Di dalam lift di Perpustakaan Nasional, seorang perempuan tersandung karpet dan menjatuhkan buku-bukunya di dekat Mamen. Mamen tak menduga, dari situlah awal pengejarannya kepada Adriana bermula. Namun ternyata bertemu kembali dengan Adriana tak semudah yang ia kira. Selalu ada teka-teki tentang tempat pertemuan mereka yang harus Mamen pecahkan terlebih dahulu.
Harinya adalah tiga hari setelah Fatahillah mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Masanya sampai pada Perang Diponegoro. Namun orang-orang merana itu tahu, saat mati, jasad mereka akan merana terkubur jauh dari tanah tumpah darah mereka sendiri. Aku yang menunggumu adalah Adriana, pada mimpinya yang tak pernah mati.
Setiap pertemuan diawali dengan teka-teki. Setiap teka-teki selalu memiliki cerita. Setiap cerita membawa Mamen melihat kembali sudut-sudut bersejarah Jakarta yang kian terabaikan.
Adriana adalah kisah tentang pencarian akan cinta, tentang persahabatan, dan tentang menghargai apa yang telah dibangun oleh Founding Fathers bangsa Indonesia.
Novel yang tidak biasa + Kisah cinta yang tidak biasa = Novel cinta yang tidak biasa.
Novel yang tidak biasa
Jelas tidak biasa, karena di saat saya hampir-hampir tak pernah sanggup lagi begadang untuk menyelesaikan satu novel dalam semalam, ternyata Adriana ini tuntas saya baca dalam beberapa jam ha ha ha.
Oke, sekarang serius. Novel ini dibagi menjadi tiga bagian yang ditulis oleh dua orang dengan sudut pandang berbeda mengenai hal yang sama. Dan jujur saja di bagian pertama saya beberapa kali mengerutkan dahi, "Ini apa siiih maksudnya? Nggak jelas! nggak jelas! nggak jelas!" Untunglah gaya cerita Fajar Nugros bikin saya bertahan untuk terus membaca, karena sukses bikin saya ngengir sampai ketawa di malam buta.
Jadi itulah yang bikin tidak biasa. Harus sabar, jangan langsung misuh-misuh karena merasa ceritanya membingungkan dan nggak jelas. Lagipula, banyak kisah sangat menarik di sini (baik kisah utama maupun kisah kilas balik sejarah Indonesia) yang sayang untuk dilewatkan, dan dengan demikian membawa pada premis selanjutnya...
Kisah cinta yang tidak biasa
"Cita-cita atau impian mungkin tidak selalu datang menghampiri, tapi menunggu kita datangi..." adalah benang merah kisah cinta Adriana. Betapa berliku jalan yang harus dia tempuh untuk mencapai impian dan cita-citanya, membuat novel ini layak mengklaim dirinya sebagai novel lintas zaman (seperti yang tertulis di kover).
Memasuki bagian kedua, kebingungan yang terasa di bagian pertama, mulai terjelaskan sedikit demi sedikit. Mengapa untuk bertemu pujaan hati saja harus menebar teka-teki yang berkaitan dengan sejarah Jakarta, mengapa harus bercerita sampai jauh ke zaman Revolusi Prancis, mengapa ada yang mau bersusah payah menyatukan dua hati dengan cara yang sungguh njelimet.
Bagi penyuka sejarah, mungkin fakta-fakta yang diangkat dalam novel ini bukan hal yang baru lagi alias sudah sering dibahas. Tapi bagi yang tidak akrab dengan sejarah Jakarta, membaca kisah-kisah tentang impian para pendiri kota ini mungkin bisa sedikit menggugah perhatian. Setiap hari kita melewati bangunan serta ikon-ikon bersejarah yang bertebaran di Jakarta, tapi berapa orang yang benar-benar mengetahui dan peduli pada cerita menakjubkan di baliknya?
Saya pribadi paling suka bagian-bagian yang mengisahkan dua tokoh proklamator kita. Mengharukan, membanggakan. Kisah cinta yang tidak biasa.
Novel cinta yang tidak biasa
Betul, ini memang novel cinta. Cinta dua anak manusia di kota Metropolitan, yang juga menjadi tema ratusan bahkan ribuan novel lainnya. Tapi jalan cerita yang tidak lempeng-lempeng saja dan memaksa saya sedikit berpikir membuat novel ini berbeda. Sanggup mengubah persepsi saya yang tadinya pesimis saat membaca beberapa halaman awal, menjadi mengangguk-angguk setuju seperti burung perkutut saat halaman terakhir ditutup. Novel cinta yang tidak biasa.
Oiya, sekadar catatan atau pertanyaan tepatnya...merek-merek terkenal yang berulang kali disebutkan secara detail apakah menyimpan maksud tertentu? Mungkin untuk menunjukkan periode waktu? Karena sebagian dari kita pasti tahu kapan billabong dan quicksilver dan LA Gear pernah jadi barang impian anak-anak sekolah...tapi sayang ada yang terpeleset penyebutannya. Moshimo Dutti?
Mamen, si tokoh utama ini ketusuk panah cintanya Cupid ketika ia melihat sesosok wanita yang membawa buku di pelukannya ketika ia sedang bertandang ke Perpustakaan Nasional untuk mencari bahan skripsinya. Dan ketika buku yang ada di pelukan wanita itu terjatuh tanpa pikir panjang lagi Mamen langsung membantu wanita itu membereskan bukunya. Nah yang bikin Mamen stres mendadak adalah ketika ia bertanya apakah mereka bisa bertemu lagi, si wanita malah menjawabnya dengan sebuah teka-teki
"Jika karpet itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat Proklamasi dibacakan"
Mamen, yang semasa SMA-nya tidak pernah memperhatikan pelajaran PSPB ato istilah kerennya pelajaran sejarah, jelas langsung stres mendapat teka-teki dari wanita itu. Untungnya ia punya sahabat karib yang seorang pecinta sejarah, Sobar namanya. Sobar membantu Mamen memecahkan teka-teki dari wanita misterius itu dan memberikan petunjuk dimana Mamen bisa bertemu lagi dengan wanita itu.... walau sebenarnya si Sobar memberikan tempat yang salah pada Mamen.
Pencarian Mamen terhadap Adriana, wanita misterius itu selalu dihadapkan pada teka-teki yang diberikan wanita itu padanya. Dibantu Sobar, Mamen berusaha memecahkan teka-teki yang membuatnya mengunjungi tempat-tempat bersejarah Jakarta itu demi menemukan pujaan hatinya, Adriana.
On the other hand,
Adriana merasa ini kesempatannya untuk bertatap muka lagi dengan his man , gebetannya semasa SMA yang belum bisa ia lupakan sejak SMA itu. Ia yang masih berhubungan baik dengan sahabat his man -nya itu, atau ia biasa menyebutnya My Man = Mamen, mencoba mencari tahu kabar dari Mamen itu. Ia pergi ke Perpustakaan Nasional disaat Mamen disana untuk mencari bahan skripsinya, persis seperti yang Sobar katakan padanya. Namun Adriana berusaha menjual mahal pada Mamen -yang tidak mengenalinya itu- dengan memberikan teka-teki.
Adriana sendiri mendapat teka-teki misterius yang awalnya ia anggap dari si Mamen itu, sebelum akhirnya ia disadarkan Sobar kalau Mamen tidak sepintar itu. Selain Mamen yang bermain teka-teki untuk mencari Adriana, Adriana sendiri diharuskan untuk memecahkan teka-teki yang ditujukan untuk dirinya itu, entah untuk maksud apa. Namun jiwa petualangan dan dirinya yang cinta akan sejarah membuatnya meladeni teka-teki misterius tersebut.
Dan akhir yang indah menunggu Mamen dan Adriana, pada jawaban final teka-teki yang terakhir.
