AMRI “Perselisihan ini tidak akan pernah selesai. Dan aku tahu, kami akan selalu hidup dalam bayang-bayang pertikaian. Seperti cerita turun-temurun yang diwariskan dari generasi-generasi sebelum kami.”
CHANDRA “Menjadi dewasa mengajarkan gue kalau hidup itu nggak pernah jadi lebih mudah. Lo harus siap menghadapi segala hal yang sama sekali nggak menyenangkan.”
BIMA “Saya berkutat dalam masalah mereka yang membenci perbedaan. Saya tidak sedang berusaha mencari kesamaan atau membuat persamaan agar kita bisa saling menerima. Saya berusaha hidup di antara itu semua. Hidup di antara perbedaan.”
VERSUS adalah kisah persahabatan tiga orang lelaki. Tiga orang muda yang punya sudut pandang dan prinsip masing-masing. Dengarkanlah baik-baik karena mereka akan mulai bercerita. Tentang perbedaan, kebersamaan, dan pemikiran yang satu.
Ini karya Robin Wijaya pertama yang saya baca dan, bisa dibilang, saya menikmatinya. Pertama-tama, setelah membaca abstraknya, saya mikir, “Oh, bahasannya secara umum tentang perbedaan.” Dari pemikiran tersebut, saya memang nggak berharap banyak dari buku ini. Untuk ukuran seseorang yang butuh bacaan ringan, saya langsung terbeli sama abstraknya. Sampai sana saya belum ada gambaran ‘perbedaan’ macam apa yang dimaksud. Sampai saya baca beberapa halaman (bahkan beberapa bab pun), saya juga belum dapat gambaran. Entah saya yang dense atau memang plotnya sengaja diceritakan secara nggak terburu-buru…
Mulanya, diungkit-ungkit tentang teori paradoks. Tentang bagaimana suatu hal dapat diulang-ulang terus menerus, pola yang sama dengan cara yang berbeda, dikarenakan tidak adanya kesadaran untuk berubah—
[… this sudden involvement of the said Paradox Theory bought me. As an aficionado of thought-experiments and paradox theories, I am WAITING—for it has reminded me of the concept of ouroboros, the snake that ceaselessly tries to eat its tail—for MORE philosophical deliberation…]
—dan, semakin ke belakang, semakin jelas ‘perbedaan’ dan ‘pola berulang-ulang’ macam apa yang dimaksud.
Untuk ukuran buku yang menurut saya lumayan tebal, rupanya buku ini enteng sekali. Sekalipun banyak isu yang muncul—mulai dari krisis moneter, masalah keluarga, politik, persahabatan, cinta, dan lain sebagainya—saya merasa isu-isu tersebut tidak betul-betul ‘pokok’ dari buku ini. Isu-isu tersebut lebih terasa seperti pengiring supaya tokoh-tokoh yang diceritakan, terutama tiga tokoh utama dalam buku, dapat lebih hidup dalam penceritaannya. Pada akhirnya, setelah pertimbangan lama, saya putuskan untuk memberikan 4 bintang.
Sebagai kelompok minoritas, etnis Tionghoa pernah menjadi korban pengusiran oleh warga pribumi. Kondisi ekonomi dan politik yang tidak stabil menjadi salah satu pemicunya. Puncaknya, pada Mei 1998, ketika genderang reformasi untuk kali pertama ditabuh. Ketika ribuan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi turun ke jalan, meneriakkan reformasi untuk melengserkan presiden yang berkuasa selama 32 tahun. Chandra, salah seorang tokoh sentral dalam novel Versus karya Robin Wijaya menjadi bagian yang takbisa dipisahkan dari berbagai konflik yang terjadi sebelum roda reformasi digelindingkan. Sebagai keturunan Tionghoa, Chandra seringkali menjadi korban pemalakan oleh sejumlah preman kampung di sekitar rumahnya. Setiap pulang sekolah Chandra selalu dimintai rokok atau uang (hlm. 165) Sialnya, Chandra tak bisa melawan. Ia tahu diri. Melawan sama saja dengan memperkeruh suasana. Ayahnya pun maklum dengan keadaan itu. Makanya, ayahnya tak keberatan jika Chandra sering memberikan uang kepada anak-anak preman yang sok jagoan itu. Karena ayah Chandra tahu bahwa sebagai warga minoritas, etnis Tinghoa masih belum diterima sepenuhnya di negeri ini. Makanya, Chandra merasa bahwa dirinya selama ini tumbuh dengan ejekan dan celaan. Pernah pada satu titik, ia benci penampilan fisiknya sendiri. Benci dengan kulit putih dan mata sipitnya. Karena dua hal itu sering kali dijadikan bahan ejekan dan hinaan teman-temannya (hlm. 161). Perlakuan preman-preman kampung pada Chandra diketahui Bima, salah seorang teman Chandra. Bima bisa dibilang temperamental. Ia mudah terpancing jika ada peristiwa penindasan yang dilakukan anak-anak kampung tetangga, lebih-lebih pada temannya sendiri. Sementara, krisis moneter yang melilit bangsa waktu itu membuat orangtua Chandra berpikir keras untuk mempertahankan toko satu-satunya. Orangtua Chandra tidak ingin tokonya tutup karena itu akan berdampak pada para karyawan-karyawannya. Sebisa mungkin keluarga Chandra memutar otak untuk bertahan di tengah terjangan krisis. Tapi, semakin lama nampaknya kondisi tidak menjadi lebih baik. Orangtua Chandra harus memutuskan untuk menutup tokonya. Sementara, para karyawan tidak mau di-PHK. Mereka marah dengan keputusan keluarga Chandra yang akan memberhentikan mereka, meskipun sudah diberikan uang pesangon sepantasnya (hlm. 242). Hingga pada suatu hari, sebuah musibah terjadi. Toko milik orangtua Chandra terbakar. Chandra dan keluarganya benar-benar terpukul. Kondisi krisis yang melilit kembali ditambah musibah kebakaran yang membuat toko dan seluruh isinya tidak bersisa. Chandra benar-benar merasakan bagaimana menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Kehidupan keluarganya harus dimulai nari nol. Suasana berubah drastis. Untungnya, dua bulan setelah musibah kebakaran itu, di saat semua fasilitas, dari toko hingga tempat tinggal warga Tinghoa dijarah dan dibakar, para tetangga berusaha menyelamatkan rumah keluarga Chandra dengan memberi plakat “PRIBUMI” di depan rumah (hlm. 37). Perayaan Tahun Baru Imlek yang biasanya meriah menjadi bermuram durja. Kesedihan atas segala musibah masih sangat terasa. Sejak saat itulah Chandra mulai berpikir, bahwa konflik atas nama SARA masih belum berakhir di negeri ini. Selain kisah hidup Chandra, dalam novel ini pengarang juga mengisahkan perjalanan hidup Amri dan Bima yang sama-sama memiliki kegetiran-kegetiran. Amri tak pernah akur dengan ayahnya. Di mata ayahnya, Amri selalu tampak salah. Apa yang dilakukan Amri tidak pernah benar. Hal itu membuat Amri jadi semakin tidak respek dengan keberadaan ayahnya, meskipun sebenarnya ia sangat sayang, karena sejak ibunya meninggal, ayah adalah orangtua satu-satunya yang mengurus hidup dia dan Danu, adik semata wayangnya (hlm. 47). Sementara Bima, juga memiliki fragmen kehidupan yang tak kalah mengharukan. Keluarganya berantakan. Ayah dan ibunya bercerai. Sejak saat itu, ia dan Arya, kakaknya, memutuskan untuk tidak tinggal dengan siapa-siapa. Mereka mengontrak sebuah rumah, setelah sebelumnya tinggal bersama nenek, sebelum neneknya meninggal dunia. Novel 400 halaman yang ditulis Robin Wijaya ini berkisah tentang persahabatan tiga pemuda antara Chandra, Bima dan Amri. Tiga sahabat yang saling mengisi dan menolong saat di antara mereka membutuhkan pertolongan. Tema yang diangkat Robin adalah konflik yang pernah terjadi di negeri ini, yaitu pra dan pasca kerusahan Mei 1998. Saat itu kondisi politik dan ekonomi memang sedang carut-marut dan genderang reformasi mulai ditabuh untuk mereformasi parlemen yang dianggap gagal mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Dari novel ini pembaca bisa memetik hikmah bahwa di balik segala perbedaan dan pertikaian akan ada secercah harapan untuk kehidupan yang akan datang. (*)
Baiklah sodara-sodara, ini bukan novel cinta-cintaan seperti yg ditulis sebelum-sebelumnya oleh Robin Wijaya. Dari facebook penulis, udah ada bocorannya sebenernya, katanya tentang brotherhood. Saya nggak punya referensi lain tentang novel semacam ini karena lebih sering dicekokin drama korea. jadi tidak bisa membandingkan, kecuali film 9 Naga yang menurut saya bagus dan sarat makna.
