Banyak sekali pilihan yang harus diputuskan satu detik pertama sejak seorang ibu dinyatakan hamil: Harus minum susu hamil atau nggak? Normal atau caesar? ASI apa susu formula? Dan seterusnya. Padahal ada yang lebih penting dari semua hal di atas, yaitu kesiapan mental kita menjadi seorang ibu.
Di buku ini, penulis yang merupakan new mommy dan juga calon dokter anak menuangkan pengalamannya ketika dia baru saja menyandang gelar prestisius ini. Berisi segala hal tentang seluk-beluk dunia ibu, seperti: baby blues syndrome, pengalamannya menyusui eksklusif dengan jam kerja sangat padat, manfaat pijat bayi, menangani anak sakit, aman meninggalkan anak di rumah, dan topik-topik seru lainnya disertai aneka tips yang bisa segera dipraktikkan.
Pada akhirnya, kita hanya bisa mengiyakan bahwa ... motherhood is a heart work.
Saya kira dulu menjadi Ibu itu hanya sakit ketika melahirkan, ternyata tidak. Ada yang paling menyakitkan lagi, yaitu bullying dari sesama ibu-ibu. Perbedaan-perbedaan dalam mengasuh anak rupanya menjadi begitu penting di mata para ibu-ibu dan mereka merasa wajib untuk membuat ibu-ibu lain mengikuti gayanya. ASI VS Sufor, Ibu Bekerja VS Tidak Bekerja, Lahiran Normal VS Caesar, Vaksin VS No Vaksin, Makanan Instan VS Alami, dan sebagainya.
Di dalam buku “Don’t Worry to Be A Mommy” ini dr. Meta Hanindita, seorang ibu yang juga dokter anak, menceritakan pengalamannya menjadi Ibu, mengasuh putrinya, Nayara. Dituliskan dengan bahasa sehari-hari seperti sedang bercerita saja. Bab pertama berisi pengalaman dr. Meta saat hamil dan melahirkan, disertai tips menghadapi baby blues, kondisi umum yang dialami ibu-ibu pasca melahirkan.
Bab kedua berisi pengalaman dr.Meta saat menyusui Naya yang patut diacungi jempol. Naya pernah terkena Breastmilk Jaundice; kuning akibat ASI, sehingga dr.Meta diminta untuk tidak memberikan ASI dulu kepada Naya, tetapi beliau bersikeras karena yakin ASI akan menyembuhkan penyakit kuning bayinya itu. Beliau juga sangat rajin memerah ASI untuk persediaan bila sudah kembali bekerja,walaupun ASI yang keluar hanya sedikit. Setelah bekerja kembali, beliau masih rajin dan berupaya keras mengusir rasa malas untuk memerah ASI demi tetap memberikan ASI Eksklusif enam bulan dan bahkan dua tahun.
Beliau menularkan semangat itu ke ibu-ibu di sekitarnya. Ini yang secara tak sadar memicu perilaku bullying di antara sesama ibu-ibu. Memang niatnya ingin memberi saran, menginspirasi, mengajak ibu-ibu lain untuk melakukan sesuatu yang kita anggap baik, tetapi sering kali terjebak pada pemaksaan pendapat, saling menghina, dan mengejek. Ada dua pengalaman dr. Meta tentang kampanye ASI-nya yang membekas di hati saya. Yaitu ketika Dea, seorang temannya, tidak berhasil memberikan ASI Eksklusif untuk bayinya tiba-tiba saja mengirim twitpic “ijazah” dari AIMI bahwa anaknya sudah lulus S1 ASI.Ternyata Dea berbohong hanya agar tidak “dinsyinyirin”oleh ibu-ibu di luar sana yang begitu gencar mengkampanyekan ASI.
