kebajikan. Tokoh-tokoh yang melawan kita dalam satu cerita.
Pada bulan ini, setalah saya menghitung-hitung, kita sudah melawan banyak hal. Melawan etika, melawan kasih, melawan takdir, melawan kenang. Tahukah, kitalah yang melawan diri kita sendiri. tahukah, kitalah tokoh-tokoh yang melawan kita dalam satu cerita.
A'an selalu bisa menyentuh hati dengan perasaan dengan kata-kata serdahana tapi tepu rasa. Menulis perasaan kadangkala adalah perihal yang seringkali dielak penulis yang enggan berada dalam tulisannya.
Namun ini tidak dijadikan kekurangan malah menguatkan tulisannya.
"aku selalu tidur mengenakan senyuman karena mengetahui dia selalu jatuh cinta kepada engkau"
Buku puisi ini terbagi dalam lima bagian. Masing-masing memperkarakan hal yang beragam. Pembaca dapat memasuki melalui suara subjek yang berbeda-beda di setiap bagian. Di bagian pertama “puisi-puisi yang lahir dari foto jamie baldridge” kita menemukan suara “aku” yang menyuarakan “kau”. Tentang “kau” kita dapatkan dari suara “aku”. Kesan yang terbaca ialah adanya perseteruan di antara mereka, namun lebih berat ke sisi “aku” yang kadang terasa sedang melakukan tarik-ulur, dari yang “menginginkan” kemudian “mengelak” apa yang telanjur disampaikan sebagai pernyataan pribadi. Ada semacam pengalienasi “kau” di mana kau sering berada dalam sesuatu yang sedih, sepi, sendiri.
Di bagian kedua “sejumlah teka-teki”, pembaca mendapatkan subjek “kami” yang menyuarakan dirinya. Ini berbeda dengan pola interaksi “aku” dan “kau” di bagian pertama, dalam bagian kedua ini “kami” sebagai pusatnya. Sebagaimana apa yang kita yakini sebagai puisi, ia menghamparkan spektrum yang luas. Satu kata bisa bermakna lebih dari satu. Puisi-puisi dalam bagian ini di antaranya “teka-teki para tukang kayu”; “teka-teki para dosen sastra”, “teka-teki para ibu hamil” tak lantas hanya menciptakan gambaran perihal “tukang kayu”, “dosen sastra”, atau “ibu hamil”, ia mengantar pembaca pada pemandangan yang luas. Maka kita temukan dalam puisi “teka-teki para dosen sastra” larik-larik yang memantik imajinasi seperti ini: /kulit kami diciptakan dari sisa-sisa kulit tomat, kadang-kadang/ tepung, yang tersisih dari piring-piring di restoran cepat saji.../ ; /kami memiliki banyak sayap tetapi memeluki/ impian miskin. kami tidak pernah menatap langit, apapun yang/kamu maksud dengan langit dan jendela.//
Dalam “tokoh-tokoh yang melawan kita dalam satu cerita”, pembaca menemui subjek “kita” yang memperkarakan hal-hal di luar dirinya. Sebagaimana judul bagian ini, kita temukan nada perlawanan “kita” terhadap yang diperkarakannya: /kita berkesedihan, berkesedihan, berkesedihan/tidak berkesudahan. terpaksa tersiksa merindukan/dan mereka-reka kapan mereka datang menipu kita/sekali dan sekali lagi.// [manusia tebing, hal. 40].
Bila bagian pertama terasa ada perseteruan antara “aku” kepada “kau”, di bagian keempat “mengalimatkan dan mengalamatkan” suasananya berbanding terbalik. Di sini “aku” merangkai hubungan yang mesra dengan “kau”: kecupku mampu menjangkau jari yang kaucelup ke tubuhnya,/jika kau mau. aku mencintai kuku-kukumu yang tumbuh putih,/meski sesekali patah kaugigit, yang mampu jadi cermin bagiku/dan bagi siapapun.// Puisi-puisi yang disertakan pada bagian ini banyak menyiratkan “kau” sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi aku. Tak lagi terbaca pertentangan hubungan seperti yang kita temukan di bagian pertama.
Setelah membaca berbagai pola interaksi antar subjek dari bagian pertama sampai keempat, dalam bagian terakhir “hukum kekekalan tawa” pembaca menemukan bagaimana “puisi diperkarakan”. Di sini terdapat puisi-puisi yang berbicara tentang dirinya, menggugat dirinya, juga membicarakan serangkaian upaya menangkap apa yang mungkin bisa disebut sebagai “gagasan” dalam penciptaan puisi. Ini adalah bagian yang saya kira sangat tepat diletakkan sebagai penutup setelah pembaca mengalami bermacam-macam bentuk interaksi persona, ia kemudian ikut memperkarakan hal yang bersifat sangat subjektif dan abstrak, yakni puisi itu sendiri. Perjalanan dari luar menuju ke dalam.
