Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi. Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan. Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang. Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang…. ***
Alam tidak hanya menyuguhkan keindahan, tapi juga menyimpan banyak misteri. Dan ini adalah kisah kami, para pencinta alam yang ingin mengalahkan rasa takut. Dalam perjalanan mendaki gunung, menelusuri gua, menapaki hutan, kami bersentuhan dengan “mereka”—penghuni alam lain yang membuat nyali ciut. Namun, bagi para petualang, ketakutan harus dihadapi. Sebab, ke mana pun kami pergi, mereka akan selalu mengikuti….
Pendaki gunung tapi takut segala jenis reptil mulai dari ular, kadal, kadal yang kayak ular, ular yang mirip kadal, dan kura-kura. Bukan takut sih, geli aja. Acen adalah anak kosan yang baik, juga rajin cari diskonan dan juga gratisan. Baru menang kuis sekali seumur hidup. Mau ngobrol sama Acen? Gak usah pake modus, bisa mampir ke blognya di: www.jalanpendaki.com atau samperin aja ke twitter di: @acentris
Kalau ada buku yang dengan bebas mengeksploitasi warna, ya buku ini deh juaranya. Mengambil genre horor, Penunggu Puncak Ancala (selanjutnya #Ancala) sudah memebrikan statement terang mulai dari pemilihan cover. Bermain siluet dan warna gradasi biru, #Ancala sudah membuat tampilan brilian di toko buku.
Di dalamnya pun begitu. Saya tidak banyak menemukan buku dengan isi kertas hitam dan cetakan tulisan putih. Awalnya agak pusing membaca tulisan semacam itu. Terlebih di ruangan gelap. Tapi cukup unik dan cocok dnegan genre-nya.
Merupakan kumpulan cerpen tematik yang dirangkum dalam satu tema, #Ancala secara garis besar tidak banyak berbeda dengan buku kumpulan cerpen lainnya. Kelima penulis —Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisusanto, dan Dea Sihotang seperti menulis buku harian dan membaginya kepada pembaca. Selain tenggelam dalam pilihan kata yang berbeda untuk tiap cerita (karena dituturkan oleh penulis berbeda), saya juga belajar Sejarah, Budaya, dan Geografi dari #Ancala. Menarik, menghibur, dan memberi pengetahuan.
Yang mungkin sedikit hambar dari #Ancala adalah di cerita-cerita awal saya tidak menemukan suasana menyeramkan. Bahkan ilustrasi gambar yang disediakan pun tidak membantu. Yang justru membuat duduk saya teegap dan mengerjap-ngerjap saa tmembaca bagian awal #Ancala adalah kutipankutipan briliannya. Cerdas!
Tapi, dari tengah buku sampai akhir. #Ancala adalah bacaan yang seru. saya dapat membayangkan suasana pegunungan, hutan, danau, jalan dan lain lain yang diceriterakan di #Ancala dengan terang. Sosok hantu dan kesan mistis juga jauh lebih terasa. #Ancala mengisahkan cerita seram dengan ringan dan tidak membuat otak tegang. Saya membacanya malam hari dan masih merasa nyaman dengan pemilihan kata demi katanya. Tidak bnayak mengelaborasi sosok hantu yang menyerambakn, atau cerita berlumuran darah, atau penggambaran lebay lain, #Ancala mengambil sisi cerita yang lain. Mereka memilih untuk duduk di antar buku fiksi dan pengetahuan. Horor bukan menjadi sajian utamanya.
Frankly speaking, saya hanya menikmati tiga atau empat cerita terakhir dari #Ancala :)
(siapkan ponsel kamu saat membaca #Ancala. karena kamu tidak akan tahan untuk tidak ngetwit kutipan-kutipan kece dan aneka-pengetahuan di dalamnya)
Selamat, buku ini telah berhasil membuat saya menjadi seorang penakut!