Pengalaman lainnya, ketika dr. Meta kedatangan pasien bayi berusia 4 bulan yang terkena diare karena gonta-ganti susu formula. Beliau mendesak ibunda Ria agar memberikan ASI Eksklusif saja dan ditolak dengan berbagai alasan, sampai ibunda Ria berkata, “Dok, suami saya meninggal karena AIDS.” Itu berarti, ibunda Ria juga tertular virus HIV dan tidak boleh menyusui bayinya karena bisa tertular juga.
Masalah ASI VS Sufor bukan satu-satunya penyebab bullying terhadap sesama ibu-ibu, karena motherhood is not easy. Hal-hal sepele pun bisa memicu perdebatan,semisal: minum susu hamil atau tidak, bayi dibedong atau tidak, diaper atau clodi, babywalker atau tidak, kereta dorong atau digendong, dan sebagainya. Aduh, susah ya jadi ibu? Don’t worry to be a mommy, karena dr.Meta sudah membagi pengalamannya menghadapi itu semua di dalam buku ini. Di bab-bab terakhir juga diberikan tips-tips menyiapkan perlengkapan bayi, manfaat pijat bayi, persiapan MPASI, memberikan pertolongan pertama pada anak yang sakit, dan tips-tips lain dalam mengasuh anak. Surat yang manis untuk Nayara ditulis oleh dr.Meta sebagai penutup buku ini.
No one can tell you that you’re not a good mother. No one. Motherhood is a heart work and a work with heart never fails.(halaman 65)
Seringkali menjadi seorang ibu terasa begitu menantang. Awalnya terlihat mudah (pendapat penulis ketika belum merasakan jadi ibu), toh ini kodrat seorang perempuan, tapi setelah dijalani seperti roller coaster—naik-turun. Mbak Meta mengawali tulisannya dengan kisah pengalaman pribadinya hamil, melahirkan, dan merawat anak. Bagi Mbak Meta, pengalamannya hamil benar-benar penuh perjuangan, ditambah dengan ditinggali suami dinas keluar kota. Berbagai kebimbangan ‘ibu-baru’ dirasakan. Sejak awal melihat dua garis merah pada alat test pack, seorang ibu dipenuhi berbagai kebingungan dan disodori begitu banyak pilihan.
Menuju waktu melahirkan pun kita dibingungkan dengan perlengkapan bayi; Apa yang perlu dipersiapkan? Berapa banyak? Mbak Meta memberikan list apa-apa yang perlu dipersiapkan, berikut juga perlengkapan apa saja yang TIDAK perlu dipersiapkan (plus alasannya). Hal-hal seperti car seat pun (sesuatu yang masih jarang dipikirkan orang) dibahas. Tak hanya baju, tapi kita pun perlu memikirkan hingga penjagaan ketika bayi sakit, sehingga thermometer pun termasuk ke dalam list ‘perlu’ dimiliki.
Apakah setelah bayi lahir perjuangan selesai? Tentu saja tidak, kita dihadapi berbagai persoalan pengasuhan bayi, baby blues syndrome, tamu-tamu yang datang silih berganti untuk menengok, dan seterusnya.
Kemudian ada perjuangan untuk ASI eksklusif (ASIX), khususnya bagi ibu yang punya tanggung jawab juga di luar rumah. Mbak Meta membagikan pengalamannya bertahan untuk terus memberikan ASI meskipun dengan jadwal yang begitu padat. Seringkali ia merasa ingin menyerah, tapi tekadnya yang kuat memunculkan 1001 solusi. Di antaranya kita akan membaca penjelasan mengenai mitos-mitos antara ASI dan bilirubin (apa tuh? Baca di bab kedua), anak yang menempel terus ingin menyusui karena growth spurt, cara melakukan power pump ketika hasil pompa ASI terus-menerus sedikit, nursing strike (alias tiba-tiba anak tidak mau menyusui—padahal biasanya mau), dst. Berbagai pilihan yang tersedia, membuat penulis mengingatkan para ibu untuk banyak membaca dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi sebelum membuat keputusan.
