Kepergian Rasus yang tanpa pamit memberikan luka tersendiri bagi Srintil. Ia merasa telah ditolak oleh lelaki yang dicintainya. Seiring waktu, ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng mencapai puncaknya. Parasnya yang ayu serta kekenesannya membuat bayarannya menjadi lebih mahal. Di puncak segala ketenaran itu, Srintil merasa kosong. Layaknya seorang wanita, ia menginginkan suami serta anak. Namun sebagai ronggeng, hal tersebut jelas dilarang. Lebih dari itu, ia tidak dapat melupakan Rasus.
Kekosongan itulah yang membuatnya jarang naik pentas lagi. Ia merasa tidak memiliki gairah untuk meronggeng, justru keinginanya untuk hidup berumah tangga; bersuami serta memiliki anak, selalu mengganggunya. Hal itu pula yang membuatnya menyayangi Goder, seorang anak kecil yang mampu membuatnya damai. Keadaan itu terus berlangsung, membuat Srintil jarang pentas dan tak mau lagi melayani lelaki.
Hingga suatu hari datanglah undangan untuk pentas di acara tujuh belas agustusan yang dilaksanakan di kecamatan. Srintil jelas menolak tawaran itu, namun dengan sedikit ancaman mengenai keselamatannya dan keselamatan warga Dukuh Paruk, ia ragu juga. Demi mendapatkan keputusan yang benar, ia berkeliling kampung, lalu berhenti begitu saja di depan rumah Sakum. Ketika ia melihat betapa susahnya hidup Sakum itulah hatinya benar-benar luruh. Sudah ia putuskan: ia tak akan menolak tawaran itu. Dari situlah kemudian Srintil tak pernah lagi menolak tawaran pentas, namun untuk melayani lelaki ia tak mau. Ia kini telah menjelma menjadi wanita dewasa yang bermartabat.
Ahmad Tohari is Indonesia well-knowned writer who can picture a typical village scenery very well in his writings. He has been everywhere, writings for magazines. He attended Fellowship International Writers Program at Iowa, United State on 1990 and received Southeast Asian Writers Award on 1995.
His famous works are trilogy of Srintil, a traditional dancer (ronggeng) of Paruk Village: "Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", and "Jantera Bianglala"
On 2007, he releases again "Ronggeng Dukuh Paruk" in Java-Banyumasan language which is claimed to be the first novel using Java-Banyumasan. Toward his effort, he receives Rancage Award 2007. The book is only printed 1,500 editions and sold out directly in the book launch.
Bibliography: * Kubah (novel, 1980) * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982) * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985) * Jantera Bianglala (novel, 1986) * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986) * Senyum Karyamin (short stories, 1989) * Bekisar Merah (novel, 1993) * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995) * Nyanyian Malam (short stories, 2000) * Belantik (novel, 2001) * Orang Orang Proyek (novel, 2002) * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004) * Mata yang Enak Dipandang (short stories, 2013)
"Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus Dukuh Paruk menyala, menyala."
3.5*
Two months ago, I read the prequel Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak about the young girl Srintil, who becomes a geisha-like dancer and prostitute for her village (Dukuh Paruk) in rural Java.
This book continues where it left off before - Rasus, the childhood friend of Srintil leaves to join the military. I have to say that the first half of "Lintang Kemukus Dini Hari" was dragging due to Srintil's depression. She bemoans the fact that Rasus left without a word and becomes depressed. She stops dancing and declines any invitation to perform. By now, Srintil is 18 years old and develops maternal feelings for a village woman's baby Godek. I was perplexed at how Srintil managed to breastfeed Godek even though she wasn't pregnant.
The people around Srintil, who make money off her dancing and sleeping around with men, are disappointed and want her to start performing again. Srintil seems unfazed by their anger and remains steadfast in her decision to just take care of Godek and stop being taken advantage of by the people around her. However, when she sees one of her musician's families living in dire poverty and that he can't earn money because he is blind and she refuses to dance, she has a change of heart.
Srintil matures and we see how she deals with masculinity that is forever dictating her life. She learns to deal with two different extremes of masculinity. Marsusi, the hyper masculine client, who thinks that his money can buy every service he desires from Srintil. She flat out declines him. This is followed by an episode of black magic. Then we have, Waras, the 17-year-old only son of a wealthy landowner. Waras is developmentally disabled and seems to be forever in a child-like state. His father convinces Srintil to dance at his home and then become a "gowok," which is a type of "rented wife" without marriage. Waras' parents hope that if Waras spends a few days with Srintil, she will be able to help their son become a man and understand the function of his male organs.