Bisa dibilang sebuah keganjilan ketika saya begitu ingin membaca buku ini. Saya yang terbiasa tersesat di dunia fiksi fantasi entah kenapa seperti “ditarik-tarik” untuk membeli buku ini. Padahal, bisa dibilang saya jarang sekali membaca buku genre horor, apalagi horor dalam negeri. Lebih anehnya lagi, saya kok tenang-tenang saja membeli buku ini di Gramedia dengan harga utuh, ya harga utuh tanpa diskon! Baru kali ini saya beli buku tunai tanpa diskon! Ini diluar kewajaran saya, aneh sekali, tapi, buku yang saya beli dan akhirnya kelar dibaca dalam sehari (saya membacanya siang hari, di kantor, biar rame banyak temennya) ini memang aseli serem. Bukan, bukan horor ala monster trus terjadi pembunuhan begitu, indak. Hantu dalam buku ini hanya sekedar “menampakkan diri” di sudut mata para pencerita. Hyaaaaaa …
Perhatikan deh dari kutipan di halaman belakang! Kutipan inilah yang sukses membuat saya penasaran hingga rela beli buku ini tanpa diskon.
Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi. Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan. Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang. Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….
Satu hal yang menyeramkan dari buku ini adalah kisahnya yang terasa begitu real karena memang kira-kira seperti itulah yang sering kita dengar dan bahkan alami. Jika Anda seorang pendaki gunung (atau punya teman seorang pendaki gunung), pasti sudah biasa mendengar atau bahkan mengalami kisah-kisah dalam buku ini. Misalnya kisah tentang seorang pendaki misterius yang menemani para pendaki di gunung, tapi setelah di puncak yang ditemui adalah nisan bertuliskan nama pendaki misterius yang barusan ia ajak bicara. Misalnya juga tentang tempat-tempat wingit dimana para pendaki diwajibkan untuk berbicara sopan dan menjaga etika saat berada di alam liar. Semua itu benar-benar ada. Saya ingat pernah mendapat cerita dari temen pendaki bahwa di lereng menuju puncak Merapi ada titik yang disebut Pasar Bubrah. Tempat itu sepi, kering, dan berbatu-batu, tapi kalau malam hari para pendaki konon bisa mendengar keramaian pasar di tempat itu, dan penjual dan pembelinya tidak kelihatan …
Cerita paling seram menurut saya adalah yang pendakian ke gunung Tampomas (yang dikutip dalam backcover buku ini). tapi setelah saya baca-baca lagi, kejadian di gunung Gede Pangrango adalah yang paling bikin syok. Kisah di Danau Singkarak adalah yang paling bikin depresi mental dan lama bacanya, sementara cerita penutup bukannya meninggalkan pembaca dengan kelegaan, tapi malah membuat misteri baru sehingga rasa merinding itu masih muncul ketika kita selesai membaca buku ini.
Mungkin karena penulisnya adalah para pendaki, mereka jadi bisa menceritakan secara apa adanya apa-apa yang ada di sana. Penulisannya naratif sekaligus deskriptif, seolah-olah pembaca diajak mendaki. Dan, tidak tampak kepura-puraan dalam melebih-lebihkan cerita karena para penulis ini saya yakin semuanya sering atau pernah mendaki dan mendengar/mengalami sendiri cerita-cerita seperti yang ada di kumcer ini. Tidak salah saya membaca buku ini (dan membelinya tanpa diskon) karena saya jadi tahu banyak pantangan saat di alam liar: (1) Harus selalu berdoa dan mengucap salam sebelum masuk ke tempat yang asing, (2) Dilarang menyorotkan cahaya senter ke sembarang arah, apalagi ke atas, saat sedang berjalan di hutan pada malam hari, (3) Jangan membicarakan “mereka” saat kita sedang berada di tempat-tempat wingit, dan (4) selalu mendaki dengan jumlah peserta yang genap. Dan, usahakan selalu bersama, jangan sampai terpisah. Intinya, jangan lupakan ibadah dan berdoa kapan pun di manapun karena Tuhan adalah yang nomor satu.
Tuhan menciptakan banyak mahkluk. Beberapa di antara mereka tinggal di antara kita. Hanya saja, mereka tidak kasat mata. Selama kita berpikiran baik dan berbuat baik, keseimbangan itu akan terjadi dan sejatinya kita bisa hidup berdampingan dengan mereka. Jangan lupa ya, ambil air wudlu kalau habis naik gunung atau jalan-jalan di hutan.