Kita pun diingatkan bahwa menjadi ibu adalah pekerjaan hati (penulis menyebutnya ‘heart work’). Semua ibu pasti sedang melakukan yang terbaik untuk anaknya, dan tidak baik jika kita saling menilai buruk orang lain. Setiap ibu merasa dirinya adalah yang terbaik dalam mengasuh anaknya dan tanpa sadar saling mengintimidasi ibu lain. Hargailah setiap ibu, karena ia pasti memiliki alasan untuk keputusan-keputusan yang diambil.
Mbak Meta pun membagikan berbagai kisah inspirasi pengalaman hidupnya. Ada pengalaman-pengalaman dengan para pasien, ketakutan karena pengalaman berbincang dengan yang hamil di luar nikah, nikmatnya bersyukur, dst.
Apa yang paling ditakuti seorang ibu?—melihat anaknya sakit. Mbak Meta, yang juga berprofesi sebagai dokter anak, memberikan tips-tipsnya seputar diare—salah satu penyakit yang sering menjangkiti anak. Kita juga diberikan panduan sederhana emergency bag; perlengkapan untuk memberikan pertolongan pertama ketika sakit dan kecelakaan. Mbak Meta menyiapkan emergency bag lengkap dengan penjelasannya yang ia tulis di dalam amplop-amplop terpisah, sesuai kondisi penyakit, agar pengasuh anaknya dapat memberikan tindakan yang tepat ketika sesuatu terjadi.
Rasa sayang orangtua kadang menjadikan mereka salah bertindak ketika menghadapi anak sakit. Penulis memberikan penjelasan kesalahan-kesalahan apa saja yang dilakukan orangtua ketika berobat ke dokter.
Terakhir, ada sebuah quote bagus dari Mildred B. Vermont yang dikutip dalam buku ini, ”Being a mother is one of the highest salaried jobs… since the payment is pure love.” Menjadi seorang ibu adalah pekerjaan dengan gaji tertinggi… karena bayarannya adalah murni cinta. Wow, itu sangat luar biasa! So, jangan takut menjadi seorang ibu!
Membaca buku itu terasa menyenangkan saat bisa menyelami pemikiran penulisnya yang ia tuangkan dalam rangkaian kata-kata. Dan lebih menyenangkan lagi jika menemukan fakta bahwa pemikiran saya ada yang sama dengan penulis.
Begitulah kira-kira perasaan saya saat membaca lembar demi lembar buku bersampul merah muda itu. -Dont Worry to be a Mommy!- karya Dokter Meta Hanindita.
Buku yang menyampaikan berbagai informasi bermanfaat seputar ibu dan anak itu juga menyertakan pengalaman pribadi penulis sebagai seorang doter sekaligus ibu baru.
Sesungguhnya kehidupan perempuan itu ketika memasuki dunia pernikahan akan langsung dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Ketika mempunyai anak, pilihan-pilihan itu semakin beragam dan terkadang saling berbenturan membentuk 2 kubu yang saling bertentangan. Seperti pilihan memberikan susu formula atau ASI, memakaikan gurita atau tidak, memakaian diapers atau clodi, sampai ditinggal kembali berkarir atau nekat resign demi lebih banyak waktu merawat buah hati.
Nah disitulah saya menemukan persamaan pemikiran dengan Dokter Meta, bahwa tak seharusnya sesama perempuan saling menghakimi orang yang berseberangan pilihan dengannya. Dan cara 'menghakimi' itu terkadang bukan memakai kata-kata kasar namun berupa sindiran halus, yang jika terdengar atau terbaca rasanya lebih pedih hatinya. Karena kita tak pernah tahu latar belakang kenapa mereka mengambil pilihan tersebut, bisa jadi karena keterdesakan dan tak ada opsi yang lain. Seperti yang diceritakan penulis, tentang seorang ibu yang tak mau menyusui ASI, ketika disarankan terus saja menolak dengan berbagai alasan, kemudian saat terus didesak dia mengaku bahwa suaminya meninggal karena HIV dan dia positif juga mengidap HIV sehingga tidak boleh menyusui anaknya agar mencegah penularan.
