Perempuan sering kali dianggap menjadi agen moral dan kesalehan keluarga serta masyarakat yang tecermin dari dirinya dan keluarganya. Oh tentu saja, ini adalah tugas yang terlalu berat. Bayangkan saja jika dalam suatu keluarga, terdapat anggota keluarga yang katakanlah menyalahi norma sosial agama masyarakat setempat, ibu selalu saja jadi pelaku utama yang harus, dan sering kali, disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga.
Nah, prototipe ideal dari potret kesalehan perempuan hari ini adalah mereka yang dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalehan dirinya dan keluarganya. Jika pun harus bekerja misalnya, ia haruslah tetap bekerja di rumah, entah jualan online atau yang lainnya. Karena jika perempuan bekerja di luar rumah, masalah keluarga pasti akan terjadi. Begitu asumsinya. Dan, semua menjadi tanggung jawab perempuan.
“Memang jadi perempuan, apalagi ibu, tuh idealnya tidak bekerja kantoran dan lain-lain, karena pasti keluarganya akan terbengkalai. Lagian ngapain sih ambisius seperti itu, apa nggak kepikiran anak-anaknya? Nanti kalau keluarganya berantakan baru nyesel. Fitrah terbaik kita sebagai Muslimah salihah itu memang di rumah.” Begitulah respons beberapa kawan saya terkait domestikasi perempuan yang selalu dihubungkan dengan kesalehan seseorang.
Sayangnya ekspresi kesalehan yang berkembang belakangan ini juga diwarnai dengan pemahaman keagamaan yang literal, konservatif, dan eksklusif. Menjadi salihah kerap kali dihubung-hubungkan dengan ideologi tertentu yang justru menutup wacana dan pesan-pesan pembebasan perempuan.
Hal inilah yang membedakan bentuk kesalehan perempuan hari ini dengan misalnya sufi-sufi perempuan beberapa abad silam di dunia Muslim. Bisa jadi juga karena bentuk dan ekspresi keagamaannya sangatlah berbeda, terlebih terkait dengan sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dianut.
Sebenarnya ketika saya membaca judulnya, saya terbayang isinya akan lebih banyak membahas mengapa perempuan terutama muslimah bukanlah agen moral. Mungkin pembahasannya bisa berangkat dari mengapa beban moral selalu diletakkan di pundak perempuan, hingga beban berlapis yang harus diemban perempuan muslim dalam 'menjaga' moralitas umat. Namun, ternyata isi buku ini lebih bersifat general di mana penulis menyoroti perilaku keberagamaan yang berbeda di kota dan di desa/kabupaten, serta pengaruh dunia digital terhadap perilaku keberagamaan umat. Meskipun demikian, sebenarnya saya bisa menangkap observasi dari penulis, termasuk keresahan yang tersirat dalam setiap tulisannya tentang perilaku keberagamaan sebagian kelompok yang sepertinya lupa akan esensi agama itu sendiri.
Buku ini ringkas di tiap babnya, tapi menohok dan kompleks dalam penafsiran. Maria Ulfa menulis dengan cara yang membuat kita bingung sekaligus kagum: kadang terasa ia menyindir, kadang seperti mendukung, tapi selalu membuat berpikir. Bagaimana seseorang bisa menulis sepadat ini, secerdas ini, dan sehalus ini? Luar biasa. Bahkan sejak kata pengantar Bentang Pustaka, aku sudah jatuh cinta: “Cinta dan kasih sayang dari Allah SWT begitu tak terbatas, ada begitu banyak jalan meraih rida-Nya. Semoga buku ini mampu memberikan sepercik ketenangan hati dan keberkahan.”
Awalnya kukira buku ini akan ringan—cocok untuk selingan dari bacaan berat seperti Javid Namah—karena dua bab pertamanya membahas kesalehan di ruang digital: media sosial, microseleb dakwah, dan budaya hijrah. Di sinilah Maria Ulfa menyoroti figur-figur seperti Hawariyun, Felix Siauw, Wafiq Malik, dan ustaz-ustaz Salafi-Wahabi yang merebut tafsir “Islam kaffah” dengan nada seragam dan keras. Ia membedah bagaimana kesalehan digital justru mempersempit ruang keberagamaan perempuan: dari cara berpakaian, memilih pasangan, hingga mengelola citra moral. Pertanyaannya apakah seorang muslimah berhijab karena kesadaran, atau karena tekanan standar moral masyarakat? Pertanyaan yang juga masih kupertanyakan sampai sekarang, sejak pertama kali berhijab “sadar” di usia SMP.