Ada apa dibalik Versus? Awalnya saya kira cuma cerita cowok-cowok aja yang temenan, terus muncul konflik dalam persahabatannya. But it's not. More than that. Versus mengangkat isu yang jarang disentuh penulis-penulis lain tapi kayaknya mulai marak ya. Sebut saja bullying. Dan itu baru satu dari beberapa konflik yang ada. Rasisme, permusuhan antar kampung, juga masalah anak dan orang tua juga keluarga.
Di dalam Versus kita akan dikenalkan oleh Amri, Bima dan Chandra (kali ini sinopsis di belakang novelnya berkata jujur, hehehehe). Ketiga tokoh tersebut bercerita lewat POV mereka masing-masing dengan porsi yang pas menurut saya. Dan mungkin itu yang membuat saya menaikkan rating novel ini yg awalnya cuma mau saya rating 4. Saya mendengar suara setiap tokoh dan perasaan mereka. Membuat saya melihat kasus dan cerita ini dari kacamata masing-masing dan akhirnya membentuk opini saya sebagai pribadi diluar cerita. Dan walaupun saya bukan penulis, saya tahu nulis dengan multi POV itu nggak gampang. Salut buat para penulis yg mau capek-capekan melakukan ini.
Lalu apalagi? saya suka dengan pandangan hidup Amri, Chandra dan Bima. Cerdas, kritis, punya idealisme, dan kepedulian pada sekitar. Paling enak waktu denger mereka ngobrol. Dialog-dialognya enteng tapi berisi, analogi-analogi yg kadang nggak penting, tapi kalo dipikir-pikir lagi emang bener sih.
Masih soal karakter. Kebetulan abis belajar tentang temperamen. Amri, Chandra dan Bima (ditambah Danu adiknya Amri) adalah paket lengkapnya Florence Lietaur. Amri si melankolis, Chandra si Sanguinis, Bima si Koleris, dan Danu yang plegmatis. Kebaca sih sama saya, dan mungkin itu yang bikin novel ini hidup. Karena tokohnya nggak seragam. Ibarat mata angin, mereka menunjuk arah masing-masing. Punya jati diri, tapi bersinggungan ke dalam satu pusat (walah, sok ngikutin analogi-analoginya Bima nih).
Bagian favorit saya adalah waktu Amri pergi dari rumah, galau, lalu datang ke makam Ibunya. Meski nggak sampai cengeng-cengeng nangis, tapi saya yg juga hidup dengan single parent tahu gimana rasanya cuma hidup dengan 1 orang tua. Dan bagian favorit lainnya tentu menjelang ending. Ketika masalah Amri, Chandra dan Bima diselesaikan satu-satu. Setelah membaca lebih dari 350 halaman, akhirnya saya bisa melepas nafas lega karena mereka berdamai dengan masalah (yang menurut Bima adalah diri mereka sendiri. Ya, masalah terbesar dalam hidup kita adalah diri kita sendiri kan?). Tapi sayang, epilognya bikin saya teriak 'what?????' ini kalo di film hollywood ceritanya penjahatnya udah mati tapi tahu2 bangkit lagi dari kubur. nyebelin!
Terakhir (baru kali ini bikin review panjang banget. iya, soalnya ceritanya juga panjang sih). Saya yang penggila cerita cinta-cintaan, tidak memasukkan Versus sebagai novel favorit saya dari Robin Wijaya. Tapi... menurut saya, dari cara nulis, cara bercerita, dan lain-lainnya, Versus adalah novel yang ditulis dengan baik, sangat baik malah menurut saya. Alurnya smooth tapi pasti, dialognya keren, tokohnya hidup, dan seperti biasa setting yang dibuat Robin Wijaya selalu detail. Dan saya rasa, Robin Wijaya sebagai penulis berkembang menjadi lebih baik di novel ini. Sekian.
Buku karangan Robin Wijaya yang kedua yang gue baca setelah #SPTC ROMA yang menurut gue juara di QUOTESnya itu, dari judul udah menarik-VERSUS-kayanya pas gue liat covernya gue bakalan disuguhi problematika kehidupan yang didasarkan dari dua orang atau lebih. cerita dibagi jadi tiga Fragmen dari tokoh utama, yaitu AMRI, CHANDRA, dan BIMA.
Fragmen Pertama (AMRI), bisa dibilang Robi menjabarkan sosok amri dengan punya masalah keluarga kronis sama bapaknya yang seorang polisi, dengan adik yang sakit-sakitan dan ibu yang udah meninggal, amri jadi sosok yang keras tapi lembek labil. alur cerita masih aman.
Fragmen Kedua (Chandra), ada bagian chandra yang menceritakan soal BIMA yang menurut gue harusnya di bagian bima aja, trus ada bagian-bagian yang gak penting yang diceritakan yang membuat gue hilang kesadaran kalo gvue lagi jadi chandra. alur mulai oleng.
Fragmen Ketiga (Bima), sampai di bagian terakhir yang menyorot ke permasalahn bima yang sangat complicated. agak bingung sama alurnya yang berantakan.
novel ini menurut gue gak ada geregetnya, penggunaan kata gue, aku, saya disetiap fragmen mungkin buat ngebedain mana AMRI,CHANDRA, sama BIMA tapi itu malah bikin canggung bertolak belakang sama sifat ke tiganya yang digambarkan KERAS. dari ketiga Tokoh utama mungkin sosok chandra yang paling gue suka bukan karena apa tapi gue berasa ngaca- sering dibilang CINA, gak suka berantem, trus kalo ngomong asal jeplak-.dibagian akhir ada sosok awang yang menurut gue bikin pembaca bingung siapa dia? kenapa gak di sebutkan di awal? biarlah hanya kak Robi yang tahu #eaaa. sebenernya novel ini punya idea yang bagus karena jarang tema persahabatan tanpa adanya cinta-cintaan yang berlebihan. pembahasan barang, kebiasaan dan sebutan di tahun 90an menurut gue jadi kelebihan buku ini dan jujur bikin gue pengen flash back apalagi termention NINTENDO, halah ketauan udah tua. boleh gue bilang kalo imaginasi gue saat baca ini buku kaya nonton film MENGEJAR MATAHARI yang udah lama banget. dan pas selesai baca gue baru sadar ternyata covernya tidak mencerimkan ceritanya. sekian. bye.
Menutup buku ini dengan puas. Novel yang bagus dan tidak berlebihan. Waktu baca ini, gue langsung inget Before Us. Perasaan yang gue rasain sama kayak waktu baca Before Us: jujur dan apa adanya.
Yang gue suka dari Versus adalah cara Robin meramu cerita. Besides, ide ceritanya nggak banyak diangkat oleh penulis-penulis lokal. Bisa dibilang, sedikit anti mainstream lah. Dan cerita juga digulirkan oleh 3 orang tokoh-tokoh yang masing-masing mengambil peran dalam sebuah fragmen. Ini yang bikin gue tambah puas. Secara, usaha Robin untuk menulis novel ini bukan cuma beda dari segi tema tapi juga beda dari cara penyajian bikin gue yakin kalo Robin dan GagasMedia telah mengonsep novel ini dengan baik.