ASI memang sepenuhnya hak anak, karenanya penulis ini menceritakan pengalaman betapa hebohnya program memperjuangkan ASI perah buat buat hatinya tanpa mau menyerah sedikitpun kepada sufor. Duuh, saya membacanya saya ikutan capek dan letih membayangkan kalau saya sendiri yang menjalaninya, karena saya 2x punya anak sama-sama langsung nyesep asi dari gentongnya :D jadi nggak kebayang kalau harus sebentar-sebentar memerah ASI, nyari tempat khusus (saya pernah melihat teman yang selalu riweh nyari kamar mandi saat hadir di sebuah acara buat memerah ASI). Saya salut dan kagum sama pejuang ASI itu rela riweh, rela capek agar anaknya mendapatkan yang terbaik yang menjadi haknya.
Melihat gencarnya promo ASI sekarang ini, tak heran bahwa ibu ASI sekarang menjadi trend. Yang dianggap lebih keren adalah perempuan yang bisa menyusui ASI buat anaknya, bukan lagi yang bisa membelikan sufor mahal-mahal. Imbasnya terkadang ada juga perempuan yang niatnya menyusui agar dibilang mengikuti trend, malu kalau ketahuan tak bisa menyusui ASI kemudian sengaja berbohong -untuk pencitraan-bahwa dirinya bisa memberi ASI. Ah.. nggak harus segitunya kaliii.. kalau memang nggak bisa, dan sudah diupayakan maksimal memang nggak bisa, berarti rejeki anaknya memang hanya sufor. Disitulah juga kesamaan pemikiran saya dengan penulis. Bahwa berbohong tentang hal itu sungguh tak perlu. dan yang lebih penting lagi adalah kampanye ASI pun jangan sampai menghakimi dan merasa menjadi ibu paling benar dan sempurna. Sungguh benar, bahwa logikanya memang tak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Buku yang cocok dibaca buat semua ibu-ibu dan perempuan calon ibu. Kekurangan yang saya temukan didalam buku ini hanyalah keseringan memakai bahasa inggris dalam penceritaan atau quote-quotenya jadi terkesan kurang membumi buat pembaca-pembaca di kampung seperti saya. Ya salah yang baca sih nggak jago engglish, bukan salah yang nulis^^
Buku keempat Meta Hanindita yang akhirnya berhasil aku dapatkan, baca, dan review berjudul DON’T WORRY TO BE A MOMMY!. Dari pertama lihat gambar sampul bukunya di google, sudah bikin ngiler buat beli. Asli, sampulnya menarik banget, colorfull! :) Alhasil, besoknya langsung cari di toko buku, ketemu, dibeli deh :). Langsung lanjut dibaca, masa bodohlah dikomentari ‘wah bacaanmu ibu-ibu banget’ atau ditanya sama sesama pembeli buku ‘wah, sudah mau punya anak ya?’. Nah loh, memangnya baca buku parenting nunggu sudah married dan jadi ibu? Gak kan, baca itu untuk nambah wawasan, jadi nanti kalau mengalami hal yang serupa, gak bakal bingung atau bahkan takut karena gak ngerasa sendiri. Tuh buktinya, penulisnya juga ngalamin. Buku karangan Meta ini kan berdasarkan pengalamannya alias BASED ON TRUE STORY :).
Buku Don’t Worry To Be A Mommy! terdiri dari enam chapter. Meta berhasil menuliskan pengalaman-pengalamannya sejak ia dinyatakan positif mengandung, dengan runut, termasuk gangguan-gangguan yang muncul (seperti gangguan jantung hormonal saat hamil –yang telah dengan sukses membuat Meta cuti sampai melahirkan, terserang baby blues syndrome setelah melahirkan, hingga produksi ASI nya yang sangat sedikit padahal Meta telah membulatkan tekad untuk memberikan ASI selama dua tahun pada putrinya), penyebab munculnya, hingga tips-tips dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut, dengan bahasa yang sederhana. Maka, buku ini sangat mudah dipahami oleh siapapun, sekalipun bukan seorang dokter anak.
