Jump to ratings and reviews
Rate this book

Mahasati

Rate this book
Kenangan dan ketulusan cinta sangat sulit untuk dilupakan. Andi membawanya hingga ke Guantanamo, dimana ia ditahan dan diinterogasi bersama ratusan tawanan perang Afghanistan.

Andi, Larasati dan Yoyok telah membangun persahabatan yang sangat akrab sejak kecil. Kedekatan ini yang akhirnya membawa perasaan cinta diantara 2 sahabat, Andi dan Larasati. Namun karena sebuah keadaan, mereka diharuskan untuk berpisah.

Pertemuan mereka kembali terjadi ketika sahabat mereka, Yoyok, meninggal dunia. Dari sini bibit-bibit cinta yang pernah tertanam, kembali bersemi. bagi Andi, Larasati adalah segalanya. Pun demikian dengan Larasati. Mereka kembali menikmati keindahan cinta mereka ditengah kesulitah hidup Larasati. Kisah cinta mereka seolah jauh dari kebahagiaan, ketika Larasati meninggalkan Andi untuk selamanya.

Kesedihan dan keputusasaan Andi, membawanya ke negara-negara yang belum ia pernah kunjungi sebelumnya, sampai akhirnya ia tertangkap oleh tentara Amerika di Afghanistan, karena dianggap sebagai pasukan mujahidin. Tidak ada satu tentara Amerika pun yang mampu membuatnya bicara, hingga seorang perempuan perwira Amerika mampu membuatnya menguak sisi kelam dari kisah cintanya.

392 pages

First published January 1, 2007

17 people want to read

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
12 (25%)
4 stars
18 (38%)
3 stars
12 (25%)
2 stars
4 (8%)
1 star
1 (2%)
Displaying 1 - 13 of 13 reviews
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
August 9, 2014
Dengarlah anakku. Jangan bersedih, karena cintamu sudah digariskan. Martirlah mereka yang mati mencari cinta. Kau ditakdirkan untuk selalu berlalu di lautan cinta tanpa pernah berlabuh. Seluruh umurmu adalah kitab air mata. Kau ditakdirkan terpenjara di antara air dan api. (hal. 250)


Terus terang, buku ini sama sekali tidak 'tertangkap' radar saya, bahkan saya lupa bagaimana buku ini bisa ada di rumah. Tapi itulah yang saya suka dari sebuah buku, sebuah cerita, sebuah kisah. Kadang ia memberikan kejutan yang tak disangka-sangka. Seperti saya yang terkejut karena ternyata menyukai buku yang judulnya bahkan tak pernah terdengar di telinga.

Buku ini berkisah tentang perjalanan hidup Andi, lelaki yang sering tak berani mengungkapkan keinginan dan hasratnya. Terlalu banyak berpikir, terlalu memedulikan pendapat orang lain. Sehingga ketika mencintai Sati, sahabat masa kecilnya, Andi tetap tak berani berterus terang kepada ibunya sebab di kampung mereka, nama Sati sudah tercemar.

"Kamu itu memang tak pernah tegas. Membenci orang pun setengah-setengah. Aku pikir, orang yang membenci setengah-setengah juga akan mencintai setengah-setengah." (hal.29)


Itu yang dituduhkan Sati kepadanya. Namun sesungguhnya cinta Andi tak pernah setengah-setengah. Dia membawa luka hatinya ke mana-mana setelah kematian Sati. Dia tak pernah bebas dari masa lalu meskipun sudah pergi jauh dari Indonesia.

Kita merasa rindu karena kita selalu berpikir, suatu hari kita akan pulang. Sekali kau mengatakan bahwa kau tak memiliki kampung tempatmu berpulang, sekali kau tak memakai kata pulang dan pergi untuk sebuah perjalanan, saat itu kau tak akan merasakan kerinduan. Rindu ada karena harapan. Harapan untuk kembali. (hal. 239)


Dalam perjalanan mencari kedamaian jiwa (atau mungkin mencoba menghapus kenangan Sati), Andi terdampar ke Tunisia. Di sana dia terlibat gerakan terlarang yang memaksanya melarikan diri dari negara itu ke Sisilia, lalu akhirnya terdampar di Afghanistan. Terperangkap dalam peperangan tak masuk akal bersama warga tak berdosa lainnya yang hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Hingga kemudian dia ditangkap tentara Amerika dan dibawa ke Guantanamo. Dari penjara kejam itulah cerita hidup Andi akhirnya dibawa ke dunia luar oleh interogatornya yang mula-mula skeptis tapi lama-kelamaan bersimpati.

Lewat ceritanya yang selintas ia seolah mengatakan kepadaku bahwa hal-hal cengeng seperti cinta juga patut diperjuangkan, patut menuntut pengorbanan yang amat besar, bahkan nyawa. (hal. 269)


Saya menyukai gaya bertutur penulis dalam buku ini. Puitis namun tetap penuh makna, bukan sekadar kata-kata indah yang tak memberi pengaruh pada cerita. Kesukaan penulis pada puisi memang tertuang dalam beberapa bait puisi yang dia terjemahkan sendiri dan tersebar di sana-sini. Banyak kutipan bagus dan menarik yang saya temukan.