Pembagian penulisan lewat fragmen juga memberi kesempatan gue untuk menebak-nebak dan penasaran. Waktu baca fragmen Amri, gue nebak-nebak siapa Chandra dan siapa Bima. Bagaimana kehidupan mereka. Karena info tentang dua sahabatnya itu cuma diungkapin sedikit. Begitu masuk ke Chandra, Bima makin diperjelas. Begitu sampai di fragmen Bima. Semuanya dibongkar. Nggak cuma kehidupan pribadinya Bima aja, tapi juga ulasan-ulasan tentang Chandra dan Amri. Masa lalu keluarga mereka. Dan bagaimana kehidupan mereka setelah perang antar kampung terjadi.
Well, nggak ada karya yang sempurna. Kritik gue cuma satu: fragmen Bima yang satu-satunya diceritain dengan alur maju mundur. Flashback nya dibuat sambil cerita berjalan sebetulnya agak sedikit mengganggu. Mesti gue tanyain, kenapa Robin milih menceritakan Bima seperti itu? Kenapa nggak seperti fragmen Amri dan Chandra. Yang alurnya mundur, lalu maju lagi di akhir. Apa karena Robin nggak mau mengulang pola yang sama dengan 2 fragmen sebelumnya? Atau Bima terlalu spesial sampai diceritakan sepertu itu? Yang baca pasti tahu kenapa gue bilang Bima itu spesial. Coba bandingkan dia dengan Michael Sullivan di Sleepers, Ardi di Mengejar Matahari, atau malah Logan di X-MEN?
Anyway, ini karya ketiga Bang Robin yang gue baca setelah Before Us dan STPC: Roma, Con Amore. Paska membaca novel debut Bang Robin terbitan GagasMedia, gue emang sudah mengukuhkan diri buat ngikutin karya-karyanya. Dan begitu usai membaca novel ini, gue makin cinta sama gaya menulisnya.
Kali ini, Bang Robin mengusung tema tentang Jakarta. Yah, jakarta dengan segala paradoks, realita dan segala unsur tersembunyinya. Versus berkisah tentang 3 tokoh: Amri, Chandra dan Bima. 3 orang lelaki dengan 3 kehidupan dan kisah berbeda. Gue nggak mau spoiler soal gimana ceritanya, tapi intinya gue suka sama ni novel. Gue suka tiga karakter unik yang berkisah dengan gaya bahasanya masing-masing. Bang Robin berhasil emngisahkan tiga karakter dengan tiga gaya narasi yang berbeda.
Saya suka karakter Amri, yang meskipun gamang namun memiliki empati yang besar.
Saya suka Chandra, yang meskipun penakut dan terkesan slenge'an namun memiliki karakter yang unik.
Dan saya juga suka Bima, si preman kampung yang memiliki rasa persahabatan di atas rata-rata.
Nilai plus yang membuat saya makin suka pada novel ini adalah karena (lagi-lagi) Bang Robin menyentil isu homoseksual. Saya suka caranya menyisipkan isu tersebut, meski menurut saya kurang tereksplor.
At least, saya memberikan 4 bintang. Not too spectacular but unique.
Awalnya, saya tertarik untuk membeli buki Roma karya kak Robin. Tapi saat berbincang-bincang langsung bersama editornya, saya malah jadi beli Versus. Dan saya rasa, ini bukan keputusan yang keliru.
Versus buku yang menarik. Asyik banget baca dari awal. Semua tokoh berkarakter dan di bagian Bima banyak yang bikin saya sesak napas. Keren.
Buku yang komplit. Persahabatan, keluarga, hubungan antar adik dan kakak, Ayah dan anak laki-laki, juga percintaan.
Kalau mau baca novel yang ceritanya enggak berkutat soal cinta melulu. Versus bisa jadi pilihan yang tepat.
Sukses selalu Kak Robin. Lain waktu saya akan menikmati karya tulismu yang lainnya. ^^
Menyelesaikan novel ini dengan embusan napas lega. Robin sukses mengajak kita bernostalgia dengan ornamen dan setting khas 90-an. Juga sukses mengenalkan pada kita siapa tokoh Amri, Bima, dan Chandra. Tentang kentalnya persahabatan mereka, tentang perkara pelik keluarga mereka masing-masing, dan tentang cara pandang mereka dalam tiga fragmen berbeda. Membaca novel ini seperti membaca buku yang ditulis secara estafet.
Sudah saya katakan kalau saya akan membaca karya Robin. Membaca Versus seperti melihat come back penulis. Membaca novel ini dengan sajian pov pertama jamak, seperti dikembalikan ke waktu saya membaca debutnya, Before Us. Saya suka gaya bertutur penulis di novel itu--yang tidak ditemukan di dua buku selanjutnya--dan hadir kembali di VERSUS. Kekurangan di mata saya, hanya penggunaan pov pertama 'Gue' yang agak kagok. Selamat...
you canl feel the bromance is strong here, and feeling alive. i mean, this book tell us that life from each person's different. for you who seek 'how others doing' 'is my life can;t be any worser' bro, read this.
Karena blogger.com (nggak tau kenapa) lagi nggak bisa diakses, review-nya diposting duluan di sini aja yak :))
Judul: Versus Pengarang: Robin Wijaya Penerbit: GagasMedia Tahun Terbit: 2013 Tebal: 400 halaman
“Satu hal lagi yang aku pelajari kini, bahwa manusia tak akan pernah punya sikap adil. Kita akan cenderung membela apa yang kita sukai.”
3 sahabat yang berasal dari latar belakang keluarga berbeda dengan keterlibatan pada konflik yang sama: perselisihan antar kampung. Kampung Bayah dan Kampung Anyar ini memang sudah sejak dulu berselisih. Bahkan tak jelas pihak mana yang memicu perselisihan ini. Masalah kecil pun bisa jadi amat besar jika yang berselisih adalah dua orang dari dua kampung itu.
Amri. Remaja pemberontak yang merasa ayahnya memperlakukan dia dan adiknya, Danu secara tidak adil. Danu yang penurut dan merupakan anak kebanggaan ayahnya. Sedang Amri merasa ayahnya selalu berpendapat bahwa apa pun yang selama ini dilakukannya salah.
Chandra. Persoalan Chandra lebih rumit lagi karena dia merupakan keturunan etnis Tionghoa. Chandra sering sekali menjadi korban diskriminasi hanya karena dia bukan ras asli pribumi. Dari bullying di sekolah sampai dipalak oleh preman. Sialnya lagi, kedua orangtua Chandra lebi memedulikan urusan bisnis toko mereka daripada anak mereka sendiri.
Bima. Bagian Bima menurut saya yang paling menarik, tapi karena berdampak spoiler, saya ceritakan seidkit saja yak x)). Bima selama ini tinggal bersama kakaknya, Arya. Orangtua mereka bercerai dan telah menikah masing-masing dan dengan teganya menelantarkan darah daging mereka sendiri.
Kebersamaan mereka menyadarkan mereka arti hidup dan keluarga. Silakan simak kisah persahabatan dengan latar belakang perselisihan antar kampung ini dalam Versus :))
“Jadi, pelajaran nomor satu, jangan percaya sama aktor film laga kalo mau berantem.”
Kalau boleh jujur, 2 karya bang Robin yang pernah saya baca memang bukan selera saya. Karena bang Robin menggunakan bahasa puitis yang berbunga-bunga. Dan saya bukan penggemar gaya bahasa seperti itu :D
Tapi setelah membaca beberapa review tentang buku ini, dan banyak yang bilang kalau buku ini cukup berbeda dengan karya-karya bang Robin sebelumnya, terutama pada gaya bahasa. Dan hal tersebut berhasil membuat saya penasaran. Kebetulan sekali saya menang kuis yang sama sekali tidak saya ikuti, bahkan tau ada kuisnya pun nggak xD bisa dibilang saya jadi “korban” yang di-mention (via twitter), dan ternyata yang me-mention itu menang, otomatis saya ikut kecipratan dapet 1 eksemplar :)) *maapkeun kalo malah pamer xD*
Ada yang pernah nonton drama Korea Reply 1997? Atau Reply 1994? Nah, cara bercerita buku ini kurang lebih seperti dua drama tersebut yaitu dengan penceritaan flashback masa kini dan masa lalu. Gaya bercerita seperti ini menurut saya membuat betah baca bukunya karena membuat penasaran apa yang terjadi selanjutnya. Ditambah lagi dengan penggunaan 3 sudut pandang berbeda.