Untuk memperjelas penjelasannya, Meta cukup banyak menyertakan gambar. Misalnya gambar breastpump, freezer khusus ASIP, Denver II chart, dan masih banyak lagi. Jujur, banyak sekali barang yang disebutkan Meta di buku ini, yang tidak saya ketahui wujudnya (mungkin karena saya belum menjadi ibu :)). Tapi karena Meta menyertakan gambar barang-barang tersebut, saya jadi tahu, dan bergumam ‘oalah, ini yang namanya breastpump, dan bla bla bla...’, karena ternyata barang-barang tersebut pernah saya temui, tapi saya tidak mengetahui istilahnya :). Sayangnya, gambar-gambar hitam-putih. Saya rasa, akan lebih jelas jika gambar yang sedikit rumit, seperti Denver II chart dicetak warna :).
Yang membuat buku ini semakin menarik adalah adanya pesan moral yang Meta selipkan diantara penggalan pengalaman hidupnya. Diantaranya, Meta mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas kesehatan yang Tuhan anugerahkan pada kita karena ternyata banyak anak (pasien Meta) yang harus berjuang melawan penyakit, tetapi tetap bisa ceria bahkan saling memberi semangat untuk menjalani pengobatan yang menyakitkan. Meta juga mengingatkan kita untuk selalu berprasangka baik pada orang lain karena setiap tindakan pasti dilakukan atas semangat untuk memberikan yang terbaik untuk anak karena setiap ibu sesungguhnya menyayangi anaknya, hanya cara dan bentuk ungkapan kasih sayang itulah yang berbeda, antar ibu :).
Dapat saya simpulkan bahwa Meta Hanindita menulis buku ini dengan semangat untuk membantu, menguatkan, dan meyakinkan para ibu dan calon ibu dengan berbagi pengalamannya, yang saat ini telah menjadi ibu, juga seorang calon dokter anak (sehingga Meta juga memberikan pembahasan secara ilmiah) bahwa menjadi ibu itu seru meski tidak mudah. Let’s, KEEP CALM AND WE WILL BE A GREAT MOMMY :). Meta Hanindita, dr
Menjadi ibu sudah menjadi kodrat perempuan namun tidak semua perempuan menjalaninya dengan mudah. Beberapa Ibu harus bedrest selama hamil sementara Ibu lain bisa menjalaninya dengan mudah. Begitupun saat melahirkan dan pasca melahirkan, ada yang menjalaninya dengan mudah, ada yang harus berjuang; Kesehatan ibu dan bayi yang bermasalah, ASI tidak keluar dan sederet problem lain. Bisa dibayangkan betapa kagetnya ketika saya harus menghadapi perjuangan demi perjuangan sebagai Ibu begitu Naya lahir (hal 7), tulis Meta Hanindita seorang calon dokter spesialis anak yang membagi perjuangan dan serunya menjadi ibu dalam buku Don’t Worry to be Mommy (DWTM). Perjuangan menjadi Ibu dirasakan penulis saat usia kehamilannya sebelas minggu, dari mulai muntah-muntah sampai dideteksi mengalami kelainan jantung hormonal akibat kehamilan sehingga dokter merekomendasikan untuk bedrest total selama enam bulan. Diminggu ke 28 dokter menyarankan untuk operasi caesar. Selain masalah kehamilan, ibu baru dihadapkan pada beragam pilihan ; Minum susu hamil atau tidak, normal atau caesar, tetap bekerja atau menjadi Ibu rumah tangga, ASI atau sufor, vaksin atau tidak, dan sebagainya. Dan apapun pilihannya akan selalu ada komentar bernada intimidasi yang memicu Ibu baru stres atau melakukan kebohongan. Disinilah pentingnya setiap perempuan mempersiapkan pengetahuan menjadi ibu, termasuk