Selain itu, perjalanan Andi juga bukan sekadar tempelan. Saat bercerita tentang kehidupan sehari-hari di kota kecil Kairouan, Tunisia, serta kehidupan suku nomaden di Afghanistan, saya merasa benar-benar ada di sana.

Buku yang mengesankan!

Semua Nabi adalah gembala, dan itu membuat mereka bijak. Nabi kita dan juga semua bangsawan Arab masa lalu, saat mereka kecil selalu dititipkan pada keluarga Badui, keluarga nomaden. Kau tahu kenapa? Karena kehidupan kota dan sekolahan membuat mereka tak lagi menjadi manusia. Alam yang membentuk kita, bukan kita yang menaklukkan alam.
Profile Image for Mel.
111 reviews
September 12, 2008
Kalau tidak salah buku ini masuk salah satu nominasi Pasific Award..
1 detail kecil yang agak membuat saya menyeringai, saat menemukan nama 'Lucia Wong'. Sosok yang dimata saya persis seperti ciri-ciri Lucy Liu (dengan image dinginnya di beberapa film yang dibintangi), dan pemilihan nama yang tinggal digabungkan dengan aktor Hongkong blasteran, Michael Wong. Padahal marga chinese banyak sekali. Entah karena dua sosok itu yang cukup dikenal entah alasan lain hingga nama fiktif tersebut yang digunakan.

Pilihan setting tempat dan ide ceritanya bagi saya cukup baru dan menyegarkan. Demikian juga dengan kutipan puisi asing yang dipakai. Caranya bertutur juga tidak membuat saya bosan.

1 kutipan yang saya sukai dari buku ini: 'Lelaki hanya satu kali jatuh cinta. Sebelum dan sesudahnya ia hanya mencintai bayang-bayang. Bayang-bayang perempuan yang akan atau telah menjadi cintanya'.



Profile Image for htanzil.
379 reviews149 followers
July 2, 2009
Cinta adalah persoalan yang tidak pernah selesai, demikian yang selalu dikatakan Kef (Kurnia Effendi), cerpenis senior yang cerpen-cerpennya umumnya bertutur tentang kisah-kisah cinta yang sanggup megaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Apa yang dikatakan Kef memang benar, cinta memang selalu membawa sejumlah persoalan baik itu yang manis maupun yang pahit. Karenanya kisah cinta tak akan pernah habis dikisahkan oleh para pujangga selama manusia masih dikaruniai hati dan perasaan. Kisah Cinta mungkin akan berakhir jika manusia punah dan digantikan oleh sebentuk robot tanpa hati.

Qaris Tajudin, wartawan Tempo yang sehari-hari melihat dan menyaksikan rangkaian fakta untuk dirawinya menjadi sebuah tulisan jurnalisme tampaknya tergerak untuk menulis kisah fiksi bernuansa cinta. Dalam novel perdananya ini Qaris mengisahkan tokoh Andi yang memiliki persoalan dengan cintanya. Namun jangan berharap novel ini bernuansa merah jambu, kisah cinta dalam novel ini terasa kelam, bukan berarti penuh dengan narasi keputusasaan karena kegagalan cinta diselubungi oleh kisah pelarian cinta tokohnya yang berkelana ke daerah konflik panas di Afghansitan.

Novel ini diawali sebuah peristiwa ketika Andi baru saja menghadiri pemakaman Yoyok, sahabat masa kecilnya. Di pemakaman ini Andi bertemu kembali dengan sahabatnya, Sati. Yoyok, Andi, dan Sati telah membangun persahabatan yang sangat akrab sejak masa kecil. Mereka sama-sama tumbuh menjadi dewasa hingga akhirnya kedekatan ini menimbulkan benih cinta antara Andi dan Sati. Namun benih cinta itu tak jadi tumbuh dengan semestinya karena sebuah peristiwa menyebabkan ketiga sahabat ini harus berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. Yoyok sebagai perajin emas, Andi sebagai wartawan, sedangkan Sati berkarier menjadi seorang model dan desainer.

Peristiwa kematian Yoyok ternyata membuat benih-benih cinta yang penah tertanam dan mati suri antara Andi dan Sati kembali bersemi. Walau Larasari telah memiliki seorang anak dari seorang tanpa ayah yang resmi namun itu semua tak sanggup menghentikan tumbuhnya benih cinta diantara mereka. Namun pohon cinta yang mereka bangun kembali harus layu terkulai. Sati yang sangat mencintai anaknya tiba-tiba saja harus kehilangan hak perwalian untuk mengasuh anaknya. Sati harus terpisah dengan anak yang ia lahirkan dan besarkan selama delapan tahun dengan penuh kasih sayang. Sati sangat terpukul dan memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak valium yang membuatnya tidur selamanya. Yang menyedihkan, hingga akhirnya hayatnya Sati tak sempat dan tak diizinkan untuk bertemu dengan anaknya..