Compared to the first book, we can truly see politics catching up with the villagers of Dukuh Paruk. Srintil and her group of musicians are being used by the communists to gather crowds. Nobody has a clue what communism means and none of the villagers perceive themselves to be oppressed people. Srintil's group is confused why they aren't allowed to do their ancestral worship before each performance and why Srintil is called "the ronggeng of the people" instead "of Dukuh Paruk." September 1965 happens and events catch up with the group pretty soon. I will have to read the third book to see what happens next.
Finally, the author continues to refer to nature a lot throughout the story, which is similar to the first book. I enjoyed it even though I had to look up a lot of the names of the birds and trees and what not. Quite a lot of Javanese vocabulary is used in this story. Below is a quote that explains why the female villagers had no problem with Srintil, even though she may have slept with their husbands:
"Mereka datang membawa hati yang meriah. Yang masih anak-anak akan terpuaskan rasa ingin tahunya. Yang laki-laki dengan berahi atau nostalgia mereka. Yang perempuan dengan kebanggaan aneh; mereka akan puas melihat seorang perempuan, Srintil, menunjukkan kekuatan fitrahnya terhadap bangsa laki-laki. Bagi perempuan-perempuan kampung hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya seperti yang mereka alami sehari-hari."
"Di dunia ini, Nak, tak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Maksudku, tak suatu upaya apa pun yang bisa bebas dari akibat. Upaya baik berakibat baik, upaya buruk berakibat buruk."
"Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang miliki keberanian mengakui kebenaran sejarah."
Minggu dalam serangkaian trilogi Dukuh Paruk. Minggunya Ahmad Tohari. Membaca ini, saya sampai harus mencari arti beberapa kata atau istilah, yang tentunya berasal dari bahasa daerah. Agak kurang ngerti, tapi sedikitpun tidak mengurangi kekaguman saya terhadap novel ini. Ya, saya terkagum2 sama detail alam yang menyertai narasi buku ini.
-----
Srintil, ditinggal Rasus dengan cara yang paling menyakitkan. Tapi dalam perjalanan waktu, rasa sakit itu menuntunya pada sebuah harga diri dan martabat sebagai seorang perempuan. Bukan hanya perempuan ronggeng. Dalam kekecewaannya, Srintil bertemu Goder, dan menemukan semangat hidupnya kembali memalu naluri keibuannya. Oh, tentu saja, perempuan mana yang tidak bisa menolak kelugian dan juga kedamaian yang terpancar dari mata seorang bayi.
"Seorang bayi pastilah lebih dari anak kandung ibunya karena dia sesu ngguhnya adalah anak kandung alam yang paling sah. Maka siapapun yg mau jujur dengan hati nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh rahmat"
"Kemudian seperti yang diajarkan oleh Dukuh Paruk. Srintil mengganggap semua kegetiran yang dialaminya merupakan bagian garis hidup yang harus dilaluinya. Maka pada dasarnya Srintil pasrah dan nrimo saja. Dalam hidup ini orang harus nrimo pandum; ikhlas menerima jatah, jatah yang manis atau jatah yang getir". (salah satu penggalan dalam novel ini yang saya suka).
Saya juga ikut tersenyum dan tertawa seiring pengalaman Srintil menjadi gowok. Juga rasa simpatinya pada seorang manusia dalam kemalangannya yang abadi (Waras, pemuda 17 tahun yang masih tidur seranjang dengan ibunya, dan tidak mengenal kedewasaan sebagai seorang laki-laki).
Tapi sayang, keluguan para penguhuni Dukuh Paruk beserta ronggengnya ini menjadi alat kampenye politik bagi segelintir orang. Dukuh Paruk luluh lantak. Srintil dan paguyuban ronggengnya harus masuk tahanan. Malangnya nasibmu, Srin...
Jika saya harus setuju beberapa pendapat mengapa sampai mengalami kemalangan ini, maka saya setuju dengan beberapa hal yang dikemukakan dalam buku ini. Dukuh paruk yang melarat, lusuh, juga cabul, tidak pernah bisa menahami politik atau ideologi politik apapun. Mereka lebih percaya pada amanat agung leluhurnya, hidup selaras apa adanya dengan alam, , keaslian, kesederhanaan pemikiran penduduknya. Pemangku Trah.