kesiapan mental. Bagi penulis sendiri, pilihan memberikan ASI ternyata bukan hal mudah. Nobody told me that breastfeeding was not easy (hal 48). Dalam buku ini, penulis membagi pengalamannya berjuang untuk memberikan ASI eksklusif. Dibalik semua perjuangan, menjadi ibu adalah hal seru. Termasuk perasaan excited ketika menyiapkan perlengkapan bayi. Nah, perlengkapan apa saja yang diperlukan dan penting untuk bayi? Bagaimana menyiapkan MPASI dan menstimulasi bayi? Penulis membagi tipsnya di chapter 5. Chapter 6, yang sekaligus menjadi penutup buku ini, berisi tips dan trik menghadapi keadaan emergency, perlengkapan P3K yang harus tersedia di rumah, nomor telepon penting dan pertolongan pertama yang harus dilakukan jika bayi sakit. Penulis juga berbagi pengalamannya sebagai dokter yang kerap menghadapi para orangtua yang melakukan kesalahan saat berobat. Diantaranya memberi anak obat melebihi dosis yang diresepkan dengan alasan agar cepat sembuh atau memberikan obat bekas kakaknya dengan alasan sakit yang di derita sama.(hal 159). Buku dilengkapi ilustrasi berupa foto, sayangnya ilustrasi berupa chart di hal 131 tidak tercetak jelas. Padahal chart yang berisi milestone anak sesuai usia (Denver II chart) penting diketahui semua ibu dan calon ibu. Libatan emosi penulis dalam buku ini terlihat dari gaya bahasa, penulisan yang tidak hanya dalam bentuk narasi tapi dialog ringan, santai dan menyelipkan kata dalam bahasa daerah seperti kata keukeuh, yang memberi kesan buku ini hanya berisi curahan hati penulis. Di sisi lain, gaya bahasa ini memudahkan pembaca memahami penjelasan yang berkaitan dengan ilmu kedokteran yang ditulis. Seperti istilah breastfeeding jaundice, breastmilk jaundice, dan sebagainya. Tak ketinggalan penulis menyertakan pendapat disertai fakta mengenai isu hangat seputar susu dan vaksin. Buku ini kaya informasi dan berisi. Direkomendasikan untuk calon ibu dan ibu baru, agar tak panik dan siap menjadi ibu. Mengutip kalimat dalam buku ini, setiap Ibu menginginkan yang terbaik untuk anaknya dan memiliki cara berbeda untuk mencapai itu. Yang pasti Ibu yang baik selalu menyertakan hati dalam setiap langkahnya.(rs)
Buku parenting kedua yang saya edit. Membaca buku ini seperti mendengarkan seorang ibu baru yang sedang bercerita. Bedanya, kalau saya bercerita mungkin untuk berkeluh-kesah, dokter Meta tidak. Karena selain dia menceritakan bagaimana heboh dan susahnya menjadi seorang ibu, dia juga memberikan tips-tips untuk pembaca. Seperti baby blues syndrome, manajemen waktu untuk working-mom agar tetap bisa memberikan asi eksklusif, pijat bayi, sampai ke hal-hal kecil seperti menyiapkan emergency bag untuk anak (bener2 bagru kepikiran setelah baca buku ini, makasih, Dok!).
Saya pribadi, salut banget dengan dokter Meta, dengan kesibukannya yang segudang itu (sedang penelitian untuk gelar SPA-nya, praktik, ngurus anak dan suami, anchor di radio, model, dll) kok ya masih sempet nulis blog dengan aktif dan sekarang malah nulis buku? Hebat! Dan, hebatnya lagi, dia bisa banget menjalin kedekatan dengan anaknya yang berumur kurang lebih 3 tahun itu dalam aktivitas sehari-harinya. Yes, saya jadikan dokter Meta sebagai role model. Haha.