Andi yang terlanjur mencintai Sati apa adanya menjadi hancur. Ia menyesal karena selama ini ia tidak mengambil langkah berani untuk menikahi Sati. Andai saja ia berani mengambil keputusan tersebut pastilah ia telah hidup bersama Sati dan bersama-sama membantu Sati mempertahankan anaknya. Untunglah Andi masih tetap berpikir rasional. Kesedihan dan keputusasaannya ia tinggalkan dengan mengambil cuti panjang dan pergi jauh dari Jakarta. Atas anjuran teman lamanya Andi berangkat menuju Tunisia. Niatnya mulia, selain untuk mengusir rasa sedihnya dengan berkelana ke daerah yang benar-benar berbeda agar kenangannya bersama Sati tak terus menyiksanya, ia juga ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan dengan cara mendalami ajaran agama di Tunisia sebuah kota yang eksotik dan penuh nuansa keagaamaan.

Di Tunisia Andi menumpang di sebuah toko buku milik Abdalla. Abdalla memiliki seorang anak yang bernama Ahmed, calon dokter yang seumur dengan Andi dan ikut dalam kelompok garis keras islam yang menentang pemerintah. Akhirnya Andi terseret masuk dalam kelompok itu dan merencanakan berbagai misi untuk menggulingkan pemerintah Tunisia. Sebuah peristiwa menyebabkan kelompok ini tercium keberadaannya oleh pemerintah. Andi dan kawan-kawannya masuk dalam daftar orang yang dicari. Dengan bantuan Miriam Ezra, gadis yahudi yang dikenalnya di toko buku Abdalla, Andi dan Ahmed keluar secara diam-diam dari Tunisia menuju Sisilia, Italia. Disana mereka ditampung dirumah ayah Miriam yang ternyata salah seorang gembong Mafia Sisilia.

Tanpa mereka duga, kehadiran Andi dan Ahmed dijadikan sandera oleh ayah Miriam untuk melancarkan bisnisnya. Untunglah mereka berhasil kabur hingga terdampar di Afghanistan. Awalnya Andi dan Ahmed bekerja di sebuah rumah sakit, namun pertemuannya dengan Fairuz membawanya masuk dalam petualangan mendebarkan dengan menjadi anggota pasukan bersenjata indpenden yang tugasnya melindungi kaum nomaden Afghanistan dari serangan para perampok yang menyamar sebagai anggota Mujahidin.

Di gurun-gurun Afghanistan, ditengah terikanya matahari pegunungan Hindu Khuz yang menyengat dan kerasnya hidup, akhirnya Andi menemukan sebuah oase bagi hatinya. Rasa cintanya yang sempat terkubur oleh pasir gurun bersemi kembali ketika ia bertemu dengan Nafaz, seorang putri kepala suku nomaden. Namun pengalaman cinta yang mereka nikmati tak berlangsung lama karena sebuah kontak dengan pasukan Amerika menyeret Andi masuk kedalam kamp tahanan di Guantanamo dimana Andi diinterogasi oleh interogator wanita Amerika berdarah Asia, Lucia Wong. Sebelumnya Andi tak mau membuka mulut ketika diinterogasi, namun pendekatan yang dilakukan Lucia Wong membuatnya luluh dan menceritakan semua kisah hidupnya. Dari penuturan Andi dan sebuah buku catatan yang ditulisnya akhirnya kisah hidup Andi terbuka secara terang benderang.

Novel ini disajikan dengan dua plot dengan dua tokoh sebagai penutur secara berganitan. Pertama tokoh Andi sebagai penutur yang menceritakan kisah kehidupannya, kedua Lucia Wong sebagai interegator kamp tahanan Guantomano yang ditugasi untuk membongkar keterlibatan Andi yang tertangkap patroli tentara Amerika Serikat di Afganistan. Plot pertama bergerak di dalam penjara Guantanamo ketika Lucia Wong menginterogasi Andi. Plot kedua dimulai saat pertemuan kembali Andi dan Sati di pemakaman Yoyok, lalu sejenak kembali ke masa kecil mereka dan terus melaju dengan setting Jakarta-Italia-Tunisia – hingga tentara Amerika menyerang pasukan Andi yang sedang mengawal suku nomaden menuju Asadabad Afghansitan.

Dengan adanya dua plot yang berbeda yang disajikan secara berselang-seling ini, membuat pembaca tak merasa jenuh karena pembaca seakan diberi jeda dari kisah hidup Andi yang suram dan menegangkan. Malah kehadiran plot yang menghadirkan tokoh Lucia Wong membantu pembaca untuk lebih memahami apa yang diperjuangkan oleh Andi karena cintanya.

