Bungarampai "Laut Biru Langit Biru" meliputi masa kurang lebih sepuluh tahun, 1966-1976, memuat sajak-sajak, cerita pendek, penggalan roman, dan esai serta kritik yang dipilih dengan teliti, dan yang niscaya besar manfaatnya bagi setiap orang yang ingin melihat perkembangan sastera Indonesia mutakhir. Pengantar penyusun yang memberikan pandangannya tentang sastera Indonesia mutakhir, mempunyai sudut pandang yang kepada kita membentangkan perkembangan sastera Indonesia secara jelas.
Ajip Rosidi (dibaca: Ayip Rosidi) mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastera Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Pendidikan formalnya SD di Jatiwangi (1950), SMP di Jakarta (1953) dan Taman Madya di Jakarta (tidak tamat, 1956), selanjutnya otodidak.
Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya kl. seratus judul.
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bungarampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll. Bukunya yang dalam bahasa Sunda, a.l. Kanjutkundang (bungarampai sastera setelah perang disusun bersama Rusman Sutiasumarga, 1963), Beber Layar! (1964), Jante Arkidam (1967), DurPanjak! (1967), Ngalanglang K.asusastran Sunda (1983), Dengkleung De’ngde’k (1985), Polemik Undak-usuk Basa Sunda (1987), Haji Hasan Mustapajeung Karya-karyana (1988), Hurip Waras! (1988), Pancakaki (1996), Cupumanik Astagina (1997), Eundeuk-eundeukan (1998), Trang-trang Kolentrang (1999), dll.
Ia juga mengumpulkan dan menyunting tulisan tersebar Sjafruddin Prawiranegara (3 jilid) dan Asrul Sani (Surat-surat Kepercayaan, 1997). Ketika masih duduk di SMP men-jadi redaktur majalah Suluh Pelajar (Suluh Peladjar) (1953-1955) yang tersebar ke seluruh Indonesia. Kemudian men-jadi pemimpin redaksi bulanan Prosa (1955), Mingguan (kemudian Majalah Sunda (1965-1967), bulanan Budaya Jaya (Budaja Djaja, 1968-1979). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).
Sejak 1981 diangkat menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehi-dupan sastera-budaya dan sosial-politik di tanahair dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan hadiah sastera tahunan Rancage yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.
Kalau kliping cerpen remaja dari majalah boleh disebut sebagai "antologi karya sastra", maka saya telah memulai eksplorasi sejak SD. Waktu itu sambil menunggu ibu yang bekerja di suatu SMA negeri, saya suka membacai kliping cerita tugas murid di perpustakaan sekolah itu. Setelah SMP-SMA, pastinya ada saja kumpulan cerpen yang saya baca, khususnya dalam bentuk buku, misalnya buku kumpulan cerpen remaja terbitan Kawanku, buku kumpulan cerpen Nh. Dini, dan entah apa lagi. Semasa kuliah, di perpustakaan pusat kampus, saya menemukan buku kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh pemerintah, ada pula yang disusun oleh Korrie Layun Rampan yaitu antologi karya angkatan 2000-an serta antologi cerpen pengarang laki-laki dan perempuan. Selain sastra Indonesia, perpustakaan pusat kampus menyediakan buku-buku antologi sastra Barat, yang kemudian saya jelajahi juga sampai setelah lulus kuliah.
Tahun-tahun belakangan ini, setelah ada Ipusnas, eksplorasi dilanjutkan. Di aplikasi tersebut, saya menemukan antologi karya sastra yang disusun oleh HB Jassin, yaitu Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang, Gema Tanah Air, serta Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Upaya ini diteruskan Ajip Rosidi dengan Laut Biru Langit Biru (selanjutnya LBLB). Malah kalau mau mundur lagi ada seri Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia sampai jilid 10 oleh Marcus AS dan Pax Benedanto.
Setelah LBLB, entah apakah ada lagi yang melanjutkan himpunan perkembangan sastra Indonesia dari periode ke periode semacam ini. Yang saya ketahui paling-paling antologi-antologi susunan Korrie Layun Rampan yang saya temukan di perpustakaan pusat kampus itu. Setelah ada internet, karya-karya yang telah dimuat di media cetak dapat dengan mudah diarsipkan dan diakses siapa saja lewat komputer. Memang banyak antologi karya sastra yang terus terbit, tetapi sepertinya bukan untuk mewakili suatu periode sebagaimana yang dilakukan HB Jassin, Ajip Rosidi, dan Korrie Layun Rampan itu. Ada pun sepertinya paling-paling kumpulan cerpen Kompas yang hanya mencakup periode setahun dan diterbitkan di media tersebut saja. Kalau ternyata ada lagi, tolong informasikan saya.
