Jump to ratings and reviews
Rate this book

Centhini #2

Minggatnya Cebolang

Rate this book

207 pages, Paperback

First published April 1, 2005

8 people are currently reading
105 people want to read

About the author

Elizabeth D. Inandiak

16 books12 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
13 (23%)
4 stars
18 (32%)
3 stars
17 (30%)
2 stars
7 (12%)
1 star
1 (1%)
Displaying 1 - 7 of 7 reviews
7 reviews3 followers
June 2, 2008
The most controversial part of Centhini Inandiak's translation.
Profile Image for Endah.
285 reviews153 followers
February 7, 2009
Serat Centhini, rasanya kata itu terdengar amat purba bagi telinga saya. Sama purbanya dengan kata "Negarakertagama" atau "mpu". Kata itu seperti datang dari masa lampau yang jauh sekali, berjarak ratusan tahun dengan hari ini. Yang tergambar kemudian di kepala saya adalah ribuan lembar kertas tua menguning, rapuh, bergerigi tepi-tepinya, berbau apak diselimuti debu setebal pupur para ronggeng dengan huruf Jawa Kuno hanacaraka yang hanya dimengerti oleh para profesor sejarah kesusatraan Jawa yang tak kalah purba penampilannya : kaca mata tebal, kepala nyaris botak, rambut tipis memutih perak di bagian belakang kepalanya serta bahu separo bungkuk akibat seringnya menekuni naskah-naskah kuno di perpustakaan. Tua banget kan kesannya?

Maka , saat ia, si Kuno itu, tampil (kembali) ke hadapan publik pembaca dengan tata rias baru yang genit berbentuk buku mungil dengan cover bergambar meriah hasil garapan pelukis kaca Nugroho (ia juga yang mengerjakan seluruh ilustrasi buku ini), tercurilah perhatian saya. Seperti apa sih isinya? Benarkah kisah-kisah di dalamnya setua dinosaurus?

Pada kata pengantar buku ini, diuraikan sejarah singkat Serat Centhini : terdiri dari dua belas jilid, empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, serta dua ratus ribu lebih bait. Ternyata ia belumlah terlalu tua umurnya, setidaknya jika dilihat dari tahun pertama kali disusunnya kitab ini, yakni pada 1814 (jadi kira-kira "baru" berumur 184 tahun). Penyusun syair-syair dan kisah yang termuat di dalamnya adalah Pangeran Anom Hamengkunegara III dengan dibantu oleh para pujangga Kraton Surakarta sebagai tembang kebebasannya. Kitab ini memiliki nama lain Suluk Tambangraras

Pada 1967, Haji Karkono Kamajaya, seorang mantan penyelundup candu terbesar di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno, mendirikan Yayasan Centhini. Mulai saat itu, ia mencurahkan seluruh tenaganya untuk menyunting naskah centhini dan menyalinnya ke huruf Latin (hal.9). Sedangkan yang diterbitkan oleh Galang Press ini penggalan dari karya asli versi bahasa Perancisnya : Les Chants de l'ile a dormir debout - le Livre de Centhini. Minggatnya Cebolang merupakan jilid ke dua dari kisah sebelumnya berjudul Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan.

Tersebutlah pada suatu malam takbiran, Cebolang, putra tunggal dari pasangan suami istri Syekh Akhadiyat, minggat dari rumah tanpa berpamitan pada ayah ibunya yang saleh. Remaja ini meninggalkan Sokayasa, desanya, karena malu oleh polahnya sendiri selama ini. Ia yang berparas jelita, bertubuh luwes bagaikan gadis sedang mekar layaknya penari Ramayana, sering secara tak sengaja, menyalakan nafsu wanita maupun pria yang tersentuh olehnya Keelokan parasnya ini membakar semua budi dalam raganya (hal.25) Dalam keputusasaannya mendapat pengampunan dosa dari Yang Maha Kuasa, ia memilih kabur, berniat memperbaiki kelakuan.

Ia kabur bersama empat orang sahabatnya : Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti. Dalam pelariannya, sampailah mereka di pusat kerajaan Jawa : Mataram yang agung, subur, gemah ripah loh jinawi dengan rajanya yang terbesar, Kanjeng Sultan Agung. Di Mataram, mereka berempat tinggal di rumah Amat Tengara, seorang murid modin Kauman (semacam santri?).