Karakterisasinya juara. Ada ciri khas tersendiri dari ketiga tokoh utamanya ketika bercerita. Menurut saya sik salah satu yang menunjang perbedaan cirri khas tersebut dengan penggunaan “aku”, “gue” dan “saya”.
Dan karena setting waktunya kebanyakan tahun 97-an, otomatis ada barang-barang yang membuat bernostalgia kayak: dingdong(saya malah baru tau kalo 1997 udah ada dingdong xD), Billabong, tamiya, walkman, komik Tinju Bintang Utara dan masih banyak lagi.
Eh iya sampe lupa, buku ini juga sedikit membahas isu sosial politik sekarang, nggak ketinggalan, the one and only si FA ;))
Sayang saya nggak menangkap maksud dari covernya. Menurut saya sik covernya kurang cocok dengan isinya.
Semoga bisa membaca karya bang Robin selanjutnya yang (kayak kata orang) maskulin macam buku ini.
MEMORABLE QUOTES:
“Bung, kedewasaan itu dibentuk dari waktu dan pengalaman. Sialnya, waktu yang menambahkan umur seseorang nggak bisa jadi jaminan kedewasaannya.” – Hal. 17
“Kalau waktu tak pernah berhenti, maka cara kita untuk bertahan adalah dengan terus bergerak.” – Hal. 23
“Kalau tak pernah ada solusi, maka cara kita bertahan dari masalah adalah dengan mencoba mengurangi.” – Hal. 23
“Pertemuan dengan Amri membuat gue menarik kesimpulan kalau ada hal-hal yang nggak bisa kita ubah sama sekali dalam hidup. Mereka akan terus ada, berjalan bersisian dalam kehidupan kita. Sekarang, tinggal bagaimana menentukan pilihan: larut dan hancur di dalamnya, atau malah membiarkannya. Membiarkan bukan dalam arti menyerah, dan bukan pula melawan. Karena melawan adalah bentuk kebencian yang lain.” – Hal. 159
“Perbedaan bukan sesuatu yang salah. Dan cara untuk menyiasatinya hanya dengan satu hal, menerima.” – Hal. 378
Pertama kali saya berkenalan dengan tulisan Robin Wijaya adalah lewat cerpennya Hujan Tanpa Pelangi di buku Kkmcer Dongeng Patah Hati, yang juga diterbitkan oleh Gagas Media. Saya menyukai tulisannya, makanya ketika novel Versus ini keluar, saya langsung membelinya.
Versus bercerita tentang 3 orang sahabat bernama Amri, Chandra dan Bima. Kisah mereka dibuka dengan kematian Bima. Amri dan Chandra yang menghadiri pemakaman sahabatnya itu hanya bisa terdiam tanpa meneteskan air mata, meski dalam hati mereka menangis. Mengapa Bima bisa menemui ajal lebih dahulu? Apakah ada hubungannya dengan persahabatan mereka.
Masing-masing mendapat porsi satu fragmen (terdiri atas beberapa bab) untuk bercerita. Fragmen pertama diceritakan oleh Amri. Alkisah mereka bertiga hidup di kampung Bayah, di salah satu sudut kota Jakarta. Amri tinggal bersama ayah dan adiknya, Danu. Sejak kematian ibu mereka, antara Amri dan ayahnya selalu tidak akur. Ayahnya menganggap Amri sebagai anak pembuat masalah, dan Amri sendiri sudah lelah menjaga image-nya di depan ayahnya akhirnya membiarkan pandangan ayahnya itu. Satu-satunya yang menyatukan mereka hanyalah Danu. Untungnya Amri memiliki sahabat seperti Bima dan Chandra yang selalu ada untuknya. Salah satu konflik yang dihadapi oleh ketiga sahabat ini adalah permusuhan antara Kampung Bayah dan Kampung Anyar. Permusuhan ini sudah ada sejak dulu, turun temurun. Pemuda antar kampung selalu tawuran dan saling mencurigai. Amri pernah dikejar oleh anak Kampung Anyar, hanya karena mengantar Nuri pacarnya yang adalah anak Kampung Anyar.
Fragmen kedua diceritakan oleh Chandra. Sebagai warga keturunan Tionghoa, Chandra selalu menghadapi masalah rasis. Dia benci dikatain cina, sipit, bahkan selalu dipalak hanya karena dianggap sebagai anak berada. Orang tua Chandra mempunyai toko yang lumayan besar, yang terletak di Kampung Anyar. Di tahun 1998, kala krisis ekonomi semakin mencekik, keluarga Chandra tidak terlepas dari keadaan itu. Toko mulai bangkrut karena harga dan inflasi yang meroket. Ketika ayahnya memutuskan untuk mengurangi karyawan, yang ada toko mereka habis dibakar.
Fragmen ketiga adalah kisah Bima. Bima yang selalu tampil “preman” di antara ketiga sahabat ini ternyata memiliki konflik tersendiri. Berasal dari keluarga broken home, Bima terpaksa tinggal bersama kakaknya, Arya. Belum cukup dengan masalah tanpa kehadiran orang tua, disorientasi seksual yang dialami Arya menjadi beban bagi Bima. Meski demikian, Bima dianggap sebagai jawara di Kampung Bayah. Mungkin karena sikapnya yang pemberani.
Lima belas tahun kemudian, hidup ketiganya berubah. Amri menjadi pengacara, Chandra sukses dengan bisnis tekstilnya, sementara Bima dengan ormas-nya. Perbedaan hidup mereka serta kebersamaan yang dijalani menjadi semacam penopang bagi ketiganya. Ketiganya memiliki pandangan yang sama, bahwa hidup itu memiliki bagian yang disebut sebagai teori paradoks (kasus yang tidak pernah terselesaikan). Tidak ada garis finish, tidak ada titik akhir. Karena waktu tidak pernah berhenti, satu-satunya cara adalah terus berlari bersama waktu. Penulis cukup jeli menjalin tiga masa (era orde baru, reformasi, dan saat ini) dalam satu kisah dan membuatnya sebagai teori paradoks. Melalui sudut pandang tiga orang yang berbeda, pembaca diajak menyelami ketiga masa itu secara beruntun, sambil menyisipkan pesan moral bahwa selalu ada harapan di antara perbedaan.
Sangat jarang sebuah novel mengangkat kisah dari sudut pandang laki-laki. Apalagi di dalam novel ini peran perempuannya nyaris tidak ada. Bahasanya juga cukup puitis ala Robin Wijaya. Karakternya juga cukup kuat, terasa ada perbedaan melalui kata ganti orang pertama (aku, gue dan saya). Tapi entah kenapa, saya tidak begitu menikmati novel ini. Salah satunya adalah tentang kematian Bima yang sepertinya terjadi begitu saja. Kalau kamu mengharapkan kisah yang manis, ga akan ada di novel ini. Namun bagi kamu yang ingin cerita persahabatan yang berbeda, kamu bisa menemukannya di sini.
Awalnya, saya sempat underestimate mendengar Robin sedang menulis novel yang konfliknya adalah tawuran antar kampung. Bukannya kenapa, tulisantulisan Robin di novelnovel sebelumnya cenderung melankolis dan mendayudayu. Novel Versus, yang saya dengar proses penulisannya sejak awal masuk GagasMedia, disebutsebut akan memiliki plot maskulin. Berbeda dengan novelnovel GagasMedia yang kebanyakan feminin termasuk novel Robin sebelumnya. Hampir setahun, sampai saya lupa, tibatiba saya mendapat email pooling cover novel Versus, yang setahu saya sebelumnya berjudul Paradoks.