Speechless. Speechless abis pas abis baca buku ini. Saya adalah pecinta pelajaran sejarah sejak SD, sehingga waktu jaman SMA kalau ada pelajaran sejarah pasti saya minta tukeran tempat duduk dengan teman yang duduk di paling depan. Pada dasarnya novel ini adalah novel bercerita standar, tentang seorang perempuan yang memendam perasaan yang sudah sekian lama pada seorang lelaki. Apa yang membuat berbeda adalah Adriana ingin jual mahal pada gebetannya ini dengan memberikan teka-teki yang merupakan clue dimana mereka bisa bertemu lagi. Tapi ditengah usahanya itu, Adriana malah mendapat teka-teki juga - sama seperti yang ia lakukan pada Mamen. Dan disinilah letak asyiknya. Saya sebagai pecinta pelajaran sejarah terpukau habis-habisan sama cerita yang ada dibalik tempat bersejarah di Jakarta. Malu lah, seumur hidup tinggal di Jakarta baru tahu kalau wajah yang tercetak di patung lelaki Patung Selamat Datang adalah wajah dari alm. Henk Ngantung, gubernur Jakarta yang hanya menjabat selama 1 tahun. Disini juga dikisahkan cerita mengenai 2 orang wanita yang bervisi dan bermisi sama yang saya anggap mereka berdua ber-reinkarnasi menjadi Adriana abad 21 ini: Adriana van den Bosch dan Marie Antoinette.
Dan endingnya. Aaaawww itu sweet banget. Banget. 14 tahun bangsa Indonesia menunggu Monas dibuka untuk umum, 14 tahun pula Adriana harus menunggu untuk naik ke puncak Monas. Sederhana, tapi perjalanan Adriana menuju puncak Monas itu yang membuat kisahnya menjadi rumit dan unforgettable. Manis, tapi perjalanan Mamen menuju hati Adriana akhirnya menyadarkan Mamen kalau ia harus berkorban demi sahabat sejatinya itu.
"Tapi tahukah kamu kalau kita adalah penentu jalan yang kita tempuh? Tuhan memberi pilihan, karena percaya kita akan bertanggung jawab atas keputusan yang kita ambil"
Memang teka-tekinya menarik tapi aku seperti outsider di antara Sobar dan Mamen. Sebagian besar aku nggak paham bagaimana cara mereka bisa berpikiran seperti itu untuk memecahkan teka-teki tersebut, terlepas dari kehebatan Sobar dalam pelajaran Sejarah dan PSPB. Jadi aku merasa cuma digiring-giring aja sama mereka berdua, lol. Selain itu, aku pun nggak merasakan kedekatan dengan setiap karakternya karena memang kurang mendapat perhatian dari penulis. Jalinan antarcerita pun rasanya melompat-lompat, mungkin memang sengaja dibuat begitu ya demi teka-tekinya. Tapi aku suka sama sejarah yang dibubuhkan penulis dalam novel ini. Sungguh banyak hal yang nggak aku tahu mengenai sejarah Indonesia. Jadi aku dapat pengetahuan baru dari buku ini. Thank you so much.
Btw, aku masih bingung siapa sebenarnya yang membuat semua teka-teki itu? Bukan cuma Adriana kan ya?
Di awal keluarnya, aku nggak pernah tertarik untuk membaca buku ini. Ga pernah tertarik untuk mengambilnya dari rak toko buku dan membayarnya ke kasir. Hehehe... :) Entah kenapa, mungkin karena dua orang ini adalah dua orang yang sudah aku kenal di FB dan aku sering membaca tulisan-tulisan mereka dan geng Hermes-nya di sana...
Mungkin pikirku, toh meski tak beli aku dah sering baca tulisan-tulisan mereka di notes-nya. :)
Well, singkat cerita, aku baru tertarik untuk membeli buku mereka 2 hari yang lalu, di mana toko buku Togamas di tempatku lagi ngadain acara diskon gedhe-gedhean untuk beberapa produk buku. Dan pastinya, itu termasuk buku ini.
Maka, hanya dengan 15ribu rupiah saja aku sudah bisa mendapatkan buku kirangan teman facebookanku ini. :) mas Fajar Nugraos dan Artasya Sudirman.
Ternyata, lo ga bakalan rugi guys meski mengahabiskan uang lebih dari 15ribu rupiah untuk mendapatkan buku ini. Buku ini bener-bener bagus. Kisahnya sih sederhana. Kisah cinta. Tapi balutan teka-teki dan sejarah itu lho yang bikin orang jadi keder dan acungan dua jempol waktu membacanya.
Atau kalo misalkan Anda, guru sejarah sekolah menengah, SMP ato SMA terserah lah, dan lagi cupet bin ruwet gimana cara ngajarkan sejarah kepada murid-murid Anda... plus bagaimana menemukan cara agar mereka mencintai sejarah bangsanya, buku ini adalah jawabannya. :)
Yups, kisah cinta Mamen dan Adiana yang terbentang ratusan tahun ini (sejak jaman Louis XVI) dilingkupi dengan teka-teki dan kegigihan cinta untuk menyatukan cinta mereka.
Aku paling suka quote yang ini nih: Kenapa gadis pintar bisa jatuh cinta pada seorang bad boy?? | Karena tidak ada teori pasti tentang mereka sehingga membuat kami ingin terus menelitinya... :) (hal. 248)
atau yang ini, "Tak pernah ada waktu yang tepat, Adriana. Yang ada, kita yang membuat waktu menjadi tepat." (hal. 368)
Memang benar, tak ada aturan dalam cinta dan tak ada waktu yang kita kira "tepat" untuk mengungkapkan rasa cinta kita pada seseorang. Kitalah yang membuatnya. Kitalah yang mengalaminya. Kitalah yang membuat perasaan cinta itu ada dan kitalah yang membuat waktu itu menjadi "tepat".
Balik lagi ke keunggulan buku ini, well, mengapa aku bilang kalo buku ini amat sangat menarik untuk dibaca. Pertama, suspense teka-teki dan misteri kan memang selalu menarik untuk menggali rasa ingin tahu. :)
Kedua, karena memang bermuatan sejarah, contohnya aja tentang Monas yang rupanya adalah semangat rakyat Indonesia (yang juga mewakili semangat Soekarno), tentang teratai yang ternyata adalah Ibu Fatmawati, dll yang tidak pernah aku paham sebelumnya dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah.
dan yang Ketiga, adalah karena format buku ini. Format yang ditulis oleh dua orang, dimana masing-masing penulis menulisnya berdasarkan karakter mereka masing-masing. Fajar Nugros dengan Mamen-nya dan Artasya dengan Adriana-nya.
Seperti apa yang dikatakan oleh buku ini, bahwa setiap manusia diciptakan berpasangan bahkan patung selamat datang pun berpasangan (hal. 166), meskipun kisah ini sebenarnya sudah selesai di halaman 184, atau di akhir tulisan Fajar Nugros, di BAB I, tapi... senada dengan "pasangan" tadi, tulisan Fajar serasa hanya memenuhi otak kiriku saja. Otak sistematisku saja. Dan ini tidaklah lengkap tanpa kehadiran tulisan Artasya. Tulisan-tulisan yang mengisi otak kananku. Imajinasiku. :)
Intinya... lo semua patut beli buku ini deh. Bagus kok. :)
Membaca novel ini serasa ikut deja vu..... halah.. hihihihi... ge er pisan ya.... merasa jadi Adriana gitooo..?:)
Yaaa... begitulah kalau suatu cerita masuk ke hati, seperti ketika membaca 'if tomorrow comes' or 'tell me your dream' nya Sidney atau membaca serial lima sekawan or sapta siaga, berpuluh tahun silam..... sensasinya terasa sampai sekarang.... glekkk* --------- Novel ini sungguh cerdas, padahal intinya mah masalah biasa, yaitu soal cinta, tepatnya cinta Adriana yang tak pernah mati pada cinta pertamanya di sma..hmm.. dan mimpinya yang tak pernah padam. Tapi penulisnya mengemasnya dengan apik dan cerdas, pokoknya Adriana jauh lebih cerdas dan lebih tegas dan yakin pada siapa cinta sejatinya yg sesungguhnya..... nggak gundah end bingung kayak Bella diantara 2 cintanya ... hehehheh... piss buat penggemar twilight ya.....:) .... novel ini emang nggak ada hubungannya sama vampire loh, tapi sarat dengan pengetahuan dan sejarah yang terkadang kita abaikan....:( contohnya..... mana saya 'ngeh kalau ternyata ada patung 'Kartini' di sekitaran Monas........ parah kan....?!