Namun, pengembaraan itu ternyata tak segera menghentikan petualangan sang remaja nakal Cebolang. Malah semakin menjadi-jadi saja keliarannya di tanah rantau itu. Ia lupa niatnya semula untuk membersihkan diri, justru semakin dalam ia tercebur ke tengah-tengah kehidupan seks bebas. Ia bercinta dengan segala macam wanita, dari perempuan desa biasa, wanita penghibur, para istri bangsawan, hingga seks sesama jenis (homoseksual) dengan para pemain reog dan seorang adipati.

Sementara itu, kedua orang tuanya di Sokayasa tak henti berdoa untuknya, untuk kebaikan dan keselamatannya. Mereka memohon agar ia segera kembali pulang, menjadi anak yang saleh. Hingga pada hari Idhul Adha, suami istri tersebut dikejutkan oleh kedatangan dua orang remaja putra putri sebaya Cebolang. Keduanya adalah Jayengsari dan Rancangkapti yang melarikan diri dari serbuan bala tentara Surabaya atas perintah Mataram, sebab ayah mereka, Sunan Giri, menolak menyembah bersujud kepada Sultan Agung. Kakak beradik itu lalu diangkat anak oleh Syekh Akhadiyat dan istrinya.

Kembali kepada tokoh kita Cebolang. Dalam pengembaraannya, akhirnya mereka berempat sampai di Puncak Gunung Meru (Semeru?), di mana tinggal seorang pertapa sakti arif bijaksana. Wejangannya kemudian membuka mata hati serta kesadaran Cebolang Cs untuk kembali ke jalan Allah. Maka, pulanglah ia ke ayah ibunya, memohon ampun atas segala dosanya , bertobat untuk selama-lamanya. Dan oleh ayahnya ia lalu dinikahkan dengan Rancangkapti, sang putri dari Giri.

Konon, Cebolang adalah gambaran sebenarnya Pangeran Anom Hamengkunegara yang disingkirkan dari keraton pada saat ia masih amat belia karena kebandelannya. Ia wafat di tahun ketiga pemerintahannya (bergelar Susuhunan Paku Buwono V) karena raja singa. Apakah penyakitnya ini akibat dari kehidupan seksualnya yang bebas seperti Cebolang? Jika benar demikian, kisah ini menjadi semacam penuturan jujur tentang erotisme (syahwatisme, kata teman saya) seorang bangsawan Jawa, meski, misalnya, hanya sebatas fantasi saja. Alangkah liarnya...

Yang paling saya catat dari kisah ini -- selain petuah dan nasihat berguna melalui dongeng Islami dari Timur Tengah dan jagad perwayangan (Mahabarata) -- adalah banyaknya adegan seks (persetubuhan) yang diceritakan dengan sangat gamblang, tanpa menggunakan metafora atau euphemisme, misalnya untuk menyebut (maaf) alat kelamin pria dan wanita. Alhasil, yang tersuguh ke hadapan kita adalah adegan yang terkesan vulgar, setidaknya menurut saya (saya malu untuk mengutipnya sebagai contoh di sini). Bagian itu mendapat porsi lumayan besar dan membuat saya bertanya-tanya, apakah buku ini pantas dibaca para remaja, seperti yang tertulis di halaman vii : Untuk semua remaja yang tersesat dalam keramaian batil dan batin ?
Profile Image for Nadia Fadhillah.
Author 2 books43 followers
April 16, 2013
Terjemahannya agak aneh, untuk memahami keindahan karya sastra ini memang yang paling baik mungkin membaca dalam bahasa aslinya - bahasa jawa. Karakter utama dalam buku ini bukan Amongraga, namun Cebolang itu sendiri. Dan petualangan Cebolang dalam buku ini, sungguh liar dan binal. Sebelum membaca buku ini harus siap-siap. Kalau tidak ya bakal seperti aku, jijik. Haha.
1 review
Want to read
May 29, 2013
love need patient
This entire review has been hidden because of spoilers.
Displaying 1 - 7 of 7 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.