----
Well, rasanya itu sebab saya kurang suka politik. Diantara berbagai keberhasilan dan kelebihan politik maka kehancuran juga menjadi salah satu kelebihan dan keangkuhannya. hehehe, yg satu ini adalah pendapat pribadi yg mungkin memang tidak objektif.
wuih..bener2 minggunya ahmad tohari deh...setelah ronggeng dukuh paruk nya begitu mempesona, sekuel kedua dari trilogi ronggeng dukuh paruk tak kalah mengesankan...tremendous et fascinoscum.... di buku pertama Ahmad Tohari banyak menyinggung tokoh Rasus, maka di buku ini tokoh Srintil, ronggeng dari dukuh paruk menjadi figur sentral,tentang mana dia menjadi seorang perempuan, remaja, gadis dan ide tentang seorang ibu khas dengan pendekatan banyumas bener2 kena. sebuah cerita berlatar masa revolusi 1964-1966, seperti yang sudah2 rakyat kecil selalu dan selalu jadi alasan sekaligus korban dari sebuah gonjang-ganjing yg disebut revolusi atau apapun namanya.... enjoy d book....
Aku anak Dukuh Paruk..yang mengangkatku menjadi wanita istimewa: Ronggeng. Aku yatim piatu sama seperti Rasus, ayahku adalah pembuat tempe bongkrek beracun yang menyebabkan warga Dukuh Paruk harus kehilangan beberapa anggota keluarga mereka. Hidup dengan Kakek dan Nenek.
Aku mengenal dua citra wajah lelaki. Wajah pertama adalah laki-laki jenis lembu jantan seperti kebanyakan mereka yang datang kepadaku. Mereka mendengus dan menggeram seperti macan berhasil menerkam menjangan. Wajah kedua adalah laki-laki yang lemah Mereka cengar-cengir, dan begitu mudah takluk tak berdaya di hadapan seorang ronggeng cantik sepertiku. Mereka rela kehilangan apa saja kemudian merengek hampir mengemis.
Rasus adalah laki-laki belia yang sudah ku kenal sejak masa kanak-kanak dengan ikatan batin yang kuat, memberiku sebuah perbandingan yang timpang. Sangat jauh berbeda; lebih berkesan, lebih banyak mengandung makna karena bukan hanya raga melainkan juga jiwa yang menyatu. Dia tangkas seperti anak kijang, harga dirinya hampir mencapai taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus memberi karena aku meminta atau aku meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hatiku dia memberi gambaran sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang teduh tempat orang bernaung.
Kami para warga Dukuh Paruk terprovokasi..Aku ditahan atas kejahatan yang sebenarnya tidak secara langsung kami lakukan..Dukuh Paruk terbakar..musnah dan punah segala isinya..Ada yang mengatakan Dukuh Paruk telah menerima bagiannya yang sah(karena perbuatan Ki Secamenggala dahulu). Pendapat lain mengatakan, itulah hukum dialektika pergolakan politik yang acap kali berupa ironi sejarah dan ironi kemanusiaan.
"... Srintil masih menyambung mimpi setelah menempuh malam yang paling berkesan bersama Rasus. Seberkas sinar matahari menembus dinding bambu, lurus seperti kristal maya jatuh di pipi Srintil. Lingkaran terang yang hanya seluas uang logam mampu menyingkap rona hidup di pipi ronggeng Dukuh Paruk itu. Rambutnya yang hitam, meskipun begitu kusut, memantulkan kilau yang lembut. Ketika rona terang itu akhirnya bergerak ke arah mata, Srintil berada dalam batas jaga. Irama napasnya mulai tak teratur, bulu matanya bergerak-gerak. Akhirnya terdengar desah panjang ketika Srintil menggeliat perlahan-lahan. Peralihan dari alam tidur ke alam jaga berlangsung sementara kelopak mata Srintil belum terbuka. Bola mata bergulir-gulir di dalam pelupuknya. Kemudian tercipta sebuah lekuk yang bagus di kedua sudut bibir Srintil. Kesadaran telah merayapinya, kesadaran bahwa lintasan hidupnya sedang memasuki batas waktu di mana Srintil merasa dirinya larut dan menyatu dengan Rasus..."