Kata om Eros Jarot di kata pengantarnya siih, walau tak setegang seperti saat membaca 'Da Vinci Code' (terus terang saya belum baca niih.... weeee!), novel ini cukup menghadirkan ketegangan yang ceria.... Yuup saya setuju! kita ikut larut dalam keasyikan mengikuti rasa penasaran, memecahkan kode-kode, sandi-sandi, yang penulis tawarkan.
Yang jelas ringtone hp Adriana yang bunyinya : "maukah kamu 'tuk jadi pilihanku menjadi yang terakhir dalam hidupku.......?" sama persis dengan kalimat yang dikatakan My Man_nya (hal.380).. jiaahhhhhhhhh!
ps. sangat pas buat usia remaja menjelang dewasa (25 thn), sungguh inspirasi... buat semuanya jg deh, mau yg senang sejarah ataupun yang nggak...:)
Ternyata novel ini agak... membingungkan. Apalagi kalau belum nonton filmnya. Aku udah nonton sih di TV, tapi gak lengkap sayangnya. Mungkin benar kata salah satu reviewer film itu, Fajar Nugros terlalu asyik membangun teka-teki sampai melupakan ketiga "anaknya" di film tersebut. Hal itu berlaku juga bagi novel ini. Secara teka-teki sih asyik dan menegangkan banget. Tapi background kehidupan mereka, apa yang membuat mereka saling menaruh hati dan sebagainya, tidak terlalu dijelaskan. Dan gaya penceritaan novel yang minim narasi di beberapa bagian membuat membaca buku ini jadi terasa seperti membaca naskah skenario. Padahal, keduanya adalah media yang berbeda, kan.
Belum lagi menjelang akhir cerita, penulis mencampuradukkan adegan Si Pitung dan Soekarno dengan peristiwa yang saat ini dialami para tokoh utama. Yang jadinya sangat-sangat-sangat membingungkan. Kalau di naskah skenario ada "komando" insert atau flashback sebagai penanda. Kalau di novel semua itu kan harus dinarasikan.
Yang aku masih nggak paham gimana ceritanya guru Adriana dan pak polisi itu bisa tiba-tiba ikut campur dalam kejar-kejaran antara Mamen, Sobar, dan Adriana? Memang kesan misteriusnya lebih dapat, tapi kalau nggak ada resolusi yang lebih jelas, gak enak rasanya. Seperti gantung aja gitu.
Tapi memang baca novel ini jadi pingin nonton filmnya lagi. Aku memang membandingkan buku ini dengan The Heritage yang ide soal sejarah kotanya hampir sama meski beda kota dan beda konflik. Meski dari segi teka-teki dan misteri Adriana lebih unggul, aku lebih menikmati gaya penceritaan Ghyna Amanda di The Heritage. Ya karena persoalan narasi yang lebih memadai itu.
Jika karpet itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat proklamasi dibacakan
Itulah teka-teki yang diterima Mamen dari seorang gadis yang menyedot perhatiannya di Perpustakaan Nasional. Bukan teka-teki biasa, tapi teka-teki yang berhubungan dengan sejarah. Berhubung Mamen sudah terpanah pesona si gadis, maka Mamen pun memeras otak untuk memecahkan teka-teki tersebut.
Parahnya, Mamen selalu membolos ketika pelajaran PSPB waktu SMA dulu. Jadilah dia begitu kesulitan memecahkan teka-teki tersebut. Tapi, ada satu teman Mamen yang jago PSPB yang membantu Mamen : Sobar. Pada karpet tersebut ternyata ada tulisan jum’at. Jika berganti lima kali berarti hari selasa. Saat proklamasi dibacakan tentu dunk kita bisa menebak jam berapa detik-detik proklamasi biasanya dibacakan setiap 17 Agustus. Yup, jam 10 pagi. Sementara clue tempatnya malah diberi tahu Sobar adalah di Taman Proklamasi dengan alasan 2 proklamator kita itu dulu bersandingan kemudian bertikai.
Namun, setelah ditunggu, gadis yang ditemui Mamen di Perpustakaan Nasional tak juga kunjung datang. Sobar keliru? Tepatnya, Sobar memberikan informasi yang salah. Karena Sobar yang menemui si gadis di Museum Fatahillah. Dua ular berlilitan hanya ada di lambang kedokteran Internasional, diadopsi dari tongkat Hermes. Yang sepertinya letaknya ada di Museum Fatahillah.
“Harinya adalah tiga hari setelah Fatahillah mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Masanya sampai pada perang Diponegoro. Namun orang-orang yang merana itu tahu, saat mati, jasad mereka terkubur jauh dari tanah tumpah darah mereka sendiri. Aku yang menunggumu adalah Adriana, pada mimpinya yang tak pernah mati.”
Itu merupakan teka-teki kedua yang diberikan si gadis yang ternyata bernama Adriana buat Mamen. Tetap dengan dibantu Sobar, Mamen memecahkan teka-teki tersebut. Dan teka-teki selanjutnya terus bermunculan yang membuat Mamen terus memutar otak. Tapi, siapa sangka ternyata Adriana juga menerima teka-teki entah dari siapa. Yang membuat dia juga bergegas-gegas untuk memecahkan teka-teki tersebut.
Itulah sekilas cerita di Novel Adriana, Labirin Cinta di Kilometer Nol. Sebuah novel remaja yang bertemakan cinta tapi dibalut dengan sejarah. Teka-teki kedua silakan tebak sendiri jawabannya :p
Yang mau saya komentarin pertama dari novel ini adalah PSPB. Kalian tahu apa itu PSPB? Tanya ke personel Coboy Junior mungkin pada nggak tahu kali ya jawabannya. PSPB itu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Seingat saya nih ya, PSPB itu udah lama bener diganti menjadi Pendidikan Sejarah.
Waktu saya sekolah udah makai nama Pendidikan Sejarah. Pas nggak tuh setting tahun 2009 dan diceritakan di tahun 2009 itu dia kuliah udah sekitar 4-5 tahun, yang berarti dia itu angkatan 2004 atau 2005 kuliahnya masih menyebut PSPB untuk pelajaran sejarah di SMA? Sementara saya yang angkatan 2003 aja udah kagak ada PSPB, udah diganti sama pelajaran Sejarah doang. *nyinyir deh nyinyir*
Komentar keduanya, ya ampyuun... Dialognya banyak bener. Padahal saya penyuka dialog lho. Tapi kalau kebanyakan dan ditampilin kayak orang chatting ini gregetan juga bacanya. Terlebih banyak Hahahaha-nya itu loh. Hahahahaha? Iya, ketawanya secara gamblang ditulis Hahaha dan banyak banget lagi. Dalam satu halaman bisa terdapat 5 Hahaha (hal 11).
Contoh nih ya :
“Hahaha.” Kini wanita itu menebar tawa. “Mana cowok itu?” tanyanya lagi. “Dia juga menunggumu,” jawab Sobar. “Di mana dia?” “Di Taman Proklamasi.” “Hahaha, kok bisa?” “Dia selalu mencontekku dari SMA, malas belajar, begitu makanya.” “Hahaha.”
Tapi, di balik kekurangan yang saya rasakan pada novel ini, saya akui novel ini menarik. Terutama oleh saya yang mengklaim diri suka dengan sejarah. Hahahaha.... *ikutan ter-Hahaha*. Menelusuri jawaban-jawaban dari teka-teki yang ada di novel ini membuat yang membacanya jadi melek sejarah.
Hey, apa anda yakin proklamasi kemerdekaan Indonesia benar-benar dibacakan jam 10 pagi? Jika dalam teks proklamasi itu memang tertulis jam 10, bukankah di tahun 1945 belum ada pembagian waktu Indonesia bagian barat? Yang dipakai saat itu adalah waktu Tokyo. Waktu Tokyo jam 10, berarti di jakarta jam 8 pagi.