Kumpulan semacam ini saya pikir bagus bagi yang mau mempelajari sastra dan mengenal banyak pengarang sekaligus. Apalagi kalau kumpulan itu disusun berdasarkan urutan waktu terbit karya atau tahun kelahiran pengarang, kita mungkin mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai perkembangan tema, gaya, dan sebagainya, dari masa ke masa.
Mengenai LBLB, bunga rampai ini memuat karya-karya prosa dan puisi yang terbit dalam jangka waktu kurang lebih 10 tahun (1966-1976) dari majalah Sastera, Horison, Budaya Jaya, di samping buku, surat kabar, dan stensilan. Menurut pengantar (1977), karya-karya yang dipilih memberikan latar kesusateraan Indonesia dalam dekade tersebut, yang dipengaruhi oleh realisme sosialis Gestapu dilawan dengan nilai-nilai keagamaan (Islam, Nasrani). Selain itu ada eksperimentasi, upaya-upaya untuk berbeda gaya dari karya generasi-generasi terdahulu. Melihat daftar isi, tampak bahwa kebanyakan judul berupa sajak (diberi tanda bintang), selebihnya adalah cerita pendek (21), fragmen atau penggalan dari karya fiksi yang lebih panjang (8), esai (5) serta drama dan sketsa (masing-masing 1). Urutan karya berdasarkan pada tahun kelahiran penulis, mulai dari Aoh K. Hadimadja (1911) sampai Yudhistira Ardi Noegraha (1954). Ketebalan buku ini mencapai 800 halaman.
Karangan nonfiksi dalam buku ini masih seputar kesusastraan, yaitu: "Angkatan '66 Bangkitnya Satu Generasi" (HB Jassin), "Pendekatan kepada Roman Atheis" (Subagio Sastrowardojo), "Roman Batin Iwan: Merahnya Merah" (Wing Kardjo), "Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia" (Ajip Rosidi), dan "Pledoi buat Sebuah Kesusasteraan yang Terpencil" (Goenawan Mohamad). Esai Ajip Rodisi itu terbit juga dalam buku lain berjudul sama, yang sekalian memuat polemiknya dengan HB Jassin. Kalau dalam buku tersebut, Ajip Rosidi menampilkan beberapa esai yang menyerang HB Jassin (yang usianya 21 tahun lebih tua), dalam buku ini, dimuatkan esai HB Jassin yang seperti menghantam balik Ajip Rosidi, meladeni ajakan untuk berpolemik. Walaupun tampak bahwa kurang lebih HB Jassin menilai pandangan Ajip Rosidi belum luas, ada pula kesan mengangkatnya. Esai Subagio Sastrowardjo dan Wing Kardjo, sebagaimana yang sudah jelas pada judulnya, membahas roman karya pengarang lain. Sedangkan esai Goenawan Mohamad mengenai keterasingan dalam kesusasteraan Indonesia yang belum lama lahir, yang selain cenderung berpusat di kota juga mainan segelintir orang saja.
Cerita pendek, drama, fragmen, dan sketsa, anggaplah semua tergolong ke dalam genre fiksi. Saya menangkap adanya keberagaman dalam latar belakang para pengarang yang asalnya mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai NTT, mengangkat persoalan yang bermacam-macam pula. Ada yang menyangkut perantauan, pemberdayaan desa, tingkah laku pejabat, gegar budaya, dan pastinya kritik sosial serta isu politik seperti revolusi dan huru-hara PKI.
Sebagai perempuan, otomatis saya menyorot isu keperempuanan. Ada karya-karya yang menunjukkan perempuan bebas dan berdikari seperti dalam "Pada Sebuah Kapal" (Nh. Dini) dan "Penjual Kapas" (M. Abnar Romli), juga perempuan genit, binal, lacur (yang ini cari saja sendiri contohnya). Satu yang saya unggulkan adalah "Ini Sebuah Surat" dari Putu Wijaya. Unsur male gaze-nya rada mengganggu, tapi bisa jadi memang diperlukan untuk menunjukkan sifat laki-laki yang mudah lupa akan perempuan semenarik apa pun sekiranya entah di mana sudah menemukan yang lebih menarik lagi. Cerpen ini bertokohkan seorang perempuan dengan tiga anak kecil, yang ditinggalkan suaminya begitu saja setelah mendapat tugas belajar di luar negeri--tidak dikabari, tidakkah dinafkahi? Memang ada ketidakjelasan-ketidakjelasan. Tersirat bahwa ia hampir-hampir single parent. Kejadian dalam cerpen ini semalam saja, tetapi menyuguhkan pergolakan hebat dalam batin seorang perempuan. Saya kira cerpen ini hendak memberikan contoh pengelolaan emosi, satu hal yang katanya adalah kelemahan perempuan. Cerpen ini tidak kepanjangan, tidak pula kependekan: cukup dan memuaskan.