- Diawali dengan kebinalan dua remaja-menginjak-dewasa yang bergumul dalam gelap dan dinginnya malam, Dukuhparuk kembali dihantam badai politik. Dukuhparuk luluh lantak dalam catatan zaman. Benarkah Dukuhparuk telah menerima bagiannya yang sah? -
Novel ini menceritakan tentang kepergian Rasus yang membrikan luka bagi Srintil. ia merasa kehilangan sekali setelah ditinggal oleh Rasus. seiring berjalannya waktu, ketenaran Srintil sudah mencapai puncak. Parasnya yang ayu serta kekenesannya membuat bayarannya menjadi lebih mahal. walaupun srintil berada dipuncak ketenaran, namun Srintil merasa kosng. karena Srnitil seorang perempuan, Srintil juga menginginkan suami bessertaa anak. namun hal itu sangatlah dilarang. karena Srintil merupakan seorang ronggeng. tidak hanya itu ia tidak bisa melupakan Rasus. Karena hal itu Srintil jarang pentas. ia merasa sudah tidak punya gairah untuk meronggeng. malah dia ingin berumah tangga, memiliki suami, dan memiliki anak. hingga suatu ketika ia bertemu anak dengan nama Goder. anak ini bisa membuat nyaman perasaan Srintil.Keadaan itu terus berlangsung, membuat Srintil jarang pentas dan tak mau lagi melayani lelaki. suatu hari ada undangan untuk pentas di acara tujuh belas agustusan yang dilaksanakan di kecamaatan. Srintil menolak lamaran itu. tetapi ia diancam tentang keselamatan dirinya dan keselamatan warga dukuh paruk. ia merasa kebingunan dan ragu. kemudian ia memutuskan untuk berkeliling kampung dan berhenti di Rumah Sakum. ia melihat betapa susah hidupnya. kemudian hati srintil benar-benar luruh. setelah melihat keadaan Sakum, ia memutuskan tidak akan menolak tawaran pentas lagi. Namun ia disuruhh untuk melayani lelaki ia tidak mau. setelah itu ia meenjelma menjadi wanita dewasa yang bermartabat. . hubungan antarra judul denngan isi yaitu tidak saling menceritakan satu sama lain. karena makna judul bermakna akan ada bencana yang akan datang. sedangkan dalam crita ini Srintil menjelma menjadi wanita yang bermartabat. dan merupakan dampak positif. dari sini sudah kelihatan bahwa saling bertolak belakang. . pendekatan yang digunakan dalam novel ini adalah pendekatan yang tidak hanya terkungkung dalam dunia psikologi saja tetapi juga memuat aspek sosial, sebab novel merupakan cerminan dan representasi kehidupan masyarakat. Melalui novel, pengarang mengungkapkan problem kehidupan. Problem yang diangkat dalam novel tercermin pula keadaan sosial serta budaya yang tengah berkembang dalam suatu masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan muncullah cabang pengetahuan baru yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manusia yang berhubungan dengan dengan situasi sosial termasuk di dalamnya interaksi antar orang dan hasil kebudayaannya yang disebut dengan psikologi sosial.
Membaca buku ini sudah 38 minggu yang lalu, buku ini merupakan buku kedua dri trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Seri ini merupakan edisi terbitan pertama, edisi jadul yang masih dipisah menjadi tiga buku novel. Sedangkan cetakan yang sekarang beredar adalah cetakan tahun 2003 terbitan Gramedia yang merupakan penggabungan ketiga novel tersebut, juga dilengkapi dengan cerita yang sempat disensor semasa Orba.
What an excellent story telling by Ahmad Tohari, mantul banget cara ia mendeskripsikan keadaan perdukuhan yang begitu lekat pada gambaran alam nan asri. Membuat pembaca jadi mudah untuk mengimajinasikannya. Aku selalu suka cerita tentang pergolakan perempuan yang menjadi tokoh utama. Dan mengikuti alur pemikiran belia Srintil membuatku hanyut dalam perasaanya.