Saya juga jadi tahu kalau Muhammad Husni Thamrin itu berdarah betawi. Dan apa makna dibalik senyum di patung MH Thamrin. Senyum kemenangan karena berhasil mengusahakan api agar terus menyala. Soekarno yang saat itu dibuang di sebuah tempat yang terkena wabah malaria berhasil dipindahkan ke tempat yang aman oleh lobi MH Thamrin.
Tapi, api itu kemudian padam juga. Cara paling halus memadamkan api adalah memasukkannya ke dalam ruang hampa udara, maka dengan begitu dia akan perlahan-lahan padam. Hal ini sangat sering diceritakan abah kepada saya tentang kematian Presiden pertama Indonesia itu. Seorang Soekarno mati dengan menyedihkan setelah melawati masa tahanan rumah, tanpa boleh bertemu siapa pun, tanpa boleh membaca apa pun. (Hal 164)
Sejarah lain yang tersebut di novel ini dan menjadi cerita favorit saya di halaman 128.
Kejadiannya persis beberapa saat sebelum Bung Karno wafat. Beliau terbaring di Wisma Yuso. Keadaan Bung Karno yang semakin kritis membuat Pemerintahan Soeharto mengizinkan beberapa kerabat membesuk beliau.
Beliau, bapak itu, wakil presiden pertama kita pun datang menjenguk.
“Hatta, kau di sini?”
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?” tanya Pak Hatta.
Bukannya menjawab Bung Karno malah balik bertanya, “Hoe gaat het met jou?” Bagaimana kabarmu. Selanjutnya tak ada yang didengar Pak Hatta lagi dari bibir Soekarno selain kata “Schoenen” yang artinya sepatu.
Sepatu, apa makna sepatu yang disebut Bung Karno pada Pak Hatta?
Tahun 1851, Carl Franz Bally dan saudaranya Fritz, di basement rumah mereka di Schonenwerd di Distrik Solothurn, Swiss mendirikan usaha sepatu yang diberi label ‘Bally & Co’. Usaha ini berkembang dengan cepat keluar Swiss. Sepatu merk ‘Bally’ ini kemudian melangkah menjelajah Eropa, hingga benua Amerika dan akhirnya tiba di Asia. Kini butik khusus sepatu mewah ini berada di hampir seluruh kota ternama di Amerika Utara. (Hal 130)
Seseorang kemudian wafat pada Maret 1980. Dan ketika keluarganya membereskan berkas-berkas di meja laki-laki yang baru saja dikebumikan itu, mereka menemukan sebuah potongan iklan koran terbitan akhir tahun lima puluhan yang digunting dengan rapi.
Apa isi potongan iklan itu?
Iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally di Jakarta.
Beliau ternyata sangat memimpikan memiliki sepatu itu. Sampai akhir hayatnya, seorang Bung Hatta tak pernah mampu membeli sepatu impiannya itu. Padahal sebagai wakil Presiden, beliau bisa saja meminta orang-orang, pengusaha untuk membelikannya atau memakai uang negara. Tapi tidak dia lakukan. (Hal 131)
Huwaaaa.... Saya terharu sangat membaca kisah tersebut. Dicari! Dicari! Pemimpin untuk Indonesia yang seperti beliau.
Itulah sekelumit sejarah yang nyelip-nyelip di buku ini. Sejarah lainnya? Buanyaaak. Dari lukisan Raden Saleh sampai Revolusi Perancis. Dan juga tentunya Adriana yang ternyata adalah seorang putri dari seorang Gubernur Jendral asal Belanda yang sangat perhatian pada penderitaan rakyat pribumi. Adriana yang makamnya ada di Kebun Raya Bogor.
Novel ini sudah difilmkan. Saya jadi penasaran dengan filmnya, bagaimana sejarah-sejarah diceritakan lewat film. Lebih menarik mungkin, karena lewat film bisa melihat langsung monumen-monumen dan situs-situs sejarah yang diceritakan di novel ini. Karena settingnya Jakarta dan saya nggak familiar dengan kota itu, maka lewat film yang menampilkan bentuk visual bisa membantu saya lebih mengenali apa-apa yang disebut di novel ini.
Oh ya, saya juga waktu ke Gramedia menemukan novel ini yang edisi baru. Dengan covernya yang berubah seperti cover film. Novelnya pas saya pegang terasa lebih tipis dari novel yang saya baca ini. Entah apa beda edisi lama dengan edisi baru. Mungkin Hahaha-nya sudah berkurang?
Akhirnya ketemu buku ini lagi. Setelah kemarin membaca yang versi cover film (yang ceritanya kepotong separuh dan kebanyakan POV-nya si Mamen), akhirnya bertemu dengan versi awalnya yang tentu lebih komplit dengan POV dari si Adriana.
Membaca ulang buku ini jadi nostalgia. Dulu pertama ketemu buku ini waktu SMP di perpus sekolah, dan langsung suka dengan ceritanya yang penuh teka-teki. Meski genre utamanya romance, tapi dibalut dengan misteri yang mengajak kita mengulik kembali sejarah, terutama sejarah Jakarta.
Dengan latar tempat Jakarta sekitar tahun 2009an, kita juga dibawa berkunjung ke 2 masa sebelumnya melalui teka-teki demi teka-teki. Misteri tentang siapa Adriana dan mimpinya yang tidak pernah padam, dan bagaimana perjuangan Mamen untuk bertemu Adriana.
Gaya tulisannya enak diikuti, dengan bahasa gaul khas anak Jakarta, dan humor terselip di sana-sini. Jika di buku cetakan terbarunya (yang cover film) menyisakan pertanyaan mengganjal yang serasa belum tuntas, buku ini menjawab pertanyaan itu dengan cerita dari sudut pandang si Adriana.
Satu kata: aneh, tapi lumayan seru. Yah, ini jadi satu kalimat namanya. Selipan sejarah Jakarta jadi poin plus dalam cerita ini. Minusnya, kisahnya tak tergarap secara mendalam. Hanya berfokus pada ocehan dua cowok agak rempong yang lucu tapi aneh.
Kisah serupa, tentang teka-teki dan pencarian, pernah saya temukan di Dash & Lily's Book of Dares - Buku Tantangan Dash & Lily. Tentang cara menikmati Jakarta tempo dulu juga ada di Jakarta Sebelum Pagi. Jadi, apa yang disuguhkan di buku ini bukanlah sesuatu yang baru. Namun, jangan lupakan pesona teka-teki yang muncul di awal buku dan mengikat pembaca untuk terus membacanya.
Jika karpet lift itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat proklamasi dibacakan.
Kisah romansa yang dipadu dengan misteri melalui cerita sejarah-sejarah yang ada di Jakarta, sebuah ide yang sangat luar biasa. Mungkin ini bisa membuat orang yang tadinya menganggap sejarah membosankan, menjadi tertarik dan ada rasa ingin mencari tau lebih dalam lagi, seperti Mamen, sang tokoh utama.
Aku baca buku ini pertama waktu SD hahaha waktu pertama baca ga ngerti sama sekali, tapi suka banget sama cara penyampaian penulis nya dan teka teki nya. Akhir-akhir ini baca ulang buku ini masih kurang ngerti sih sebenarnya tapi novel ini bener-bener bagus, kisah cinta yang ga biasa dan dikemas bersama sejarah kota Jakarta bener-bener bagus dan unik.
Tidak banyak buku-buku 'beraroma' sejarah yang bisa membuat gue betah dalam membacanya. Ih padahal gue ngajar sejarah ya. Tapi itu terpaksa sih. Tuntutan profesi. Kalo bukan karena bagian dari pekerjaan, gue ngga akan pernah sudi baca-baca buku sejarah.
Dulu gue punya ketertarikan yang cukup kuat terhadap sejarah. Dulu banget. Jamannya masih ada mata pelajaran yang namanya PSPB. Tentu ketertarikan itu ditingkahi dengan imaji-imaji khas kanak-kanak juga sih. Misalnya bagaimana sejarah berdirinya kerajaan Hindu-Buddha serta perkembangan kebudayaannya jadi menarik buat gue.