Selain mengupas karakter Andi dan Sati sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Qaris juga mengupas tokoh Lucia Wong. Lucia, adalah seorang wanita dingin yang sejak kecil dididik untuk memenuhi ambisi hidupnya tanpa mempedulikan cinta. Baginya cinta adalah penghalang tujuan hidupnya. Namun ketika ia menginterogasi Andi ia akhirnya sadar bahwa kisah cinta Andi lambat laun membangkitkan sesuatu yang selama ini ia tumpas yaitu kemanusiaan dan cinta yang selama ini ia anggap sebagai penghalang tujuan hidupnya.

Disajikan dengan lancar dan ditaburi oleh petikan puisi-puisi cinta karya penyair lokal (Gunawan Mohamad, WS Rendra, Abdul Hadi) maupun penyair dunia seperti Nizar Qabbani (Arab), Gizan Zenrai (Jepang), Jose Marti (Cuba), dll membuat novel ini terkesan romantis ditengah setting Afghansitan yang keras dan gersang. Suatu paradoks yang justru membuat novel ini menjadi semakin menarik.

Pengalaman Qaris Tajudin selaku jurnalis yang pernah meliput langsung perang terbuka di Afganistan pada tahun 2001 membuat setting landskap dan kondisi sosial budaya masyarakat Afghansitan khususnya suku-suku nomaden tersaji dengan begitu hidup. Untunglah Qaris tidak terjebak dalam penggambaran setting yang berlebihan yang kadang membuat bosan pembacanya dan mengaburkan ceritanya. Qaris tetap setia pada kekuatan kisahnya dengan tetap memberi wawasan yang cukup pada pembacanya mengenai setting dimana kisahnya bergulir.

Walau novel ini memiliki settting Afganistan yang berada dalam situasi konflik politik paska berkuasanya Taliban dimana pemerintahannya menimbulkan pro dan kontra, namun Qaris secara cerdas membuat novel ini tak berpihak pada siapapun. Tokoh Andi diceritakan bergabung dengan pasukan independent yang hanya bertugas melindungi suku nomaden dari para penjarah. Qaris juga secara seimbang menyajikan kebaikan dan keburukan pemerintahan Taliban sehingga novel ini tak memihak pada siapapun kecuali pada kekuatan cinta.

Tampaknya kehadiran novel Mahasati ini cukup menarik perhatian para book bloger yang rajin menulis review atas setiap buku yang telah dibacanya. Setidaknya ada 5 blog yang mengulas buku ini (http://perca.blogdrive.com/, http://qyu.blogspot.com/, http://jodypojoh.blogdrive.com/, http://maxbooks.wordpress.com/, http://jalaindra.wordpress.com) yang masing-masing mengulas dari sudut pandangnya masing-masing. Secara umum semua mengulas secara positif novel perdana Qaris Tajudin ini.
Namun para book bloger ini juga menemukan beberapa lubang seperti, Jody Pojoh yang juga seorang sarjana farmasi menemukan ketidaklogisan soal kematian Sati akibat menegak 3 butir valium @500 grm. Pdahal menurutnya tidak ada valium dengan dosis 500 gr.

Sementara itu Baihaqi mengungkap bahwa di tengah cerita ia merasa seperti seperti sedang membaca sebuah jurnal perjalanan dari pengembaraan orang frustasi. Tapi untunglah ternyata endingnya berhasil dengan baik menutup kisah cinta yang tragis ini.

Endah Sulwesi mempertanyakan Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Menurutnya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.

Memang itulah ‘lubang-lubang’ yang ada pada novel ini. Saya tak akan menambahkan apapun kecuali lagi-lagi soal kebiasaan penerbit AKOER seringkali tidak memberikan data biografi penulisnya. Walau ada istilah yang mengatakan bahwa pengarang telah ‘mati’ ketika novelnya dibukukan, namun bukankah pembaca berhak mengetahui siapa penulis buku yang sedang dibacanya. Bagi saya biografi singkat penulis adalah salah satu pintu masuk untuk dapat lebih menikmati sebuah karya sastra.

Akhir kata, apa yang ditulis Qaris dalam novel perdananya yang dikerjakannya selama 5 tahun ini tentunya dapat memperkaya khazanah dunia fiksi Indonesia yang kini semakin ragam dalam cara penuturan dan tema. Dalam Mahasati Qaris tampaknya ingin menegaskan bahwa cinta tak pernah mati. Walau dicoba dipendam dengan berbagai cara cinta akan selalu ada dan dapat tumbuh dalam situasi yang esktrim sekalipun. Lucia Wong tak akan menduga kalau nilai-nilai cinta yang selama ini dianggap sebagai penghalang kariernya justru tersadarkan akan arti dan makna kekuatan cinta ketika ia berambisi untuk menaklukkan kebisuan Andi kepada iterogator lainnya. Sedangkan Andi sendiri yang mencoba melarikan diri dari cinta tak pernah menduga jika pelariannya ke daerah sarat konflik justru menumbuhkan kembali cinta yang ingin dikuburnya.