Buku kedua ini begitu apik membalut gambaran utuh sebuah desa dengan kesederhanaan, kemistikan, sekaligus kemeralatan dan kebodohannya. Menganggukkan pembaca sepertiku akan sebongkah keluguan yang terpencil, terpisah dari huru-hara orang luar semasa tahun 1964. Melihat sisi kehidupan yang lain dibalik geliat revolusi dan gejolak perpartaian. Pergerakan awal dan propaganda paham komunisme begitu terpigura dalam bingkai pikiran orang-orang Dukuh Paruk, kepala-kepala berpikiran polos yang tak mampu memahami politik maupun ideologi politik pada zaman itu. Ketegangan begitu terasa olehku ketika Dukuh Paruk yang membela adatnya dan tak mengerti kesalahannya, dikungkung ketakutan lalu kemudian pada akhir '65 dibumi-hanguskan. What a different point of view terhadap pergolakan '65.
Nggak sengaja dipertemukan sama buku ini. Salah satu penjual toko buku kasih aku buku ini waktu kubilang aku cari buku sastra. Aku udah sering dengar tentang buku Ronggeng Dukuh Paruk, tapi berhubung aku blm kulik lebih lanjut jadi baru taulah aku kalau buku ini adalah buku lanjutan dari buku tersebut. Aku tau membaca buku kedua tanpa tau apa-apa tentang buku pertama-nya itu cukup bikin aku meraba-raba, tapi so far aku sangat menikmati jalan ceritanya padahal belum kubaca juga buku pertama dari seri ini.
Aku suka banget sama jalan ceritanya dan topik yang dibawa sama penulis. Hal yang bikin aku suka adalah novel ini sarat akan kebudayaan dan sedikit banyak kasih sedikit informasi tentang sejarah. Bagaimana mudahnya masyarakat yang buta huruf menerima informasi, terombang-ambing bersama arus, dan pada akhirnya harus menanggung dosa sejarah yang bahkan merekapun nggak ngerti.
Overall buku ini salah satu buku yang akan aku rekomendasikan buat pecinta sastra dan fiksi sejarah. Penuturan penulis begitu elok, bahkan saat membaca bagian yang kurang menyenangkan-pun aku suka.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Lintang Kemukus Dini Hari adalah buku kedua dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Saya membaca buku ini di iPusnas setelah sebelumnya membaca ulang buku pertama yang pernah saya baca di masa SMA, meminjam dari Perpustakaan sekolah. Saat itu, buku kedua dan ketiga tidak tersedia. Mungkin karena buku kedua ini menyinggung kejadian 1965.
Jika buku pertama menceritakan tentang awal mula Srintil menjadi ronggeng dan sakit hati Rasus, buku kedua ini bercerita tentang sepak terjang Srintil sebagai ronggeng terkenal, perasaannya pada Rasus, bagaimana ia menjadi gowok, dan tentu saja, pamungkas, keterlibatan Srintil dengan PKI dan 1965. Itulah mengapa judul buku ini adalah Lintang Kemukus Dini Hari, pertanda bahwa hal buruk akan datang - penjelasan yang diungkap di penghujung buku ini.
Buku ini membuat saya bergidik dengan kemelaratan dan kemiskinan, bukan hanya tentang uang dan materi, tetapi juga mengenai pengetahuan dan ilmu. Bagaimana rakyat kecil 'memilih' menjadi kere dan miskin. Bagaimana mereka diperalat. Serta bagaimana hoax dan prasangka bermain sedemikian keji.
Buku ini juga menunjukkan betapa Srintil ingin menjadi perempuan somahan, perempuan yang sesuai dengan kodratnya menjadi istri dan Ibu, meskipun ia memiliki segala materi yang dunia miliki. Perasaan ini mungkin juga perasaan yang dimiliki perempuan pada umumnya; mungkin juga independent women yang berharap memiliki imam yang baik dan bertanggung jawab.
Jika ada istilah mengenai 'nguri-nguri kabudayan', saya rasa, tidak semua kebudayaan pantas dilestarikan. Kita juga perlu memilih dan memilah mana yang tepat dan pantas.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Highlight: "Maka siapapun yang mau jujur dengan nuraninya akan mengakui bahwa semua bayi hidup dalam alam yang penuh rahmat" babak ketika srintil mengatasi patah hatinya dengan kehadiran bayi goder.
"Perayaan hari ini demi mengagungkan hari kemerdekaan, bukan kemerdekaan itu sendiri" sakarya ketika mulai bimbang dengan ketiadaan dan kegoyahan adat istiadat dukuh paruk yang mulai tergerus jaman.
"Bagi kertareja bertamu berarti siap menjadi barang. Soal pengaturan menjadi hak tuan rumah" kertareja mengajarkan dalil dalil adat istiadat.
"Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem." Ketika mereka ditarik dan dipaksa pada pakem hidup yang sangat dipercaya oleh kesederhaan adat istiadat dukuh paruk.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kritik sosial budaya yang dipertegas dengan penambahan konflik melalui situasi panas di tahun 1965. Ketidakberdayaan, kebodohan, dan kemiskinan dengan mudahnya mengkambinghitamkan Ronggeng Strintil serta Dukuh Paruk untuk terlibat dalam sejarah kelam tersebut. Perkembangan karakter Ronggeng Srintil seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidupnya menambah konflik yang menyayat dalam cerita ini, dimana Srintil mulai mencari sebagian dari dirinya yang hilang digambarkan dengan baik dan seimbang dalam cerita ini. Pendeskripsian suasana dan latar pedesaan sudah pasti sangat detail, hidup, dan lugas sebagaimana gaya sastra Ahmad Tohari.
Lintang Kemukus adalah komet yang benderang. Menurut primbon Jawa, pertanda malapetaka. Buku kedua ini banyak mengajarku tentang ke-perempuan-an, dan dunia yang lebih besar dari diri sendiri, serta pandangan baru terhadap "Revolusi" dan "riot" atas nama ideologi. Buku ini mengiyakan kegusaranku tentang dunia yang semakin menjadi asing dan penuh ketidakjujuran. Lagi-lagi kebenaran harus kucari dalam diriku sendiri.
berasa membaca cerita populer mungkin karena tetang kisah percintaan ya jadi terpengaruh wwkwk.... srintil penari ronggeng atau tokoh utama dalam cerita ini benar gigih mencintai laki laki yang bahkan tidak mencintainya rasus, kemudian sampai ia menemukan laki laki lain dan berubah menjadi wanita yang lebih baik.
Dibanding buku sebelumnya, Srintil benar-benar ditonjolkan di buku ini. Martabatnya, keperempuanannya, dan keibuannya dirasakan dari tokoh Srintil yang menurutku kian mengalami character development. Di sini juga mulai dimasukkan bumbu historis, berlatar tahun 1940-an. Partai, gejolak rakyat, kerusuhan, dan Dukuh Paruk yang ikut terkena getahnya.
Buku kedua dari trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” mengambil perspektif dari sisi Srintil dan kaula Dukuh Paruk. Buku ini sangat menarik benang hati yg bersimpati pada warga dukuh paruk dan Srintil. Membahas lika liku kewanitaan dan ketidaktahuan mereka. Menjelang selesainya membaca buku ini, kita didorong rasa ingin tahu yg besar atas nasib mereka semua
“Bagian kedua dari rangkaian Ronggeng Dukuh Paruk. Potret kehidupan Srintil berlandaskan cetakan yang dibuat oleh masyarakat. Gamang dan berkejaran dalam tekanan. Dukuh Paruk yang melarat, cabul, bodoh, dan tidak berpendidikan, di balik itu semua terdapat martabat yang tidak dapat ditukar dengan apapun.”
Pas seminggu, dan buku kedua dari trilogi Dukuh Paruk ini akhirnya selesai juga. Rasa2nya, saya sudah terjerumus ke dalam dunia cabul tradisionil ala Srintil. Bukan cuma menarik, buku ini berhasil menumbuhkan rasa penasaran untuk membaca karya2 pak Tohari lainnya, selain buku yang ketiga tentunya.
i liked this a little bit better than the first one mungkin karena fokus ke srintil, walaupun ke-misogynistic-an nya masih melekat kuat dan sedikit kangen sama karakter rasus. tapi setidaknya kita bisa melihat lebih dalam ke kehidupan srintil.
Digambarkan dengan apik bagaimana kepolosan dan kemurnian budaya luluh lantah ditangan politik. Dan aku merasa disini banyak sekali potongan-potongan yang hilang. Beberapa bagian seperti "left unsaid", dan kamu pasti bakal bingung menuju kemana arahnya. Mungkin karena buku ini pernah mengalami sensor pada masa orde baru sehingga beberapa kalimat (bahkan paragraf) yang sensitif telah dihilangkan. Sayang sekali.
This second book in Ahmad Tohari’s trilogy dives deeper into the life of Srintil and her journey as a “Ronggeng” in Dukuh Paruk. While the pacing felt slow at times—I’ll admit, I even dozed off a couple of times while reading—the story truly shines in its final chapters. The buildup might test your patience, but trust me, it’s worth sticking around for the incredible payoff.
