What do you think?
Rate this book


675 pages, Paperback
First published January 1, 2007
Bagi manusia Indonesia, masa lalu dan masa sekarang tidak ada kaitannya sama sekali. Bekapan kemiskinan menghasilkan super-ego dan sinisme lingkungan. Waktu adalah uang. Yang lalu biarlah berlalu. Lihat ke depan, globalisasi menanti. Era pasar bebas akan menggilas mereka yang lengah. Manusia Indonesia, tentu dengan banyak keterbatasannya, melihat masa lalu sebagai perintang masa depan. – hal.173
“Tetapi kita sekarang kan sudah merdeka, Pak?” Murid perempuan tadi merasa dapat angin.
“Raga, tetapi tidak jiwanya,” Guru Uban menelan ludah. Dialog ini seakan-akan menguras energinya. “Sekarang, lihatlah diri kalian anak-anakku. Miskin, tidak berdaya dan kalian sama sekali tidak merdeka bercita-cita. Sekarang, acungkan jari kalian, siapa yang ingin kuliah setelah ini?”
[…]
“Kalian tidak akan pernah berani bercita-cita untuk kuliah di kampus itu, sekalipun ada di antara kalian yang pintar. Kalian tidak merdeka, anak-anakku, sebab Belanda-Belanda cokelat jauh lebih bengis daripada kulit putih.”
“Belajar sejarah tujuannya agar kita memberikan arti pada masa sekarang. Supaya tidak ada ruang hampa dalam hidup ini. Dengan berpikir seperti itu, kalian akan menghargai setiap garis kehidupan yang kalian jalani. Kita tidak perlu kaya dan berkuasa untuk menikmati hidup.” – hal. 401