Begitu buku ini selesai cetak, saya langsung membacanya selesai hari itu juga. Saya menyelesaikannya jam tiga pagi. Novel ini membuat saya hanyut dan tidak ingin berhenti membacanya. Tema persahabat cowok sangat kental mewarnai novel ini. Cara Robin bercerita tidak membuat saya bosan memasuki satu persatu pikiran setiap tokoh. Buat yang sedang bosan dengan bacaan bertema cinta atau politik, novel Versus bisa jadi alternatif yang pas. Saya akan merinci beberapa hal yang membuat Versus membetot saya untuk membacanya hingga selesai tanpa henti:
1. Tema persahabatan cowok jarang sekali diangkat. Kalaupun diangkat biasanya dangkal, cuma sekedar keseruan, kadang cenderung porno. Versus membungkus tema persahabatan ini dengan isu-isu yang seringkali tidak diangkat di novel remaja lain: tawuran antar kampung, krisis ekonomi, SARA, diskriminasi, dan bullying. Hebatnya, isuisu ini bisa bercampur sepanjang alur novel sehingga tidak memperumit cerita apalagi menggurui.
2. Dialogdialog di novel Versus menurut saya natural dan cerdas. Saya menikmati setiap percakapan yang dilakukan Amri, Chandra, dan Bima baik percakapan serius sampai yang tidak penting. Beberapa percakapan membuat saya tertawa, tersenyum miris, hingga berhenti sebentar untuk berpikir.
3. Penyusunan alur Versus yang mengganti point of view pencerita dalam satu garis waktu membuat cerita jadi tidak membosankan. Versus ibarat sebuah kisah yang diceritakan 3 orang secara estafet. Tokohtokoh menjadi tidak kehabisan nafas hingga tugasnya bercerita selesai. Hanya bagian Bima yang menurut saya sedikit membosankan. Tapi, hal itu menjadi sah karena dari awal kita dikenalkan oleh sosok Bima yang memang punya cara berpikir yang cenderung berat dibandingkan kedua sahabatnya.
4. Latar dan waktu di novel Versus dekat dengan kehidupan saya. Pelajar SMA di tahun 90-an akhir. Meski di beberapa bagian, Robin terlihat sibuk memasukan ikonikon di tahun itu, saya menikmati kenangan kembali ke masamasa SMA di tahun itu lagi sepanjang membaca novel.
5. Adegan perkelahian dan tawuran di novel Versus tidak dilebihlebihkan dan tidak berlebihan. Saya tetap bisa membayangkan adeganadegan ini tanpa harus banyak berpikir keras. Adegan perkelahian juga selalu punya alasan, bukan sekedar menjadi syarat sebuah konten novel yang mengisahkan persahabatan cowok.
6. Versus mengangkat isu kekerasan, diskriminasi, dan bullying tidak dengan ambisi besar untuk membuat pembaca simpatik apalagi mengubahnya keadaan di muka bumi. Novel ini mengisahkan dengan simpatik peristiwa yang dialami tokoh yang membuat isuisu tersebut masuk dalam kehidupan harian mereka.
Membaca Versus mengingatkan saya pada serial TV Anak Menteng dan film Mengejar Matahari. Energi yang dibawa setelah membacanya kirakira sama. Namun, di dalam Versus, Robin memasukan satu karya yang mungkin orang sudah lupa atau anak sekarang mungkin tidak tahu, yaitu Harimau Harimau karya Mochtar Loebis. Ini mungkin yang membedakan Versus dengan Anak Menteng dan Mengejar Matahari, seperti Harimau Harimau, Versus lebih mengetengahkan bagaimana setiap tokoh berjuang melawan halhal negatif yang menguasai dirinya, kebanding menceritakan kesuksesan tokoh di bagian penutup novel.
Setelah baca buku terakhir penulis yang judulnya Roma terus baca ini langsung nanya, ini serius orang yang sama yang nulis? Sumpah, beda banget. Bukan cuma dari isi dan ide cerita aja, tapi cara ngebawainnya juga beda. Yahhhh kita tau lah, Robin selalu menuhin novelnya dgn tulisan2 puitis, romantis, galau dan semacam itu. Sementara disini ceritanya maskulin banget. Ada sih bagian2 yg lucu juga kayak waktu Chandra pacaran sama cewek chinese, tapi ya udah nggak gombal gitu.
Seperti biasa, saya lebih suka membahas kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan: Pertama adalah ide. Menarik, tapi menurut saya sebetulnya tricky. Idenya nggak orisinil-orisinil amat. Ada film2 lain yang mirip seperti ini. Misalnya Mengejar Matahari, 9 Naga, atau Serigala Terakhir. Disinilah kepiawaian penulis diuji, bagaimana membuat cerita ini jadi berbeda. Dan caranya adalah dengan memasukkan unsur budaya dan setting tahun 90-an dan bikin saya jadi nostalgia. Terus, cara penggarapan cerita yang dibagi menjadi 3 fragmen menurut saya adalah strategi jitu yang kembali membuat cerita ini jadi berbeda dari cerita-cerita yang lain (oh, sebenernya ada juga sih, Pintu Harmonika nya Clara Ng. Tapi menurut saya Versus lebih enak dinikmati karena ceritanya berlanjut terus). Kedua, ide dan isu dalam cerita ini sebetulnya bukan termasuk budaya pop seperti banyak dibawa penulis-penulis Gagas yang lain. Bahkan menurut saya bertolak belakang banget dari Roma yang kesannya modern, nyeni, dan sweet. Disini keberanian penulis harus saya acungkan jempol. Kalo cerita tidak dikemas dengan baik, jatuhnya jadi kayak novel kampung, yang pas dibaca penggemar-penggemar pop jadi kayak 'novel apaan sih ini'. Ketiga, tokoh-tokohnya sangat menyenangkan untuk dikenali. 3 cowok yang 'cowok banget', bandel, punya kekurangan masing-masing, tapi sama sekali nggak membuat kita sebel, sebaliknya mengundang simpati. Tiba-tiba jadi inget dialog dari film apa gitu yang bilang 'girls love bad boy actually', gitu deh. Empat, cara penulis mengelola ritme cerita turun-naik. Pembaca jadi nggak bosan. Nggak intens tegang melulu, nggak juga slow melulu. Lima, endingnya. I love the ending. Berbeda dengan beberapa review yang lain, saya suka endingnya. Seperti nonton film, saya sengaja dibiarkan menyimpulkan sendiri. Dan ngomong-ngomong soal film, waktu baca ini saya membayangkan bagaimana kalo film ini dibuat versi layar lebarnya? Indonesia lagi gemar mengadaptasi novel jadi film. Isi ceritanya udah film-able. Dan saya sebagai cewek juga kangen sama tontonan-tontonan maskulin seperti Mengejar Matahari itu. Semoga ya ada yang mau ngadaptasi.
Kekurangan: Nggak ada buku yang benar-benar sempurna dan memuaskan kan? Iya, saya juga. Yang kurang menurut saya adalah: bagian Chandra agak kepanjangan. Cerita udah enak dan pas di Amri, sementara di Chandra ada beberapa adegan yang menurut saya nggak perlu-perlu amat. Dan, Chandra ini jutek banget ya? Kurang suka aja jadinya. Selain itu lifestory Bima yang diceritakan dari sudut pandang Bima membuat Bima malah jadi terlihat kurang objektif. Waktu Bima cerita tentang Amri dan Chandra, saya setuju. Tapi pas Bima cerita tentang dirinya sendiri, saya jadi mikir 'kok elo gitu sih?'. Sayang aja, padahal Bima adalah karakter favorit saya di novel ini.
Terakhir, saya akan baca lagi buku penulis selanjutnya. Terserah mau yang romance atau yang 'cowok' kayak gini. Semoga yang 'cowok' gini juga bakal ada lagi sih. Soalnya seru aja baca kisah cowok-cowok dengan isi kepala dan sudut pandang mereka.
Selesai dalam sekali duduk aja ternyata. Mumpung masih anget di otak, langsung review deh. Antara 4 atau 4.5 sebetulnya. Bisa aja sih dibuletin jadi 5. Cuma karena pengennya baca yg cinta-cintaan, jadi nggak ngasih full deh ya.