Jika demikian siapa yang dapat menyangkal kekuatan Cinta ?
Jika manusia mengganti hatinya dengan sebongkah batu, barulah cinta akan mati dan tak mungkin tumbuh lagi.

@h_tanzil
Profile Image for N Mursidi.
43 reviews13 followers
February 27, 2009
Perjalanan Derita dalam Labirin Cinta
sumber: http://etalasebuku.blogspot.com

Judul buku : Mahasati,
Pengarang: Qaris Tajudin,
Penerbit : Akoer, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007 (392 halaman)

TUHAN tidak memercikkan setetes cinta di lubuk hati manusia untuk menjadikan hidup dalam lautan penderitaan. Tapi entah kenapa, tak sedikit orang di dunia ini yang hidup menderita lantaran tak kuat menanggung kesedihan setelah ditinggal mati orang tercinta --entah kekasih atau pasangan hidup. Dalam kesedihan, sering kali ia tak kuat menerima kenyataan sehingga tak jarang melihat hidup dengan tanpa harapan lagi bahkan ada yang berani memilih bunuh diri.

Janji setia dan cinta "sehidup-semati", rupanya bagi sebagian orang bisa dibawa sampai mati. Alasan itu, setidaknya yang menjadikan wanita India tatkala ditinggal mati suaminya, rela menceburkan diri dalam kobaran api perabuan sang suami. Padahal, 'kematian orang tercinta' bukan berarti pertanda kiamat. Memang, kenangan masa lalu susah untuk dilupakan, tapi masa depan jelas tak bisa diabaikan. Sayang, tak semua orang bisa bersahabat dengan "rasa bersalah" setelah ditinggal mati orang tercinta. Ujungnya, masa depan pun berwarna serupa jelaga dan hidup tak lebih serupa perjalanan derita dalam labirin cinta lantaran terbelenggu masa lalu.

Perjalanan derita dalam "labirin cinta" yang dibelenggu masa lalu itulah yang dialami oleh Andi Djatmiko, tokoh utama dalam novel Mahasati ini. Kesedihan Andi, akibat ditinggal pergi Larasati untuk selamanya ternyata meninggalkan rasa bersalah yang tidak dapat dihadapi Andi dengan iklas. Tak berani menjalani laku "sebagaimana wanita di India yang memilih menceburkan diri ke perabuan suami", Andi hanya terpekur dilindas kenangan, dan mencoba "merengkuh cinta sejati" demi panggilan Tuhan dengan menempuh perjalanan jauh ke Tunisia dan Afghanistan guna menebus kesalahan di masa lampau dengan menjadi tentara Tuhan untuk membela orang lemah.

Alih-alih, Andi dapat melupakan Larasati, justru kenangan bersama Larasati selalu menjadikan perjalanan hidupnya serupa kitab air mata. Andi selalu "ditingkupi" kesedihan setiap kali ingat Larasati. Maklum, dulu Andi dan Larasari adalah teman karib. Keduanya sudah akrab sejak kecil. Dari persabatan masa akecil itu, akhirnya memercikkan api cinta di hati Larasati dan Andi saat kedua bocah itu tumbuh remaja. Tapi gelayut cinta itu putus di tengah jalan.

Andi melanjutkan kuliah ke Jakarta. Tak selang lama, Larasati kabur dari rumah dan pergi ke Jakarta. Meski keduanya tinggal satu kota, tetapi anehnya, tak pernah bertemu dan baru sepuluh tahun kemudian keduanya dipertemukan kembali di saat pemakaman Yoyok, sahabat keduanya. Api cinta Andi tumbuh lagi dan Larasati tak menampik.

Tapi, kala cinta itu mulai bertangkup, Larasati sudah tidak seperti dulu lagi. Ia sudah memiliki anak, Rania (8 tahun) dan dilingkupi kesulitan hidup karena mantan suami Larasti, ayah Rania, menang di pengadilan sebagai wali yang berhak untuk mengasuh Rania. Larasati terpukul, dipisahkan dari Rania. Tak ingin dilanda sedih, ia pun nekat minum tiga biji valium untuk menenangkan diri agar bisa tenang. Tetapi tragisnya, justru berakhir menyedihkan. Tiga biji valium itu mengonyak jantung Larasati dan ia meninggal dunia.

Ditingkupi rasa bersalah (meski sudah membawanya ke rumah sakit) dan tidak bisa membantu Larasati pulih, Andi hanya bisa mengutuki nasib. Dia murung, tidak konsentrasi kerja, sehingga memilih cuti panjang untuk menempuh perjalanan jauh, ke Tunisia. Demi memenuhi panggilan Tuhan, di sana ia ingin belajar ilmu agama. Tapi gonjang-ganjing politik di Tunisia dan gencarnya penangkapan terhadap aktivis Islam garis keras membuat Andi dan Ahmed harus meninggalkan Tunisia --dibantu oleh Miriam-- dan kemudian mencari suaka di Afghanistan.