Membayangkan kehidupan jaman dahulu: Wangsa Isyana. Wangsa Syailendra. Mpu Sindok. Mpu Gandring. Ada kekayaan yang luar biasa dan menanti untuk dipelajari.
Tapi ketertarikan yang seharusnya bisa dipupuk menjadi cinta itu pudar seiring berjalannya waktu. Guru-guru sejarah gue selama SMP hingga SMA memegang peranan yang cukup signifikan disini.
Racun yang mereka tebarkan setiap kali pelajaran sejarah dimulai, menjadikan gue salah satu murid yang bersedia menukar jiwanya kepada kegelapan demi kesenangan sesaat, dibandingkan menuruti jalan kebaikan ilmu pengetahuan. Gue sibuk main SOS di deretan kursi di bagian belakang kelas sementara guru gue mengocehkan dongeng pengantar tidur siang. Bosan. Ngantuk. Bicara yang lamat-lamat. Text-book minded. Hapalan mati. Tanggal-tanggal dan nama-nama yang entah apa alasannya harus dihapalkan dan ditanyakan di kertas ulangan. Belum lagi masalah pelit nilai. Dan gue sampai ke tahap dimana gue berpikir, "Apa sih pentingnya belajar sejarah? Toh peristiwa sudah lewat, konferensi sudah selesai, orang-orangnya juga sudah wafat. Kita hidup di masa sekarang untuk masa depan lho.. Kenapa repot-repot membahas masa lalu?"
Itulah. Boleh dibilang pertanyaan macam ini akan selalh muncul di kepala murid-murid yang ngga suka sama (1) pelajarannya, (2) gurunya, dan (3) fakta bahwa sekeras apapun dia belajar dan menghapal, atau sebagus apapun peta buta ia gambarkan dan warnai di buku tulisnya, nilainya ngga pernah lebih dari 65. Semacam ada unsur dendam kesumat juga sih disini..
Tapi kecintaan itu sempat tumbuh lagi saat di kelas 2 SMP gue sempat mempelajari tentang Revolusi Perancis dan Revolusi Industri.
Bayangkan betapa kecewanya gue, 14 tahun kemudian gue menemukan bahwa topik tersebut sudah tidak ada lagi di dalam deretan daftar topik yang dipelajari di SMP kelas 2 berdasarkan kurikulum yang dikeluarkan oleh Diknas. Gue patah hati. Satu-satunya kecintaan terhadap sejarah sekali lagi mesti punah tanpa gue sadari. Sedih. Sampai disini gue pernah meniru Patih Gajahmada dengan Sumpah Palapanya. "Gue tidak akan membiarkan murid-murid gue membenci sejarah sama seperti cara gue membenci pelajaran ini dulu."
(tolong kalo ada yang menemukan kesalahan penulisan nama Patih Gajahmada kindly kasih tau gue dong.. itu harusnya disambung apa dipisah sih? Ngga sanggup lagi mau nge-google. Pengen buru-buru curhat soalnya..)
Membaca Adriana: Labirin cinta di kilometer nol mengingatkan gue lagi kenapa gue dulu pernah menyukai sejarah, (walaupun akhirnya memutuskan untuk melepaskan cinta itu--mungkin kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama biarlah aku yang mengalah semoga dia berbahagia--) kenapa gue sekarang ngga bisa lepas dari sejarah, dan sejauh apa gue pernah, dan akan mengejar cinta.
Buku ini gue selesaikan dalam waktu 4 jam. Ya maklum deh ya, otaknya agak lambat dalam mengolah informasi yang berhubungan dengan sejarah. Satu-satunya buku di tahun ini yang biarpun mata gue udah sepet tapi tetep aja ngga bisa gue taruh dan sampe-sampe gue maksain bikin review sambil setengah merem gini. Alasan terbesarnya adalah karena rasa yang muncul saat sedang membaca buku ini.
Rasanya seperti menghabiskan sore hari yang damai sambil duduk-duduk dengan sahabat lama (atau seseorang yang baru dikenal tapi rasanya seperti sudah kenal lama), ngopi-ngopi lucu, ngobrolin hal-hal remeh-temeh dengan cerdas. Ngobrolin hal-hal yang selama ini gue ngga pernah tahu karena luput dari perhatian gue dan gue terlalu sibuk untuk peduli ataupun untuk sekedar mengamati.
Rasanya seperti berbicara dengan (seseorang yang mungkin, pada akhirnya, bisa kita katakan dengan 80% keyakinan bahwa bisa jadi orang ini) belahan jiwa kita.
Oh. Jangan salah. Gue pernah merasa sudah menemukan belahan jiwa. Dan laki-laki ini mencintai sejarah sama besarnya seperti dia mencintai ibunya, dan game. Dia hanya tidak mencintai gue sama besarnya dengan cara dia mencintai pilihan hidupnya. Tapi dia pernah jadi belahan jiwa. Dan kami tiba pada keputusan bahwa kami berhak memilih apa yang ingin kami capai dalam hidup masing-masing. Sekalipun itu berarti tidak lagi bersama.
Rasanya seperti menyadari kembali kenapa dulu cinta itu pernah ada.
Seperti itulah rasanya membaca Adriana. Jadi ngerti kan kenapa gue 'maksa' nyelesain dan ngereview secepat yang gue mampu?
Mungkin juga karena cinta pernah menunggu. Atau lebih tepatnya, hati ini sedang menunggu lagi (dengan tidak sabar dan kadang melonjak-lonjak resah) untuk kembali mencinta.
Kira-kira seperti itu lah.
:)
*ini kok reviewnya rada ngga nyambung. ah biar deh..
Saya bingung mulainya dari mana. Ini spoiler semua, ya.
Saya nggak suka sama Adriana. Awalnya saya pikir, dia adalah perempuan cerdas yang akan memilih laki-laki dengan mempertimbangkan logika. Tapi pada akhirnya dia mengesampingkan semua kriteria dan "pOKokNYa mAmEN!!1!1!" doang. Oke, Fajar deketin dia dan Fajar nggak tertarik sama teka-tekinya, tapi memangnya Mamen tertarik, ya? Mamen aja salah tebak di kuis pertama. Tapi sama Adriana (karena sudah terlanjur suka itu!) tetap saja dikasih kesempatan kedua.
Saya sebenarnya sudah menurunkan penilaian pada Adriana saat dia mau-mau saja naik mobil cowok yang baru dia kenal sepuluh menit yang lalu ... oh, maaf, maksud saya bukan "mau-mau saja", tapi MINTA TUMPANGAN ke cowok yang BARU dia kenal sepuluh menit yang lalu. Iya. Dia yang minta tumpangan. Minta dianterin. Dan saat sudah sampai tujuan, dia langsung KELUAR dari mobil gitu aja dan nggak bilang "makasih". Sudah begitu, apa-apaan waktu dia mau balik dan lihat kalau mobilnya sudah pergi, dia nyumpah-nyumpah, batin kalau cowok itu "sialan"? Kalau dia "sebal dengan makhluk bernama laki-laki"? Wow, wow, wow, yang "sialan" di sini siapa, ya?
Terus, hai Adriana, kalau kamu suka sama cowok yang bisa paham kecerdasanmu, KAMU LIHAT SOBAR ITU APA? Ha? Dia yang jago Sejarah dan bisa mecahin teka-tekimu, yang langsung nyambung ngobrol sama kamu, yang sudah nyatain perasaan ke kamu, YANG SUDAH ADA SAMA KAMU DARI SD, yang selalu cinta kamu sampai nggak mau sama cewek lain karena terlalu buta ke kamu, itu kamu anggap apa? Kalau kamu nolak Fajar karena Fajar nggak paham teka-teki anehmu TAPI kamu juga nolak Sobar padahal dia paham kamu lahir batin (bahkan dia paham kamu DI KEHIDUPAN SEBELUMMU), itu artinya kamu memang pengin sama Mamen dari awal. Itu namanya double standard, Bahlul!
Saya emosi sama Adriana ini.