Cerita di novel ini bisa dibilang kompleks. 3 tokoh utama yang punya masalah sendiri-sendiri. Konflik terbesar Amri adalah masalah Ayahnya yang single parent dan mendidik dia dengan keras dan disiplin. Selain itu Amri punya Danu, adik semata wayang yang diakhir cerita jadi tonggak perdamaian antara dia dan Ayahnya. Lalu Chandra, remaja etnis tionghoa yang sering dibully di sekolah dan jadi korban pemerasan preman. Benci sama keadaan dan dirinya, dan benci sama pribumi-pribumi yang membenci dia. Bahkan sampai dewasa dia sering mengutarakan kebencian tersebut lewat candaan-candaan sarkastis. Terakhir adalah Bima. Sosok paling mandiri, percaya sama dirinya sendiri, idealis, pandangan hidupnya adalah kalau perbedaan harus bisa disiasati. Konflik Bima ada pada abangnya yang memilih menjadi waria karena orientasi seksualnya yang suka sesama jenis. Juga orang tuanya yang bercerai dan menelantarkan Bima dan abangnya itu.
Tiga tokoh dengan konflik2 di atas, juga isu tentang bullying dan perbedaan yang menjadi garis besar cerita di novel ini. Semuanya saling berkait satu sama lain. Diceritakan lewat 3 POV. Amri, Bima dan Chandra masing2 cerita lewat fragmen mereka. Jadi seperti membaca 3 novella dalam 1 buku (ini buku Robin Wijaya yang paling panjang yang pernah aku baca, 400 kurang 2 halaman). Di fragmen Amri masalah-masalah mulai dimunculkan, sambil pelan2 pembaca diberi potongan2 clue tentang Chandra dan Bima, begitu seterusnya sampai ke fragmen Chandra dan akhirnya puncak penyelesaian ada di fragmen Bima. Sebenernya ceritanya nggak serumit review ini. Percaya deh, ceritanya enak dibaca dan nggak bikin bingung. Cuma aku aja yang nggak pinter nyeritain ulang. hehehehe.
Novel ini jadi menarik karena diceritakan lewat 3 orang. Kita jadi merasa kenal siapa2 orang di novel ini dan seperti apa mereka. Di fragmen Amri, cerita terasa miris-miris sedih. Sedangkan Chandra cenderung blak-blakan dan apa adanya. POV Chandra yang ada di tengah buku dan pake kata ganti 'gue' juga menjadi penyegaran karena terkesan santai dan kasual. Setelah itu, baru masuk ke Bima yang agak serius dan kritis.
Aura novel ini maskulin. Jadi jangan bayangin romance-romance galau dan unyu2 ala Robin Wijaya. Quote-quote kece masih ada. Terselip dalam obrolan-obrolan tokohnya. Tapi karena ini yang ngobrol cowok sama cowok terus, yaa.... galaunya kurang deh. Tapi tetap, Versus adalah kisah yang menarik. Bahkan aku nggak menyangka kalau Robin akan mengeluarkan novel semacam ini. Versus jadi semacam penyegaran. Pembaca-pembaca Robin Wijaya bisa menjadikan Versus sebagai alternatif bacaan. Dan setelah membaca ini, aku yakin penulis bukan cuma orang yang romantis, tapi juga pemikir yang kritis. Mau tau kritisnya dimana? Ya baca aja.
Terakhir. Bima adalah tokoh favorit aku. Sangat disayangkan cerita dimulai dan diakhiri dengan kepergiannya. Meskipun begitu, pandangan-pandangan dan filosofi Bima tentang paradoks, teori lingkaran, perbedaan dll tetap hidup dalam dua sahabatnya: Amri dan Chandra.
Bayangin, gue beli buku ini sampai ke Bandung! (Btw, gue domisili di Jawa Timur #GagalPokus)
Lagi-lagi gue melakukan sebuah kesalahan --> berekspetasi terlalu tinggi. Tahu kenapa? Sebelum baca novel ini gue udah wara-wiri liat promo-nya yang demikian gencar dan baca review-nya di goodreads. Rata" bintang 4 (bahkan 5) dari mayoritas pembaca. Gue tetep pingin objektif ngasih bintang, meski gue nggak suka sama tema atau nuansa ceritanya, selagi isinya masih ok, gue harus ngasih bintang yang sesuai dengan kualitas. Atas dasar reviewer yang ada, gimana gue nggak berharap bakal nemuin sesuatu yang luar biasa di novel ini?! *Ngelantur
Yap, gue nemuin sesuatu yang luar biasa juga sih --> luar biasa bosen pas sampe halaman 200an. Awalnya gue udah mematok minimal mau kasih bintang 4, sayangnya pas mulai baca ini (di kereta dari Bandung ke Madiun. Lumayan bisa dapet 100an halaman, selesai fragmen Amri). Sayang bersama halaman demi halaman, pendar bintang itu memudar. Gue ngerasa nuansanya monoton. Interaksi antara Amri, Chandra dan Bima pas bareng yang digambarkan rame dan seru rasanya hambar. Secara langsung emosi yang gue rasain ya, flat aja. Ketika baca review sebelum baca dulu, gue ngira bakal banyak adegan seru macam tawuran atau kebersamaan antar cowok yang gila. Nemu, sih, cuma beberapa. Tapi nggak ada yang sampai klimaks banget. Pas bagian misi rahasia (no spoiler) di toko Chandra, kenapa gue tiba-tiba inget seri Lima Sekawan. Bukan karena ceritanya sama lho, cuman menurut gue lebih seru di Lima Sekawan :p Alasan kenapa setting flashback musti 1998 juga kurang kuat menurut gue. Yang paling nyambung ya pas kasus kebakaran toko ortu-nya Chandra. Di luar kasus itu, misal tahunnya dibikin 90an yang lain (selain 98) nggak bakal terlalu masalah. Tahun 1998 terlalu magis untuk setting yang nggak terlalu terpengaruh sama situasi saat itu. Sebetulnya dari segi tema udah ok-lah, penyegaran di tengah romance yang tetep menguasai rak-rak novel di toko buku :)
This Book is Greatt!! pas selesai baca aku langsung puas. cerita yang berada dalam novel bang Robin ini berbeda dari cerita yang biasa aku baca. biasanya aku dapat buku romance yang cerita nya tentang cinta, tapi sekarang ini lain, buku ini menceritakan tentang konflik yang tak berkesudahan yang tidak memiliki garis start dan garis finish karena selalu terulang dari masa ke masa!
Buku ini terdiri dari prolog-3fragmen-dan epilog. prolognya menceritakan tentang kematian Bima yang meninggalkan duka dalam bagi amri dan chandra. Fragmen Satu : menceritakan tentang kisah AMRI amri adalah anak pertama dari 2 bersaudara yang selalu berselisih paham dengan ayahnya yang selalu membedakannya dengan Danu-adiknya. walaupun begitu amri tetap sayang pada adiknya dan selalu membantu adiknya.
Fragmen Dua : Chandra Fragmen dua ini menceritakan tentang bima, tentang hidupnya yang penuh penolakan karena beretnis Tionghoa sehingga sulit baginya untuk berbaur dengan masyarakat pribumi disekolahnya. orang tua chandra adalah pedagang kelontong. hidup mereka baik-baik saja hingga ketika terjadi krisis moneter tahun 1998 menyebabkan toko tutup dan tokonya dibakar oleh orang kampung anyar. oleh karena itu mereka melakukan perang antara kampung bayah dan kampung anyar. tapi chandra bisa bangkit dan keuangan mereka juga bisa stabil
Fragmen Tiga : Bima Fragmen ini menceritakan tentang kehidupan bima yang semrawut karena ayah dan ibunya telah bercerai dan ia hidup bersama arya-kakaknya. bima besar menjadi preman kampung yang kuat dan ia bersahabat dengan amri dan chandra. bima hanya memiliki masalah dengan kakaknya yang menjadi waria yang suka "main malam" tetapi pada akhirnya dia bisa menerima dan menasihati kakaknya. bima aktif dalam kegiatan ormasnya. tetapi pada akhir januari 2013 dia meninggal karena dibacok orang.