Di negara itu, Andi awalnya bekerja sebagai sukarelawan di sebuah rumah sakit. Tapi akhirnya dia ikut Fairuz melindungi rakyat kecil dan kisah perjuangan Anda akhirnya berakhir Seperti "perjalanan labirin cinta". Memang, Anda bisa melupakan Larasati dan menikahi Nafas, tetapi serangan udara yang membabi buta menjadikan orang-orang yang dilindingi Andi tewas. Ia pun ditangkap tentara AS lantaran sedang membawa kalashnikov dan dijebloskan di Guantanamo.

Di Guantanamo itu, tak satu pun tentara Amerika yang mampu menyuak jati diri Andi dan juga keberadaan Andi di Afghanistan. Akhirnya, dengan kelembutan seorang perempuan (anggota tim khusus Pentagon) bernama Letnan Commonder Lucia Wong, Andi bersedia membagi kisah cinta di masa lalunya apalagi ia merasa tak lagi kuat menghadapi "takdir kematian yang hampir dekat" sehingga dia meminta perempuan itu menunaikan amanah Sati agar menyerahkan gelang dan sapu tangan pada Rania.

Meski novel ini menuturkan kisah cinta tetapi tak dapat dingkari jika novel ini bisa melampaui cerita "cinta biasa" dengan menyeret ke relung "jantung spiritualitas", hiruk pikuk politik di Afghanistan dan sebuah perjalanan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Tapi ada keremangan pijakan pengarang yang menjadikan novel ini tak terlihat punya tendensi idelogis politik sehingga memiliki daya tarik kuat untuk dibaca. Lagi pula, novel ini disisipi nilai-nilai ajaran spiritualitas Timur. Novel debutan awal dari novelis muda yang bekerja sebagai wartawan ini pun tidak dapat dimungkiri kaya nuansa ruhani.

Lebih dari itu, teknik penceritaan yang diterapkan pengarang dengan penuturan silih berganti dari dua sudut pandang, Andi dan Letnan Commonder Lucia Wong, menjadikan novel ini tidak monoton, dan datar, melainkan kuat, cerdas dan bernas. Meski, alur flasback yang digarap tidak berpilin sehingga masih bisa ditelusuri dengan mudah.

Sayangnya laku bertutur Qaris yang menggebu-gebu ingin memetik capaian estetis dan hendak mewartakan konflik di Afghanistan di samping dibaluri ajaran spiritualisme dari sajak-sajak sufi kadang jadi kabur. Di sisi lain, Andi dilukiskan dalam bingkai watak yang lemah, sementara Larasati dan Nafas justru di pihak yang kuat. Tapi, Larasati yang kuat dan tangguh justru digambarkan dengan akhir hidup yang tragis setelah tak kuat menanggung kesedihan.

Konsistensi pengarang pun samar-samar, tidak memeluk alur cerita dengan erat. Meski secara implisit, ia seakan menolak model "sati" sebagai pengorbanan perempuan di India karena Andi dihadang kebimbangan setelah ditinggal mati Larasati. Ia pun tak kuat jadi "sati lelaki" yang rela mati demi sang kekasih, melainkan lebih memilih untuk memenuhi panggilan Tuhan menjadi penjuang bagi orang-orang lemah.*** (n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah)
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
November 16, 2008
Mahasati adalah nama sebuah patung (di India), dibangun untuk mengenang perempuan-perempuan Hindu yang bunuh diri menceburkan tubuh ke dalam api perabuan suami mereka sebagai bukti kesetiaan seorang istri. Tradisi kuno ini dikenal dengan nama “Sati”. Dengan turut mati, para istri ini berharap dapat terus bersama sang suami di alam baka. Sati, dalam bahasa Sanskerta bermakna istri sejati. Dan Sati–dipenggal dari Larasati–adalah juga nama tokoh utama di novel Mahasati ini.

Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan, bahwa lebih gampang menulis sesuatu yang akrab dengan kita. Kita bisa menuturkannya secara lengkap dan terperinci dengan penjiwaan yang lebih terhayati sebab kita mengenal dan mengetahui setiap detailnya dengan baik.

Berjejak dari pengalaman pribadinya selaku wartawan, Qaris lalu “menciptakan” Andi Djatmika, seorang jurnalis muda keluaran sebuah pesantren di Jawa, sebagai karakter utama dalam Mahasati. Kemudian, secara flash back melalui narasi Andi, Qaris membawa kita bertualang ke Tunisia dan Afganistan.

Bermula di sebuah kompleks pemakaman. Mereka, Andi dan Sati, dipertemukan kembali oleh kematian Item, seorang sahabat dari masa kanak-kanak, setelah enam belas tahun terpisah. Dari sini, terjalin kembali hubungan cinta Sati dan Andi yang sempat terputus oleh jarak dan waktu.