Oh, ya, ngomong-ngomong soal kehidupan sebelumnya ... saya gagal paham kenapa disangkutin ke Marie Antoinette. Kalau pengin informasi sejarah yang ditampilkan di novel ini nggak benar, lebih baik sekalian saja dari awal nggak serius. Apa maksudnya kalau si Ratu ini "punya mimpi mengabdi kepada rakyat"? Jangankan orang Prancis, bahkan si Ratu sendiri saja akan tertawa, lho. Dan dia terlahir kembali di raga Adriana van de Bosch? Ironis sekali ....
Saya sudah nebak kalau Adriana itu "meneruskan perjalanan dari kehidupan sebelumnya", tapi kenapa Adriana van de Bosch nggak diceritakan punya pertanyaan-pertanyaan yang sama? Seharusnya Adriana nggak separah itu sampai-sampai merasa "ini bukan rumah" padahal sudah di rumah. Reinkarnasi nggak segitunya kayak setengah amnesia, 'kan? Yah, saya nggak tahu, sih. Tapi kalau teorinya mau begitu, Adriana van de Bosch seharusnya diceritakan kalau juga punya firasat-firasat yang sama.
Tiba-tiba semua orang jadi suka sejarah di sini. Oke, itu cuma pemikiran yang mendadak lewat.
Saya pengin bahas Sobar, sebenarnya. Saya suka dia, awalnya. Tapi saya nggak suka bagaimana karakter Sobar berkembang menjadi egois begini di cerita. Apakah plotnya lupa kalau Sobar adalah (1) seseorang yang cinta pada Adriana selama 14 tahun, dari waktu Adriana kecil, masih pendek dan masih item:), (2) seseorang yang nggak pernah pacaran karena hanya mau dengan Adriana, (3) seseorang yang sadar mampus dirinya adalah reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya (Louis XVI dan Si Pitung) dan sadar bahwa dirinya hidup untuk mencintai satu orang yang sama (Marie Antoinette dan Adriana van de Bosch), DAN (4) seseorang yang sangaaaat baik dengan sahabatnya, si Mamen—sampai-sampai dia lebih peduli terhadap Mamen dibandingkan Mamen sendiri?
Kemudian, apakah plotnya juga lupa, kalau Mamen adalah (1) orang yang dulunya badboy, suka bolos, suka main game, dan suka sepak bola, (2) punya sembilan mantan, (3) suka Adriana karena cantik:), DAN (4) merasa berpengalaman dalam hal cinta sampai-sampai ngerasa kalau dia lebih jago soal cinta daripada Sobar yang dia anggap nggak tahu apa-apa tentang cinta?
Iya, rasanya plotnya lupa. Karena kalau ingat, nggak mungkin Sobar dibuat seegois itu untuk meminta Mamen rela agar dia punya momen sama Adriana. Wow, seketika Mamen menjelma menjadi seseorang yang sangat filosofis dan rela korban perasaan sekali, ya. Dan rupanya Mamen bolos Olahraga karena dia punya darah rendah? Berfaedah sekali alasannya. Ke mana citra badboy dan hobi main sepak bola yang melekat sejak dulu?
Saya kecewa sekali dengan perkembangan karakter Sobar. Padahal saya sudah terkesan sama dia. :(
Oh, ya, saya belum bahas teka-tekinya. Satu yang bikin saya terkesan adalah teka-teki menunjukkan waktu yang petunjuknya adalah masa Perang Diponegoro, 18:25–18:30. Lainnya sudah, sih. Awalnya saya menikmati, tapi selanjutnya saya bingung ini sebenarnya yang main teka-teki siapa. Ada Vino ikut-ikutan main juga. Pak polisi mau ikut terlibat pula. Tiba-tiba semua orang jadi suka sejarah di sini(2).
Sudahlah. Akhirnya Adriana sama Mamen, ya. Kita doakan saja Mamen tidak lantas meninggalkan skripsinya.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Novel ini ditulis oleh dua orang yang menuturkan sebuah kisah. Dibagi menjadi dua bagian di mana penulis satu dengan penulis lain mengambil part yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda namun dengan gaya cerita yang hampir mirip.
"Menyelamatkannya dari serangan malaria, berarti memindahkannya. Dan memindahkannya tidak semudah itu. Jika asal memindah, apinya bisa saja membakar semangat di tempatnya yang baru. Tidak semudah itu. Itu bahaya."
Laki-laki Betawi yang berdiri di ruang sidang itu menarik napas panjang. Otaknya berputar dengan cepat. Hanya satu hal yang dia yakini saat itu, api itu harus terus menyala, dia takkan membiarkan api itu padam hanya gara-gara malaria. Maka setelah menarik napas panjang, laki-laki itu kembali angkat bicara.
"Pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan dirinya. Dia harus dipindahkan ke negeri yang lebih besar, negeri yang lebih sehat, dan keadaannya harus mendapat perhatian yang lebih besar!" teriaknya dengan suara lantang.
Adriana berlari kecil di trotoar sepanjang Jalan Thamrin. Ia melirik sedikit ketika bangunan itu mulai terlihat, lalu mengubah lari menjadi jalan cepat. Itu gedung Sarinah. Warisan Soekarno. Adriana selalu percaya, bahwa Sarinah adalah satu-satunya perempuan di negeri ini yang menolak cinta laki-laki itu. Sarinah adalah cinta pertamanya. Juga patah hati pertama. Adriana terus berjalan ke arah utara.
Gedung Dewan Rakyat itu riuh. Ketua Dewan mengetukkan palunya berkali-kali untuk menenangkan suasana.
"Baiklah, baiklah, kami semua setuju akan kekhawatiran Saudara," kata Ketua. "Tapi kita harus mencari lebih dulu tempat lain, negeri lain di mana rakyatnya tidak berpolitik," katanya, "sebuah negeri yang juga primitif dan terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan."
Jika bukan malaria, maka ia harus hidup dalam ruang tanpa udara. Jadinya apinya akan mati perlahan.
Orang-orang bertepuk tangan.
"Saudara puas sekarang?" tanya Ketua. Laki-laki itu diam, lalu angkat bicara. Permohonan terakhirnya.
"Saya mengetahui semua itu, kekhawatiran-kekhawatiran Pemerintah Belanda akan dirinya," kata laki-laki itu kemudian. "Akan tetapi saya memperingatkan Tuan sekarang!" lanjutnya seraya mengacungkan jari telunjuk. "Andaikata Soekarno mati, maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada Tuan seperti saya menuding Tuan sekarang, sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Soekarno sakit payah, hidup matinya sekarang terletak di tangan Pemerintah Belanda. TIdak cukup hanya dengan mengirim tumbuhan kina saja. Dia harus dipindahkan. Dan dengan secepat mungkin!" teriaknya lantang.
Perdebatan itu berakhir. Namun tudingan politikus Betawi itu mengingatkan lantangnya ancaman Si Pitung di zaman dulu. Tudingan itu tak cuma menghantui Ketua Dewan Rakyat, namun juga sampai ke Den Haag.
Cerita yang lumayan unik karena merupakan perpaduan anatara kisah cinta, 'pelajaran' sejarahn dan misteri (bukan horor). Buku ini diceritakan oleh dua orang yaitu Fajar Nugros dan Artasya Sudirman dengan sudut pandang masing-masing mewakili dua tokoh yang berbeda (Mamen dan Adriana), gaya berceritanya mirip dengan buku Travelers' Tale, Belok Kanan: Barcelona! dan gaya bahasa dan ungkapan anak muda yang lahir th. 80 an seperti di buku GOKIL! Sebuah Kompilasi Kedodolan
Tokoh utama dari cerita ini :Adriana, Mameen, Sobar, Chun Lie dan tokoh latar Maria antoinette, adriana Van Den Bosch, Si Pitung, sejarah Batavia, prof. ansori, dll. Kisah tentang keajaiban cinta pertama,keunikan tentang pengagum rahasia dipadu dengan teka teki sejarah dan misteri kejiwaan sang tokoh.
Sangat jarang sebuah novel yang menampilkan keunikan dan'keajaiban' sejarah, karena biasanya matematika lah yang lebih sering dibahas.