Selamat! Buku ini jadi buku pertama yg masuk ke dalam rak "horor" Goodreads saya.
Iya, saya emang nggak demen baca novel horor atau nonton film horor. Apalagi kalau sendirian. Itu anime Another aja udah setahunan ini ada di laptop, tapi saya nggak berani nonton. Hhiiii...
Eh, tapi saya nggak sepenakut itu kok. Apalagi kalau rame-rame... xp Dulu waktu kuliah, saya bahkan lumayan suka nonton film horor Jepang (bareng temen2 xp). Bahkan angkatan saya yg mempelopori berdirinya (halah) Obakeyashiki alias rumah hantu di event-event jurusan kami :">
Lagian ini kan Ramadhan, semua makhluk itu dikerangkeng. Jadi Alhamdulillah saya bacanya nggak pakai takut-takut banget, cuma takut aja. Haqhaqhaq *ketawa imoet*
Sepuluh cerita, dua di antaranya dibuat oleh teman saya (beda jurusan) di kampus dulu. Semuanya bertemakan horor (lah emang), dan bikin saya deg-degan selama bacanya. Alhamdulillah ya Allah, waktu saya naik gunung nggak ngalamin kejadian kayak gitu.... T.T (padahal baru sekali, tp udah belagu xp)
Yang paling bikin saya bergidik ngeri dan akhirnya membutuhkan jeda untuk lanjut baca adalah cerita yang disampaikan oleh Indra Maulana. Gimana rasanya "ditemenin" selama mendaki, dan diikutin sama anak kecil yang lehernya tergorok. Aduh! Nulisnya aja saya udah serem... Hhiiii
Mungkin itu juga sebabnya kenapa buku ini cukup banyak typo-nya. Sang editor mungkin tidak sanggup membaca secara saksama, kata per kata, dan maunya langsung skip-skip aja... kayak saya xp Akibatnya, jadi banyak typo dan kesalahan EYD di buku ini.
Oh iya, kadang saya suka bingung. Ini cerita nyata, atau cuma rekaan saja? Ada penulis yang pakai dirinya sebagai tokoh, sementara ada juga yang pakai "aku" dan ternyata si "aku" tidak selalu si penulis aslinya. Ah, apapun itu yang jelas buku ini sudah bikin saya ketakutan.
Akhirnya, kesampaian juga membeli dan membaca buku kumcer Penunggu Puncak Ancala karya Ageng Wuri dan Sulung Siti Hanum.
Ayo kakak-kakak, buku kumpulan cerpen Penunggu Puncak Ancala, terbitan Bukune, ini sangat recommended. Selain menyuguhkan beberapa pengalaman mistik ketika mendaki, banyak pengetahuan tentang alam dan "penunggunya" yang mungkin belum kita ketahui sehingga membuat kita lebih berhati-hati dan menjaga sikap ketika berada di alam.
Tampilannya sangat ciamik. Mulai dari warna kertas yang hitam dan putih (tiap judul cerpen, warna berganti), buku ini juga disisipi ilustrasi sehingga kita bisa memvisualkan apa yang diceritakan pada cerpen-cerpen tersebut.
Jujur saja, awalnya saya tidak tertarik untuk membelinya karena memang horor bukan genre yang saya sukai, tapi demi para sahabat, saya pun mendukung mereka. Eh ternyata, setelah membeli dan membukanya, saya pun langsung jatuh cinta dengan layoutnya. Lalu, secara otomatis, saya mulai menikmati membaca satu demi satu cerpen yang tersaji. Ternyata, tidak semenakutkan yang saya kira. Justru saya sangat menikmatinya.
Serius deh, buku ini bagus. Bagi kalian yang suka mendaki gunung atau cerita mistis, kalian wajib punya dan baca buku ini.