The character development of Srintil is rich and layered, and the cultural backdrop of Dukuh Paruk adds a unique depth to the narrative. What initially made me consider giving this book 2.5 or 3 stars completely changed by the time I reached the end. The plot twist is a solid 9/10—it’s unexpected, impactful, and brilliantly executed.
In the end, I couldn’t help but give this book a 4.5-star rating. The slow burn leads to a truly awesome climax that left me reflecting on the story long after I finished reading. If you’re willing to push through the slower parts, the reward is absolutely worth it.
Gak ada keragu-raguan untuk saya sehabis melahap buku ini untuk memberikan 5 bintang untuk karya ini. Semua rasanya nyata dan rasanya menyakitkan.
Srintil harus merelakan kepergian Rasus yang akan menjadi tentara setelah melewatkan malam yang berkesan bersamanya. Srintil begitu terpukul dan begitu sakitnya, hingga ia menolak me-ronggeng lagi. Ia merasa hatinya hilang terbawa Rasus yang pergi entah kemana. Setiap hari hanya dihabiskan Srintil untuk merenung dan merenung, mengapa Rasus meninggalkannya? Mengapa Rasus tega membawa hatinya? Mengapa ia tidak bisa bersama-sama dengan Rasus?
"Aku tidak mungkin mengawinimu karena kamu seorang ronggeng. Kamu milik Dukuh Paruk."
Betapa perih hati Srintil ketika mengetahui alasan Rasus dahulu mengapa ia tidak mau bersama Srintil. Srintil sempat menyesal mengapa ia menjadi seorang ronggeng, yang tidak bisa memiliki seorang laki-laki dalam hidupnya.
"Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia" "Dia?" "Ya, Rasus"
Setelah meyakinkan dirinya bahwa ia memanglah seorang ronggeng dan tetap harus menjalani kehidupannya menjadi seorang ronggeng, Srintil kembali naik pentas. Srintil merasa tertantang untuk menjadi Gowok dari seorang putra pemilik perkebunan singkong yang mempunyai keterbelakangan mental. Srintil merasa tersentuh dan merasa iba sehingga ia memutuskan untuk menjadi gowok baginya.
Tahun 1965. Dukuh Paruk kedatangan berbagai macam manusia yang rajin mengadakan rapat-rapat dan pentas seni yang suka berorasi dengan suata nyaring disertai kepalan tangan di udara. Awalnya Dukuh Paruk menerima baik kedatangan mereka karena mereka beranggapan bahwa mereka sama-sama menanti kedatangan Ratu Adil. Setelah melihat kenyataan kerusuhan dan keributan yang disebabkan oleh kelompok manusia itu, Dukuh Paruk mulai waspada. Dukuh Paruk harus terluka hatinya ketika harus menerima kenyataan makam moyang mereka dirusak seseorang bercaping hijau yang mereka anggap berlawanan dengan Dukuh Paruk dan kelompok manusia yang suka berorasi itu.
Malang tak dapat ditolak, Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat malah harus menerima fakta bahwa mereka dianggap pemberontak oleh pemerintah, karena mereka ikut-ikutan me-ronggeng di acara pentas seni itu.
Sedih. Rasanya sedih melihat Srintil, harus berjuang melawan pedih hatinya ketika mengetahui Rasus meninggalkannya dan sedih ketika Srintil harus menerima kenyataan bahwa ia dianggap pemberontak oleh polisi. Dukuh Paruk yang lugu dan polos, yang tidak tahu apa-apa harus dipunahkan. Gambaran menyakitkan dari masa kelam Indonesia tahun 1965. Sebuah kampung kecil harus dimusnahkan padahal mereka tidak tahu apa-apa. Jerit tangis anak dan lolongan minta tolong para ibu tidak terdengar di pusat. Begitu kelamnyakah masa gelap itu?
Dan kisah Dukuh Paruk belumlah usai. Jantera Bianglala masih menunggu...
Di sini sepenuhnya dr sudut pandang Srintil. Pendewasaan dirinya dr ronggeng bocah yg disetir dukun ronggengnya, hingga mjd ronggeng yg punya mau dan martabat(?) tinggi.
Cerita diawali dengan kepergian Rasus yg menorehkan luka yg sangat dalam di hati Srintil, bahkan sempat membuatnya emoh meronggeng lagi. Selain itu nalurinya sebagai wanita, membuatnya merindukan anak yg dapat disayanginya sepenuh hati. Sesuatu yg tampaknya tak mungkin dimilikinya.