Buku ini recommended banget buat all mama. Baik mom-to-be, new-mama, and all mama in the world.... ^^ Karena, semua kekhawatiran kita ketika akan jadi ibu dibahas tuntas di sini dengan gaya bahasa yang sangat asyik. So, don't worry to be a mommy by reading this book!(less)
Mbak Meta has always been my favorite 'light' author. Saya sudah jadi fan sejak baca buku pertamanya ketika masih kuliah dulu, Metamorphosis. Kemudian buku keduanya MetaMatika, dan terkahir ini, Don't Worry to be A Mommy. Setiap buku merupaka fase tumbuh kembang Mbak Meta sebagai dirinya yang supel, lucu dan tentu menginspirasi.
I've always been a huge fan of any kinds of activity that requires me to 'see' people, to understand them as a person, and apply what I find out as a mirror to see myself. Well, saya belajar ilmu budaya sih ya, yang dasarnya ga jauh beda sama psikologi, sama-sama menjadikan manusia sebagai objek ilmu. Mbak Meta and her life has been my favorite object (Gee... This sounds like I'm a paparazzo, but I swear I'm not :-p).
For a spoiler haters, saya ga akan bocorin apa-apa tentang isi buku ini. Yang pasti, kalo kamu cewe umur 20an, kamu wajib beli. Kalo kamu cowo, wajib juga. Kamu udah umur 30an tapi masih single? Wajib beli. Udah jadi mommy? Wajib beli deh! Belum niat nikah dalam waktu dekat? Beli sana! Ga mau nikah? Beli juga! Siapapun kamu, wajib - super wajib - beli buku ini, karena banyak ilmu bermanfaat yang meski untuk kamu sendiri belum/ga akan kamu pakai, pasti sangat berguna kamu share ke orang lain yang udah/akan jadi ibu.
How I laugh and almost cry at the same time when reading this book. It's a great book for a (soon to be) mommy like me.
dr. Meira dengan gamblang menceritakan pengalaman kehamilan, melahirkan, perjuangan mengasuh anak saat suami tidak ada, keteguhannya memberikan asi serta persiapan-persiapan lain yang perlu dilakukan calon ibu.
Saya terhanyut dengan tulisannya, sedih saat membaca masa-masa sulit kehamilannya serta bahagia saat bisa lulus S2 ASI bahkan ikutan gemas saat dituduh macam-macam oleh orang lain.
Buku ini begitu apa adanya, I can relate my self to the situation where mothers are judging others for sometimes I feel like I am one of the victim of their judgement too :D satu yang kurang, buku ini kurang banyak membahas masa-masa kesulitan yang dialami saat hamil. Menurut saya porsinya kurang. Akan sangat membantu jika proses kekuatiran saat kehamilan yang serba tidak pasti itu digali lebih dalam agar para bumil lain bisa merasakan bahwa mereka tidak sendirian dalam proses melelahkan namun menyenangkan ini :) atau mungkin Stilleto mau membuat buku lain tentang suka duka kehamilan? *wink*
But, still this is a great book! I'd recommend this for you.
Berawal dari rajin blogwalking dan stumbled upon her personal blog. Semua cerita disana ditulis dengan asyik, enak dibaca, ringan serta mengalir. Lama-lama jatuh cinta sama tulisannya dan jadi berburu semua buku Meta Hanindita. Informatif, tapi enggak menggurui. Bukan kayak baca textbook atau teori, tapi kayak ngobrol langsung sama ahlinya. Ringan, tapi juga sekaligus edukatif. I highly recommend this book! Satu saran aja nih, Denver-nya kalau bisa dicetak terpisah pakai kertas bagus sekalian.
Buku yang sangat direkomendasikan untuk ibu dan calon ibu. Berisi seputar pengalaman penulis yang juga seorang dokter tentang bagaimana beliau ketika hamil dan kemudian memiliki anak.