Jalan menuju pertemuan Mamen dan Adriana selalu diawali dengan teka-teki berlatar belakang sejarah terutama tentang Batavia. Membaca buku ini tanpa terasa kita diajak untuk mengulang pelajaran sejarah di SMA ( pelajaran SPB ) mengingatkan pada sistem cultuurstelsel, Pangeran Dipinegoro, M.h. Thamrin, Fatahillah dan tempat-tempat bersejarah di Jakarta, bahkan dapat pelajaran baru tanpa terasa digurui. Penyampaian cerita dengan bahasa yang mengalir , walaupun ditengah cerita agak membosankan tapi kedua pengarang dapat membungkusnya dengan dialog yang kocak.
Kisah cinta yang berbeda dari yang biasa.
3 1/2 bintang untuk cerita dan latar belakang sejarahnya.
Apa hubungan cinta dengan sejarah? Sekilas memang ga nyambung, tapi begitulah ramuan yg tersaji di buku ini.Novel tentang cinta, dengan bahasa yang kocak banget ala "anak muda jaman sekarang", tapi terbilang unik karena jalan ceritanya dibangun dengan teka-teki sejarah yang bertebaran. Dialog-dialognya kocak banget, sampai bikin aku senyum-senyum sendiri di bus :D. Demi janji ketemuan aja, tokoh-tokohnya dibawa pada misteri teka-teki yg harus dipecahkan.
Kupikir, baik juga buku ini, inti ceritanya sih ringan, hanya agak dibuat rumit dengan misteri teka-teki yg terus bermunculan itu. Baik karena membacanya menambah pengetahuan (pengecualian bagi mereka yg udah jago sejarah ya ^^) tentang sejarah bangunan-bangunan yang ada di jakarta khususnya. Beberapa fakta sejarah yg jarang mengemuka juga disinggung di buku ini. Sejarah bangunan-bangunan seperti: Stadhuisplein (Museum Fatahillah), Patung Pancoran, Patung Arjunawinaya, Patung Hermes, Patung Thamrin, tentang Soekarno, dll dimuat di buku ini terkait dengan teka-teki yang harus dipecahkan.
Awalnya, aku optimis bisa memberi 4 bintang untuk buku ini, tapi urung karena setelah terus dibaca sampai tuntas aku menjadi berubah pikiran. Sesampai di ending, ada gumaman di benak: hanya begini saja...? Keunikan lain buku ini yaitu cara penyajiannya yang terbagi menjadi dua bagian, satu bagian dimana peristiwa-peristiwanya dipandang oleh sudut pandang tokoh Mamen, sedang 1 bagian lagi memakai sudut pandang Adriana. Ini memang menarik, tapi sayangnya narasi bisa terjebak menjadi terasa membosankan ketika ada satu peristiwa yang persis sama, diulang lagi dengan sudut pandang orang yang kedua, dengan tanpa memberikan penyajian yg berbeda. Hal seperti ini akhirnya menjadi pengulangan saja, sehingga agak sedikit terasa bosan mambacanya.
Unik, bikin ngikik. tp sayang, ini gk bsa loong lasting deh, secara banyak brand, lagu dan trend yang kynya so last year bgt. jujur ya, kadang bahasanya mutar muter. Dan beberapa diulang dan saya lewatin aja saking g sabaran. Tada ..., banyak hal baru ttg sejarah yg seru dan jujur baru tau. Misal soal pak Thamrin, gak ngeh samsek ada patung kartini di Monas (?) dan penasaran abis sama si Adriana Van Den Bosch. Inovasi penulisan yg menarik.
Adriana, kaya itik buruk rupa berubah angsa ketika beranjak dewasa tapi tetep mentok sama cinta pertamanya jaman SMA. Sampe segitunya jual mahal, kudu main teka-teki dulu demi jalan sama ini perempuan. Dan di usia peraknya, semuanya jelas.
Gue gak mau pangeran. Gue nunggu Ksatria. | Waduh Beda yak | Beda, Pangeran mewarisi tahta orangtuanya, ksatria berjuang dengan tangannya.
Kenapa kamu menghampiriku? | kenapa ya? |Kenapa coba?|Karena kamu, Cantik| Cuma itu, cantik?| Ya| Sialan! Cuma cantik... coba tambahkan cerdas di belakangnya! Dasar cowo perlente Jakarta. *ngakak ihhh :D
Adriana, apa kamu sudah tahu misi di kehidupanmu sekarang? | Aku mau menyerap energi apinya agar aku bisa menyalakan api semangat di hati manusia lain.
Aku memilih untuk tidak menyimpan cinta hanya di dalam hati. Aku juga tidak tahu apa ini waktu yang tepat untuk menyatakan, karena bukannnya kamu bilang tidak ada waktu yang tepat? tapi tahukah kamu kalau kita adalah penentu jalan yang kita tempuh? Tuhan memberikan pilihan, karena percaya kita akan bertanggung jawab atas keputusan yang kita ambil.
Mayan buat killing time di kereta :D sembari googlingan mau tau lebih jauh dr clue aneh2nya.
SUKA BANGET! kalo lagi pengen cari cerita cinta yg g biasa coba deh buku ini. tema cintanya sendiri sebenernya udah banyak diangkat, seorang cewek mencintai seorang cowok dari dulu scr diam2 dan ketika bertemu lagi dengannya, dia harus membuka matanya dan melihat betapa specialnya dia. nah yang membuat cerita in beda dan sangat menarik adalah si cewek yg dulunya jelek yg sekarang cantik bgt itu berhasil mempesona si cowok ketika sedang mencari bahan skripsinya. si cewek g mau begitu aja menginggatkan si cowok kalo sebenernya mereka itu dulunya temen satu SMA, si cewek membuat sebuah teka teki dmn mereka bisa bertemu selanjutnya. nah dari teka teki tersebut dan masih banyak teka teki lainnya, di mana ketika satu teka teki terjawab maka akan ada teka teki lagi yg akan membuka mata kita akan sejarah yg ada di batavia, jakarta tempo dulu.
seru banget, sayangnya dulu pelajaran sejarahku g bagus dan ak g tinggal di jakarta jadi g terlalu tahu sama patung2 yg menghiasi ibu kota, yang betebaran di buku ini, tidak tahu jawabannya sebelum menutup buku ini.
ada tiga bab, bab pertama kita akan di suguhi teka teki yg byk bgt yang jawabannya akan kita temukan di bab kedua, bab ketiga bisa dibilang epilog. di bab pertama pun sebenernya juga udah ada jawabannya tapi terasa janggal dan banyak bgt yg bolong, di bab kedualah sambungan puzzlenya yerjawab lengkap.
ak acungin jempol buat idenya, satu buku kita bisa mendapatkan cerita cinta, main detektif2an dan belajar sejarah
Jujur, kemaren buku niy mau in jadiin kado. tapi urung karna liat critanya di bagian belakang itu, kayak tertulis di atas, tentang simbol, misteri, teka-teki, sejarah yang paling penting, makanya in ga jadi ngasih sebagai kado, (maaf ya, seorang teman).
ceritanya sendiri ditulis dari dua sudut pandang oleh kedua penulisnya. di masing-masing bagian kita temukan kejutan-kejutan yang berbeda. masalah cinta masih jadi tema sentral (yah, cinta di setiap roman itu kan kayak garam dalam masakan, hehehe). namun selipan bumbu-bumbu sejarah menjadi penarik tersendiri bagi novel ini. bukan bermaksud menggurui pembaca, hanya mengajak mengingat kembali mungkin (iin jadi nginget-nginget pelajaran sejarah SMP sama SMA in lho). dan tentu saja fakta-fakta bru yang mungkin dulu sekedar angin lalu saja di telinga kita ketika disampaikan guru sejarah kita.
sejarah yang 'berhasil' masuk diceritakan di novel ini mulai dari cerita Marie Antoinette si Ratu Prancis, sejarah Batavia, hingga masa Soekarno, dan tentu saja Monumen Nasional. dan kita diajak untuk turut juga memecahkan teka-teki yang ada, sehingga rasanya terlarut dalam novel ini. membaca novel ini seperti membaca karya Dan Brown, meskipun energi ketegangannya tentu berbeda. dan membaca karya E.S.Ito jika melirik sisi sejarahnya.