Fenomena microseleb yang mayoritas berasal dari kelas menengah atas justru terjebak kapitalisme fesyen, kehilangan makna syariat yang selaras dengan alam: tidak berlebihan, tidak boros, dan tidak menjadikan agama sebagai gaya hidup mewah. Kajian eksklusif, ustaz dengan mobil mahal, dan jargon “kaya biar bisa sedekah” terasa jauh dari kesederhanaan Rasul. Bagian tentang halal lifestyle membuatku bertanya-tanya: apakah Maria Ulfa bersyukur, atau sedang menyindir? Ia juga menyinggung fenomena tren cadar sebagai mode: di satu sisi membuat cadar lebih diterima, tapi di sisi lain mengikis kesakralannya. Paling menggelitik tentu narasi “nikah muda biar tak zina”, seolah masalah hidup hanya urusan seks. Padahal pernikahan adalah proyek peradaban, yang menuntut kedewasaan spiritual, intelektual, dan sosial. Kasus Taqy Malik dan Salma juga disentuh: bahwa jika seseorang berani berkata “tidak pada zina,” seharusnya juga berani berkata “tidak pada nikah muda karena mupeng.”
Bab “Secangkir Kopi dan Agama Siap Pakai” menjadi titik balik. Di sini Maria Ulfa mengingatkan bahwa memahami agama tak cukup dengan bisa bahasa Arab. Tafsir Al-Qur’an punya perangkat keilmuan luas: ulumul Qur’an, nasikh-mansukh, mujmal-mubayyan, mutlaq-muqayyad, dan tafsir selalu dipengaruhi konteks hidup sang penafsir. Islam tidak bisa dimonopoli satu tafsir saja; pluralitas penafsiran justru fondasi kejayaan intelektual Islam di masa lalu. Kematian kepakaran dan tafsir tekstual tanpa konteks adalah akar kemunduran berpikir muslim. Ia bahkan menyelipkan kritik lembut pada objektifikasi publik terhadap perempuan—seperti komentar netizen terhadap foto Esmat Dowleh dan ibunya yang justru aktivis bangsawan seperti RA Kartini, tapi direndahkan hanya karena wajahnya.
Bab-bab selanjutnya bergerak ke spiritualitas perempuan: tentang Sayyidah Maryam sebagai simbol persatuan umat Kristen Koptik dan Muslim di Mesir tahun 1968 (Maryam of Zaitoun), disusul kisah Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengutip Rumi, “Setiap kita adalah Maryam yang akan melahirkan Isa; ketika penderitaan cinta datang, maka Isa akan lahir.” Metafora yang indah tentang kesadaran ilahi yang lahir dari penderitaan yang diterima dengan cinta. Sementara kisah Rabi’ah—yang ternyata mantan budak miskin seharga enam dirham—mematahkan prasangka bahwa hanya perempuan berprivilese yang bisa menjadi sufi besar. Hidupnya yang penuh uzlah dan pencarian menjadi bantahan bagi tafsir patriarkal yang menyingkirkan perempuan dari ruang publik dan spiritualitas.
Maria Ulfa juga menyinggung tiga belas fatwa Al-Azhar di masa Grand Syaikh Ahmad Thayyeb tentang kekerasan seksual—bagian paling progresif dan menggugah dari buku ini. Lalu ia menulis tentang The Conference of the Birds (Manthiq al-Thayr) dan lukisan aslinya yang tersimpan di British Museum. Dari sana ia beralih ke pemikiran Prof. Ahmet Kuru tentang mengapa peradaban Islam dulu maju: karena keterbukaan, kolaborasi lintas ideologi, dan kemerdekaan ulama serta pedagang. Kemunduran terjadi ketika ulama bergantung pada negara dan militer, saat ortodoksi Sunni dan sistem pajak militer (iqtha’) menciptakan stagnasi intelektual.
Bagian penutup buku adalah refleksi spiritual tentang alam. Maria Ulfa menolak pandangan bahwa bencana adalah azab SAJA. Bencana jg cermin dari kerakusan manusia terhadap bumi. Ia mengingatkan bahwa negara-negara Muslim, termasuk Indonesia dan Saudi Arabia, justru penyumbang sampah terbesar di dunia. Dalam spiritualitas sejati, tak ada benda mati... Semua makhluk saling terhubung, sebagaimana firman Allah dalam surah Nuh ayat 17–18. Buku ini kemudian ditutup tentang moderasi beragama yang akan mengglobal. Tapi, pertanyaanku, “Moderat menurut siapa?”. Sebab bahkan moderasi pun bisa menjadi tidak adil jika dijalankan tanpa keberanian menerima keragaman tafsir.