Buku ini dibaca duluan sama Mama, eh ternyata beliau suka! Makanya aku makin excited sama buku ini :) Setelah aku baca, hmm, dari segi cerita sebenernya nggak beda jauh sama novel-novel horor lainnya. Penunggu Puncak Ancala ini merupakan kumcer (kumpulan cerita) dari para pendaki gunung. Jadi ya isinya pengalaman-pengalaman horor waktu mendaki sebuah gunung atau travelling ke pedesaan.
Setiap cerita belum tentu ada ilustrasinya. Sekalinya ada, lumayan lah nambah bumbu-bumbu merinding :3 Hal yang unik adalah setiap cerita ditulis di warna kertas yang berbeda. Cerita 1 warna putih, cerita 2 warna hitam, cerita 3 warna putih, dan seterusnya. Sebenernya sedikit mengganggu sih kalau baca malam-malam, karena kertas warna hitam kan sama sekali nggak mengandung cahaya -_- Bisa bikin sakit mata.
Overall, aku paling suka Rangkaian Kejadian Mistis di Kaki Gunung Gede Pangrango karya Ageng Wuri. Disini.....duh...meski agak bikin ketawa, tapi seremnya minta ampuuuun... Serasa perjalanan ke rumah Ari itu nggak ada bahagia-bahagianya, sama sekali! Penasaran? Yuk, baca bukunya :) Recommended banget buat kamu yang suka cerita-cerita horor. Ada sedikit typo sih, sedikit aja ;)
Opening: This book is not really recommended for you who just want to start adventure as hiker, unless you are brave enough. Seriously, the horror stories in this anthology are scaryyy, especially the illustrations!! ><
From all stories, the most I like is the 'Pendaki Gelap' one and the story about 'Ary Hartanto from Surabaya'. Imagine how can you hike a mountain with someone that actually isn't from 'our world'. Especially Ary Hartanto, where the author talked to him, discuss things with him, then when reached the peak author finally knows that the one that he hiked the mount with apparently isn't a 'live' person. What the...?!
Overall I really like all stories in this book. If I had to choose the least I like, maybe I would say the story with third-person-view. Because in the book talkshow before all author said that these are their own experience, so telling it in third-person-view is really makes the 'own-experience' feeling fades.
Buku pertama horor yang dibaca ni.. Salut buat para penulis yang rinci dan sungguh bersemangat menceritakan kisah horor yang dialaminya..
Beberapa kisah awal membuat saya cukup tercengang.. perjalanan demi perjalanan yang ada selain mengupas sisi horor juga menyisipkan informasi-informasi yang bermanfaat.
Sayangnya, mulai 1/3 bab akhir, saya merasa tidak seantusias membaca 2/3 bab awal, well PPA tetap kisah-kisah yang jempolan dan layak buat dibaca(IMHO)
Buku ini direkomendasikan buat anda yang ingin membaca kisah perjalanan dengan warna horor. Unik bukan?
Another horror story collection from Bukune! I really enjoy reading it, well, yeah, despite the lousy editing and typos I always seem to find in books from this publisher. On the other hand, the layout of the book is very cool--some stories are the usual black writing over white pages, while the others are white writing over black pages. The illustrations are also nice.
I don't know why the title of the book is Penunggu Puncak Ancala when none of the stories contained using this title. I suspect there's a deeper meaning in it, but I'm not trying to find out.
Buku menarik yang sukses bikin ga bisa berhenti baca. Meski awalnya ragu mau baca gara-gara udah horor duluan waktu buka sekilas, tapi begitu mulai pengen buruan ngabisin setiap halamannya. Isinya mungkin biasa, tentang pengalaman pendaki selama pendakian di beberapa tempat tapi yang bikin spesial sentuhan pengalaman tak terlupakan yang kebanyakan bersinggungan dengan "dunia mereka". Sukses bikin parno.
WOW! Saya menikmati sekali membaca buku ini... seolah kita diajak untuk berpetualang mendaki gunung, kereeen!!! saya berharap ada satu lagi novel yang seperti ini... mengangkat budaya kita dan keindahan alam indonesia, kumcer yang menggugah wawasan kita tentang gunung-gunung di nusantara. terima kasih :)