Kemandirian perempuan makin jamak sekarang, sehingga selain cerpen Putu Wijaya itu, saya lebih menyoroti seperti yang ada dalam "Kemelut Hidup" (Ramadhan KH), "Bawuk" (Umar Kayam), dan "Pulang" (Wildan Yatim), malah mungkin juga "Pada Titik Kulminasi" (Satyagraha Hoerip). Cerita-cerita ini masih lebih mengangkat tanggung jawab laki-laki. Dalam "Kemelut Hidup", mencari penghasilan tambahan masih menjadi tugas suami, alih-alih istri yang ditodong untuk, katakanlah, berjualan seblak dan Pop Ice di depan rumah, kendati anak mereka sudah punya inisiatif sendiri untuk menjadi semacam sugar baby di rumah hiburan. Dalam "Bawuk", timbul kesan bahwa perempuan masa itu masih mengaspirasikan jadi istri pejabat ketimbang jadi pejabat itu sendiri. Dalam "Pulang", ketimbang meninggalkan istri yang sudah mah berselingkuh, mengatai-ngatai ibunya pula, tokoh utama justru merasa bersalah, memaafkan, dan hendak memulihkan rumah tangganya. Adapun tokoh utama dalam "Pada Titik Kulminasi" merasa turut bertanggung jawab atas keluarga adiknya apabila iparnya jadi dibunuh.
Yang berupa fragmen seperti "Dan Terhamparlah Darat yang Kuning Laut yang Biru" (Aoh K. Hadimadja), "Harimau! Harimau!" (Mochtar Lubis), "Kemarau" (AA Navis), "Kemelut Hidup" (Ramadhan KH), "Cintanya pada Kota" (H. Mahbub Djunaidi), dan "Telegram" (Putu Wijaya), membuat saya penasaran untuk membaca yang lengkapnya. "Kooong" Iwan Simatupang saya sudah mempunyai dan membaca bukunya, tetapi tidak begitu berkesan. Nh. Dini dengan "Pada Sebuah Kapal" saya rasa seperti chiclit, mengandung elemen wishful thinking walaupun mungkin saja didasarkan pada pengalaman nyata pengarangnya.
Untuk genre puisi, atau sajak, ada beberapa yang oke. Saya merasa menyukai sajak-sajak yang sederhana saja, yang menyampaikan nuansa batin atau pergulatan spiritual yang relatable. Kalau sajak itu menyerupai cerita, dengan tokoh, latar, peristiwa, dan sebagainya (di antaranya "Sibaganding Sirajagoda" Mansur Samin, "Blues untuk Bonnie" dan Nyanyian Angsa" Rendra, "Hari Tua Mister Gilbert" Surachman RM), masih relatif dapat dinikmati. Kalau tidak, bagai kata-kata kosong yang membuang-buang waktu saja. Kalaupun ada yang bisa ditangkap, belum tentu cocok atau malah membuat tidak nyaman. Bagaimanapun, mau tidak mau, untuk dapat menemukan penyair yang disukai, memang perlu terlebih dahulu mengeksplorasi, termasuk dengan membaca sajak-sajak yang tidak mengena itu.
Beberapa sajak dalam buku ini saya rasa ada yang sudah dibahas dalam buku Teori dan Apresiasi Puisi Herman J. Waluyo, mungkin juga ada di Bimbingan Apresiasi Puisi S. Effendi, di antaranya sajak-sajak Rendra, Hartojo Andangdjaja, Goenawan Mohamad, dan Yudhistira Ardi Noegraha.
Secara keseluruhan, ada karya-karya yang berkesan, ada juga yang tidak. Karya-karya yang berkesan memantik untuk menuliskan ringkasannya berikut komentar mengenainya, bisa jadi pembahasan tersendiri. Namun, cukuplah catatan ini berupa tinjauan umum saja.