kalo untuk penggemar sejarah dan simbol-simbol, novel ini recommended banget.
ada dua pertanyaan besar selama saya baca bukunya. pertama, di buku dengan kaver lama, setau saya selain fajar nugros tertera juga nama artasya sudirman. nah nama Artasya di buku dengan kaver baru (yang ada Adipati-nya) yang kebetulan saya baca versi ini, saya tidak menemukannya. mungkin nyempil kali, tapi saya cari lebih teliti juga tidak saya temukan. pertanyaannya, ada apakah?
apakah versi kaver baru ini adaptasi dari filmnya? ini pertanyaan kedua saya. karena kalau iya, berarti cocok mengingat dialog dalam buku ini seperti dialog dalam film. di mana setiap dialog, tidak dinyatakan itu siapa yang sedang berbicara. sehingga kadang membuat saya bingung.
sisi baiknya adalah baca buku ini jadi ingin keliling Jakarta. mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan dalam buku. mengunjungi tempat yang sarat akan nilai sejarah, bukan tempat yang ingar bingar seperti mall yang membuat kita lupa akan tempat bersejarah.
karena saya tidak familiar dengan tempatnya, menurut saya setelah membaca maka menonton filmnya adalah pilihan tepat.
I enjoy it. Hal-hal bersejarah di buku ini seakan turut mengundang saya untuk turut mengulang kerjaan si Mamen (yang sampai akhir saya tidak tau nama aslinya) serta Adriana berkeliling Jakarta menuju tempat-tempat bersejarah negeri ini. Tapi ada beberapa hal juga yang saya bingung, percakapan yang agak terasa aneh (mungkin krn otak saya yg gak nyampe). Dari awal sampai akhir nama asli si Mamen, my man nya Adriana ga pernah terungkap. Menurut saya pribadi sih sudut pandang si Mamen masih kurang kalau dibandingin Adriana (terbukti bagiannya Adriana dibuku itu cukup tebal kalau dibandingkan punya si Mamen) meski saya lebih penasaran dengan sudut pandang si laki-laki, bagian si Mamen seperti hanya berisi perjalanan memecahkan teka-teki. Terus penasaran juga gimana ceritanya dia bisa tiba-tiba nyerah untuk memiliki Adriana padahal itu jelas-jelas mimpinya, terlebih lagi mengantarkan Adriana ke Sobar sahabatnya. Bingung sama si Mamen. Tapi saya suka sosok Mamen, di buku ini dia berasa hidup, utuh, laki-laki. Eaaaa
Pertama-tama saya tahu novel Adriana dari filmnya yang nggak sempat saya tonton. Dari dulu novel-novel yang sudah difilmkan selalu menarik perhatian saya, akhirnya saya beli deh novel ini.
Dulu waktu SMA saya sangat suka pelajaran sejarah. Dan ternyata setelah membaca buku ini saya jadi merasa down banget karena pengetahuan sejarah saya tentang Indonesia ternyata nggak seberapa XDD.
Yep, ini novel romance yang nggak biasa. Pada dasarnya saya nggak terlalu tertarik sama novel berbau romance di Indonesia karena ceritanya berkutat di situ2 aja. Tapi novel ini dikemas dalam bentuk petualangan yang berbeda, dibalut dengan bumbu histori dan sedikit humor.
Diakhir cerita ada twist yang nggak pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya suka dengan jalan cerita yang seperti itu.
Buat Mas Fajar, kira2 bakal ada screening film Adriana nggak ya di Bandung atau di Jakarta? Pengen nonton filmnya hehehe. Nyesel kemarin nggak sempet nonton :(
http://trulyrudiono.blogspot.co.id/20... Saya tidak suka pelajaran sejarah! Ok..ok..semua teman sekolah saya sepertinya sudah sangat tahu tentang hal itu. Hanya saat duduk di kelas 3 SMA saya agak menyukai pelajaran sejarah. Itu karena ibu guru yang spektakuler itu memberikan tugas membuat karya tulis mengenai sebuah kisah sejarah. Kalau urusan mengarang bebas dengan mengacu pada beberapa referensi tarik.....!
Buku ini menawarkan sebuah kisah cinta yang tak biasa. Cinta memang biang segala kisah romantis yang ada di dunia ini. Tapi kisah cinta yang dilandasi petualangan memecahkan petunjuk dengan mempergunakan informasi sejarah sangat sedikit. Jangan-jangan hanya ini ^_^
Cinta yang membuat Adriana berubah menjadi sosok seperti ini. Cinta juga yang membuat ia melakukan hal-hal yang tidak logis. Seperti memberikan Mamen aneka pertanyaan yang jawabannya merupakan tempat dan waktu pertemuan selanjutnya.
one of the book that i cant put it down. chemistry nya dapet gt berarti gw suka sama cara bercerita si penulis. rasa rasanya baru sekali ini baca novel remaja, dengan teka teki, secerdas ini. cukup membuka pikiran untuk lebih menghargai jakarta, sejarah. dan semakin kangen sama jakarta satu si yang bikin penasaran itu mamen buta warna apa gimana ya? mercedez si fajar silver ato item. terus yaris hitam jadi honda jazz biru. pdhl kan dia kerja valet. kalo typo masak dua kali ya. apa pertanda si mamen, yang sampai akhir cerita beneran ga tau kt sapa namanya, rabun jauh.
i enjoy this book so very much.
i give it 3 and half almost 4 actually i dont really like rating. ' kenapa ga lima, karena ada bagian gw lost, monoton, tapi selalu naik lagi emosinya. well done.
After Effect : Pengen Muterin Jakarta untuk lihat satu satu patung yang diceritain dalam novel ini. Plus mau main ke Makamnya Adriana Van Den Bosch di Bogor. Pertanyaannya adalah, adakah yang mau jadi partner untuk sebuah wisata sejarah. Mostly agak susah ya, tapi sepertinya bisa masuk di one of my 100 dream lists.
"The day is three days after Fatahillah swept away Portuegese from Sunda Kelapa Harbour. The time is when Diponegoro’s War happened. However, people who touch ground have known when they were died, their bodies will have a grave far away from their countries. I am who waiting for you is Adriana, in her dream that never extinguished" (salah satu teka-teki yang saya terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris)
btw thanks to Bonita who has borrowed me this book.
Reread novel lama ini gara2 baca postingan tentang van den Bosch dan keingat tentang Adriana. Kisahnya berliku, para tokoh utama mengelilingi Jakarta untuk mengurai teka-teki demi teka-teki. Flashback yang disempilkan sedikit membingungkan pada awalnya, tapi dapat dipahami setelah dibaca ulang.
Novel historical romance yang membawa pembaca berkelana mulai dari masa Belanda hingga pasca merdeka. Meski penulisannya simple khas novel-novel remaja, entah bagaimana ceritanya meninggalkan kesan mendalam yang membuatku tidak bisa lupa.
Sayangnya buku yang kubaca ulang ini dicetak penerbit berbeda. Dan kurasa isinya pun ada yang diubah, karena versi terbitan Gramedia berasa ada beberapa scene yg hilang. Berharap bisa ketemu buku terbitan pertamanya lagi.
Nggak benar-benar bisa menikmati buku ini. Selain tema sejarah yang diangkat, hal menarik lainnya cuma dialog bromance antara Mamen dan Sobar. Entah kenapa aku nggak bisa terkoneksi dengan karakter-karakternya, terutama Adriana.
Mungkin karena [1] buku ini awalnya ditulis oleh dua penulis, lalu dicetak ulang dengan judul yang sama, ditulis ulang oleh satu penulis (ada proses pemangkasan bagian-bagian tertentu) [2] novel yang kubaca ini terbit setelah versi filmnya tayang, jadi ceritanya dipaksa untuk filmis? Dan penampakan Adipati Dolken, Kevin Julio, dan Eva Celia di sampul buku malah memerkosa imajinasi.
Apa perlu nonton filmnya dulu untuk memahami novel ini?