Sati kecil yang tomboy itu telah menjelma seorang perempuan matang berprofesi model sekaligus perancang busana. Sedikit agak mengherankan jika mengingat ia digambarkan sebagai anak perempuan yang kelaki-lakian, tak pandai (dan tak suka) menari, tak suka berkain kebaya, tak suka berdandan, lebih suka layang-layang atau balap sepeda (dan menang) melawan Item dari pada main boneka.

Tetapi agaknya keterdesakan ekonomilah yang membuat Sati memilih berkarier di bidang modeling tersebut. Parasnya yang rupawan dengan mudah memberinya jalan cepat mencari uang di Jakarta, tempatnya melarikan diri dari rumah lantaran berkonflik dengan ayahnya (tak disebutkan konfliknya apa).

Kehidupan sebagai model di kota besar yang serbagemerlap melarutkan Sati ke dalam pergaulan yang cenderung bebas. Saat berjumpa kembali dengan Andi, Sati telah memiliki seorang anak perempuan, Rania, tanpa pernah menikah.

Bagi Andi, kehadiran Rania, tak mengubah apapun. Ia tetap mencintai Sati sebagaimana dahulu ketika masih sama-sama remaja kampung. Namun, malang tak bisa ditolak. Sati meninggal dunia di kala cinta lama mereka tengah di puncak mekar. Sati menemui ajal lantaran menenggak valium dalam dosis tinggi.

Sebenarnya, jiwa Sati bisa diselamatkan seandainya ia tidak–“sekonyong-konyong”–“divonis” mengidap kelainan jantung sejak kecil (Sekonyong-konyong, sebab sebelumnya tak pernah disinggung soal penyakit Sati ini. Malah ia digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang sehat dan kuat secara fisik, terbukti menang balap sepeda melawan Item)

Maka, sang kekasih pun patah hati dan lantas “kabur” ke Tunisia demi menenangkan diri.

Alih-alih memperoleh ketenangan, Andi justru berhadapan dengan masalah baru. Ia terlibat dalam huru-hara mahasiswa yang menentang pemerintahan diktator Tunisia. Dalam salah satu aksi pengeboman, nama Andi dikait-kaitkan sebagai tersangka pelaku. Andi harus menyelamatkan diri.

Afganistan, ke sanalah ia pergi sampai akhirnya tertangkap tentara Amerika Serikat dan dijebloskan ke sel di Guantanamo, tempat ratusan tawanan perang asal Afganistan ditahan. Di sana, ia harus menjalani interogasi melelahkan yang dilakukan seorang perwira wanita AS keturunan Cina. Kepadanyalah kisah ini dituturkan.

Kisah roman yang lumayan menarik, terutama pada bagian petualangan Andi di Tunisia dan Afganistan. Qaris yang pernah mengemban tugas sebagai reporter rubrik Internasional di Tempo, sempat meliput serbuan Amerika Serikat di Kabul, ibukota Afganistan, pada pengujung 2001.

Pengalaman berharga tersebut tentu berperan penting dalam penulisan novel dengan latar (sebagian di) Afganistan ini. Ditambah lagi pengalamannya tinggal di Kairo selama menjadi mahasiswa Al Azhar, Mesir, membuatnya cukup fasih menghadirkan suasana gurun, kebudayaan, adat istiadat, dan situasi perang di Timur Tengah. Adapun untuk efek romantisnya, Qaris mengutip sejumlah puisi dari para penyair idolanya, seperti Rendra, Goenawan Mohammad, Abdul Hadi WM, ataupun Nizar Qabbani, dalam beberapa dialognya. Upayanya cukup berhasil. Kelihatan betul ia seorang yang menggandrungi puisi (bisa dijenguk pula di blog miliknya: www.cerminretak.blogdrive.com)

Tunisia dan Afganistan terasa eksotis sebagai setting cerita. Rasanya belum banyak penulis kita yang mengambil kedua negeri tersebut sebagai latar novel atau pun cerpen. Qaris cukup banyak memberikan informasi menarik mengenainya. Misalnya saja tentang perilaku (adat istiadat) masyarakat nomaden di Afganistan yang hidup dari menggembala ternak (kambing/domba) secara berpindah-pindah. Rumah mereka adalah tenda-tenda beratapkan langit dan berlantai tanah. Untuk mengawal dan menjaga keamanan, mereka menyewa para pemuda bersenjata yang akan melindungi dari para begal ataupun serangan tentara Taliban.

Hal menarik lainnya dari Mahasati adalah cara penceritaannya yang mengambil dua perspektif : Andi dan si wanita perwira, Lucia Wong, yang menginterogasinya. Ketika Andi sebagai narator, kita berhadapan dengan “aku” yang mengisahkan dirinya. Sementara dari sudut pandang si perwira, Andi berubah menjadi “dia” (orang ketiga).

Celakanya, novel ini masih menyisakan “lubang-lubang” kelemahan, sebagaimana di atas sudah saya singgung, yakni perkara Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Kesan saya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.