Beberapa kejadian di cerita ini membuat tokoh Srintil benar2 mempelajari dirinya sendiri, menyadari kekuatannya serta kerapuhannya.
Seperti msh kurang sengsara, buku ini diakhiri dengan datangnya huru-hara 1965, Srintil dan seluruh Dukuh Paruk yg tercap abangan... #sigh
*satu hal, nasib nenek Rasus kok spt terlupakan sama sekali ya*
Buku ini menurutku baiknya dibaca dan dinikmati bukan hanya sbg buku romance, tp sebagai buku budaya. Mengupas keseharian seorang ronggeng, kerja dan seluk beluknya, serta isi hati terdalamnya. Di samping itu, pandangan kaum wanita yg berbeda-beda terhadap sosok sang ronggeng juga enak diikuti. Ternyata tidak semua wanita membenci Srintil, ada "fungsi2 sosial" yg trnyta diembannya. Kacamata moralitas yg tak sepenuhnya sejalan dengan nilai sejarah dan tradisi berpuluh generasi.
Bapak AT yg selalu cakap sekali dalam mendeskripsikan keindahan alam pedesaan, kembali memamerkan kepiawaiannya. Membaca buku ini berkali-kali seakan kita dibawa mendengar cuitan burung dan merasakan semilir angin di rumpun-rumpun bambu.
Setelah membacanya, saya mengerti kenapa Ahmad Tohari sampai perlu merangkai karyanya ini dalam bentuk trilogi. Gaya bertutur naratif-deskriptif pada lingkungan alam sekitar adalah hal akrab yg menjadi unik pada pengarang dalam karyanya, tapi dlm pandangan saya itu membosankan. Sebab, kalimat awal dengan kalimat akhir yg menghubungkan alur cerita terdapat interval yg cukup jauh. Sehingga, tak jarang saya terjebak hanya dlm penggambaran suasana alam.
Dalam pada segi individual, muatan dan pelajaran moral yg disusupinya, membuat novel ini sungguh mengesankan. Srintill, yg mulanya hidup dengan hedon sbg seorang ronggeng sejati, dlm novel kedua ini kegetiran hidup mulai menjamahnya. Saat ia mulai menggali fitrahnya sebagai seorang wanita yg sesungguhnya. Dan rupanya Dukuh Paruk tetaplah Dukuh Pauk yg tak mengerti apa-apa selain pakem bahwa hiduo layaknya perwayangan.
Rasus, salah satu tokoh sentral pada novel pertama sama sekali tdk terlibat langsung dlm alur cerita, melainkan hanya sebagai tokoh yg ada dlm bayangan batin tokoh-tokoh yg berperan aktif.
Dalam ruang lingkup yg komunal, guncangan hebat pada hampir semua nilai-nilai kehidupan dukuh paruk dan segala ironi yg menenmaninya geger politik 1965 telah hampir membuatnya punah. Sejarah telah membawa obor raksasa yg siap membakar Dukuh Paruk kapan saja, menuju kepunahannya menjadi abu. Kegagagpan dlm membaca situasi politik maupun pesan sejarah semakin membuat komuni masyarakatnya semakin nestapa.
Sungguh mengesalkan ketika pad akhirnya saya tahu bahwa versi novel yg saya baca tidak sama dengan yang dibaca orang lain, karena ternyata novel yg saya baca sudah disensor oleh pemerintah orde baru. Hal ini mengindikasikan begitu berbahayanya novel ini untuk dibaca kala itu (walau padahal saya membacanya tahun 2000an). Kejujuran yang diberikan novel ini tentang kekejaman penguasa melalui aparatur negaranya, mungkin dianggap mengancam 'mitos orde baru yang tanpa cela' sehingga tidak ada pilihan lain selain untuk menyensornya. Saya kagum akan keberanian dan kelihaian Ahmad Tohari dalam menyembunyikan cerita yang sebenarnya ingin ia kisahkan tentang kezaliman penguasa dengan dibungkus cerita keseksian seorang wanita penari yang walaupun pada akhirnya tetap saja disensor di bagian2 yang krusial. Semoga akan lebih sedikit pembaca seperti saya yang hanya membaca cerita sensoran dan mendengar cerita lengkapnya dari mulut orang lain