kisah ini bagus banget. rasanya aku bisa merasakan perasaan tiap tokoh dalam novel ini. selain itu yah novel ini laki-laki banget! puas deh bacanya. thanks bang robin :)
Tiga sahabat dari latar belakang hidup yang berbeda, dipertemukan oleh takdir yang sama, sama-sama harus menjadi pejuang untuk kampungnya, Kampung Bayah. Permusuhan yang mendarah daging, akhirnya dianggap sebagai tradisi yang turun temurun, membuat Amri, Chandra dan Bima sering kali harus berurusan dengan anak-anak Kampung Anyar. Kampung yang menjadi musuh bebuyutan Kampung Bayah sejak bertahun-tahun lamanya. Sebenarnya, tak ada yang tahu apa yang membuat mereka bertarung. Hanya sebuah titel ‘harga diri’ yang membuat mereka tak peduli pada apapun, termasuk nyawa yang hanya tunggal dianugrahkan Tuhan untuk umatNya. “Kalau waktu tak pernah berhenti, maka cara kita untuk bertahan adalah dengan terus bergerak.” – Kalimat Bima dikutip oleh Chandra – Hlm. 23 “Kalau tak pernah ada solusi, maka cara kita bertahan dari masalah adalah dengan mencoba mengurangi.” – Amri – Hlm. 23
Amri adalah anak seorang polisi. Dia dididik dengan keras. Namun, Amri malah terbentuk sebagai seorang pemberontak. Membuat dia harus rela tersisih dari hati ayahnya, dan selalu diperlakukan tidak adil. Chandra, si sipit keturunan Tionghoa yang selalu mendapatkan bullying dari teman-teman sekolahnya, bahkan hampir setiap hari dia menjadi korban palak para preman. Kejadian-kejadian tak menyenangkan itulah yang membuatnya menyesal dilahirkan sebagai orang keturunan. Dan Bima, si pengambil keutusan di antara mereka. Si pemberani yang tidak kenal takut. Dia hanya tinggal dengan kakaknya yang transgender, Arya, karena meski orang tuanya masih lengkap, namun mereka seperti tak pernah dianggap ada.
Buku keduanya Robin Wijaya yang saya baca setelah Roma, dan asli Versus ini saya suka banget! Setting pas zaman akhir Orba sekaligus krismon ini bikin novel ini beda banget sama novel-novel lainnya. Kritik sosial berhamburan di tiap paragraf, mulai dari krismon, tawuran, sampai rasisme yang dikemas menarik dan gak bikin bosen. Intinya novel ini ngambil tema 'perbedaan'.
Oiya, di novel ini juga ada tiga fragment dari sudut pandang Amri dengan 'Aku'-nya, Chandra dengan 'Gue'-nya, dan terakhir Bima dengan 'Saya'-nya. Saya paling suka fragment Bima karena dapet banget pergolakan emosinya :') Banyak kalimat-kalimat di novel ini yang saya suka, share dikit ah!
"Kalau waktu tak pernah berhenti, maka cara kita untuk bertahan adalah dengan terus bergerak." (Hal. 152)
"Ternyata ada hal-hal yang benar-benar nggak berubah, atau jangan-jangan memang nggak bisa hilang sama sekali." (Hal. 158)
"Kadang aneh juga, orang yang kita pikir dekat dan kita kenal luar dalam, ternyata malah nyimpen rahasia sendiri dalam hidupnya." (Hal. 208)
Kadang kita perlu melintasi masa lalu. Bukan untuk mengenang-ngenang, tetapi untuk menyelesaikan apa yang belum terselesaikan, agar kita bisa melangkah lagi tanpa terbebani bayang-bayang. (Hal. 361)
"Kebencian yang sudah telanjur ditanam, akan terus tumbuh dan berbuah. Kecuali dicabut hingga ke akar-akarnya." (Hal. 369)
"Dalam hidup kita perlu punya keberanian, dan keberanian hanya akan muncul dengan mengalahkan rasa takut terlebih dahulu." (Hal. 388)
Kalian harus banget baca novel ini, gak akan nyesel :))
Saya menyukai buku ini dengan cara yang aneh. Entahlah, maksud saya, saya juga nggak mengerti kenapa suka dengan buku ini. Selain karena buku ini bukan romance (ada sih, romance-nya, sedikit), saya juga bukan orang yang suka membaca buku-buku yang di dalamnya sarat emosi, kebencian, pertikaian (dan mungkin ini ada hubungannya dengan selera saya yang lebih suka drama-drama macam cinta bertepuk sebelah tangan atau mantanan yang tiba-tiba balikan, atau sama-sama suka tapi tidak pernah saling mengungkapkan. atau cerita-cerita lain macam itu). Tapi sekali lagi, saya menyukai buku ini dengan cara yang aneh.
Well, mungkin ada sedikit (sekali) koreksi, seperti di hal. 350 yang mungkin harusnya 'kami' tapi ditulis 'kamu' atau di hal. 354 yang seharusnya 'awang' tapi ditulis 'arya'. Tapi sungguh, saya sangat-sangat menikmati buku ini hingga akhir. Betapa saya merasa begitu sedih atas apa yang menimpa Danu, juga rasa getir dan takut yang saya alami ketika membaca epilognya.
Bahwa kebencian yang ada di antara kita memang kebanyakan hanyalah paradoks. sesuatu yang tidak akan pernah terselesaikan.
Selain itu, tentu saja saya menyukai desain cover-nya, juga POV yang sempurna sekali (nggak heran, kalau baca catatannya Kak Michan, sih, POV ini memang sempat jd masalah dan harus dirombak, kan?). Pokoknya, saya nggak ragu untuk bilang bahwa saya suka dengan buku ini.
Saya nggak sabar untuk membaca buku Koh Robin yang lain. Cepat terbit, ya ^^
setelah selesai baca buku ini, aku langsung googling apa sih teori paradoks itu. penjelasannya bikin pusing, tapi dari ilustrasinya mudah dimengerti.
Buku ini aku beli bareng sama Restart-Nina Ardianti. well, Versus bercerita tentang 3 sahabat; Amri dengan konflik keluarganya (Ayahnya tepatnya) yang selalu memandang Amri di pihak yang salah.
Chandra, konflik yang dihadapi Chandra lebih rumit karena berhubungan dengan SARA. Chandra lahir di keluarga beretnis Tionghoa dan pada waktu itu (sekarang masih) menjadi etnis minoritas di indonesia. diejek, dihina, dipalak udah jadi makanan sehari-hari buat Chandra.
Bima. Konflik yang dihadapi karakter ini memang agak rumit dan seriously, gimana nggak rumit sementara dia broken home dan sejak kecil tinggal sama kakak laki-lakinya yang punya kelainan orientasi seksual bahkan dia juga dandan kayak perempuan. gak gampang kan?! apalagi dengan hinaan dan ejekan dari orang sekitar.
selain gaya tulisan Robin Wijaya yang enak dan lembut tapi tetep manly. cara buku ini ditulis juga unika. dibagi menjadi tiga fragmen, Amri, Chandra dan Bima. juga alur mundur-maju nya tulisan. saya suka.
Tapi, karena ending yang kurang greget bikin aku cuma kasih empat bintang.
juga, cover buku ini. aku gak paham ini gambar apa dan apa hubungannya sama ceritanya.