Sebenarnya banyak pintu yang bisa kita masuki untuk menilik puisi-puisi dalam buku ini. Saya baru memasukinya lewat satu pintu, yaitu “suara subjek”. Barangkali di lain waktu saya akan menilik lebih mendalam lagi melalui pembacaan yang saya harap bisa lebih teliti.
Dibandingkan buku-buku puisi Aan yang lain, buku ini salah satu yang menurut saya paling beragam dalam tema dan penulisannya. Adanya bab-bab yang memisahkan sekumpulan puisi dengan puisi yang lain menjadikan puisi di buku ini dapat digolongkan lebih jelas dan memberi tahu pembaca keragaman yang ada.
Selalu senang dengan metafora yang dibuat oleh Aan dalam puisi-puisinya. Entah itu sesederhana metafora dalam puisi "Selembar gambar yang dirobek jadi dua" dalam buku ini, atau metafora lain yang sangat rumit seperti puisi di buku Melihat Api Bekerja. Semuanya tetap terasa indah walau sering kita tidak mendapatkan utuh maknanya.
aku baca cover edisi baru warna biru hijau. paling suka dgn bagian yg sesuai judul buku. diakhir bagian itu, aan menulis puisi "kesimpulan" yg mereka ini dikumpulkan seperti d Padang Mahsyar. keren keren
Buku setebal 125 halaman ini harusnya bisa selesai kubaca dalam sekali duduk namun malah baru selesai di hitungan '4 kali duduk', wkwkwk. Buku ini dicetak ulang dari versi asli tahun 2012. Tak ada yang diubah, hanya beberapa puisi ditambahkan dalam buku ini.
Ini kali pertama aku membaca tulisan Aan yang terbit sebelum buku Melihat Api Bekerja. Mungkin karna udah terbiasa menikmati puisinya di karya-karya tahun 2015 hingga sekarang--membuat 'sederhana' tulisan di dalam buku saat dibaca.
Ada 6 bagian, ada beberapa puisi yang melekat hingga aku memutuskan untuk menulisnya di sini.
8 dia suja duduk di muka cermin membunuh wajah sendiri dengan napas yang basah kemudian menghapusnya dengan tangan menggantinya dengan wajah yang lwbih cantik.
aku sering berdiri di belakangnya sehingga dia menemukan wajahku si hadapannya sedih dan berair.
dia akan berbalik, tersenyum dan berkata: "menangis adalah upaya untuk tertawa lebih lepas. sudah, menangislah!"
11 di senja saat mendengar kabar ebgkau mati sepasang matanya tak berkobar bagai neraka. sebab mata, katanya, surga bagi kesedihan
sementara kesedihan adalah kebahagiaan yang lembut dan lembab
Selesai baca buku ke-7 Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita – M Aan Mansyur JBS, Yogyakarta (2021) 130 halaman Lama baca: 23 Desember 2021 – 14 April 2022
Kumpulan puisi ini cukup lama sekali menemani waktu ekskapisme ku. Beriringan dengan berbagai yang juga ku baca dalam waktu yang sama. Buku ini menjadi buku puisi pertama yang khatam di tahun 2022.
My Opinion Terdiri dari sekitar 73 karya Aan Mansyur yang kemudian dibagi dalam 6 segmen. Puisinya indah dan sederhana tapi penuh makna yang berharga. Ada beberapa kerumitan, tetapi tidak banyak, selalu dapat dinikmati.
Tipografi yang khas, tidak seperti puisi lama yang tipografinya dari rima yang ajeg. Materi puisinya sering kali menolak kemapanan yang menjadikannya sebagai sisi kritis. Semua itu berpadu menjadi keindahan.
Aku menangkap beberapa puisi yang kudapatkan feel-nya. Membuat jaring ketertarikan pada sebuah materi atau susunan katanya setelah membacanya. Sayang tidak banyak dari lebih dari 70 judul puisi, yang aku dapatkan feelnya. Aku masih harus banyak belajar.
Dalam ulasan di wordpress, kusebutkan dua judul puisi yang kutandai menggunakan sticky note di buku. Itu hanya dua dari sekian judul yang tertanda. Kalau ingin melihat kegelisahanku, mampir saja di akun twitterku.
Ulasan lebih lengkapnya bisa dilihat di s.id/elsuyuthi
Aan pastinya salah satu pujangga kesukaan saya. Hampir semua bukunya telah saya koleksi namun susah saya selesaikan. Buku setebal 100-an halaman ini pun akhirnya habis lebih dari sebulan. Saya menganggap buku ini seperti semangkuk gula yang enak dihabiskan sesendok demi sesendok. Tidak buru-buru karena bisa membuat sakit juga tidak terlalu lambat suoaya tidak kehilangan rasa. Akhirnya buku ini selesai dengan cara paling memuaskan. Ah.. sungguh buku puisi yang indah
"Hujan masih terjaga dan aku hanya punya kertas juga pensil. Maka aku tulis puisi ini yang amat gelap seandainya tiada kau di dalamnya. Aku membayangkan matamu berkilau-kilau oleh air mata yang menolak terpendam sebagai rahasia" 😍