Korupsi sudah menjadi budaya, ujar Bung Hatta sekian puluh tahun yang lalu. Ajip Rosidi dalam kumpulan karangannya Korupsi dan Kebudayaan, seolah hendak membuktikan atau mendukungnya. Tenten bukan karena sekadar adanya kemiripan kata-kata. Di dalamnya ada rasa gelisah, ingin tahu, dan rasa geram yang dikemas dengan daya kritis -- kadang bercampur dengan praduga. Tulisannya campur sari akal dan rasa, menjangkau, rentang waktu 5 abad ke belakang, menyentuh isyu-isyu masa kini, bahkan memantulkan harapan masa depan. Itu semua sungguh mewakili alam pikiran sebagian-kalau bukan sebagian besar -- kelompok masyarakat (Erry Riyana Hardjapamekas)
Sepanjang apa yang saya ketahui, sudah jarang ada pembahasan mengenai korupsi yang mengambil rujukan ke masa silam, apalagi ke masa kerajaan Mataram, mungkin karena terlalu jauh dan konteknya sangat berbeda dengan realitas sekarang. Namun Kang Ajip, dengan pemaparan yang menarik justru melihat korupsi yang menggila sekarang ini sebagai gejala yang berakar pada watak dan perilaku para pembesar pada zaman kerajaan di Nusantara. Di sini perpecahan dalam tubuh kerajaan atau pemberontakan memperebutkan tahta kerajaan yang melibatkan kerabat kerajaan sepanjang sejarah kerajaan atau kesultanan di seluruh Nusantara, dilihat sebagai periode awal yang melahirkan mentalitas budaya korup yang lebih mementingkan upaya memperkaya diri atau golongan daripada menjaga keutuhan bangsa dan negara. (Teten Masduki)
Ajip Rosidi (dibaca: Ayip Rosidi) mula-mula menulis karya kreatif dalam bahasa Indonesia, kemudian telaah dan komentar tentang sastera, bahasa dan budaya, baik berupa artikel, buku atau makalah dalam berbagai pertemuan di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Ia banyak melacak jejak dan tonggak alur sejarah sastera Indonesia dan Sunda, menyampaikan pandangan tentang masalah sosial politik, baik berupa artikel dalam majalah, berupa ceramah atau makalah. Dia juga menulis biografi seniman dan tokoh politik. Pendidikan formalnya SD di Jatiwangi (1950), SMP di Jakarta (1953) dan Taman Madya di Jakarta (tidak tamat, 1956), selanjutnya otodidak.
Ia mulai mengumumkan karya sastera tahun 1952, dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada waktu itu seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Indonesia, Zenith, Kisah dll. Menurut penelitian Dr. Ulrich Kratz (1988), sampai dengan tahun 1983, Ajip adalah pengarang sajak dan cerita pendek yang paling produktif (326 judul karya dimuat dalam 22 majalah).
Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian terbit ketika usianya 17 tahun (1955), diikuti oleh kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, hasil penelitian, dll., baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda, yang jumlahnya kl. seratus judul.
Karyanya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dimuat dalam bungarampai atau terbit sebagai buku, a.l. dalam bahasa Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perands, Kroatia, Rusia, dll. Bukunya yang dalam bahasa Sunda, a.l. Kanjutkundang (bungarampai sastera setelah perang disusun bersama Rusman Sutiasumarga, 1963), Beber Layar! (1964), Jante Arkidam (1967), DurPanjak! (1967), Ngalanglang K.asusastran Sunda (1983), Dengkleung De’ngde’k (1985), Polemik Undak-usuk Basa Sunda (1987), Haji Hasan Mustapajeung Karya-karyana (1988), Hurip Waras! (1988), Pancakaki (1996), Cupumanik Astagina (1997), Eundeuk-eundeukan (1998), Trang-trang Kolentrang (1999), dll.
Ia juga mengumpulkan dan menyunting tulisan tersebar Sjafruddin Prawiranegara (3 jilid) dan Asrul Sani (Surat-surat Kepercayaan, 1997). Ketika masih duduk di SMP men-jadi redaktur majalah Suluh Pelajar (Suluh Peladjar) (1953-1955) yang tersebar ke seluruh Indonesia. Kemudian men-jadi pemimpin redaksi bulanan Prosa (1955), Mingguan (kemudian Majalah Sunda (1965-1967), bulanan Budaya Jaya (Budaja Djaja, 1968-1979). Mendirikan dan memimpin Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (PPP-FS) yang banyak merekam Carita Pantun dan mempublikasikannya (1970-1973).
Sejak 1981 diangkat menjadi gurubesar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daignku (1982-1994), tetapi terus aktif memperhatikan kehi-dupan sastera-budaya dan sosial-politik di tanahair dan terus menulis. Tahun 1989 secara pribadi memberikan hadiah sastera tahunan Rancage yang kemudian dilanjutkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikannya.
Kumpulan karangan lepas dalam buku ini memang tidak semuanya menyoroti isu korupsi. Ada beberapa tulisan -terutama seperempat bagian akhir- mengangkat persoalan kebahasaan yang menjadi spesialis penulis, Ajip Rosidi.
Melalui buku 'Korupsi dan Kebudayaan' penulis mengajak para pembacanya untuk melihat akar korupsi yang terjadi di negeri ini.
Bahasanya sederhana, namun kata demi kata di dalamnya sarat makna dan penuh sentilan bagi para penguasa.