What do you think?
Rate this book
208 pages, Paperback
First published December 2, 2013
Athaya adalah seorang web designer yang juga shoe fetishism. Athaya memiliki obsesi khusus terhadap sepatu. Dia bahkan dapat merasa lebih bersemangat bekerja ketika menaruh high heels di samping meja kerjanya. Athaya suka menyerasikan warna sepatu dan cat kukunya sehingga membuat penampilannya tampak modis. Namun di balik penampilannya yang selalu modis tersebut, ada hal yang sangat menggelisahkan hati Athaya, yaitu kehidupan cintanya. Pasalnya, di usianya yang sudah menginjak 27 tahun, Athaya belum juga menemukan jodoh yang tepat. Tekanan dari keluarga besar, terutama sang tante, akan status jomblonya membuat hari-hari Athaya jadi terasa berat.
Takdir kemudian mempertemukan Athaya dengan Kelana dan Ibra. Sejak berkenalan dengan Kelana dan Ibra, nasib kehidupan cinta Athaya jadi berubah drastis. Dari yang semula jomblo jatuh tempo, menjadi seorang gadis yang didekati oleh dua pria. *iri sumpeh*
Jadi, siapa yang dipilih Athaya?
Cerita cinta segitiga ala Athaya, Ibra, dan Kelana ini sebenarnya sudah cukup mainstream. Namun, narasi-narasi yang lucu ataupun celetukan dialog tokoh-tokohnya menjadikan novel ini tetap menarik untuk dibaca hingga akhir.
Cowok seperti Kelana mungkin banyak disukai sama cewek-cewek ya. Tapi, kalau jadi Athaya, saya sepertinya akan lebih memilih Ibra. Karena yaa… Ibra itu:
“Single dan mapan. Terlalu menarik untuk dilewatkan.” – Hlm. 93 #eh
Nggak, ding. Karena Ibra itu dewasa dan berani berkomitmen. Tidak ilang-ilangan seperti Kelana.
“… kadang ada yang lebih penting dijadikan pertimbangan selain cinta…”
“Apa?”
“Komitmen."
(Hlm. 153)
Tapi, Kelana juga romantis, sih. Kalau ada yang punya kenalan cowok kayak Kelana ini, tolong kabari saya. #lah *kabur sebelum dikeroyok massa*
Satu hal yang agak mengganjal buat saya adalah judul novel ini, “Geek In High Heels”. Sepengetahuan saya, geek itu sosok yang cupu, unik, dan rada-rada antisosial. Tapi, Athaya yang disebut-sebut geek di novel ini kenapa justru sangat gaul dan stylish. Jauh dari geek sebagaimana bayangan saya.
Terakhir, izinkan saya mengutip salah satu kalimat yang menenteramkan hati para jomblowan dan jomblowati di dalam novel ini:
“Hidup memang berat. Apalagi buat para single kayak kita. Tapi buat yang dobel, beratnya juga dobel.” – Hlm 36.
Pembicaraan yang selalu mengarah ke hal jodoh dan pernikahan membuat suasana (dan makanan enak apa pun) jadi tidak menarik buat Athaya. Bayangkan! Ketika kamu sedang asyik makan shrimp salad dan tiba-tiba ditanyai, “Apa kamu tidak sebaiknya cepat-cepat menikah saja?” Aku yakin shrimp salad itu rasanya tiba-tiba berubah seperti sandal jepit.