What do you think?
Rate this book


242 pages, Kindle Edition
First published January 1, 2013
Menurut saya tidak ada perbedaan di antara antisemitisme dan Islamofobia. Keduanya merupakan pola pikir yang menyakitkan, merendahkan, memecah-belah yang dimotori oleh rasa takut, salah informasi, dan rasa sedih. Orang-orang ingin mencari keadilan bagi kesalahan yang nyata maupun yang dibayangkan; tetapi, menyebarkan hukuman kepada suatu kelompok kambing hitam yang disamaratakan begitu saja merupakan tindak penghakiman, dan sayangnya tindakan ini cukup umum dilakukan oleh umat manusia.
Kedengkian hati semacam ini tidak pernah terpuaskan, terus berputas dalam siklus kebodohan dan amarah yang tanpa akhir dan malah hanya menggerogoti jiwanya sendiri. Rasa benci terhadap orang lain biasanya menjadi alasan yang mudah bagi si pembenci untuk memaafkan sesuatu yang sesungguhnya tidak ia miliki. Satu-satunya penangkal adalah umat Yahudi dan umat Islam bersatu melawan antisemitisme maupun Islamofobia dalam ikatan persaudaraan dan persahabatan, serta memerangi kebodohan dengan pengetahuan dan kebencian dengan kasih sayang.
Sebagai seorang muslim, saya mengalami kepahitan Islamofobia di dalam masyarakat kita. Dan karena saya tidak ingin ini terjadi kepada saya, saya juga tidak ingin ini terjadi pada orang lain. Antisemitisme dan Islamofobia merupakan dua nama berbeda, tetapi memiliki sifat kejam yang sama. Maka, penting bagi komunitas Islam mapun Yahudi untuk menguasai kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada di tengah-tengah kita. Kita semua harus menghadapi ketidaksetaraan dan ketidakadilan di dunia ini, luka-luka yang perlu disembuhkan, serta fakta tak terbantahkan bahwa kita semua bersama-sama terlibat di dalamnya.
Tidak ada gunanya jika masing-masing pihak menganggap dirinya sebagai satu-satunya korban di dalam konflik ini dan menggunakan perasaan-sebagai-korban ini untuk membenarkan segala perbuatannya, bahkan jika perbuatan tersebut salah.Cara terbaik untuk menangani hal ini adalah dengan membangkitkan kesadaran bahwa kedua belah pihak adalah korban.
Sebab saya menyinggung soal kedua belah pihak yang merasa menjadi korban dan mengalah pada psikologi korban: kedua pihak tidak mengakui kesalahannya. Kita perlu mengakui kekurangan-kekurangan kita dan harus memperlihatkan kerelaan kita untuk menerima kompromi, yang memang, akan terasa menyakitkan bagi kedua belah pihak. Selama keduanya bersikeras mendapatkan kembali setiap senti tanah, konflik ini tidak akan bisa diselesaikan.
Jihad kecil merujuk pada konflik bersenjata jenis apapun. Ini ditujukan hanya demi mempertahankan diri, walaupun, sayangnya istilah ini dicomot oleh istilah negatif oleh orang-orang yang salah memahaminya. Orang-orang yang menggunakan nama Islam sambil menghasut pembunuhan atau melukai orang lain sesungguhnya melakukan tindakan yang bersebrangan dengan kehendak Allah dan yang dia wajibkan. Bagaimana mungkin membenarkan serangan teroris yang dirancang untuk melukai orang-orang tak berdosa padahal Al-Quran memerintahkan untuk tidak melakukan perbuatan semacam itu?
Jadi, pada dasarnya, Tuhan menyerukan orang-orang Ibrani-yang pada masa itu berhasil menyelamatkan diri ke Mesir dan berusaha mengambil alih tanah mereka atas perintah Tuhan-agar tidak memperlakukan orang-orang non-Yahudi yang tinggal disana dengan perbuatan kejam sebagaimanan mereka pernah diperlakukan. Ia memerintahkan mereka untuk mengingat sejarah penderitaan mereka sendiri dan bangkit melawan kecenderungan manusia untuk merasa takut dan tidak mempercayai orang lain sehingga memperlakukannya sebagai ancaman. Hanya dengan membangun ikatan komunikasi dan kerjasama dengan agama lain, kita bisa mulai mengasihinya. Dengan Cara itulah, lingkaran rasa benci dan kekerasan yang telah mengikuti umat manusia di sepanjang sejarah akan terputus. Mengasihi sesama anggita etnis atau agama sendiri tidaklah cukup, meskipun ini merupakan langkah pertama yang sangat penting. Kita pun harus mengasihi agama lain.
Mengapa ungkapan “kasihi sesamamu” malah mendapat posisi yang lebih unggul dibanding “kasihi orang asing” diantara umat Yahudi, Kristen, maupun agama lainnya? Sebab, kedua perintah tersebut memerintahkan orang-orang untuk keluar dari zona nyaman mereka, dari keluarga dan teman-teman mereka, dan mendekati orang-orang yang pada situasi umum cenderung tidak mereka ajak bicara. Namun, sesuai dengan sifat alami manusia, meski mengasihi sesama merupakan tindakan yang sudah cukup sulit untuk dilakukan sebagian besar dari kita, perintah itu masih lebih mudah dicapai dibanding mengasihi orang asing.
Selama berabad-abad, dengan beberapa pengecualian yang penting, para intelektual cemerlang terkemuka Yahudi berkata bahwa keterpilihan Yahudi berarti kita adalah sebuah bangsa tertentu dengan sebuah misi yang unik, tetapi bukan berarti kita lebih baik dari bangsa-bangsa lain.