Sebagai karya debutan, secara keseluruhan not bad-lah. Cukup enak dikunyah. Ia berani tampil “sendirian”, tanpa deretan kalimat endorsement dari sejumlah nama terkenal layaknya buku-buku lain yang banyak beredar belakangan ini. Sayangnya, biodata penulisnya ikut-ikutan absen. Konon sih, kalau yang satu ini karena kelalaian penerbitnya.

Yah, akhirulkalam, kepada Qaris Tajudin, saya ucapkan selamat datang di “jalan sunyi” para sastrawan. Semoga akan terus lahir karya-karya Anda berikutnya.

Profile Image for Irwan.
Author 9 books122 followers
October 26, 2007
Kisah cinta yang tragis terjalin dalam sebuah perjalanan yang berakhir mengenaskan juga. Andi, si tokoh utama, terdorong - atau "tidak sengaja" terdorong - untuk melakukan perjalanan ke kantong-kantong panas "political islam" di dunia.

Alur cerita yang disusun dengan baik berupa selang-seling sudut pandang Andi dan prajurit Guantanamo yang menginterogasinya.

Aku lumayan suka deskripsi tempat-tempat eksotis yang dilalui Andi, terutama pegunungan afghanistan, suku Kuchi yang nomaden, dan tokoh Nafaz, putri kepala suku Kuchi yang sempat menjadi istri Andi walaupun sangat singkat.

Larasati adalah tujuan utama cinta Andi yang sering sulit mengambil keputusan. Namun pada akhirnya Andi harus mengalami berbagai pengalaman akibat keputusan-keputusannya yang beresiko. Larasati lah energi yang mendorong plot cerita ini hingga titik akhirnya. Andai saja aku, sebagai pembaca, bisa ikut "jatuh cinta" padanya, tentu pengalaman membaca ini akan sangat berbeda.
Profile Image for Femmy.
Author 34 books539 followers
March 29, 2009
Novel ini mengisahkan perjalanan tokohnya (Andi Djatmika) mencari cinta, diri, dan Tuhan, pencarian yang membawanya mencicipi berbagai pengalaman hidup yang unik sebagai seorang kekasih Jakarta, penuntut ilmu di Tunisia, pelarian di Italia, pembela suku nomaden di Afghanistan, dan akhirnya sebagai tawanan perang di Guantanamo.

Salah satu kekuatan novel ini adalah penggambaran nuansa lokal yang baik, terutama suasana kota di Tunisia dan kehidupan suku nomaden di Afghanistan, sehingga aku dapat turut menyelami pengalaman Andi di tempat-tempat itu. Percakapan antara tokoh-tokohnya cerdas dan berbobot membuat kisah ini menarik diikuti. Struktur novel yang bergantian sudut pandang antara Andi yang mengenang masa lalu dan perwira militer yang menginterogasinya juga menjadikan alurnya lebih menarik dan tidak monoton.
Profile Image for tia.
59 reviews4 followers
September 14, 2007
penggunaan alur yang maju mundur membuat ceritanya jadi enak untuk diikuti. penceritaan yang detail tentang setting masa kecil Andi, Yoyok dan Sati serta pegunungan di Afghanistan tidak membuat bosan, justru membuat cerita menjadi menarik. cerita cinta yang mengambil sudut pandang yang berbeda membuat buku ini berbeda dengan novel yang lainnya. penjabaran yang mengalir dengan lancarnya membuat buku ini tidak membosankan.
Profile Image for Winna.
Author 18 books1,966 followers
November 23, 2007
WoW! I get this book from my publisher, and I have to say I really like it ;)

I'm not much into histories and politics when it comes to books (I love movies about them though), but this book had me hooked. I like how Qaris writes about sadness, loneliness and happiness. I like the love stories involved, emotions showing through each scene, and the dialog. All characters are very strong and distinctive.

I enjoyed this book.
Profile Image for Andri.
137 reviews
October 9, 2008
Gw berani kasih bintang 4 untuk buku ini. Kisah cinta sejati yang tersia-siakan, bahasa yang puitis, petualangan yang di luar angan-angan kita sebelumnya, dan ending yang mengambang. Apakah sang interogator jatuh cinta dengan tawanan kita di Guantanamao itu ? ...

@ Mas Qaris.. ayo bikin lanjutannya mas..

Bbrp temen bilang buku ini lebih bagus dari AAC, menurut gw.. lebih menarik.
Profile Image for Pipa.
235 reviews3 followers
October 10, 2007
gaya penceritaannya mengingatkan gw sama film english patien. sebuah pengorbanan demi cinta, seperti judulnya sati, mahasati. mmm...mungkin lebih tepatnya jalan hidup yg dipengaruhi oleh cinta.
Profile Image for Adisti.
87 reviews9 followers
November 28, 2007
Ada sisipan puis-puisi yang kadang2 bikin ga ngerti. Tapi kalau ni novel diangkat ke film, gw ngebayangin filmnya bakal sunyi. Seperti khasnya film2 yg bikin mikir.
Displaying 1 - 13 of 13 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.