Pada akhirnya, Muslimah Bukan Agen Moral bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang kesadaran. Tentang bagaimana iman bisa hadir tanpa menghakimi, dan bagaimana moderasi tak cukup diucapkan, tapi harus dijalani dengan hati yang lapang terhadap banyak tafsir. Buku ini mengajak berhenti sejenak meninjau ulang makna kesalehan. Ia tidak menyuruh memilih antara berhijab atau tidak, antara kanan atau kiri, tapi menantang kita untuk jujur: apakah kita beribadah karena cinta, atau karena terlanjur terkungkung standar moral masyarakat?. Mungkin selama ini, kitalah yang sibuk menjadi agen moral, tanpa benar-benar belajar menjadi manusia yang rahmah.
Cewek kok merokok? Cewek kok sukanya keluyuran malem2? Cewek kok duduknya ngangkang? Cewek kok ketawanya kenceng banget? Dan mungkin masih banyak lagi pernyataan serupa, yang seolah memberika gambaran bahwa menjadi cewek itu harus selalu sejalan dengan norma kepantasan di masyarakat. . Bahkan, di dalam kelurga, ibu itu harus bertanggung jawab kalau anak2nya atau suaminya berbuat melanggar norma... . Stigma masyarakat terhadap perempuan, terutama muslimah, coba diungkapkan dan dijelaskan oleh maria.fauzi di 2/3 bagian dari buku ini. . Jujur, saya berharap penulis bisa menjelaskan tema tentang stigma negatif masyarakat secara detail dan menyeluruh di dalam buku ini. Sayangnya beberapa bab justru tidak menyoal masalah ini. Penulis justru menulis tentang sejarah filsafat Islam. Penjelasan yang diberikan terlalu general. Judul buku ini jadi terkesan hanya sebagai click bait agar jualan, agar orang tertarik membeli. . Secara keseluruhan, buku ini memang memberikan gambaran awal dan dasar tentang filsafat Islam. Tapi, tidak mampu merepesentasikan judul dengan baik. . Jika kalian masih pembaca awal tentang Islam, buku ini sangat pas dibaca. Namun, jika kalian sudah sangat memshami filsafat dan sejarah Islam, kalian mungkin akan merasa buku ini terlalu dasar. . Selamat membaca.
Buku yang menjelaskan berbagai polemik keagamaan yang terjadi di era modern saat ini. Jika membaca dari judul terlihat bukunya membahas feminis Islam, tetapi isi bukunya lebih dari itu. Karena turut dibahas juga isu Islam yang di ruang digital, Islam & lingkungan, pergeseran media pengajaran keagamaan, dsb. Memuat kumpulan esai dari penulis, terdapat beberapa bab yang penulis hanya memaparkan fakta-fakta yang terjadi tidak disertai dengan opini dari penulisnya, sehingga pembaca dibiarkan sendiri memilih apakah fakta-fakta itu perlu ada koreksian atau tidak. Isi halaman yang tidak tebal juga pemilihan diksi yang ringan membuat buku ini sangat bisa dibaca cepat. Hal ini yang menjadikan buku ini cocok dibawa ke mana-mana & digunakan untuk penghilang kebosanan saat mengantri, seperti di mengantri bank, dsb.
Secara judul, buku ini menarik. Pertama, pemilihan kata “muslimah” dan kedua, menggunakan sub judul “perempuan”. Dibekali 2 istilah itu, kupikir buku ini akan membahas isu-isu yang dekat dengan feminisme. Ternyata, bukan hanya itu. Secara general, justru Maria Fauzi memuat keberagaman beragama, dunia digital, hingga Islam Indonesia yang mengglobal.
Buku setebal 150 halaman ini kurasa akan lebih efektif apabila membahas secara khusus problematika perempuan dan muslimah sebagaimana yang telah dimuat beberapa dalam bab 1 dan 2: dakwah gaya baru, pemakaian istilah akhi dan ukhti, aurat dan kesalehan, ibu sufi, perempuan dan terorisme, simbol hijab, kasak-kusuk poligami, dan fatwa tentang perempuan.
Meski begitu, aku mengapresiasi penulis yang peka mencatat berbagai pengalaman diri dan lingkungannya menjadi bacaan yang ringan dan bermakna. Jika beberapa tulisan hanya memaparkan informasi tanpa opini, kurasa ini cara Maria memberi pembacanya sebuah ruang untuk lebih jeli memaknai esensi beragama itu sendiri.