Yang menarik adalah ketika Taurat membicarakan keterpilihan umat Yahudi, jelas terpapar bahwa misi kami adalah membawa sistem agama monoteisme yang baru kepada umat manusia alih-alih membawa Yudaisme itu sendiri ke umat lain. Kami, umat Yahudi jelas-jelas bukan umat yang mengajak masuk, yang hendak mengubah dunia agar memeluk agama Yahudi. Bahkan, sebagaimana yang telah diketahui luas, masuk agama Yahudi sangatlah sulit. Itu sebabnya, umat kami berjumlah sangat sedikit.
Jadi, Umat Yahudi datang dari berbagai kondisi dengan beragam definisi diri dan berbagai identitas. Namun, kembali ke isu keterpilhan, saya percaya bahwa semua umat Yahudi “terpilih” untuk menunjukkan suatu takdir istimewa, yaitu sebuah identitas Yahudi. Mandat ini mencakup umat Yahudi yang mendefinisikan hubungan mereka dengan Yudaisme dan orang-orang Israel sebagai sebuah kebangsaaan atau sebuah budaya, begitu pula bagi mereka yang menghubungkan Yudaisme sebagai sebuah keyakinan.
Istilah “keterpilihan” pada hakikatnya mengisyaratkan superioritas. Mungkin, seluruh kontroversi ini bisa saja diperbaiki dengan adanya terjamahan yang lebih cermat dan seksama atas istilah bahasa Ibrani, am segulah. Pada umumnya, selama ini kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa non-Yahudi sebagai”bangsa terpilih.” Namun, makna harfiahnya sebagaimanan dinyatakan dalam Taurat (Keluaran 19:5; Ulangan 7;6; 14;2; dan 26:18) dapat diterjemahkan secara lebih akurat sebagai “bangsa terkasih.”
Jadi, tentu saja terminologi , am segulah-bangsa terkasih- merujuk kepada hubungan istimewa yang Tuhan miliki dengan umat Yahudi. Ini menerangkan bahwa di periode biblikal, Dia memiliki keterlibatan langsung dengan dan rasa kasih kepada umat Yahudi sehingga dia tidak hanya mengekspresikannya, tetapi juga berkali-kali bertindak. Seperti yang telah saya sebutkan, saya yakin Tuhan memilih umat Yahudi untuk misi istimewa, yaitu menyebarkan monoteisme etis di dunia dan misi ini berbeda dari misi-misi untuk bangsa dan keyakinan lain yang Dia pilih.
Shamsi bercerita kepada saya bahwa dalam teologi Islam, para penganut Islam yang tidak berbuat sesuai dengan tanggung jawab umat terbaik maka kehilangan tempat mereka di dalam posisi tersebut. Pernyataan tersebut memberi tahu saya bahwa dalam Islam, sebagimana juga di dalam Yahudi, titik beratnya terletak pada tanggung jawab dan juga pada hak-hak istimewanya. Rasa tanggung jawab terhadap seluruh umat manusia tersebut, terutama dalam konsep tikkun olam dan islah, memang, sebagaimana yang ditulis kawan saya Shamsi Ali, “menunjukkan satu titik pertemuan yang menakjubkan dari keyakinan-keyakinan kita.”
Dalam perbedaan pendapat apapun, kita sebagai manusia yang rentan berbuat kesalahan hanya akan mendapat sebagian informasi atau wawasan yang disebabkan batasan dan sudut pandang orang-orang terkait. Hanya Tuhan yang Melihat dan Mengetahui semuanya, bisa mengetahui kisah sepenuhnya atas peristiwa apa pun. Oleh karena itu, hanya Tuhan yang bisa menghakimi dan alasan mengapa kita tidak memikul tanggung jawab tersebut. Sebaliknya, kita harus berusaha mengubah hal-hal dalam diri kita yang tidak layak ditunjukkan di hadapan Tuhan-entah itu sifat rakus, malas, takut, abai atau cemburu. Jika ada aspek dalam diri yang malu kita perlihatkan di hadapan Tuhan, ini adalah aspek-aspek yang perlu kita perbaiki agar semakin dekat dengan peniruan yang layak akan nilai-nilai yang Tuhan ingin kita wujudkan.
Jihad besar adalah perang melawan diri sendiri, sementara jihad kecil adalah perang melawan orang lain. Maksudnya, Jihad besar adalah perjuangan yang umum bagi kita semua – perjuangan untuk jujur, setia, berderma, tidak iri hati, tidak sombong, serta menjauhi sifat iri, dusta, dang ankuh. Jihad besar mendorong kita untuk mengatasi jutaan sifat cenderung kita sebagai manusia, rasakan pada suatu masa dalam hidup kita. Kita harus berjuang keras untuk menaklukan berbagai cela dan kekurangan ini demi menjadi orang yang lebih baik. Inilah yang disebut perjuangan internal dan spiritual.
Cerita perjalanan dua pimpinan komunitas Islam dan Yahudi, yang bertemu di kota New York, Amerika, dan berusahan mencari "common ground" dan irisan yang bisa disepakati. Kejadian 9/11 di kota tsb telah mempertemukan mereka dan membuat masing-masing mencoba memahami sisi pandang yg lain.
Paling tidak bagi saya jadi mengenal istilah2 dalam agama Yahudi, yang jujur masih banyak yg saya belum pernah tahu sebelumnya. Sedangkan dari Imam Shamsi Ali bisa belajar tentang tantangan yg dihadapi menjadi seorang Muslim di negara Paman Sam dan apa keuntungan/kerugiannya. Sebuah piknik pembuka cakrawala, tanpa meninggalkan esensi ajaran agama yang saya anut