Baca karya Robin Wijaya untuk kedua kalinya. :) Awalnya agak ragu buat beli buku ini. Jujur aku agak kurang suka sama sampul depannya. Tapi akhirnya aku penasaran dan coba cari tahu di Goodreads. Ternyata banyak yang bilang keren. Akhirnya aku beli deh. Seperti kisah-kisah lainnya aku selalu terpesona sama bagaimana cara para lelaki bersahabat. Mereka tidak perlu menceritakan banyak hal untuk saling tahu satu sama lain. Berbeda dengan kami para wanita yang cenderung lebih banyak cerita. Ketika baca bagian pertama langsung terpesona karena gaya bahasanya keren banget. Pengaturan katanya pas dan hebat. Saat baca buku ini aku selalu berfikir, 'kok bisa menemukan kata-kata kayak gini'. Walaupun aku semedi selama satubulan pun kayaknya nggak bisa nemuin. Well yang paling aku suka adala ceritanya Bima cara dia berinteraksi dengan Arya menurutku keren, sekalilagi cvowok mungkin terkadang nggak perlu berbicara untuk mengetahui karak ter masing-masing. Selain itu bagian yang aku suka adalah bagaimana Bima bercerita, penggunaan kata saya, selelu menyenangkan. Banyak hal yang bgisa diambil dari novel ini, bagaimana cara mengatasi rasa benci, dendam, dan bagaimana bisa menerima. Teori paradoks yang menyenangkan, karena memang benar ada beberapa hal yang tidak ada solusinya. Sangat-sangat bagus. :)
Menutup buku ini dengan perasaan campur aduk. Antara puas, terpukau, sedih, dan penasaran. Ceritanya agak ngatung. Masih penasaran Bima dibunuh siapa, siapa jodohnya Amri; apakah dia bisa move on dari Nuri, nasib Arya gimana, dsb. Kadang ending dari sebuah cerita nggak harus dijabarkan setiap penulis, kadang penulis sengaja bikin cerita ngegantung supaya pembaca bisa berimajinasi sendiri. Karya kedua dari Mas Robin Wijaya yang saya baca, sebelumnya saya pernah baca ROMA, dan sumpah saya gak percaya yang nulis adalah orang yang sama. Awalnya saya berpikir buku ini bakal membosankan karena romancenya hampir gak ada, tapi kemudian saya membeli juga buku ini karena setelah dipikir saya juga bosan membaca cerita romance yg gitu2 aja. Baru kali ini membaca cerita tentang persahabatan cowok, dan yg nulis juga cowok. Tokoh favorit saya, ofc Bima. Tapi kenapa dia yang harus dikorbankan dalam cerita ini? Hehe. overall, KEREN. Kekurangannya paling ada typo dan penyebutan nama yg salah, tapi masih bisa dipahami, sama ada dua kata yang tulisan hurufnya nggak kebaca. Semoga cepet2 ada produser dan sutradara yang membaca buku ini dan mau memfilmkannya. Oh iya buku ini juga membuatku tahu tentang era 90an karena aku adalah bayi millenium alias anak yang lahir persis di tahun 2000. -XOXO-.
Siapalah saya, seorang pembaca awam yang coba-coba mengulas sedikit tentang novel karya Robin Wijaya ini.
Kalo kamu bosan dengan cerita cinta yang lagi marak banget sekarang. Dan butuh bacaan segar dan genre yang berbeda.
Maka kamu wajib baca ini!!
Bima, Chandra, dan Amri. Tiga sahabat yang sangat berbeda, sungguh sangat berbeda, baik keluarga, latar belakang, cinta, sekolah, dan lainnya.
Mereka hidup pada masa 1998, di mana Indonesia tengah bergejolak saat itu. Tinggal di Kampung Bayah, yang hanya dipisahkan oleh jalan raya, membuat kampung tersebut menjadi musuh bebuyutan Kampung Anyar.
Selain suspense dan twist yang tak disangka-sangka. Plot maju-mundurnya juga oke banget. Dan yang paling buat saya geleng-geleng kepala. Sudut pandang orang pertamanya hampir enggak ada yang bocor dalam konteks 'aku'nya, yaa paling suka pas bab-nya Amri sih XD
Well, saya kurang satu bintang karena agak kecewa di bagian Bima yang melulu bahas soal abangnya, padahal saya berekspektasi orang tuanya yang bakal digenjot abis-abisan disini. Tapi sayang, hal itu tidak terjadi.
Tapi overall, typo nyaris gak ada dan tata bahasa dua jempol deh. Selamat! :)
Versus by Robin Wijaya Jakarta: Gagas media, 2013 (400 halaman)
Bagus! Masih jarang nemu cerita dengan persahabatan 3 cowok, sekilas inspirasinya mirip sama film mengejar matahari.. ceritanya menarik dibagi dari 3 sudut pandang (Amri, Chandra, Bima) yang mencoba berdamai dengan luka di masa lalu
Amri, yg selalu berselisih paham dengan ayahnya dan berubah ketika Adik satu2nya Danu meninggal ketika tawuran antar kampung
Chandra, seorang tionghoa yang sangat sensitif dengan isu SARA yg sering diangkat oleh orang pribumi.. yg pada satu sisi mencoba belajar berdamai dengan menikah dengan pribumi
Bima, seseorang yang selalu menganggap hubungan manusia adalah fana, tidak kekal karena kondisi keluarga yg broken home. Dia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan bahwa abang satu2nya, Arya adalah gay..
Settingnya juga diangkat dijaman era 90an.. kayak kembali mengenang masa lalu.. mulai dari Nirvana, queen, MTV, Base jam, Dewa 19, istilah EHB, walkman, lupus, roll kamera isi 36 dan lain
BAGUS BANGEEEEET!!! :*** Suka sama ide ceritanya yg ngga biasa, karakternya terutama Bima, dan cara penulisannya. Cara penulisan setiap fragmen bener-bener mewakili karakter tokohnya. Amri yang kalem tapi tangguh, Chandra yang outspoken, dan Bima yang selalu berpegang sama keyakinannya sendiri. Ciri khas mereka bener-bener tercermin dalam tulisan. Salut! Enjoy banget baca cerita mereka, mulai dari ceritanya yang memang seru sampai dialog-dialog antar tokohnya yang khas cowo dan kocak. Pembaca bener-bener diajak terlibat sama persahabatan mereka yang unik dan kuat. Emosi mereka juga khas remaja, labil dan gampang tersulut. Dan kelihatan perbedaan emosi mereka waktu remaja dan dewasa. Masalah-masalah yang dialami tokohnya juga bisa menguras emosi. Sedih liat keadaan Amri, simpati sama Chandra, dan berusaha memahami marahnya Bima sama Arya. Sukses bikin begadang buat baca sampai hampir jam 2 pagi. THUMBS UP (y) (y)
VERSUS. Well, lima bintang buat novel ini. Entah mengapa gue sangat terkesan dengan novel buatan Robin Wijaya. Fragmen satu di buka sama Amri yang melankolis tapi! Ugh! Gue suka Amri, sosok kakak yang harus gue tiru karena gue anak pertama dan punya adik laki-laki juga. Chandra, di fragmen kedua, mengajari gue gimana caranya bergelut dengan kepayahan yang dimiliki seseorang. Bagaimana menggunakan rasa takut sebagai acuan dari permulaan sebuah keberanian. Satu hal lagi yang gue simpulkan sendiri setelah baca fragmen Chandra, berperang melawan segala hal di kehidupan ini bukan hanya diperlukan otot, tapi kedewasaan. Fragmen tiga Bima! Shit! Major shit! bahkan gue dengan iklas memberi lima bintang lagi buat fragmen terakhir di dalam novel ini. Well, gue bukan seorang peng-review yang handal. Tapi gue saranin kepada kalian. VERSUS adalah novel bertajuk realita terbagus yang pernah gue baca.
Ini novel pertama Robin Wijaya yang saya baca dan saya langsung jatuh cinta sama tulisannya. Kemana aja saya selama ini? Robin Wijaya bakal masuk jadi penulis cowo favorit setelah Andi Eriawan dan Moemoe rizal. Plis saya selalu penasaran sama penulis-penulis cowo dan mereka semua ngena banget di hati #cikiwww.
Novel ini bukan tentang cinta-cintaan yang menye-menye, novel ini maskulin banget. Kerasa banget persahabatan tokoh-tokohnya. Mereka bertiga punya kesan tersendiri. Butuh satu minggu buat move on, bahkan kalo liat novel ini di rak buku saya suka mikir kenapa ga dari dulu dibaca sihhhh. Baca aja dan pikiran kalian akan terbuka, suka banget sama konflik2 98 yang diangkat. Pliss selalu suka sama cerita-cerita kayak gitu, mungkin karna dulu masih kecil kali ya jadi buta banget sama konflik 98.
Novel ini tentang Persahabata, keluarga dan cinta yang ga biasa! Pokoknya rekomended bgt! Love love buat Bimaaaa, aktivis tersayangku hahaa.